Seri ke 3 Pecut Sakti Bajrakirana Alap Alap laut Kidul Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo Penerbit : CV. Gema 2004, Solo Kiriman Budi Santoso Bandung (trims) Final Edit & Ebook oleh : Dewi KZ ----------------------- Page 2----------------------- ----------------------- Page 3----------------------- http://zheraf.net JILID I agi yang cerah, sinar matahari pagi dengan hangatnya menyelimuti bumi. Perlahan-lahan, bagaikan enggan Pberpisah dari bumi yang didekapnya semalam, embun mengapung meninggalkan bumi membubung lembut seolah tersedot sinar matahari pagi. Masih ada sisa burung yang berceloteh di antara daun-daun pohon, berkicau riang kemudian terbang menyusul kawan kawan mereka yang sejak pagi telah meninggalkan sarang mencari makan penyambung hidup. Terdengar kerbau menguak, suaranya penuh kesabaran. Di kejauhan tampak dua ekor kerbau gemuk digiring seorang bocah berusia sepuluh tahun bercelana pendek hitam tanpa baju, berjalan di belakang dua ekor kerbau. Mereka serasi sekali. Angin bersilir lembut, namun cukup kuat untuk menggugurkan daun-daun pohon trembesi. Daun-daun kecil itu berguguran seperti segumpal kanak-kanak bersendau gurau berlari-larian. Suara gemericik air anak sungai bercanda dengan batu-batu berdendang tiada henti-hentinya seperti dewi kahyangan sedang bertembang. Nun di sana, sawah ladang terbentang luas berwarna kehijauan dengan bercak-bercak kuning menjanjikan hasil cucuran keringat jerih payah para petani. Maha agunglah Sang Maha Pencipta! Matahari, embun, daun berguguran, riak air, padi di sawah yang berombak, semua itu seolah-olah merupakan puja-puji dan sembah sujud kepada Yang Maha Pengasih, Pencipta semua keindahan itu. Anak sungai itu mengalirkan air yang jernih dan tidak dalam. Demikianlah jernihnya sehingga batu-batuan dan pasir pada dasrnya tampak. Ikan-ikan kecil yang warna kulitnya sama dengan air berenang menggerak-gerakkan ekor dalam upaya mereka untuk menahan arus. Bagian yang paling dalam ----------------------- Page 4----------------------- ----------------------- Page 5----------------------- http://zheraf.net yang sunyi, bunyi air gemericik mengiringi kicau burung, ditimpa matahari pagi yang hangat mengimbangi semilirnya air pegunungan yang sejuk, mendatangkan rasa bahagia di hati dara itu. Mulailah ia bersenandung, rengeng-rengeng (bernyanyi tanpa kata) dalam tembang Sinom. Sama sekali ia tidak pernah mengira bahwa pada saat itu ada seorang laki-laki yang mengintai dari balik rumpun bamboo yang tumbuh di belakangnya, dalam jarak kurang lebih tujuh meter. Laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan penampilannya sungguh menyeramkan. Dia bertubuh tinggi besar, perutnya gendut dan tubuh itu membayangkan kekuatan otot yang dahsyat. Baju hitamnya terbuka sehingga tampak dadanya yang kokoh. Sebatang golok terselip di sabuk celananya yang hitam pula. Sepasang matanya besar melotot, sepasang alisnya tebal hitam dan mukanya tertutup brewok pendek. Kepalanya memakai ikat kepala hitam pula. Sepasang laki-laki itu memandang kepada gadis itu bagaikan seekor serigala kelaparan memandang seekor kelinci muda yang gemuk. Mulutnya yang agak terbuka itu seolah penuh dengan air liur. Tangan kirinya berpegang kepada sebatang pohon bamboo dan tangan kanannya membentuk cakar seperti hendak segera menerkam dan mencengkeram tubuh yang bahenol itu! Siapakah dara hitam manis, perawan dusun yang usianya baru sekitar tujuh belas tahun itu? Ia adalah seorang gadis yang tinggal di dusun Bakulan di jajaran Pegunungan Kidul tak jauh dari anak sungai itu. Namanya sederhana sekali seperti penampilannya. Pada jaman itu orang-orang tua condong untuk memberi nama sesederhana mungkin kepada anak-anak mereka, dengan maksud agar si anak tidak berat untuk menyangganya dan agar para setan dan demit tidak ----------------------- Page 6----------------------- ----------------------- Page 7----------------------- http://zheraf.net atas batu dan memandangnya dengan mata melotot seperti harimau kelaparan, otomatis Warsiyem lalu mendekap dadanya dengan kedua tangannya dan menahan jeritnya. Ia merasa terkejut sekali karena ia tidak mengenal laki-laki itu. Andaikata laki-laki itu seorang penduduk dusunnya, tentu ia tidak akan sekaget itu. Akan tetapi laki-laki itu adalah seorang asing yang menyeringai kepadanya dengan sikap kurang ajar. “Heh-heh-heh, manis, denok sayang, teruskan mandimu, aku senang melihatmu mandi. Akan tetapi kenapa kain itu tidak kau tanggalkan saja?” kata laki-laki itu dengan sikap ceriwis. Dari sikap, pandang mata dan kata-kata orang itu, sadarlah Warsiyem bahwa ia berhadapan dengan seorang laki- laki jahat yang kurang ajar. Maka tanpamenjawab ia lalu berusaha naik ke tepi sungai dan hendak meraih keranjang pakaiannya. Akan tetapi laki-laki itu memegang keranjang pakaian itu sehingg Warsiyem tidak dapat menarik dan merebutnya. “Lepaskan keranjangku dan biarkan aku pergi,” kata Warsiyem. Akan tetapi laki-laki itu tidak melepaskan keranjangnya dan tertawa bergelak sambil memelintir kumisnya dengan tangan kiri. “Ha-ha-ha! Perawan manis, siapa namamu? Jangan taku kepadaku. Singowiro adalah seorang laki-laki yang bersikap mesra dan lembut kepada perawan manis seperti engkau, ha-ha-ha!” Melihat sikap laki-laki itu menyebutkan namanya Singowiro itu, Warsiyem menjadi makin ketakutan. Ia melepaskan keranjang pakaiannya dan cepat bangkit berdiri lalu melarikan diri meninggalkan tepi sungai itu. ----------------------- Page 8----------------------- ----------------------- Page 9----------------------- http://zheraf.net seorang laki-laki, orang itu membelalakkan matanya dan cepat meloncat ke depan menyambut Warsiyem yang berlari-larian. Sedangkan gadis itu ketika melihat dia, lalu menghampirinya dan menubruknya sambil menangis. “Bapak ......! aku ...... aku dikejar-kejar orang itu ......!” serunya sambil merangkul bapaknya. Laki-laki itu adalah Pak Sutowiryo, ayah Warsiyem. Mendengar ucapan anaknya, Pak sutowiryo lalu melepaskan rangkulannya. “Engkau minggirlah, Yem,” katanya dan dia menghadapi Singowiro yang juga sudah berhenti berlari dan memandang kepada Sutiwiryo dengan mata dilebarkan. “Ki sanak,” kata Sutowiryo, menahan kesabarannya melihat seorang laki-laki asing yang bukan warga dusunnya. “Siapakah andika dan mengapa pula andika mengejar-ngejar anakku ini?” “Hem, andika ayah perawan itu? Kebetulan sekali, aku bernama Singowiro gegedug (jagoan) Gunung Kidul. Kebetulan sekali sudah setahun aku menduda dan melihat anakmu, aku .... heh-heh-heh, aku jatuh cinta! Karena itu aku minta kepadamu agar engkau mengijinkan aku memperisteri anakmu ini. Ia akan hidup mulia dan terhormat sebagai isteriku.” Ki Sutowiryo mengerutkan alisnya, “Ki sanak, tidak ada caranya orang baik-baik melamar anak orang di tengah jalan! Pula, andika sudah terlalu tua untuk menjadi suami anakku. Aku akan menjodohkan anakku dengan seorang pemuda dusun kami sendiri yang sepadan dengannya.” “Apa? Andika berani menolak pinanganku yang kuajukan secara baik-baik?” bentak Singowiro galak. ----------------------- Page 10----------------------- ----------------------- Page 11----------------------- http://zheraf.net ini sudah nekad sekali, karena dia sudah mengambil keputusan untuk mempertahankan kehormatan anaknya dengan taruhan nyawa. Karena serangannya yang nekad, akhirnya dia berhasil menangkap lengan kanan Singowiro. Akan tetapi jagoan itu menendang perutnya sehingga Ki Sutowiryo tejengkang. Ketika Ki Sutowiryo melompat bangun lagi Singowiro membacok dengan goloknya. “Wuuuttt ..... crattt!!!” Ujung golok itu mengenai batang leher Ki Sutowiryo. Dia berteriak dan darah muncrat. Golok itu menyambar lagi dan Ki Sutowiryo roboh mandi darah. Warsiyem terbelalak dan menjerit. “Bapak ...... bapaaaakkk ......!” Warsiyem lari menubruk tubuh ayahnya yang sudah tidak bergerak lagi, rebah dalam genangan darahnya. Tanpa memperdulikan lengannya berlepotan darah Warsiyem memeluk tubuh ayahnya dan menangis mengguguk, memanggil-manggil bapaknya. Ki Singowiro menyeringai dan menyarungkan kembali goloknya yang berlepotan darah. ----------------------- Page 12----------------------- ----------------------- Page 13----------------------- http://zheraf.net Rontaan yang kuat dan tiada hentinya ini tentu saja amat melelahkan Ki Singowiro yang membawanya lari. Setelah lari hampir satu jam lamanya, Ki Singowiro sudah bermandikan keringat, napasnya terengah-engah dan kedua tangan dan kakinya terasa lelah sekali. Akhirnya, di luar sebuah hutan yang sunyi, dia terpaksa menurunkan Warsiyem untuk beristirahat. Akan tetapi begitu diturunkan dari pondongan, Warsiyem lalu melarikan diri, hendak kembali ke tempat dia dilarikan. “Heii ......! Ke mana engkau? Jangan lari! Berhenti!” Ki Singowiro mengejar gadis yang melarikan diri itu. Biarpun tubuhnya juga lelah sekali karena tiada hentinya ia meronta sekuat tenaga, Warsiyem yang dilanda duka dan takut itu masih dapat berlari cepat bagaikan seekor kelinci yang ketakutan dikejar harimau! Ki Singowiro terpaksa berlari juga, terengah- engah melakukan pengejaran. Bagaimanapun juga, bagaimana mungkin Warsiyem dapat melepaskan diri dari pengejaran Ki Singowiro yang dapat melangkah jauh lebih lebar? Betapapun gesitnya Warsiyem, tetap saja ia seorang perawan yang gerakannya tidak leluasa terhalang tapih pinjung (kain) yang menyerimpat kedua kakinya ketika berlari. Langkahnya tidak dapat terlalu lebar dan akhirnya Ki Singowiro yang sudah tiba dekat di belakangnya itu dapat menubruk dari belakang, menerkam dan mendekapnya. Mereka jatuh tersungkur di atas tanah berumput. Dengan kedua lengannya yang kokoh kuat Ki Singowiro mendekap tubuh gadis itu dengan kuat sehingga kedua lengan gadis itu tidak dapat bergerak. Akan tetapi bagaikan seekor harimau betina marah, tiba-tiba Warsiyem menggigit lengan yang memeluknya itu sekuat tenaga. ----------------------- Page 14----------------------- ----------------------- Page 15----------------------- http://zheraf.net olehnya betapa tubuh yang padat dan mengkal itu menggeser- geser dipundaknya. Rambut yang panjang lebat dan halus itu mengusap-usap lehernya seolah membelainya. “Ha-ha, manis, engkau perawan denok ayu, sebentar lagi menjadi isteriku, ha-ha-ha!” “Tidak! Tidaaaakkk! Lepaskan aku, aku tidak sudi menjadi isterimu!” Warsiyem menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi makin keras ia meronta, gesekan tubuhnya lebih terasa lagi oleh Ki Singowiro yang membuat laki-laki itu menjadi semakin gembira dan terangsang. Sesungguhnya nafsu merupakan anugerah sang Maha Pencipta bagi manusia, diikut sertakan pada saat manusia lahir di dunia. Di antara semua gairah nafsu, nafsu berahi merupakan nafsu yang amat kuat dan juga mengandung tugas yang amat suci. Dari gairah nafsu inilah manusia dapat berkembang biak. Gairah nafsu berahi yang menjadi bunga cinta kasih adalah luhur dan suci. Tuhan Maha Murah! Nafsu diberikan kepada kita sehingga kita dapat merasakan segala macam kenikmatan melalui semua anggauta tubuh kita. Mata dapat mengenal keindahan, telinga dapat mengenal kemerduan, hidung dapat mengenal keharuman, mulut dapat mengenal kelezatan dan sebagainya, semua itu adalah karena adanya nafsu yang menjadi peserta kita. Akan tetapi justeru semua kenikmatan inilah yang menjerat kita. Kalau nafsu tidak lagi menjadi peserta dan alat kita, sebaliknya kalau nafsu menjadi majikan dan memperalat kita, maka terseretlah kita ke dalam perbuatan sesat. Pengejaran kenikmatan menyeret kita ke dalam perbuatan yang jahat. Seperti Ki Singowiro yang telah sepenuhnya dikuasai dan diperalat daya rendah, yang ada dalam benaknya hanyalah pengejaran kenikmatan dengan ----------------------- Page 16----------------------- ----------------------- Page 17----------------------- http://zheraf.net Orang yang ramburnya diikat kain itu segera melompat agak menjauhi gubug, memilih tempat yang rata dan lapang, lalu berkata dengan sikap yang tenang. “Sobat, aku tidak mencari permusuhan. Aku hanya ingin mengingatkan engkau bahwa perbuatanmu terhadap gadis itu tidak baik!” “Keparat. Engkau sudah bosan hidup!” Ki Singowiro marah sekali karena merasa kesenangannya terganggu dan dia sudah menyerang dengan goloknya, membacok ke arah orang itu dengan ayunan golok dari samping. “Sing ...... wuuttt! Plakkk!” Ki Singowiro mengeluarkan gerengan marah. Terjadinya demikian cepat. Goloknya menyambar tempat kosong ketika lawannya itu mengelak dengan menarik tubuh ke belakang kemudian memutar tubuhnya membalik, tangan kiri menangkis pergelangan tangannya yang memegang golok sedangkan tangan kanannya menampar ke arah perutnya yang gendut. Tidak begitu nyeri karena lawannya itu agaknya tidak ingin mencelakainya, akan tetapi cukup kuat untuk membuat Ki Singowiryo terdorong ke samping dan terhuyung. Tentu saja dia marah bukan main. Ki Singowiro adalah seorang gegedug (jagoan) yang sudah terkenal di Gunung Kidul. Jarang ada orang berani menentangnya dan sekali ini, bertemu lawan bertangan kosong saja dia sudah kena tamparan pada perutnya. Dasar dia seorang yang selalu mengagulkan kemampuan sendiri. Karena tamparan itu tidak terasa nyeri olehnya, dia tidak menyadari bahwa lawannya memang sengaja tidak ingin melukainya. Dia menganggap bahwa pukulan lawan itu lemah saja, tidak mampu menembus kekebalan perutnya yang gendut. “Setan alas! Mampus kau!” kembali dia membentak dan sekali ini dia menyerang dengan lebih ganas lagi. ----------------------- Page 18----------------------- ----------------------- Page 19----------------------- http://zheraf.net kelelahan dan napasnya memburu, keringatnya membasahi dada, leher dan mukanya. Laki-laki itu terkejut dan matanya yang jeli mengerling ke arah gubug. Kemudian dia membalikkan tubuhnya menghadapi Warsiyem yang masih duduk mendeprok di panggung gubug. Dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut. Warsiyem memandang heran karena baru sekarang dia dapat melihat jelas. Seorang laki-laki asing, pikirnya. Selama hidupnya Warsiyem tinggal di dusun Bakulan dan belum pernah melihat seorang asing seperti penolongnya itu. Maka gadis itu terheran-heran. Laki-laki itu rambutnya panjang dan diikat kain. Kulitnya bersih dan wajahnya cukup tampan, akan tetapi matanya tajam sehingga tampak gagah. Akan tetapi sinar matanya itu penuh kelembutan dan wajahnya juga membayangkan ketengangan dan keramahan. Pakaiannya sederhana saja. Sebuah celana biru sampai betis, bajunya juga sederhana berwarna putih bersih. Kedua kakinya telanjang dan berkalung sarung. “Nona, benarkah nona isteri sobat ini?” Akhirnya laki- laki itu bertanya. Warsiyem menggeleng kepalanya keras-keras sehingga kedua titik air mata yang tadinya berada di bawah matanya terpercik jatuh. “Tidak ...... tidak. Dia bohong! Aku bukan istrinya, dia .... dia malah membunuh ayahku!” teriaknya dan jari telunjuk kanannya ditudingkan ke arah muka Ki Singowiro. “Aeh ......! Jahat sekali! Kalau begitu dia bukan sobat, melainkan seorang penjahat!” kata laki-laki itu. “Singg ...... !” Golok itu menyambar dari belakang tubuhnya, mengarah laki-laki itu. Ki Singowiro yang ----------------------- Page 20----------------------- ----------------------- Page 21----------------------- http://zheraf.net “Plakk ..... bukkk!!!” Golok itu terlepas dari pegangan dan untuk kedua kalinya Ki Singowiro terjengkang dan terbanting keras. Sekali ini dia tidak segera dapat bangun, melainkan merangkak dan akhirnya bangkit dengan sukar, meringis kesakitan kemudian terhuyung-huyung pergi meninggalkan lawannya. Setelah menyadari bahwa lawannya seorang yang tangguh sekali, dia memilih melarikan diri dan menyelamatkan dirinya. Laki-laki itu tidak mengejar, melainkan hanya berdiri tegak sambil memandang ke arah larinya bekas lawannya dan dia menghela napas panjang. “Ah, agaknya di segala tempat ada saja orang-orang yang jahat seperti dia.” Gumamnya, teringat akan keadaan di kampung halamannya sendiri dari mana dia datang, teringat akan malapetaka yang menimpa keluarganya dan yang memaksanya meninggalkan kampungnya dan kini berada di sini. Kemudian dia mendengar isak tangis dan cepat dia memutar tubuhnya. Baru dia teringat akan wanita yang hampir saja menjadi korban kebiadaban orang jahat tadi. Dia melangkah maju menghampiri. Warsiyem yang sedang terisak dan tubuhnya masih gemetaran sehingga ia tidak mampu turun dari gubug atau melarikan diri itu ketika melihat laki-laki itu menghampirinya, menjadi pucat dan cepat ia beringsut ke belakang sampai tubuhnya tertahan dinding gubug. Ia menggeleng-geleng kepalanya dengan ketakutan dan suaranya juga terdengar gemetar. “Jangan ...... jangan ganggu aku ...... jangan ...... ah, kasihanilah aku ...... “ ratapnya. ----------------------- Page 22----------------------- ----------------------- Page 23----------------------- http://zheraf.net menyelesaikan persoalan. Engkau tadi mengatakan bahwa ayahmu terbunuh oleh laki-laki jahat tadi. Apa yang sebenarnya terjadi?” Warsiyem menghela napas panjang beberapa kali untuk menghentikan tangisnya, kemudian dengan lirih dan tersendat- sendat ia berceritera. “Aku sedang mandi dan mencuci pakaian di sungai tadi ketika tiba-tiba muncul orang yang menamakan dirinya Ki Singowiro tadi. Dia hendak menangkap aku. Aku melarikan diri dan dia mengejarku. Di dekat dusun Bakulan tempat tinggalku, muncul ayahku. Ayah bernama Ki Sutowiryo. Melihat aku dikejar-kejar, bapak membelaku. Akan tetapi dia .... dia dibacok lehernya oleh penjahat tadi ..... ! Bapak roboh mandi darah dan aku lalu dilarikan jahanam tadi sampai ke sini. Untung engkau muncul dan menolongku, ki sanak.” Laki-laki itu mengerutkan alisnya dan memandang gadis itu dengan hati iba yang terpancar pada wajahnya. “Tabahkan hatimu, nona. Jangan khawatir, aku akan mengantarmu. Namaku Harun Hambali, orang-orang memanggilku Uun.” “Namamu aneh, ki sanak. Engkau orang manakah?” Tanya Warsiyem heran. “Aku orang Sunda, aku datang jauh dari daerah barat, sepuluh tahun yang lalu. Mari kuantar engkau pulang dan kita melihat bagaimana keadaan ayahmu.” Teringat akan ayahnya, Warsiyem lalu cepat melangkah dan menjadi penunjuk jalan. Biarpun tubuhnya terasa lelah sekali, akan tetapi bayangan ayahnya yang menggeletak mandi darah membuat ia memperoleh semangat dan tenaga baru sehingga ia berjalan setengah berlari-lari. ----------------------- Page 24----------------------- ----------------------- Page 25----------------------- http://zheraf.net Ketika siuman, Warsiyem sudah berada di kamarnya, rebah di atas dipan dan seorang wanita berusia kurang lebih lima puluh tahun duduk di tepi dipan. Wanita itu rambutnya sudah berwarna dua, dan pada wajahnya ada raut yang membayangkan kegalakan dan kebawelan. Warsiyem segera mengenal bahwa nenek itu adalah Mbok Rondo Saritem. Ia merasa heran melihat kakak tiri ayahnya ini. Sudah bertahun- tahun uwak atau mbokde tirinya ini tidak pernah mau berdekatan dengan ia dan ayahnya. Sudah lama terjadi ketidak cocokan antara ayahnya dan mbokde tiri ini. Akan tetapi sekarang tahu-tahu ia sudah berada di situ. “Mbokde Saritem ......!” Warsiyem menyapa lirih sambil bergerak untuk bangkit duduk. Mbok Rondo Saritem cepat membantu gadis itu bangkit duduk. Sikapnya ramah. “Mengasolah saja, Siyem. Tidurlah ...... “ ia membujuk. “Mbokde, aku harus mengurus jenasah bapak.” “Hussshh, tenang sajalah. Aku sudah mengurus kesemuanya itu, Yem. Engkau tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini kecuali aku, mbakyu dari bapakmu. Aku yang akan mengurus jenasah adikku Sutowiryo sampai dikebumikan dan akulah yang selanjutnya akan mengurus rumah ini, mengurus dirimu. Serahkan saja segalanya kepadaku, nduk. Akulah sekarang pengganti orang tuamu.” Karena ucapan itu terdengar ramah dan manis, terharulah hati Warsiyem yang sedang kebingungan. Ia merangkul mbokdenya dan menangis. “Terima kasih, mbokde Saritem.” Harun yang ikut duduk bersila di atas tikar bersama para pelayat, sejak masuk dan duduk, dia diam saja. Orang- ----------------------- Page 26----------------------- ----------------------- Page 27----------------------- http://zheraf.net hatinya untuk menghibur kedukaan gadis itu, untuk membahagiakannya. Satu demi satu para pelayat meninggalkan tanah kuburan itu sehingga akhirnya tinggal di situ hanya Warsiyem dan Mbok Rondo Saritem yang menghibur gadis yang masih menangis sedih itu. Harun juga masih berada di situ agak jauh, dalam jarak sepuluh meter dari kedua orang wanita yang masih berjongkok di depan gundukan tanah kuburan baru itu. “Sudahlah Yem. Tidak ada gunanya ditangisi lagi. Engkau bahkan hanya akan membikin gelap perjalanan bapakmu ke alam kelanggengan. Sebaiknya kita pulang. Aku harus membereskan rumah yang mulai sekarang menjadi tempat tinggal kita berdua. Rumahku sendiri di ujung dusun akan kujual agar aku dapat tinggal denganmu di rumah kita yang baru.” Warsiyem dapat menenangkan hatinya dan pada saat itu teringatlah ia akan orang asing yang telah menolongnya. Sekelebatan tadi ia melihat Harun di antara para pelayat, akan tetapi karena hatinya dipenuhi kesedihan, ia tidak memperhatikan orang itu. Kini ia teringat dan tiba-tiba ia menyadari betapa ia telah menyia-nyiakan dan tidak mengacuhkan orang yang telah menyelamatkannya itu. “Di mana dia ......?” katanya lirih sambil menoleh ke segala jurusan. “Dia siapa, Yem?” Tanya Mbok Rondo Saritem. Akan tetapi Warsiyem tidak menjawab karena ia sudah menemukan Harun dengan pandang matanya dan ia segera bangkit berdiri dan menghampiri pria muda yang duduk di atas sebuah batu besar itu. Melihat Warsiyem menghampiri, Harun ----------------------- Page 28----------------------- ----------------------- Page 29----------------------- http://zheraf.net asing. Kalau tidak salah, dia ini bukan orang sini! Aku tidak pernah melihatnya. Hayo kita pergi, jangan perdulikan dia!” “Akan tetapi, mbokde ......!” “Tidak ada tetapi! Ingat, Siyem, sekarang akulah yang bertanggung jawab atas dirimu. Engkau harus menurut kata- kataku karena akulan pengganti orang tuamu. Mari kita pergi, semua orang sudah pergi. Jangan-jangan orang ini berniat buruk!” Mbok Rondo Saritem lalu memegang tangan gadis itu dan ditariknya pergi dari situ. Harun memandang dengan alis berkerut, akan tetapi dia tidak berani mencampuri urusan keluarga. “Selamat tinggal, dik War!” katanya lirih. Warsiyem yang digandeng dan ditarik mbokdenya menoleh. “Kang Uun ..........!” Dalam pendengaran Harun, dalam suara panggilan Warsiyem itu terkandung sesuatu yang aneh. Semakin terasa dalam hatinya bahwa gadis itu membutuhkan bantuannya, membutuhkan perlindungannya. Dalam suara itu seperti terkandung keraguan, kekhawatiran dan juga harapan. Dia melihat betapa kedua orang wanita itu sudah memasuki dusun Bakulan. Harun menepuk kepalanya sendiri, “Tolol kau! Ia sudah aman, dalam lindungan wanita itu. Tidak baik mencampuri urusan orang lain dan gadis itu bukan apa-apamu.” Setelah berulang kali menghela napas panjang, Harun meninggalkan kuburan itu, meninggalkan dusun Bakulan. Akan tetapi entah mengapa, hatinya merasa amat tidak enak, tidak senang dan semangatnya seolah tertinggal di dusun itu. -o0-dwkz-budi-0o- ----------------------- Page 30----------------------- ----------------------- Page 31----------------------- http://zheraf.net Warsiyem bangkit, lari memasuki kamarnya dan ia menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis tanpa suara. Ia menyadari bahwa nasibnya tiada bedanya dengan para perawan lain di dusun itu. Dijodohkan dan akan dikawinkan dengan seorang laki-laki yang sama sekali tidak pernah dilihat sebelumnya. Iapun tahu bahwa banyak kawannya yang dikawinkan jauh lebih muda dari pada usianya sendiri. Dan ia tahu pula bahwa andaikata ayahnya masih hidup, iapun akan dinikahkan seperti itu pula, menurut pilihan ayahnya. Akan tetapi kalau ayahnya yang memilih, ia tidak akan merasa seperti telalu dipaksa seperti ini. Ia merasa takut. Takut membayangkan bagaimana rupa dan sikap suami yang belum pernah dilihatnya itu. Ia tidak berdaya. Siapa yang akan mampu menolongnya? Minta tolong kepada orang-orang? Pasti ia hanya akan ditertawakan. Mana ada perawan yang akan dikawinkan itu merasa malu-malu akan tetapi gembira karena merasa telah “laku” dan lebih gembira lagi karena tentu digoda oleh teman-temannya! Kepada siapa ia dapat minta tolong? Tiba-tiba bayangan Harun menyelinap dalam benaknya. Ia baru sekarang teringat akan laki-laki itu setelah ia membutuhkan pertolongan! Akan tetapi bagaimana mungkin? Harun sudah pergi, entah ke mana dan sudah sebulan lebih ia tidak pernah melihat lagi orang itu. Pula, andaikata dia berada di Bakulan, bagaimana dia akan dapat menolong seorang perawan yang akan dikawinkan? Tentu menjadi buah tertawaan! Ia menjadi bingung dan bantal menjadi satu-stunya tempat menumpahkan rasa sedihnya. Seperti para perawan dusun di masa itu, Warsiyem juga hanya dapat tunduk dan pasrah, menyembunyikan tangis di dalam hati. Setiap kali ia bersama kawan-kawannya, mndi, ----------------------- Page 32----------------------- ----------------------- Page 33----------------------- http://zheraf.net rumahpun penuh tamu yang kebagian duduk di bawah tarup. Dan di luar pekarangan rumah juga banyak berkumpul anak- anak. Malam yang indah dan tampak gembira karena Warsiyem terkenal sebagai kembang dusun Bakulan malam ini menikah! Suara riuh menyambut kedatangan pengantin pria. Pengantin pria bertubuh tinggi besar dengan perut gendut memasuki ruangan diiringi para pengantarnya. Setelah upacara penyambutan, pengantin wanita lalu dituntun ke luar untuk menyambut. Warsiyem melangkah perlahan sambil menundukkan mukanya, berusaha menyembunyikan tangisnya. Setelah para pendampingnya berhenti melangkah sehingga iapun berhenti, baru ia memberanikan diri untuk sedikit mengangkat mukanya agar ia dapat melihat laki-laki calon suaminya yang sudah berdiri didepannya. Begitu ia melihat wajah laki-laki tinggi besar gendut yang berpakaian pengantin pria itu, Warsiyem terbelalak dan melotot seperti tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Yang berdiri di depannya itu bukan lain adalah Ki Singowiro! Orang yang dahulu menculiknya, hampir memperkosanya, bahkan orang yang telah membunuh ayahnya! Hanya ia dan Harun yang tahu akan hal itu. Agaknya mbokdenya dan semua penduduk dusun Bakulan telah terkecoh dan tertipu dan mungkin saja mbokdenya telah diberi banyak uang oleh Ki Singowiro sehingga dengan senang hati menerima pinangannya dan menyerahkan keponakannya itu kepada orang yang dianggapnya kaya raya dan berpengaruh itu. “Aaaaiiihhh ......! Tidak ......, tidaaaaakkkk ......!” Warsiyem menjerit sekuat tenaga sehingga jeritannya melengking mengatasi suara gamelan yang sedang memainkan ----------------------- Page 34----------------------- ----------------------- Page 35----------------------- http://zheraf.net Akan tetapi ia tidak merasa nyeri atau terjatuh karena orang yang ditabraknya itu telah menangkap lengannya dan menahannya sehingga ia tidak terjatuh. Warsiyem merasa terkejut dan takut sekali melihat bayangan hitam yang menangkapnya. “Dik War, jangan takut aku akan menolongmu,” bisik bayangan itu. “Akang ......! Ah, Kang Uun!” Warsiyem mengeluh, hatinya terasa lega seperti terlepas dari himpitan benda berat. “Berdirilah di belakangku, dik. Biar aku yang menghadapinya,” kata Harun. Ki Singowiro yang mengejar sudah tiba di situ dan melihat orang laki-laki yang bertubuh tidak berapa besar namun cukup tinggi dan tegap. Dia tidak dapat melihat wajah orang itu dengan jelas karena mereka berdiri did lam bayangan pohon. “Keparat siapa engkau? Minggir kau!” kata Ki Singowiro sambil menggunakan tangan kanannya yang besar untuk mendorong dada orang itu. Akan tetapi sekali ini Harun marah melihat orang yang dulu menculik Warsiyem bahkan yang telah membunuh ayahnya kini hendak memaksa gadis itu menjadi isterinya. Dorongan tangan itu ditangkis dan sekaligus ditangkap, dipeluntir dan sekali menggerakkan tangan dengan sentakan kuat, tubuh Ki Singowiro terpelanting roboh! Ki Singowiro terkejut dan marah sekali. Dia bangkit berdiri dan karena berpakaian pengantin, maka dia memakai sebatang keris. Dicabutnya keris itu dan kini dia dapat memandang wajah orang itu dengan jelas. Bukan main kagetnya ketika dia mengenal laki-laki yang pernah mengalahkannya sebulan lebih yang lalu. Hatinya merasa jerih, akan tetapi ketika mendengar langkah banyak kaki mendatangi, ----------------------- Page 36----------------------- ----------------------- Page 37----------------------- http://zheraf.net menolong Warsiyem, cepat berkata dengan suara nyaring. “ Itulah dia! Orang itu yang dulu membunuh Bapak Sutiwiryo! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri!” Semua orang terkejut dan memandang marah kepada Harun. “Bunuh dia! Tangkap pembunuh ini dan kita serahkan kepada Pak Lurah!” Terdengar teriakan-teriakan. “Bohong! Semua itu bohong!” Warsiyem menjerit dan melangkah maju seolah hendak melindungi Harun yang kini berdiri di belakangnya. “Yang membunuh ayahku adalah jahanam Singowiro ini! Dia pula yang menculikku dan ....... kang Harun ini yang menolongku.” “Fitnah keji!’ teriak Singowiro membela diri. “Aku cinta padanya dan hendak mengambilnya isteri, mana mungkin aku membunuh ayah mertuaku sendiri? Orang jahat itu yang membunuhnya!” Penduduk Bakulan bergerak maju, Mbok Rondo Saritem juga maju dan berteriak, “Bunuh orang jahat itu! Agaknya dia telah mengguna-gunai Warsiyem sehingga anak itu membelanya. Dia membunuh adikku Sutowiryo dan kini hendak merusak kehormatan keponakanku Warsiyem!” Penduduk dusun itu semakin marah. “kalian semua sudah buta!” jerit Warsiyem. “Kang Uun ini tidak bersalah. Singowiro itulah penjahat yang sebenarnya! Ah, mundur kalian. Kalian telah buta!” Akan tetapi orang-orang itu sudah terpengaruh lebih dulu oleh keterangan Ki Singowiro dan Mbok Rondo Saritem. Tentu saja mereka lebih percaya kepada dua orang itu dari pada kepada seorang asing yang mungkin benar saja telah mengguna-gunai Warsiyem. Mereka serentak maju untuk menyerang dan mengeroyok Harun. ----------------------- Page 38----------------------- ----------------------- Page 39----------------------- http://zheraf.net “Lepaskan aku, lepaskan!” Warsiyem meronta-ronta. “Mbokde, aku tidak sudi menjadi istri pembunuh ayah ini, lebih baik aku mati! Kang Uun ........!!!” Harun menghentikan larinya ketika dia mendengar jerit Warsiyem, Dari ratap tangis itu tahulah dia bahwa Warsiyem kembali terjatuh ke tangan laki-laki bernama Singowiro itu. Seluruh hasrat hatinya mendorongnya untuk kembali dan menolong gadis itu terlepas dari cengkeraman serigala berujud manusia itu. Akan tetapi dia menggeleng kepala keras-keras. Tidak! Tidak pantas baginya yang bukan apa-apanya Warsiyem merebut gadis itu dari tangan mereka yang berhak. Akan tetapi, terbayanglah di benaknya betapa Warsiyem diperkosa laki-laki jahat dan kejam itu, bagaikan seekor domba yang dirobek-robek, berdarah-darah dan hanya dapat merintih dan mengembik lemah dan memelas, sepasang matanya basah memandang kepadanya dengan penuh permohonan. “Jahanam!” Tiba-tiba dia memaki dan tubuhnya membalik, lalu dia melompat dan berlari cepat sekali mengejar rombongan itu. Dengan hati senang Ki Singowiro memanggul tubuh Warsiyem membayangkan kesenangan yang akan dinimatinya nati bersama pengantin wanita di dalam kamar. Tiba-tiba, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Harun telah berada dibelakangnya. Kedua tangan Harun bergerak, yang kanan merenggut tubuh warsiyem dari atas pondongan Ki Singowiro dan tangan kirinya menghantam dengan kuatnya ke arah tengkuk laki-laki tinggi besar itu. “Wuuttt ...... desss ...... !” “Aughhh ...... !” Tubuh Ki Singowiro terpelanting dan dia roboh tak berkutik lagi karena pingsan seketika. Tubuh ----------------------- Page 40----------------------- ----------------------- Page 41----------------------- http://zheraf.net “Engkau tidak akan menyesal kelak kalau ikut aku? Aku orang miskin, dik War.” “Tidak perduli! Aku ikut engkau, akang Uun!” “Kalau begitu maaf, terpaksa aku harus memondongmu agar dapat berlari cepat!” Setelah berkata demikian, Harun memondong tubuh Warsiyem yang begitu ringan sekali dan dia lalu melompat jauh dan berlari cepat sebelum ada orang dusun yang sempat menyerangnya. Larinya demikian cepat sehingga Warsiyem terpaksa harus memejamkan kedua matanya karena merasa ngeri, seperti dibawa terbang. Mbok Rondo Saritem dan para pengikutnya masih mencoba untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi tak lama kemudian terpaksa mereka menghentikan pengejaran itu karena mereka kelelahan dan telah kehilangan jejak orang yang mereka kejar. Akhirnya, dengan lemas mereka semua kembali ke dusun Bakulan. Ketika mereka tiba di tempat di mana Ki Singowiro tadi roboh pingsan, mereka sudah tidak melihat lagi laki-laki itu. Agaknya kecewa, marah dan juga malu laki-laki ini diam-diam meninggalkan tempat itu. -o0-dwkz-budi-0o- Air yang mancur keluar dari belahan batu-batu itu jernih sekali. Hanya seperti cucuran air kendi, namun amat jernih dan dingin sejuk. Pegunungan itu disebut Pegunungan Seribu atau ada pula yang mnyebutnya Pegunungn Kidul karena letaknya di selatan Nusa Jawa, memanjang dari barat ke timur, seolah menjadi barisan penjaga pantai Laut Kidul atau seperti sebuah bendungan raksasa yang mencegah agar air laut Laut Kidul yang amat luas itu jangan sampai membanjiri dan menenggelamkan Nusa Jawa. ----------------------- Page 42----------------------- ----------------------- Page 43----------------------- http://zheraf.net amat mudahnya laki-laki ini merebutnya dari tangan Ki Singowiro. “Aku tidak mau berkelahi melawan penduduk dusun itu, dik War. Mereka tidak bersalah, hanya ikut-ikutan saja.” Warsiyem juga duduk di atas sebuah batu, mengeluh. “Uhhh, benar penat sekali tubuhku ....... dan lapar ...... dan haus ......!” “Itu ada air jernih.” Harun menudingkan telunjuknya. Warsiyem menoleh dan berseru girang ketika melihat air yang jernih memancur keluar dari belahan batu-batu di belakangnya. Heran sekali betapa kegembiraan mendapatkan air itu seolah telah mencuci bersih semua ketegangan, ketakutan, dan kesedihan perawan itu. Bagaikan anak kecil ia lalu berjingkat ke arah pancuran air dengan hati-hati karena di bagian bawah pancuran itu tanahnya basah dan licin. “Aahhhh ...... segarnya ...... “ Warsiyem menadah air dengan kedua telapak tangan yang telah dicucinya terlebih dahulu, lalu minum air sepuasnya. Terasa segar sejuk, dingin dan manis. Setelah puas minum, ia lalu menadah air untuk mencuci mukanya, lehernya, kedua lengan dan kakinya dari lutut ke bawah. Setelah selesai ia tampak segar kembali. Lenyaplah semua bekas air mata dan debu dari mukanya, membuat kulit wajahnya semringah segar berseri, hanya sekeliling matanya saja yang masih agak sembam karena terlalu banyak menangis. Ia bahkan sudah dapat tersenyum manis sekali, seolah telah melupakan semua perasaan takut dan sedihnya. “Segar sekali mencuci muka dan minum air jernih itu. Cobalah, kang Uun!” Katanya sambil menghampiri Harun. ----------------------- Page 44----------------------- ----------------------- Page 45----------------------- http://zheraf.net tempat duduk mereka di tepi pancuran. Kemudian tanpa berkata-kata Harun membuat api unggun dan membakar umbi singkong yang empat batang itu. Segera tercium bau sedap. “Wah, sedap sekali baunya. Perutku menjadi semakin lapar rasanya, kang.” Kata Warsiyem dan kini sikap gadis itu gembira sekali. Tak lama kemudian kedua orang itu telah duduk di atas batu sambil makan singkong bakar. Panas, mempur, dan gurih manis rasanya, diterima pencernaan mereka dengan perasaan bersukur dan berterima kasih. Setelah minum air jernih, perut mereka menjadi kenyang dan nyaman rasanya. Mereka masih duduk berjemur matahari pagi di atas batu sambil bercakap- cakap. “dik War, sekarang ceritakan kepadaku semua yang telah terjadi menimpa dirimu.” Kata Harun sambil menatap wajah gadis itu. Warsiyem juga mengangkat muka balas memandang. Dua pasang mata bertemu pandang dan saling menyelidiki. Harun menemukan sepasang mata jernih yang memandang penuh rasa berterima kasih, sebaliknya Warsiyem menemukan sepasang mata yang memandangnya penuh kesabaran dan pengertian, sepasang mata yang menimbulkan kepercayaan besar dalam hatinya. “Semenjak kematian bapakku, karena aku tidak mempunyai anggauta keluarga lain. Maka Mbok Rondo Saritem lalu tinggal di rumahku dan ia menguasai rumah itu. Ia adalah kakak tiri mendiang ayahku. Karena ia bersikap baik dan mengurus semua keperluan pemakaman bapak, maka akupun menerima dengan senang hati ketika ia pindah ke rumahku, setelah menjual rumahnya sendiri. Akan tetapi ketika ia memaksaku untuk menikah karena ia sudah menerima mas ----------------------- Page 46----------------------- ----------------------- Page 47----------------------- http://zheraf.net tenteram daripada hidup kaya namun tidak berbahagia. Akan tetapi dari manakah engkau sebenarnya, kang? Engkau seorang asing dari jauh di barat, bagaimana bisa sampai ke sini?’ Harun menghela napas panjang. Kalau bukan kepada Warsiyem, gadis yang menimbulkan rasa iba dan sekaligus juga pesona di dalam hatinya itu, tentu dia tidak akan mau menceritakan riwayat dirinya. “Sepuluh tahun lebih yang lalu, aku tinggal di Negara Pasundan, di tepi laut. Ketika itu aku berusia dua puluh satu tahun dan aku sudah beristeri, mempunyai seorang anak laki- laki yang berusia setahun.” “ah, engkau sudah beristeri dan mempunyai anak?” Tanya Warsiyem mengulang dengan suara datar dan aneh, hatinya terasa kecewa sekali mendengar ini. Harun mengangguk. “Benar. Kemudian malapetaka itu datang menimpa keluargaku. Seorang pembesar dari Galuh berpesiar ke pantai dan ketika dia melihat isteriku, dia tergila- gila. Dengan mengandalkan kekuasaannya dia mengerahkan pasukan pengawalnya untuk menculik isteriku. Aku mengamuk dan dikeroyok banyak pengawal, sedangkan isteriku dilarikan oleh pembesar itu. Ketika aku berhasil merobohkan para pengeroyok dan melakukan pencarian, aku mendapatkan isteriku telah membunuh diri karena diperkosa oleh pembesar itu ........ “ “Ahhh ....., keparat ...... ! Jahat sekali pembesar itu!” teriak Warsiyem penasaran. “Di mana-mana kejahatan dilakukan orang-orang yang sudah kemasukan kekuasaan iblis, dik.” “Kasihan engkau, kang Uun. Lalu bagaimana?” ----------------------- Page 48----------------------- ----------------------- Page 49----------------------- http://zheraf.net “Siapa Gusti Allah itu, akang Uun?” “Dalam bahasamu adalah Hyang Maha Wisesa yang mengatur seluruh jagad raya! Setelah meninggalkan Bakulan, aku tidak pergi jauh, berkeliaran di pedusunan daerah pantai laut Kidul. Aku amat tertarik dengan daerah ini, mengingatkan aku akan kampung halamanku di pantai lautan ketika aku masih berada di Galuh.” “Galuh?” “Maksudku Negeri Pasundan. Nah, di suatu dusun aku mendengar bahwa di Bakulan akan ada pesta pernikahan. Entah mengapa hatiku tertarik dan malam tadi aku berada di luar pekarangan rumahmu. Aku melihat bahwa yang menjadi pengantin adalah engkau. Ketika aku melihat pengantin pria masuk, aku terkejut mengenal orang jahat itu. Kemudian aku melihat engkau melarikan diri, dikejar-kejar. Maka aku lalu berlari mendahului dan menghadang lalu menolongmu dari tangan penjahat itu. Begitulah, dik War. Engkau tahu sekarang bahwa aku hanyalah seorang pelarian, seorang buruan yang hidup merantau tanpa tempat tinggal yang tetap, orang miskin, seorang duda yang meninggalkan anaknya di barat sana. Bagaimana seorang gadis seperti engkau dapat ikut dengan aku dan hidup sengsara dan miskin?” Warsiyem merasa terharu. “Akang Uun, akupun hanya seorang gadis dusun yang miskin dan bodoh. Bahkan aku sekarang dipandang sebagai seorang gadis yang tidak tahu aturan, yang melanggar adat di dusun, menolak dikawinkan bahkan melarikan diri dengan seorang laki-laki asing. Aku tentu dianggap kotor dan hina oleh penduduk dusunku.” “Sama sekali tidak, dik War. Engkau seorang gadis yang bijaksana dan cantik,” kata Harun dengan suara tegas. ----------------------- Page 50----------------------- ----------------------- Page 51----------------------- http://zheraf.net “Jangan khawatir, dik. Perjodohan ditentukan oleh Tuhan dan disucikan oleh Tuhan. Kita dapat menikah di hadapan Allah dengan diresmikan oleh seorang penghulu atau Suranggama.” “Apa maksudmu, kang?” “Marilah kita berangkat, dik, dan engkau nati akan mengerti.” -o0-dwkz-budi-0o- Biarpun pada waktu itu Agama Islam sudah mulai tersebar di Nusa Jawa, terutama di pesisir utara, bahkan Sultan Agung sebagai raja Mataram juga seorang muslim, namun agama ini merupakan agama baru bagi penduduk pedalaman, apalagi di daerah selatan. Ada memang beberapa orang yang sudah beragama Islam memperkenalkan agama ini di dusun- dusun daerah selatan, namun penduduk menerimanya tanpa meninggalkan tradisi yang terpengaruh agama lam, yaitu agama Hindu dan Buddha. Karena itu, tidak mudah bagi Harun untuk menemukan seorang penghulu yang dapat mengesahkan pernikahannya dengan Warsiyem secara Islam, yaitu agama yang dianutnya. Akan tetapi, akhirnya disebuah dusun Klitren di daerah Gunung Kidul itu, dengan girang dia dapat menemukan seorang Suranggama yang dapat menikahkan mereka secara Islam. Upacara pernikahan dilakukan dengan sederhana sekali di rumah sang suranggama. Tidak ada tamu yang hadir dan sebagai saksinya adalah istri dan putera sang suranggama sendiri karena baik Harun maupun Warsiyem tidak mempunyai seorang sanak keluarga di daerha itu. Kerena tidak memiliki ----------------------- Page 52----------------------- ----------------------- Page 53----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ “Aku ....... aku merasa nelangsa, kang ....... tidak ada seorangpun yang menghadiri dan menjadi saksi pernikahan kita ...... “ Ia terisak dan menangis dalam rangkulan Harun. Harun mendekap kepala isterinya dan berkata menghibur, “Jangan bersedih, isteriku. Kalau pernikahan kita sudah disahkan di hadapan Gusti Allah, berarti seluruh jagad raya telah menjadi saksi. Marilah, mari kita pergi ke pantai Laut Kidul dan kita rayakan pernikahan kita di sana, disaksikan semua unsur ciptaan Gusti Allah Yang Maha Kuasa.” Warsiyem tidak tahu apa yang dimaksudkan suaminya, akan tetapi ia menurut saja ketika digandeng dan diajak berjalan menuju selatan oleh Harun. -o0-dwkz-budi-0o- Pantai itu indah dan bersih hamparan pasir putih berkilauan tertimpa sinar matahari. Di perbatasan antara pantai berpasir putih dan daratan yang mengandung tanah berpadas tumbuh banyak pohon-pohon, diantaranya pohon nyiur yang batangnya tinggi dan buahnya lebat. Tempat itu sunyi sekali. Air laut yang bergelombang selalu bergerak dan menimbulkan suara bergemuruh, kadang mendesis, kadang seperti suara air mendidih dan sesekali terdengar menggelegar kalau ada ombak besar menghantam dinding batu karang di sebelah sana. Laut Kidul terhampar luas tanpa tepi, membayangkan sebuah alam lain yang penuh rahasia, hanya tampak kebiruan dan sejauh mata memandang hanya tampak garis melintang lurus. Tak tampak sebuahpun perahu. Pantai Laut Kidul di daerah ini memang amat ganas ombaknya sehingga tak seorangpun nelayan berani menjelajahi bagian ini. Terlalu berbahaya bagi mereka. ----------------------- Page 54----------------------- ----------------------- Page 55----------------------- http://zheraf.net merangkapkan kedua tangan di depan dada seperti menyembah. Gerakan ini diikuti Warsiyem dengan patuh. “Gusti Allah Yang Maha kuasa, hamba berdua Harun Hambali dan Warsiyem saat ini bersumpah untuk menjadi suami isteri yang saling setia dan saling mencinta di hadapan Paduka dan disaksikan oleh Bumi, Langit, Lautan, Matahari dan Pohon-pohonan. Semoga Tuhan memberkati hamba berdua.” Harun lalu bersujud sampai dahinya menyentuh tanah sebanyak tiga kali diikuti pula oleh Warsiyem. Setelah selesai melakukan upacara pernikahan yang amat bersahaja namun khidmat itu, Harun lalu bangkit berdiri dan menarik tangan Warsiyem supaya berdiri. Dia melihat betapa Warsiyem menangis. Dia memeluk dan Warsiyem balas merangkul. “Dik War, kau isteriku ........ “ “Kang Harun, suamiku ........ “ Angin laut semilir. Ombak menggelegar menghantam batu karang, lalu mendesis dan bergemuruh. Lidah air mengalir dan makin menipis di pasir, kemudian lenyap terhisap pasir. Alun berkejaran, bermain-main seperti sekawanan kanak-kanak bersuka ria berlari-larian menuju pantai, bergelut, bertabrakan dan berteriak-teriak. Selama seminggu sepasang suami isteri ini hidup berdua saja di tepi Laut Kidul. Mereka berdua tenggelam dalam kebahagiaan yang sukar dilukiskan kata-kata. Yang ada adalah kasih sayang dan kemesraan, biarpun mereka hidup dengan amat bersahaja. Makan buah-buahan seadanya, ikan- ikan yang ditangkap Harun dengan mempergunakan ranting yang runcing, atau menangkap binatang hutan atau burung, merobohkannya dengan sambitan batu, Mereka mandi dan ----------------------- Page 56----------------------- ----------------------- Page 57----------------------- http://zheraf.net tetangganya di dusun Gampingan, dan mereka berdua juga selalu membuka hati dan tangan untuk membantu apabila ada tetangga sedang kerepotan. Oleh karena itu, biarpun Harun merupakan seorang Sunda yang cara bicaranya menunjukkan bahwa dia seorang asing, namun dengan sikap dan kelakuan yang baik, penduduk dusun Gampingan menerimanya sebagai seorang tetangga yang baik dan mereka bergaul akrab dengannya. Apalagi setelah Harun menunjukkan bahwa dia mengerti akan ilmu pengobatan, suka mengobati orang-orang sakit dan menyembuhkan mereka tanpa minta imbalan. Para penghuni Gampingan jadi semakin segan dan suka kepadanya. Baru sekarang Harun Hambali mengalami kehidupan yang benar-benar tenteram, tenang dan penuh kedamaian semenjak dia meninggalkan negerinya. Kehidupan di dusun dekat lautan itu jauh dari kota besar, jauh dari kerajaan dan jauh dari keramaian. Dia merasa yakin bahwa para pemburunya, orang-orang yang datang dari Galuh itu, tidak akan sampai ke dusun yang jauh di selatan dan sunyi ini. Maka, dipun dapat mengerahkan seluruh tenaga dan perhatiannya untuk bekerja dengan hati mantap sehingga hasil sawah ladangnya ditambah hasil warung nasi isterinya lebih dari cukup memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dia benar-benar dapat merasakan kebahagiaan orang berumah tangga. Isterinya amat mencintanya dan para tetangga juga akrab dan baik terhadap mereka. Setahun kemudian Warsiyem mengandung. Tentu saja suami isteri itu menjadi gembira dan merasa berbahagia sekali. Harun yang pernah mempelajari ilmu pengobatan menjaga agar isterinya selalu dalam keadaan sehat, agar kandungannya menjadi sehat pula dan kuat. ----------------------- Page 58----------------------- ----------------------- Page 59----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Akan tetapi tiba-tiba saja segala yang berada dalam rumah dan warung itu terguncang-guncang kuat sekali. Meja bergoyang-goyang, semua yang berada di atasnya tumpah. Warsiyem terhuyung dan untung cepat dirangkul suaminya sehingga ia tak sampai terpelanting roboh. Akan tetapi empat orang laki-laki yang sedang makan itu terpelanting jatuh dari bangku yang mereka duduki. “Lini ......! Aya Lini ......!” (Gempa ......! Ada gempa ......!”) teriak Harun. “Lindu ......! Lindu ......!” (Gempa ......! Gempa ......!”) teriak yang lain. “Cepat lari ke luar ......!!” Mereka berempat berlompatan dan menghambur ke luar. Harun segera maklum bahwa terjadi gempa bumi yang amat kuat. Dia harus cepat membawa istrinya ke luar, akan tetapi terlambat karena pada saat itu, atap warung itu runtuh ke bawah, ke arah mereka! Melihat dua tihang penyangga atap yang melintang runtuh dan akan menimpa mereka, Harun cepat menyambut dan mengangkap dua tihang itu, menahan dengan kedua tangannya. Tentu saja tihang itu berat bukan main karena dibebani atap. Namun dengan pengerahan sekuatnya Harun dapat menahan atap itu, sedangkan Warsiyem yang berada di bawahnya karena wanita itu berjongkok saking takutnya, dengan tubuh gemetar dan wajah pucat, memandangnya dengan mata terbelalak. Ketika empat orang laki-laki yang kini berada di luar rumah itu melihat betapa atap runtuh dan kini ditahan oleh kedua tangan Harun, mereka cepat berlari masuk untuk menolong. ----------------------- Page 60----------------------- ----------------------- Page 61----------------------- http://zheraf.net pundak dan tengkuk, lalu mengurut punggung dan menekan titik bawah hidung akhirnya Warsiyem mengeluh panjang menggerakkan kepalanya dan membuka matanya. Begitu siuman, suara pertama yang keluar dari mulutnya adalah, “Akang ...... kang Uun ...... engkau tidak apa-apa ...... ?” Harun yang duduk di tepi dipan merangkul isterinya. “Tidak, dik, aku selamat, kita semua selamat.” Warsiyem menangis saking lega dan girangnya. rumah mereka yang roboh, atas kerja gotong royong penduduk yang rumahnya tidak roboh dapat dibangun kembali, demikian pula rumah-rumah lain yang roboh akibat gempa bumi yang kuat itu. Akan tetapi malam itu Warsiyem melahirkan. Mungkin terdorong kekagetannya karena terjadinya gempa bumi pagi tadi, atau memang sudah tiba waktunya ia melahirkan. dengan bantuan seorang dukun bayi yang berpengalaman di dusun Gampingan itu, Warsiyem melahirkan seorang bayi laki-laki dalam keadaan sehat selamat dan ia sendiripun dalam keadaan sehat. Malam itu, dalam rumah mereka yang sudah dibangun kembali, walaupun keadaan dalam rumah masih morat-marit akibat gempa, Warsiyem rebah di atas dipan mengeloni bayinya dan Harun duduk di tepi dipan sambil memandang kepada isteri dan anaknya dengan wajah berbahagia. “Lihat, kang Uun ...... anak kita ganteng, ya? Mulut dan matanya mirip engkau.” kata Warsiyem lirih sambil tersenyum, senyum lembut yang masih membayangkan keletihan melahirkan tadi. Harun tersenyum dan mengelus dahi isterinya, menyingkirkan segumpal rambut halus yang terurai ke wajah ----------------------- Page 62----------------------- ----------------------- Page 63----------------------- http://zheraf.net “Aku setuju saja dengan pilihanmu itu, kang Uun. akan tetapi aku ingin memanggil anak kita ini Aji, maka kalau engkau setuju aku ingin memberinya nama Lindu Aji agar sebutannya menjadi Aji.” Harun mengangguk-angguk dan tersenyum. “Baiklah, anak kita ini bernama Lindu Aji. semoga dia kelak seperkasa gempa dan sekokoh bumi.” Demikianlah, anak itu diberi nama Lindu Aji dan kehidupan mereka berjalan dengan lancer dan wajar. Harun dan Warsiyem membenahi warung mereka kembali dan Harun bekerja lagi seperti biasa. Harun adalah seorang yang amat memperhatikan pendidikan bagi puteranya. Dia maklum dari pengalaman hidupnya sendiri betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi seseorang untuk bekal hidup di dalam dunia ini. Orang bodoh menjadi makanan orang pintar, dan orang lemah menjadi korban penindasan orang kuat. Oleh karena itu, sejak Lindu Aji berusia tujuh tahun, dia menggembleng anaknya itu dengan olah raga terutama ilmu silat dan diapun mengundang seorang penduduk dusun Gampingan yang pandai membaca dan menulis agar mengajar anaknya membaca dan menulis. Akan tetapi agaknya telah ditakdirkan bahwa dia dan istrinya hanya mempunyai seorang anak, karena biarpun Lindu Aji telah menjadi besar, Warsiyem tidak lagi mengandung. Pada suatu senja, warung Warsiyem sudah tutup dan Harun juga sudah pulang dari ladang. Seperti biasa pada tiap hari senja kalau tidak turun hujan, Harun selalu melatih ilmu silat kepada Aji. Sudah tiga tahun dia melatih silat kepada anaknya sejak Aji berusia tujuh tahun. Pada senja hari itu, Aji ----------------------- Page 64----------------------- ----------------------- Page 65----------------------- http://zheraf.net belajar membaca dan menulis dari Bapak Sastro, seorang penduduk Gampingan yang terpelajar dan diwaktu mudanya tinggal di Mataram. Dalam usianya yang sepulu tahun itu Aji sudah pandai membaca dan menulis. Bahkan Pak Sastro mulai mengajarkan kesusasteraan kepadanya, mengajari tatakrama, bertembang, bahkan menabuh gambang, meniup suling dan menari! Semua itu tanpa imbalan karena Pak Sastro sendiri suka mengajar Aji yang ternyata cerdik dan mudah menguasai pelajarannya. Di samping itu, Pak Sastro merasa berhutang budi kepada Harun yang pernah mengobati dan menyembuhkan dia dari penderitaan penyakit yang berat dan gawat. Pada masa itu, Agama Islam belum begitu diresapi secara mendalam sampai ke pelosok dan daerah yang terpencil. Umatnya yang benar-benar mendalami Agama Islam sebagian besar adalah mereka yang berdiam di pantai utara Nusa Jawa. Bahkan yang sempat mencapai daerah pedalaman di selatan, diterima setengah-setengah sehingga bercampur dengan tradisi yang berasal dari agama terdahulu, yaitu Agama Buddha yang juga sudah bercampur dengan tradisi berasal dari Agama Hindu. Dari perpaduan agama-agama inilah muncul semacam filsafat Kejawen yang disesuaikan dengan tradisi dan kebudayaan. Aji dibesarkan dalam keadaan alam pikiran dan kebudayaan ini. Pak Sastro adalah seorang ahli filsafat Kejawen yang banyak mengandung pelajaran Agama Islam. Dia tidak sempat mendalami pelajaran Agama Islam maka tidak dapat dikatakan ahli dalam agama itu. Semua pengetahuan filsafatnya itu dia ajarkan pula kepada Aji. Semua ini ditambah lagi oleh filsafat yang diajarkan ayahnya sendiri. ----------------------- Page 66----------------------- ----------------------- Page 67----------------------- http://zheraf.net penderitaan batin. tidak ada kesusahan yang tidak lenyap pula bersama lewatnya waktu. Waktu amat ajaib. Apabila kita memperhatikan, maka Sang Waktu merayap lebih lambat daripada majunya seekor siput. Namun apabila kita lengah dan tidak memperhatikannya, dia akan melaju lebih cepat daripada kilat! Kalau tidak diperhatikan, waktu bertahun-tahun rasanya seperti baru kemarin saja, sebaliknya kalau kita memperhatikan, waktu sehari rasanya seperti bertahun-tahun. Demikian pula dengan kehidupan keluarga Harun Hambali. Sang Waktu melesat sedemikian cepatnya sehingga tahu-tahu lima belas tahun telah lewat sejak Lindu Aji dilahirkan! Padahal kalau Harun dan Warsiyem mengenang kelahiran anak tunggal mereka itu, rasanya seperti baru terjadi kemarin! Lindu Aji kini telah menjadi seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun. Tubuhnya tinggi tegap, kaki dan tangannya kokoh terlatih dan terbiasa dengan pekerjaan berat. Dadanya bidang dan menyembunyikan tenaga yang dahsyat. Wajahnya tampan, dengan dahi lebar, alis hitam tebal, sepasang matanya membayangkan kesabaran dan kelembutan, namun terkadang pandang mata itu mencorong dan bersinar penuh kekuatan dan wibawa. Hidungnya mancung dan mulut yang kecil serta dagunya membuat wajahnya tampak manis. dia selalu berpakaian sederhana, dengan celana komprang sebatas betis dan baju dengan potongan bersahaja, bagian dadanya setengah terbuka. ----------------------- Page 68----------------------- ----------------------- Page 69----------------------- http://zheraf.net terbebas sama sekali dari perasaan menjadi orang buruan. Setelah lewat sedemikian lamanya dia yakin bahwa para pemburunya tentu sudah kembali ke Galuh dan dia tidak menjadi pelarian lagi. Dia dan anak isterinya hidup tidak kekurangan di dusun itu, tenang tenteram penuh damai dan seluruh penghuni dusun Gampingan yang hanya terdiri dari sekitar seratus keluarga akrab dengan keluarganya. Semua penghuni dusun Gampingan itu seakan-akan menjadi keluarga besar, hidup rukun dan bergotong royong. Kebahagiaan pasti terasa setelah orang tidak membutuhkan atau tidak mengejar apa-apa. Merasa cukup dengan apa yang ada, selalu bersyukur kepada yang Maha Kasih atas segala yang diperolehnya meniadakan keinginan untuk mendapatkan apapun yang tidak dimilikinya. Pengejaran terhadap sesuatu yang tidak dimilikinya inilah, apa lagi yang tidak akan terjangkau olehnya, akan meniadakan kebahagiaan. pengejaran terhadap sesuatu itu tentu didasari anggapan bahwa yang dikejar itu adalah lebih baik dan akan lebih menyenangkan daripada apa yang telah dimilikinya. Keinginan mendapatkan sesuatu yang belum kita miliki ini menghancurkan nilai dari apa yang telah kita miliki. Pada hal, pengejaran ini hanya mendatangkan dua macam akibat. Kalau tidak bisa didapatkan, akan menimbulkan kecewa, marah dan duka. sebaliknya kalau bisa didapatkan, akhirnya akan menimbulkan kebosanan! Karena pengejaran terhadap sesuatu itu tiada lain adalah pengejaran terhadap kesenangan, dan kesenangan dunia ini pasti berakhir dengan kebosanan. Inilah ulah napsu setan. Setan selalu menyeret kita untuk mengejar kesenangan demi kesenangan sehingga kita manusia yang lemah ini terkecoh, terpikat dan lupa bahwa di dalam ----------------------- Page 70----------------------- ----------------------- Page 71----------------------- http://zheraf.net Namun, tidak ada yang langgeng (abadi) di dunia ini. kehidupan manusia tidak mungkin dapat terlepas dari pengaruh dua unsur yang berlawanan. sudah demikianlah kenyataannya dan karena kemampuan pikiran manusia tidak akan mampu menagkap rahasia besar ini, maka kita hanya dapat mengatakan bahwa memang sudah demikianlah rupanya kehendak tuhan. Segala sesuatu di dunia ini pasti ada imbangannya atau lawannya. Justeru adanya lawan itulah yang membuat sesuatu itu ada. tidak akan ada siang kalau tidak ada malam, tidak akan ada yang disebut terang kalau tidak ada gelap. Yang satu menentang yang lain, akan tetapi justeru yang satu mendukung adanya yang lain. Saling bertentangan namun juga saling mendukung. justeru unsur dua yang saling bertentangan inilah yang menjadikan sesuatu. Tuhan yang Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu melalui bersatunya dua unsur yang saling bertentangan ini. bahkan diri manusia inipun terdiri dari kedua unsur yang saling bertentangan ini, yaitu baik dan buruk. roh baik dan roh buruk saling berebut menguasai diri manusia dan kita tidak mungkin sepenuhnya dikuasai oleh yang baik atau yang buruk saja. Kalau kita ini baik sepenuhnya, maka kita bukan manusia lagi, melainkan mungkin disebut malaikat. Sebaliknya kalau kita ini sepenuhnya buruk, kita bukan manusia lagi, melainkan setan! Susah senang silih berganti mengisi kehidupan manusia. demikian pula terjadi dalam kehidupan Harun sekeluarga. Setelah bertahun-tahun hidup tenteram di dusun Gampingan, pada suatu hari terjadi hal itu, yang akan mendatangkan perubahan besar dalam kehidupan mereka. Pada suatu senja, seperti biasa Harun melihat Aji berlatih silat di pekarangan depan. pemuda itu sudah ----------------------- Page 72----------------------- ----------------------- Page 73----------------------- http://zheraf.net Tiba-tiba Harun berseru, “Ujang ......! Ujang Karim ......! Engkau, engkau Ujang Karim, bukan?” Harun lari menghampiri orang yang masih berdiri bengong di tepi jalan depan pekarangan rumahnya itu. Laki-laki itu memandangi Harun dengan penuh perhatian dan ragu. Rasanya dia mengenal betul laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh jangkung, rambutnya sudah dipotong pendek seperti penduduk biasa, demikian pula pakaiannya. Akan tetapi wajah itu. dia mengenal benar! “Harun Hambali .........engkaukah ini? Ya Tuhan, engkau benar Harun sahabatku itu?” Mereka tertawa dan berpelukan. “Ujang, mari kita ke dalam dan bicara. Engkau harus menceritakan segalanya kepadaku!” seru Harun dan dia membantu orang itu membawa barang dagangannya memasuki pekarangan dan rumah. Aji dengan ramah menyuruh anak anak yang tadi mengikuti tukang kelontong itu bubaran dan diapun ikut memasuki rumah. Ibunya yang sudah menutup warungnya sedang sibuk mempersiapkan makan malam untuk mereka di dapur. Aji adalah seorang pemuda yang sejak kecil telah diajar sopan santun dan tatakrama. Maka, melihat ayahnya bercakap- cakap dengan asyiknya dengan tamunya itu dalam bahasa Sunda yang hanya dimengertinya sepotong-sepotong, diapun tidak berani mendekat dan membiarkan mereka bicara berduia saja di ruangan depan. Dia sendiri lalu masuk ke dalam, terus ke dapur menemui ibunya. “aji, engkau sudah selesai latihan? Hayo cepat mandi dan sebentar lagi kita makan malam.” ----------------------- Page 74----------------------- ----------------------- Page 75----------------------- http://zheraf.net bahkan tamunya ini yang dulu dia titipi anaknya! Orang itu bernama Ujang Karim. tentu saja melihat Ujang tiba-tiba datang ke dusun Gampingan dan bertemu dengan dia, Harun menjadi terkejut, heran dan girang karena dia ingin sekali mendengar tentang keadaan di perkampungannya, terutama sekali tentang anaknya. “Kapan engkau datang ke Mataram, Ujang? Seperti mimpi rasanya aku dapat bertemu dan bercakap-cakap denganmu!” kata Harun. “Aku juga merasa seperti mimpi, Uun. baru setahun aku datang di Mataram. Sebetulnya akupun ingin mencarimu, akan tetapi tidak ada orang Sunda yang berada di kota pasisiran mengetahui siapa engkau dan di mana engkau berada. Aku hampir putus asa untuk dapat berjumpa denganmu.” “Nanti dulu, Ujang. Ceritakanlah dari permulaannya. tentang kehidupanmu di sana, bagaimana dengan anakku si Udin, dan bagaimana pula engkau sampai meninggalkan Galuh dan tiba di Mataram.” Harun bertanya dengan ingin tahu sekali. Ujang menhela napas panjang dan pada saat itu, muncul Aji membawa baki terisi cerek air the dan dua buah cangkir. dengan membungkuk dan sikap hormat dia meletakkan poci the dan dua buah cangkir itu di atas meja, lalu berkata kepada tamu itu dalam bahasa Sunda yang patah-patah. “Paman, silakan minum teh.” Kemudian dia membungkuk dan mengundurkan diri. “Aih, Harun. Anak itu bisa bicara bahasa kita. siapakah dia?” “Nanti saja kuceritakan semua tentang diriku, Ujang. sekarang lanjutkan dulu ceritamu, tentang keadaanmu di sana ----------------------- Page 76----------------------- ----------------------- Page 77----------------------- http://zheraf.net “Aih, maafkan aku, Ujang. Aku telah membuatmu sengsara. Sungguh mati aku tidak mengira bahwa karena kutitipi anakku, engkau mengalami itu semua. Maafkan aku.” “Sudahlah, semua telah terjadi. Terpaksa aku membawa isteriku dan anakmu Udin pergi melarikan diri ke selatan. Kami hidup di dusun Kalipucang, jauh dari Galuh. aku hidup sebagai petani di tempat baru itu. akan tetapi karena daerah tempat tinggal kami itu sering dilanda banjir, aku gagal. Kami hidup dalam keadaan yang serba kekurangan, hidup miskin. Akhirnya isteriku pergi meninggalkan aku, minggat dengan laki-laki lain. Ketika itu Hasanuddin, anakmu itu, berusia kurang lebih tujuh tahun. Aku hidup menyendiri, kemudian aku menitipkan Udin kepada Aki Somad, seorang pertapa dari Nusa Kambangan yang sedang berkelana ke dusun kami. Aki Somad menyatakan suka kepada Udin dan mau menerimanya sebagai murid. Dia lalu membawa Udin pergi dan sampai bertahun-tahun aku tidak pernah lagi bertemu dengan dia.” “Apa? Kauserahkan anakku kepada orang lain?” “Terpaksa, Harun. Bagaimana mungkin aku yang hidup menyendiri harus merawat dan mendidik dia? Pula, Aki Somad itu bukan orang sembarangan. Baru seminggu berada di dusun kami dan orang-orang mengabarkan bahwa dia itu seorang pertapa sakti, bahkan telah menyembuhkan banyak orang yang menderita sakit di dusun kami.” “Dan engkau tidak menjenguknya?” Tanya Harun penasaran. ----------------------- Page 78----------------------- ----------------------- Page 79----------------------- http://zheraf.net ketika dia memperkenalkan dirinya, barulah aku tahu bahwa dia itu bukan lain adalah Hasanudin anakmu!” “Dia ...... dia datang kepadamu? Ah, bagaimana keadaannya?” “Ya, dia datang, kurang lebih setahun yang lalu ketika aku hendak berangkat ke timur, ke daerah Mataram. Usianya sekitar dua puluh lima tahun. Dia telah menjadi seorang pemuda tinggi besar yang gagah perkasa, akan tetapi sikapnya, Harun, ahh ...... “ Ujang Karim menghentikan pembicaraannya dan menghela napas sambil mengeleng-geleng kepalanya. “Dia memaksa dan mengamcam aku agar aku segera pergi ke Mataram mencarimu. Sikapnya kasar sekali dan sama sekali tidak menghargai aku yang sudah lebih dari enam tahun memelihara dan membesarkannya, menjadi pengganti orang tuanya, bahkan dia sudah menganggap aku sebagai ayah sendiri, menyebut aku ayah dan diapun tidak tahu bahwa dia bukan anak kandungku.” “Tapi ...... tapi bagaimana dia menyuruhmu pergi mencariku?” Tanya Harun bingung, hatinya penuh ketegangan dan juga penuh duka mengingat bahwa puteranya telah menjadi pemuda jahat yang mencuri, bahkan bersikap tidak selayaknya terhadap Ujang yang membesarkannya. “Bagaimana dia tahu tentang aku dan apa yang dia lakukan terhadap dirimu, Ujang?” “Aku sendiri heran bagaimana dia tahu tentang dirimu. Aku dan istriku tidak pernah bercerita bahwa dia itu anakmu. Akan tetapi dia datang dengan sikap galak sekali, dan engkau tahu apa yang dia lakukan? Aku mempunyai sebuah arca kecil dari batu hitam yang amat keras dan kuat. Akan tetapi dia memegang arca itu dan meremasnya. Arca itu hancur lebur seperti tepung ketika dia meremasnya! Belum pernah selama ----------------------- Page 80----------------------- ----------------------- Page 81----------------------- http://zheraf.net Setelah anaknya pergi, Harun mendekatkan kain bertulis itu kepada lampu gantung dan dia mulai membaca. Tulisan itu cukup terang dan huruf-hurufnya indah dan kuat, Harun Hambali, Engkau adalah seorang pengecut dan seorang ayah yang tidak bertanggung jawab, menyelamatkan diri sendiri dan menyia-nyiakan anaknya. Tunggu saja, aku pasti datang membunuhmu! Hasanudin. “Ampun Gustiii ......!” Harun menjadi lemas. surat itu terlepas dari tangannya yang menggigil, wajahnya pucat dan dia tentu akan jatuh terkulai kalau saja sesosok bayangan tidak dengan cepat berkelebat dan menangkap lalu merangkul tubuhnya. Bayangan itu adalah Lindu Aji yang tadi telah mendengar seruan ayahnya dan cepat meloncat memasuki ruangan itu sehingga masih sempat mencegah ayahnya roboh terguling. Ketika melihat ayahnya pingsan, pemuda itu lalu memondongnya dan merebahkan tubuhnya di atas sebuah dipan yang berada di ruangan itu. Kemudian dia melihat sehelai kain bersurat yang tadi terlepas dari tangan ayahnya. sekilas dibacanya isi surat itu, lalu dilipat disimpannya, diselipkan di ikat pinggang celananya. Kemudian dia menghampiri ayahnya dan menggunakan jari-jari tangannya mencubit otot besar di antara ibu jari dan telunjuk tangan ayahnya dan menekan-nekan bawah hidungnya. Harun mengeluh dan siuman dari pingsannya. dia mengalami guncangan hebat sekali dan ada rasa nyeri di dalam ----------------------- Page 82----------------------- ----------------------- Page 83----------------------- http://zheraf.net “Engkau mengambil kain bersurat tadi?” “Benar, Pak. Ini suratnya.” Aji mengambil surat itu dari balik ikat pinggangnya dan menyerahkannya kepada Harun. “Engkau tadi membacanya?” Aji mengangguk sambil menundukkan mukanya. “Benar, Pak.” “Lupakan apa yang kaubaca itu! Tidak ada artinya sama sekali.” “Akan tetapi, Pak ...... “ “Aji, sejak kapan engkau membantah bapakmu? Turuti saja nasihatku, jangan pikirkan dan lupakan isi surat yang kaubaca tadi. Mengerti?” “Sumuhun, mangga, Pak.” kata Aji yang lalu mengundurkan diri, kembali melanjutkan pekerjaannya. “Anakmu yang ini sungguh patuh kepadamu. Tampaknya dia anak yang baik dan kulihat tadi ketika dia berlatih silat, dia sudah trampil dan mahir sekali.” Harun menghela napas panjang. “Mudah-mudahan begitu. semoga Allah Subhanhu Wa Ta’allah selalu membimbingnya melalui jalan kebenaran dalam hidupnya.” “Kulihat beda sekali dengan Udin. Dia memang tampan dan gagah tampaknya, akan tetapi sikapnya sungguh menyeramkan sekali. Ada yang aneh dalam pandang matanya, begitu menakutkan dan mengandung wibawa hebat, seperti mata harimau.” “Semoga Tuhan mengampuninya. Biarlah kalau dia hendak membunuhku, Ujang, karena akupun merasa dan menyadari akan kesalahanku terhadap dia. Dia benar, aku seorang ayah yang tidak bertanggung jawab. Akan tetapi, apa yang kau ketahui tentang orang-orang Galuh yang mencariku ----------------------- Page 84----------------------- ----------------------- Page 85----------------------- http://zheraf.net minta pengadilan kepada penguasa di Galuh mungkin engkau malah yang ditangkap dan dihukum. Kita semua tahu bahwa hokum diadakan hanya untuk melindungi orang-orang yang berkuasa saja.” Harun menghela napas panjang. “Apa anehnya itu, Ujang? Kekuasaan itulah hukum yang berlaku. Orang-orang yang berkuasa menentukan hukum sendiri dan rakyat jelata harus tunduk kepada hukum mereka. Akan tetapi di Mataram ini lain keadaannya, Ujang. di sini terdapat banyak pejabat tinggi yang bijaksana dan yang membela rakyat. Sultan Agung adalah seorang raja yang bijaksana bertindak tegas terhadap para pamong praja yang lalim.” Pada saat itu, Aji muncul dalam ruangan itu dan berkata kepada ayahnya, “Kamar mandi sudah siap, Pak. Airnya sudah penuh. silakan bapak dan paman mandi.” Setelah berkata demikian, Aji lalu mengundurkan diri lagi. Harun mempersilakan temannya untuk mandi. Tak lama kemudian keduanya sudah mandi dan bertukar pakaian, lalu duduk kembali ke ruangan itu. Muncul Warsiyem dari dalam, mempersilakan suami dan tamunya untuk makan malam. Melihat isterinya, Hrun lalu berkata kepada Ujang. “Ah, engkau belum berkenalan dengan isteriku, Jang! Nah, ini Warsiyem isteriku, ibu Lindu Aji.” Kemudian kepada isterinya dia memperkenalkan temannya. “Dik War, ini Ujang Karim, seorang sahabatku yang datang dari Galuh.” Ujang bangkit dari tempat duduknya dan membungkuk kepada Warsiyem. “Maafkan kalau kunjungan saya ini mengganggu,” kata Ujang. ----------------------- Page 86----------------------- ----------------------- Page 87----------------------- http://zheraf.net “Aku hanya ingin tahu, ibu. Hasanudin itu mengirim surat kepada ayah, mengatakan ayah seorang pengecut dan ayah tidak bertanggung jawab. Apa artinya itu, ibu?” Warsiyem memandang ragu. Tentu saja ia sudah mendengar pengakuan suaminya bahwa suaminya meninggalkan seorang anak laki-laki bernama Hasanudin di galuh, Pasundan. suaminya melarang ia untuk menceritakan tentang hal itu kepada Aji, akan tetapi sekarang, entah bagaimana, Aji mengetahui nama itu. Ia tidak berani melanggar larangan suaminya. “Aji, megapa engkau menanyakan itu? Aku sendiri juga tidak tahu benar.” “Akan tetapi, aku harus tahu, ibu! Hasanudin itu mengancam ayah. aku harus membela ayah!” kata Aji dengan alis berkerut. Ibunya menghela napas panjang. “Mengapa tidak kautanyakan saja sendiri kepada ayahmu?” “Aku akan bertanya sekarang juga, ibu!” “Aji, habiskan dulu makanmu di piringmu!” kata Warsiyem dengan nada menegur. Lindu Aji tidak membantah. Dia segera menghabiskan nasi dan lauknya di atas piringnya dengan cepat, lalu minum air kendi, kemudian dia bangkit dan melangkah tegap menuju ke luar, ke pendapa di mana ayahnya dan tamunya sedang bercakap-cakap. “Bapak ......!” Harun dan Ujang menoleh dan melihat Aji berdiri di situ. “Eh, ada apakah, Aji?” tanya Harun. Aji melangkah maju dan berdiri di depan ayahnya. Sikapnya masih sopan seperti biasa, pandang mata yang ----------------------- Page 88----------------------- ----------------------- Page 89----------------------- http://zheraf.net surat oleh anakku yang kutinggalkan di Pasundan. Hasanudin itu adalah anakku yang kutinggalkan di sana.” Berdebar jantung Aji, penuh ketegangan dan penasaran. “Akan tetapi kalau dia anak bapak, kenapa mengancam hendak membunuh bapak?” Harun menghela napas panjang, “Entahlah ...... agaknya kakakmu itu telah menyeleweng dan tersesat, atau mungkin dia marah dan mengandung dendam sakit hati kepadaku.” “Akan tetapi dia mengancam hendak membunuh bapak! Ini sudah keterlaluan namanya dan aku akan menghadapinya!” “Aji! Jangan mencampuri urusan ini. Ini adalah urusan pribadiku. Sudahlah, lupakan saja hal itu dan jangan pikirkan lagi. Sekarang tinggalkan kami, jangan ganggu percakapan kami dan pergilah membantu ibumu.” kata Harun agak keras karena memang dia terkejut melihat sikap Aji yang demikian keras, pada hal biasanya anak itu lembut dan penyabar. Aji memang bangkit dan pergi, akan tetapi tidak kembali ke belakang melainkan melompat ke pekarangan dan lari meninggalkan rumah itu. Dia berlari cepat menuju ke selatan, menuju ke Laut Kidul. Malam itu bulan muncul dengan terangnya sehingga jalan kasar menuju ke selatan itu cukup terang. Aji berlari terus. Jantungnya berdebar tegang. Ayahnya mempunyai seorang anak laki-laki yang jauh lebih tua darinya, mungkin sekarang sudah berusia dua puluh enam atau dua puluh tujuh tahun. Dia mempunyai seorang kakak! Akan tetapi kakaknya itu mengancam hendak membunuh ayahnya. Kenyataan ini mengguncang hatinya yang selama ini penuh damai dan tenteram. ----------------------- Page 90----------------------- ----------------------- Page 91----------------------- http://zheraf.net “Siapa yang tidak marah mendengar ayahnya diancam akan dibunuh orang, Harun. anakmu Lindu Aji itu tidak dapat disalahkan. tentu saja dia marah mendengar ada orang mengancam hendak membunuhmu, apa lagi kalau yang mengancam itu anakmu sendiri.” Pada saat itu kedua orang sahabat yang sedang bercakap-cakap itu mendengar suara orang berdehem di pekarangan. ketika mereka memandang, mereka melihat dalam keremangan cahaya bulan, sesosok tubuh seorang laki-laki di pintu pekarangan, melangkah perlahan memasuki pekarangan itu. “Aji ...... ?” panggil Harun yang mengira itu anaknya. Akan tetapi bayangan itu tidak menjawab, hanya melangkah perlahan menghampiri pendapa rumah itu. Setelah agak dekat dan sinar lampu di pendapa dapat menerangi wajah orang itu, barulah Harun dan Ujang tahu bahwa orang itu bukan Lindu Aji. Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus dan dari pakaiannya yang mewah mereka segera tahu bahwa dia tentu seorang menak (bangsawan) Sunda. Usianya sekitar empat pu;uj tahun, dengan ikat kepala yang khas Pasundan dan sarungnya diikatkan di pinggang. Wajahnya tampan dan sepasang matanya mencorong. Harun segera bangkit berdiri untuk menyambut tamu yang tidak dikenalnya ini. juga Ujang ikut bangkit berdiri dengan muka pucat karena walaupun dia sendiri juga belum mengenal orang ini, akan tetapi pakaiannya sebagai menak sunda itu membuatnya gemetar, teringat bahwa Harun dumusuhi oleh bangsawan Galuh. “Udin ......? “ bisik Harun kepada sahabatnya. “Bukan ...... : bisik Ujang kembali. ----------------------- Page 92----------------------- ----------------------- Page 93----------------------- http://zheraf.net Dengan sikap masih tenang Harun bertanya, “Peristiwa yang mana itu, juragan?” “Kamu telah membunuh Aom Bahrudin, adik Bupati di Galuh!” Harun mengangguk dan menjawab dengan suara tegas. “Siapapun andika, tentu sudah mengetahui bahwa saya membunuh Aom Bahrudin karena dia telah memperkosa istri saya sehingga isteri saya membunuh diri. Pembalasan itu sudah setimpal dan adil.” “Jahanam keparat! Ketahuilah, aku adalah Raden Banuseta, putera mendiang Aom Bahrudin! Aku datang untuk membalas kematian ayahku dan membunuhmu!” Harun masih tenang. “Kalau andika tidak menyadari bahwa ayah andika yang bersalah dalam peristiwa itu dan hendak membalas dendam, silakan. Saya berani bertanggung jawab atas perbuatan saya itu!” “Bagus! Bersiaplah untuk mati dan menghadap ayahku!” bentak orang yang mrngaku bernama Raden Banuseta itu dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat ke depan seperti burung terbang saja dan kedua tangannya sudah menyambar dari kanan kiri ke arah kepala Harun. cepat bukan main gerakan orang itu dan ketika kedua tangannya menyambar terdengar angin bersiut menandakan bahwa serangan kedua tangan itu mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Harun mengenal gerakan cepat bagaikan burung terbang itu dan cepat dia melompat ke samping, menghindar lalu melompat ke tengah pekarangan, mencari tempat yang luas agar leluasa bersilat menghadapi lawan yang tangguh itu. “Anda murid perguruan silat Dadali Sakti?” Tanya Harun yang biarpun hanya setahun lamanya, pernah belajar ----------------------- Page 94----------------------- ----------------------- Page 95----------------------- http://zheraf.net “Wuuuuuttt ...... plakkk!!” kedua pergelangan tangan Harun ditangkap oleh Banuseta. demikian kuatnya cengkeraman kedua tangan tokoh Dadali Sakti itu sehingga Harun merasa pergelangan tangannya seperti remuk dijepit catut baja. Dengan nekat dia lalu menggunakan jurus Munding Kroda (Kerbau Marah) dan tiba-tiba dia menghantamkan kepalanya ke arah dada lawan! Jurus Munding Kroda adalah jurus yang hanya dilakukan dalam keadaan sudah tidak berdaya dan nekat, jurus mengadu nyawa karena kalau berhasil, nyawa lawan terancam maut, akan tetapi kalau gagal, nyawa sendiri taruhannya. Akan tetapi dengan jurus ini, kepala Harun dapat memecahkan buah kelapa dengan mudah dan dapat mematahkan balok kayu. serangan yang dilakukan tiba- tiba dari dekat ini tentu saja tidak keburu dielakkan oleh Banuseta, juga tidak dapat ditangkis karena kedua tangannya masih memegang kedua pergelangan tangan lawan. Maka diapun lalu mengerahkan tenaga saktinya menerima terjangan kepala itu dengan dadanya. ----------------------- Page 96----------------------- ----------------------- Page 97----------------------- http://zheraf.net sedangkan Wrsiyem yang masih pingsan diangkat dan direbahkan ke atas pembaringan dalam kamarnya. Para wanita tetangga berusaha untuk menyadarkannya, akan tetapi Warsiyem tetap pingsan. Guncangan perasaan itu terlalu hebat menggempurnya sehingga wanita itu pingsan berat. Lindu Aji akhirnya dapat menenteramkan hatinya kembali setelah dia duduk bersila di atas pasir pantai Laut Kidul bermandikan cahaya bulan. Keheningan suasana, kemurnian hawa itu melenyapkan gejolak hatinya, membuat hatinya yang tadinya bergelombang seperti diterpa badai, menjadi tenang kembali. dia teringat akan ayah ibunya yang tentu akan merasa khawatir kalau dia tidak segera pulang. selain itu, ada suatu perasaan tidak enak yang aneh, yang mendorongnya untuk segera pulang. dia mulai menyesal atas sikapnya terhadap ayahnya tadi. Dia amat menghormati dan menyayang ayahnya, dan kini timbul perasaan iba terhadap orang yang dekat di hatinya itu. ayahnya sudah cukup menderita. istrinya diganggu orang sampai membunuh diri, kemudian karena membalas dendam, dia lalu menjadi buronan sampai bertahun-tahun. dan kini, betapa hancur hatinya mendapat surat dari anak kandungnya sendiri yng mengancam akan membunuhnya. “Bapak ......!” dia mengeluh. Ingin rasanya dia merangkul dan menghibur hati ayahnya tercinta. karena ingin segera pulang dan bertemu ayah ibunya, Lindu Aji lalu mempergunakan kepandaiannya untuk berlari kembali ke dusun Gampingan. Ketika dia memasuki dusun Gampingan, dia terheran- heran melihat para penduduk banyak yang masih berada di luar rumah masing-masing, bahkan banyak yang bergerombol ----------------------- Page 98----------------------- ----------------------- Page 99----------------------- http://zheraf.net menghampiri sosok mayat kedua, dengan tangan gemetar dia membuka kain yang menutupi kepala mayat kedua. Wajah Lindu Aji seketika pucat sekali, matanya terbelalak, kedua tangan dikembangkan di depan dada, jari-jari tangannya menegang, mulutnya terbuka seolah mengeluarkan pekik yang tidak bersuara, lalu perlahan-lahan bibirnya bergerak, mengeluarkan kata-kata seperti berbisik meragu, tidak percaya apa yang dilihatnya sendiri. “Bapak ......, bapak ......, bapak kenapakah ......? Bapak ......, jawablah, bapak ......, kenapa ...... “ Dia menyentuh pundak ayahnya, diguncangnya lembut seolah hendak membangunkan ayahnya dari tidur. akan tetapi dia lalu melihat kepala yang retak-retak dan berlepotan darah itu. “Bapaaaaaakkk ...... !!” Dia menjerit, suara jeritnya melengking dan menggetarkan hati seluruh pelayat. “Tidak ...... tidaaaak ......!” Mata yang terbelalak itu basah dan air mata menetes-netes jatuh di atas kedua pipinya. Dia mengguncang- guncang pundak ayahnya dengan kuat seolah tidak percaya dan tidak mau percaya sehingga tubuh mayat itu bergoyang- goyang, kepalanya bergerak-gerak seperti mengeleng. Sebuah tangan menyentuhnya. Parto, tetangga keluarga Harun yang menjadi sahabta baik keluarga itu, berkata lirih, suaranya menggetar penuh keharuan, “Angger Aji ...... kuatkan hatimu, bapakmu telah meninggal dunia ...... “ Hening sejenak, yang terdengar hanya suara isak para wanita yang merasa terharu melihat adegan itu. Aji seperti orang kebingungan mendengar ucapan itu, dia menoleh ke kanan kiri seolah mengharapkan ada orang lain yang membantu ucapan Parto itu. Semua orang yang bertemu ----------------------- Page 100----------------------- ----------------------- Page 101----------------------- http://zheraf.net ibunya masih bernapas, ibunya masih hidup! Dia segera menghampiri dan meraba leher dan dahi ibunya. “Ibu ...... !” panggilnya, mengguncang pelahan pundak ibunya. Akan tetapi ibunya tidak juga membuka mata, tidak juga bergerak. “Aji, ibumu sejak tadi pingsan.” kata seorang wanita sambil menahan tangisnya. Aji lalu duduk di tepi pembaringan. Sedikit banyak dia telah mempelajari dari ayahnya cara pengobatan untuk hal-hal tertentu, seperti menyadarkan orang pingsan, mengobati luka- luka dan akibat keracunan. Melihat ibunya pingsan, dia lalu mengurut tengkuk ibunya, menjepit dan membetot urat di pangkal ibu jari dan di bawah pangkal lengan. Tak lama kemudian ibunya merintih dan siuman. Begitu membuka mata dan melihat anaknya, Warsiyem bangkit duduk, merangkul anaknya dan menjerit. “Aji ...... ! Bapakmu ...... !!” “Ibuuu ...... !!” Ibu dan anak itu berangkulan dan menangis sesenggukan. Lindu Aji merasa betapa dalam rangkulannya ibunya menjadi lemas terkulai. “Ibuuu ...... kuatkan hatimu, ibu ...... !” Dia mendekap ibunya denga kuat-kuat untuk mencegah ibunya pingsan lagi. Ketika dia melihat wajah ibunya yang tersayang itu megap- megap sperti sukar bernapas karena tangisnya, Aji lalu mencium muka ibunya yang basah air mata itu. Air mata ibu dan anak ini bercampur menjadi satu membasahi muka dan leher mereka. “ ...... Ajiiii ...... bapakmu ...... ahh, bapakmu ...... “ Warsiyem terisak-isak. ----------------------- Page 102----------------------- ----------------------- Page 103----------------------- http://zheraf.net Segala sesuatu di dunia ini dikikis habis oleh waktu. Bahkan segala macam perasaan akan berubah dan ditelan sang waktu. demikian pula perasaan duka. Warsiyem dan Lindu Aji duduk di ruangan depan rumah mereka. Warung nasi belum dibuka. tidak ada semangat bagi Warsiyem untuk berjualan seperti biasa. akan tetapi setelah lewat sepuluh hari sejak kematian suaminya, ia yang tadinya tenggelam ke dalam lautan duka, kini mulai muncul di permukaan. sudah mau mandi, bertukar pakaian, bahkan menikmati air the hangat yang disuguhkan aji. setelah melihat keadaan ibunya yang mulai mau bicara dan tidak tampak terlalu nelangsa lagi, Aji berani mengajak ibunya bicara. “Ibu sebaiknya kalau kita mulai membuka warung dan berjualan lagi. Banyak penduduk dan para langganan yang menanyakan kepadaku kapan warung nasi ibu akan dibuka lagi.” kata Aji dengan hati-hati. Warsiyem memandang anaknya, ia telah dapat menenangkan hatinya. Ia tidak boleh tenggelam terus dalam kedukaan. Ia harus hidup demi anaknya. Ia tidak hidup sendiri. Ia masih mempunyai Aji. Bangkit kembali semangatnya kalau ia ingat kepada puteranya. ”Besok kita boleh mulai berjualan, Aji. Besok pagi-pagi kita pergi ke pasar untuk belanja. Berasnyapun kulihat tinggal sedikit.” Setelah mereka makan malam, Aji melihat ibunya sudah benar-benar kuat lahir batinnya, maka barulah dia mengajak ibunya bercakap-cakap dan menjawab pertanyaan yang selalu menggerogoti hatinya sejak kematian ayahnya namun ditahan-tahannya dia tidak ingin mengganggu ibunya yang sedang berduka. ----------------------- Page 104----------------------- ----------------------- Page 105----------------------- http://zheraf.net Banuseta itu lalu menyerang bapakmu. Mereka berkelahi dan akhirnya bapakmu tewas ditangannya. Juga sahabat bapakmu bernama Ujang itu dibunuhnya ketika hendak melarikan diri.” “Apakah Banuseta itu tidak mengatakan di mana dia tinggal, ibu?” “Dia datang dari Galuh dan menurut pendengaranku ketika dia bertanding melawan bapakmu, dia ada mengatakan bahwa dia adalah murid perguruan Dadali Sakti. Akan tetapi, kenapa engkau tadi mengira bahwa pembunuh bapakmu baru berusia dua pulh enam tahun, Aji?” “Tadi aku mengira bahwa yang membunuh bapak adalah Hasanudin, ibu.” “Hasanudin? Ah, maksudmu Udin putera bapakmu yang ditinggal di Galuh itu? Engkau sudah tahu akan hal itu?” “Bapak sudah menceritakan bahwa bapak mempunyai seorang putera bernama Hasanudin yang ditinggalkan di Pasundan, ibu. Bahkan lebih dari itu, aku telah membaca surat dari Hasanudin yang dititipkan Paman Ujang untuk diberikan kepada bapak.” “Surat? Aku malah belum mengetahuinya. Dia mengirim surat untuk bapakmu? Apa isi surat itu?” Wajah Aji menjadi kemerahan dan dia mengepal tangannya. “Dia memaki bapak sebagai seorang pengecut dan seorang ayah yang tidak bertanggung jawab ...... “ “Hemmm ...... !” Warsiyem mengerutkan alisnya. “Bukan itu saja, ibu. dia bahkan menulis ancaman bahwa dia pasti akan datang membunuh bapak.” “Ahhh ......! Durhaka ...... !” seru Warsiyem kaget. ----------------------- Page 106----------------------- ----------------------- Page 107----------------------- http://zheraf.net Pada suatu siang seperti biasa Warsiyem menjaga warung nasinya. Biasanya, warung nasinya itu ramai dikunjungi para langganan di waktu pagi untuk sarapan, juga di waktu sore menjelang tutup. Kalau siang, tidak banyak yang datang makan karena kebanyakan penduduk Gampingan di waktu siang sibuk bekerja di sawah ladang atau pergi mencari ikan di laut. Siang itupun tidak banyak orang berkunjung dan di warung itu hanya ada dua orang penduduk Gampingan yang kebetulan lewat dan mereka hanya berhenti untuk sekedar mengopi. Tiba-tiba muncul tiga orang yang lagak dan sikapnya menyeramkan. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, tubuh mereka tinggi besar dengan perut gendut dan mereka muncul di depan pintu warung sambil menyeringai menakutkan. Warsiyem terbelalak dan terkejut bukan main. Yang membuat ia terkejut adalah ketika ia melihat orang terdepan. Biarpun laki-laki tinggi besar itu kini sudah berusia lima puluh tahun lebih dan tampak agak lebih tua dari pada dahulu, namun Warsiyem masih mengenalnya. Dia bertubuh tinggi besar, gendut, bajunya terbuka sehingga tampak dadanya yang berbulu, mukanya bulat, sepasang mata lebar melotot dihias sepasang alis yang hitam tebal, brewoknya pendek dan kasar kaku, di pinggangnya tergantung sebatang golok. Dia adalah Singowiro yang pada enam belas tahun yang lalu pernah mencoba untuk menculiknya, kemudian akan menikahinya, bahkan yang telah membunuh ayahnya! Sambil bertolak pinggang dan langkah digagah- gagahkan, Singowiro memasuki warung, diikuti dua orang temannya yang juga bermata liar. Melihat dua orang yang sedang ngopi, Singowiro mendekati dan menghardik dengan ----------------------- Page 108----------------------- ----------------------- Page 109----------------------- http://zheraf.net Warsiyem mengelak, akan tetapi tangannya dapat ditangkap. Singowiro menyambar dengan tangan kirinya dan kini kedua pergelangan tangan Warsiyem telah dipegangnya. “Heh-heh-heh, hayolah manis. engkau sudah ditinggalkan mati suamimu, tentu kesepian. Hayo kita bersenang-senang sebentar. Mana kamarmu?” Singowirom menarik kedua tangan Warsiyem, hendak dipaksanya masuk ke dalam rumah itu. Warsiyem menjerit-jerit. Dua orang kawan Singowiro terkekeh-kekeh dan menganggap adegan itu lucu sekali. “Tolong! Toloooongggg ...... Aji ...... tolooonggg ......!!” Warsiyem menjerit-jerit dan hendak bertahan agar jangan terseret. akan tetapi ia kalah tenaga. Akan tetapi sebelum Warsiyem terseret sampai ke dalam rumah, dua orang kawan Singowiro menghampiri. “Kang Singo, jangan di sini! Kalau orang-orang datang, kan repot? Lebih baik dibawa saja perempuan ini, dan dibawa pulang. Di sana engkau kan lebih leluasa dapat bersenang- senang dengannya sepuas hatimu.” Mendengar peringatan kawannya ini, Singowiro sadar. “Hemmm, benar juga kalian!” Setelah berkata demikian, dengan ringan dan mudah dia mengangkat dan memanggul tubuh Warsiyem dan memegangi dua pergelangan tangan wanita itu dengan satu tangan saja. “Mari kita pergi dari sini” kata Singowiro dan mereka bertiga cepat berlari keluar tanpa memperdulikan Warsiyem yang meronta-ronta dan menjerit-jerit. Pada saat itu para pria hampir semua meninggalkan dusun dan bekerja di sawah ladang atau di laut, maka yang berada di dusun hanyalah kaum wanita dan kanak-kanak. tentu saja mereka hanya kebingungan ----------------------- Page 110----------------------- ----------------------- Page 111----------------------- http://zheraf.net juga sedikit kumis dan jenggotnya sudah putih. sepasang matanya bersinar lembut sekali penuh kesabaran dan pengertian. bajunya lurik penuh tambalan, terbuka di bagian dada. celananya dari kain tebal berwarna kekuningan yang sudah lusuh pula. kedua kakinya telanjang dan dia memegang sebatang tongkat kayu sederhana. -o0-dwkz-budi-0o- JILID IV ingowiro dapat menduga bahwa tentu kakek ini yang tadi telah membebaskan Warsiyem dari pundaknya, S Akan tetapi dia sungguh tidak mengerti bagaimana caranya dan sukar dipercaya bahwa kakek yang tampak begini lemah, seolah tertiup anginpun akan roboh, dapat membebaskan Warsiyem dari panggulannya. “Hei, kakek tua bangka pikun! Engkaukah yang melepaskan isteriku dari pondonganku tadi?” bentaknya sambil melotot. Pelototan matanya ini biasanya sudah cukup untuk membuat orang ketakutan dan tidak berani menentangnya. “Dia bohong! Saya sama sekali bukan isterinya! Dia malah menculik saya dan hendak memaksa saya menjadi isterinya yang ke tiga!” teriak Warsiyem. “Ki sanak, sadarlah bahwa berbuat jahat sama dengan menanam benih beracun dan kelak andika sendirilah yang akan memetik buahnya yang beracun juga. Sadarlah sebelum terlanjur.” kata kakek itu, suaranya lembut dan ramah. ----------------------- Page 112----------------------- ----------------------- Page 113----------------------- http://zheraf.net tetapi kuat sekali, seperti ada hawa yang kuat menerima pukulannya dan membuat pukulan tangannya membalik sehingga dia terhuyung ke belakang. Warsiyem yang telah membuka matanya juga melihat peristiwa ini dan ia memandang bengong. Betapapun juga, hatinya kembali merasa ngeri ketika ia melihat Singowiro mencabut goloknya. Melihat golok yang mengkilat saking tajamnya itu ia bergidik. teringat ia akan ayahnya yang dahulu juga tewas karena bacokan golok orang ini. Biarpun sudah dua kali pukulannya tidak mengenai sasaran dan secara aneh pukulannya membalik pada hal kakek itu tidak membuat gerakan apa-apa, melainkan hanya berdiri tegak, Singowiro tidak mundur bahkan menjadi semakin penasaran dan marah. “Setan! Mampuslah!” bentaknya dan kini menyerang dengan goloknya membacok sekuat tenaga ke arah leher kakek itu. Kakek itu diam saja dan bahkan memejamkan mata seolah tidak terjadi sesuatu. Golok di tangan kanan singowiro itu menyambar ke arah leher dengan kuat sekali. kembali Warsiyem memejamkan matanya karena tidak tega melihat darah muncrat dari leher yang terbacok. Akan tetapi ketika golok sudah menyambar dekat sekali dengan leher, tiba-tiba golok itupun membalik dengan kuat sekali. Saking kuatnya golok itu terpental membalik, tubuh Singowiro terbawa dan diapun terjengkang dan terbanting ke atas tanah sampai terguling-guling. Sekali ini Singowiro bangkit dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia merasa tengkuknya meremang dan tanpa mengeluarkan kata-kata lagi dia lalu lari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu! Setan, pikirnya. Dia bertemu setan di tengah hari! ----------------------- Page 114----------------------- ----------------------- Page 115----------------------- http://zheraf.net “Nini, andika seorang yang baik hati. Siapakah namamu dan bagaimana andika sampai dilarikan orang tadi?” Tanya kakek itu dengan suara lirih dan gemetar. “Nama saya Warsiyem, paman. Saya seorang janda dan hidup berdua dengan anak saya. Saya tinggal di dusun Gampingan di depan itu., membuka warung nasi. Orang jahat tadi adalah Singowiro. Dia memang jahat sekali, paman, dahulupun pernah hendak memaksa saya menjadi isterinya, enam belas tahun yang lalu. Bahkan dialah yang telah membunuh ayah saya. Setelah suami saya meninggal tiga bulan yang lalu. dia muncul lagi dan menculik saya.” Kakek itu diam saja dan mereka berjalan terus. akhirnya mereka sampai di dusun Gampingan. Ketika mereka tiba di depan warung nasi Warsiyem, di situ sudah berkumpul empat orang tetangga laki-laki yang sudah mendengar bahwa Warsiyem dilarikan orang jahat. mereka menjadi girang sekali dan juga heran melihat Warsiyem yang dikabarkan telah diculik penjahat itu kini pulang dalam keadaan selamat bersama seorang kakek tua renta yang dituntunnya! Pada saat itu, dari jauh Lindu Aji datang berlari lari dan melihat ibunya berdiri di depan warung bersama seorang kakek tua renta, dia segera merangkul ibunya. “Ibu ...... apa yang terjadi? Aku tadi disusul Kimin dan Sarjo yang bilang bahwa warung kita kedatangan tiga orang penjahat. Apa yang terjadi, ibu? Dan di mana mereka sekarang?” Aji menengok ke arah warung dan dilihatnya yang berada di warung adalah orang-orang dusun Gampingan yang dia kenal baik sebagai para langganan ibunya. Akan tetapi sebelum Warsiyem menjawab, kakek itu berkata kepadanya, “Nini, andika sudah pulang dengan ----------------------- Page 116----------------------- ----------------------- Page 117----------------------- http://zheraf.net untuknya. sementara ini akan kubasahi kepalanya dengan perasan jeruk nipis dan brambang agar panasnya turun.” Warsiyem mengangguk lalu keluar menuju ke warungnya. Warung itu memang juga menjadi dapurnya. Ketika ia membuatkan bubur tajin, di warung itu sudah berkumpul belasan orang tetangga laki-laki. Ia dihujani pertanyaan. Sambil bekerja membikin bubur tajin, Warsiyem menceritakan dengan singkat bahwa tadi ia diculik Singowiro dan dua orang kawannya. Akan tetapi di tengah perjalanan ia ditolong dan diselamatkan kakek tua yang sedang sakit itu. Semua orang terheran-heran mendengar cerita Warsiyem, akan tetapi mereka juga marah sekali. siapa yang belum mendengar nama Singowiro? Di daerah pegunungan selatan sampai ke daerah pesisiran nama gegedug (jagoan) yang sering kali memaksakan kehendaknya dengan kekerasan dan sudah banyak mencelakai orang. Ketika Warsiyem menceritakan kepada mereka betapa Singowiro itu belasan tahun yang lalu juga sudah menculiknya dan penjahat itu dikalahkan mendiang suaminya, Harun, semua orang timbul semangatnya. “Agaknya selama ini dia tidak berani mengganggu mereka karena takut kepada kakang Harun. Akan tetapi setelah kakang Harun meninggal, dia muncul lagi mengganggu, mungkin disangkanya bahwa tidak ada orang di Gampingan yang berani menentangnya.” Warsiyem menutup ceritanya dengan nada sedih karena teringat kepada suaminya. Parto, sahabat karib Harun, menjadi panas hatinya. dia bangkit berdiri dan berseru kepada teman-temannya. “Kita hadapi jahanam itu! Biarkan dia datang lagi, kita keroyok dia sampai mampus. Hayo kawan-kawan, kita mengadakan ----------------------- Page 118----------------------- ----------------------- Page 119----------------------- http://zheraf.net kami merawat eyang, bahkan mengorbankan apa saja untuk membalas budi kebaikan eyang. Bahkan kalau eyang tidak pernah melakukan apapun juga kepada kami untuk membantu seorang tua yang sebatang kara dan sedang menderita sakit.” Kakek itu memandang kepada Aji, tersenyum lebar dan ternyata biarpun dia sudah tua sekali, ketika tersenyum lebar itu masih tampak deretan gigi yang sehat. akan tetapi sebelum dia bicara, Warsiyem mendahuluinya. “Paman, sebaiknya paman jangan banyak bicara dulu. Paman harus minum jamu yang sudah disediakan anak saya, dan makan bubur tajin yang sudah saya persiapkan.” “Mari, eyang, silakan minum jamu ini lebih dulu. Eyang tentu akan sehat kembali.” kata Aji dan dia mendekatkan secangkir jamu itu ke mulut kakek itu sedangkan dia membantunya bangkit duduk. Kakek itu tidak menolak dan minum jamu itu sampai habis. setelah itu, Aji merebahkannya kembali dan kini Warsiyem yang duduk di tepi pembaringan dekat kakek itu sambil membawa semangkok bubur tajin dan sendok. “Paman, silakan makan bubur tajin agar tubuh paman menjadi kuat kembali.” katanya dan iapun menyuapi kakek itu dengan hati-hati. Kakek itupun tidak menolak dan semangkok bubur tajin itupun dihabiskannya. Setelah itu, dia memandang kepada ibu dan anak itu dan dia tersenyum. “Kalian berdua ibu dan anak sungguh baik sekali. Semoga Gusti allah akan selalu memberi berkah dan bimbingan kepada kalian.” “Paman, bukankah paman juga baik sekali kepada kami, kepada saya? Budi paman tidak akan saya lupakan ----------------------- Page 120----------------------- ----------------------- Page 121----------------------- http://zheraf.net lalu berbaring di kamar ibunya karena dia merasa lelah sekali. Selain semalam tidak tidur, juga dia banyak mengenang kematian bapaknya, ditambah lagi peristiwa tadi yang sempat mengguncang perasaannya mendengar ibunya diganggu orang jahat. Dia rebah mengasokan badan, juga pikirannya agar bebas dari ketegangan. Seperti biasa, setelah melakukan sesuatu demi kepentingan orang lain, misalnya seperti ketika dia membantu ayahnya dahulu kalau mengobati orang, kini ada perasaan bahagia di dalam hatinya bahwa dia dan ibunya telah menolong kakek itu. Perasaan seperti itu juga dirasakan oleh Warsiyem, bahkan tentu oleh semua orang yang telah melakukan kebaikan secara tulus, menolong orang tanpa pamrih, semata-mata berdasarkan kasih kepada sesama yang menimbulkan perasaan belas kasihan kepada orang lain yang menderita. Tanpa disadarinya, Aji jatuh pulas. tubuhnya yang lelah dan pikirannya yang selama ini berat memikirkan kematian bapaknya, membuat dia letih lahir batin dan tidur merupakan obat yang ampuh baginnya. Beberapa jam lamanya dia pulas sampai sore dan tiba-tiba dia terbangun oleh suara rrbut-ribut yang datangnya dari luar rumah. Aji terbangun menggosok- gosok kedua matanya dengan punggung tangan, kemudian dia teringat akan ibunya dan seketika dia sadar sepenuhnya. Dia melompat turun dari pembaringannya dan berlari keluar. Dan alisnya berkerut, wajahnya berubah merah ketika melihat keadaan di luar rumahnya. Tiga orang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam, masing-masing memegang sebatang golok, berdiri di pekarangan, mengayun-ayun golok mereka dan di atas tanah menggeletak tiga orang yang terluka dan berlepotan darah. belasan orang laki-laki tetangga berdiri di sekitar situ, akan ----------------------- Page 122----------------------- ----------------------- Page 123----------------------- http://zheraf.net Warsiyem calon isteriku! Jadi pemuda remaja ini anakmu? Heh-heh, bocah bagus. Ibumu benar, jangan coba-coba untuk menentang kami. Aku adalah calon ayahmu dan aku suka menerimamu menjadi anakku asalkan engkau menaati semua omonganku, heh-heh!” Aji menatap wajah Singowiro dengan sinar mata mencorong dan dia berkata lantang, “Heh, Singowiro! Engkau selalu mengganggu ibuku, dan engkau sudah beberapa kali dihajar oleh bapakku Harun Hambali! Sekarang karena bapak telah meninggal, akulah yang menjadi penggantinya untuk menghajarmu! Akan kubalaskan kakekku Sutowiryo yang dulu kau bunuh.” Tentu saja Singowiro menjadi marah sekali. “Bocah sombong, kalau engkau menjadi penghalang, aku akan membunuhmu lebih dulu!” Setelah berkata demikian, dia menggerakkan goloknya menyerang dengan dahsyat. Aji memang tidak mempunyai pengalaman berkelahi, akan tetapi ilmu-ilmu silat yang dipelajari dan dilatihnya sejak kecil telah mendarah daging dengan dirinya. Gerakannya menjadi otomatis dan ketika golok itu menyambar ke arah kepalanya, dia mengelak dengan gesit sekali. Singowiro menjadi penasaran dan marah melihat bacokannya tidak mengenai sasaran. dia memutar goloknya dan menyerang secara bertubi- tubi, membacok, menusuk, membabat. Namun, semua serangan itu sia-sia, seperti menyerang bayangan saja karena gerakan Aji ketika mengelak jauh lebih gesit dan cepat. “Singggg ...... !” Golok menyambar lagi membabat ke arah leher Aji. Pemuda ini merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya. Golok meluncur cepat di atas ----------------------- Page 124----------------------- ----------------------- Page 125----------------------- http://zheraf.net Singowiro di depan dan dua orang kawan jagoan itu di kanan kiri. Mereka bertiga mengamangkan golok dengan wajah bengis. Akan tetapi Aji tak merasa gentar sedikitpun. Dia tetap tenang. Pada saat terdengar jerit ibunya. “Aji ......!” Suara itu mengandung penuh kekhawatiran. Ngeri rasa hati ibu ini melihat puteranya diancam tiga orang jahat yang memegang golok itu. Mendengar jeritan ibunya, Lindu Aji menjadi marah kepada tiga orang itu. Dia mengambil keputusan untuk segera merobohkan mereka agar ibunya tidak dicekam kekhawatiran lagi. Sementara itu, Singowiro sudah mulai dengan serangannya. Goloknya menyambar dahsyat dari atas ke bawah membacok ke arah kepala Aji. “Yaaaahhhh !” Dia membentak dan membacok sekuat tenaga. Akan tetapi hanya dengan miringkan tubuhnya Aji mengelak dari bacokan itu. dari kanan kiri menyambar pula golok kedua kawan Singowiro. Aji melompat ke belakang sehingga bacokan merekapun hanya mengenai tempat kosong. Tiaga orang itu mengejar dan kembali mereka sudah mengepung dari tiga jurusan. Aji sudah memperhitungkan dengan baik. Ketika tiga orang itu mengangkat golok masing- masing, siap menyerangnya, dia mengeluarkan teriakan nyaring sekali. “Haaaiiiiittt ...... !!” Dia membuat gerakan memutar sambil menyerang dengan bangku yang dipegang kakinya dengan kedua tangannya dan pada saat itu juga, kaki kanannya mencuat dan menendang ke arah tubuh Singowiro yang berada di depannya. “Dukkk ...... ! Takkk ...... ! Bluggg ...... !” Dua orang kawan Singowiro terkena hantaman ujung bangku pada muka ----------------------- Page 126----------------------- ----------------------- Page 127----------------------- http://zheraf.net telinganya dan memejamkan matanya, dirangkul oleh Aji yang seolah hendak melindunginya. Tiba-tiba terdengan suara lembut namun demikian jelas terdengar mengatasi keributan orang-orang yang sedang mengamuk itu. “ Saudara-saudara sekalian, hentikan semua itu ........!” Suara yang lembut itu mengandung wibawa yang demikian kuat, membuat semua orang menghentikan amukan mereka dan mereka menghadap ke arah kakek yang muncul di ambang pintu warung, berdiri ditopang tongkatnya. tubuhnya tegak, wajahnya masih membayangkan kelembutan namun sepasang matanya kini mencorong mengandung teguran sehingga orang-orang yang berada di situ tidak berani menentang pandang matanya melainkan menundukkan pandang mata. “Ya Allah, gusti ........! Saudara-saudara, apa yang kalian lakukan ini? Tidak sadarkah andika sekalian bahwa kalian telah dikuasai iblis melalui nafsu amarah dan kebencian sehingga tega melakukan kekejaman yang amat mengerikan ini? Lupakah kalian bahwa mereka bertiga juga manusia- manusia seperti andika, manusia-manusia yang tidak sempurna dan berdosa? Ampun, Gusti, semoga Paduka mengampuni kita semua ........” Hening mengikuti ucapan kakek itu seolah menyusup ke dalam hati sanubari mreka. Mereka tidak menyesal atas apa yang mereka lakukan terhadap tiga orang yang mereka anggap kejam dan jahat itu, akan tetapi kini mereka merasa malu kepada kakek itu. ----------------------- Page 128----------------------- ----------------------- Page 129----------------------- http://zheraf.net gunanya ada hukum dan pengadilan kalau kita melaksanakan hukum sendiri? Ini namanya sewenang-wenang. tugas kita membantu pemerintah menjaga ketenteraman dan keamanan. Kalau kalian menangkap, tiga orang itu dan menyerahkan kepada petugas pemerintah untuk mengadilinya, itu sudah tepat dan benar namanya.” Kini Aji maju menghampiri kakek itu dan berkata, “Kami telah bertindak salah menuruti kemarahan dan kebencian, eyang. Biarlah saya yang menanggung semua kesalahan ini, jangan salahkan kepada saudara-saudara ini karena tadi sayalah yang merobohkan tiga orang itu.” Kakek itu menatap wajah Aji dan mengangguk-angguk. “mengakui kesalahan dan mempertanggung jawabkan perbuatan merupakan langkah yang benar. Sudahlah, semua telah terjadi. Lapor saja kepada ketua dusun dan kubur tiga jenasah itu baik-baik.” Kakek itu lalu masuk kembali ke dalam rumah, diikuti oleh Warsiyem dan Aji. Para penduduk Gampingan lalu bekerja. Meraka melapor kepada kepala dusun yang tidak menyalahkan mereka. Membunuh penjahat pada waktu itu tidaklah melakukan pelanggaran besar, apa lagi kalau pelakunya adalah rakyat banyak. Jenasah tiga orang itu lalu dikuburkan sebagaimana mestinya, walaupun di tempat terpisah dari kuburan umum. -o0-dwkz-budi-0o- Mereka bertiga duduk di ruangan depan dekat warung. Ketika itu tengah hari dan seperti biasa pada siang hari, warung itu sepi. Warsiyem, Lindu Aji, dan kakek itu duduk bercakap- cakap sehabis makan siang, duduk saling berhadapan di atas bangku. Sudah tiga hari kakek itu tinggal di situ, sejak dia jatuh ----------------------- Page 130----------------------- ----------------------- Page 131----------------------- http://zheraf.net sepantasnya kalau aku memperkenalkan namaku. Dahulu, aku biasanya disebut orang Ki Tejobudi.” “Di mana danya keluarga paman? Isteri, saudara, anak, atau cucu?” Tanya Warsiyem. Ki Tejobudi menggeleng kepalanya. “Tidak, tidak ada, aku hidup seorang diri. Atau ...... lebih tepat lagi, bukankah manusia sedunia ini sesungguhnya adalah keluarga kita?” Mendengar jawaban ini, Aji dan ibunya memandang dan Ki Tejobudi tertawa. “kalian heran? Yang ada hanyalah sebangsa manusia, yang berbeda dengan mahluk lain. Di antara manusia yang berbeda hanya warna kulit dan rambut terpengaruh iklim, pakaian dan bahasa terpengaruh kebudayaan setempat. Suara batinnya sama persis. dengarkan suara tawa dan tangis mereka. Dari golongan atau bangsa apapun dia datang, suara tawa dan tangisnya, suara batin itu, tentu sama. bahkan pada saat lahir, suara pertama manusia, yaitu tangis, tiada bedanya sama sekali.” “Maaf, eyang. menurut penuturan ibu saya, ketika eyang menghadapi mendiang Singowiro dan eyang yang diserang olehnya, semua serangan Singowiro tidak mengenai tubuh eyang sehingga dia lari tunggang langgang. Saya percaya bahwa eyang tentu seorang yang sakti mandraguna.” Ki Tejobudi tersenyum. “Apa sih yang dinamakan sakti mandraguna itu, kulup? Berapa kuat dan pintarnya seseorang, pasti ada yang melebihinya. Kekuatan manusia itu terbatas, sesuai dengan kodrat dan kemampuannya. Kekuatan yang tidak sesuai dengan kodrat, yang mengambil dari luar alam manusia, hanya sementara dan lebih banyak mendatangkan malapetaka bagi diri sendiri daripada kebaikan. Yang Maha Sakti adalah Gusti Allah. Semua kekuatan dan kesaktian berasal dari ----------------------- Page 132----------------------- ----------------------- Page 133----------------------- http://zheraf.net “Akan tetapi, maat, eyang. Eyang demikian sakti mengapa sampai menjadi sakit dan lemah? Bagaimana bisa begitu, eyang?” Ki Tejobudi tertawa. “Heh- heh, kenapa tidak begitu, Aji? Sudah kukatakan tadi bahwa kekuatan dan kepandaian manusia itu terbatas. Manusia tidak mungkin dapat membebaskan diri dari kodratnya. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa tubuhnya akan menjadi tua, digerogoti usia menjadi lemah dan mudah diserang penyakit. Tidak ada kesaktian yang mampu mencegah datangnya penyakit dan datangnya usia tua, kulup. Pada akhirnya semua orang harus tunduk kepada kekuasaan Gusti Allah dan bertekuk lutut kepada kodratnya. Seberapa sih kepandaian manusia? Menghitung rambut jenggotnya sendiripun tidak mampu! Seberapa kekuatannya? Menghentikan detak jantungnya sendiripun tidak dapat! Jasmani yang berasal dari tanah akan kembali ke tanah juga, kotor dan lemah. Kalau aku menjadi lemah dan sakit, apa anehnya itu.” ----------------------- Page 134----------------------- ----------------------- Page 135----------------------- http://zheraf.net bangsamu dan negaramu. Yang terakhir, menjadi berguna bagi manusia dan dunia. dengan begitu berarti engkau menjadi manusia yang berguna bagi Gusti allah, karena engkau menjadi alatNya yang baik dan berguna.” “Terima masih, eyang. Untuk dapat menjadi manusia berguna seperti yang eyang terangkan tadi, maka saya mohon eyang sudi mengajarkan ilmu-ilmu kepada saya. Tanpa ilmu bagaimana saya dapat berguna bagi orang lain?” “Heh-heh-heh, agaknya Gusti allah telah menghendaki demikian. Baik, aku suka menerimamu menjadi murid, suka mewariskan semua yang kuketahui kepadamu agar jerih payahku mempelajari semua itu di masa lalu tidak sia-sia dan tidak hilang begitu saja. akan tetapi hanya satu syarat, yaitu ibumu harus menyetujuinya.” “Saya setuju! Saya setuju sepenuh hati saya, paman!” kata Warsiyem yang baru saja memasuki ruangan itu dan mendengar ucapan Ki Tejobudi. Ia lalu menghampiri dan ikut berlutut menembah di samping anaknya. “Baiklah, aku menerima Aji sebagai muridku. Sekarang kalian bangkit dan duduklah.” Ibu dan anak itu lalu bangkit dan duduk di atas bangku, akan tetapi kembali Warsiyem harus memasuki warung karena ada lagi tamu yang hendak makan. “Aji, dengarkan baik-baik. Ilmu kanuragan baik saja dilatih dan dikuasai untuk menguatkan tubuh dan untuk melindungi diri dari ancaman kekerasan yang datang dari luar. Akan tetapi ingat, ilmu ini hanyalah ilmu jasmani yang amat terbatas sekali. Betapapun tingginya ilmu kanuragan ini, pasti ada yang menunggulinya. Ilmu kanuragan baru menjadi ilmu yang baik kalau kaupergunakan ilmu itu demi kepentingan negara dan bangsa. Mengertikah engkau, Aji?” ----------------------- Page 136---------------------- ----------------------- Page 137----------------------- http://zheraf.net “Kalau begitu, mari kita masuk ke dalam kamar dan pesan kepada ibumu agar jangan mengganggu kita sebelum kita keluar dari dalam kamar.” Aji lalu berlari keluar, ke warung nasi ibunya. “Ibu, Eyang Guru minta agar ibu tidak mengganggu kami berdua yang berada dalam kamar. Eyang hendak memberi pelajaran kepadaku.” Warsiyem mengangguk-angguk dan tersenyum senang. “Baiklah, Aji. Taati semua perintah dan petunjuk gurumu dengan sepenuh hati.” “Baik, ibu.” Aji memasuki kamarnya yang kini diperuntukkan Ki Tejobudi. “Ji, berdirilah di dekatku dan tirukan gerakan tanganku dan ulangi ucapanku. Lakukan dengan seluruh perasaan hatimu dan dengan segala kerendahan hati karena kita menghadap ke hadirat Gusti Allah.” Aji lalu berdiri, di samping kakek itu agak dibelakangnya dan mengheningkan cipta seperti yang pernah diajarkan mendiang bapaknya. Seluruh cita rasa dan batinnya dia tujukan kepada keberadaan Gusti Allah. Dia mengikuti gerakan kakek itu ketika Ki Tejobudi mengangkat kedua tangannya dan menirukan kata-kata yang diucapkan dengan lirih dan dengan suara menggetar oleh kakek itu. “Duh Gusti Allah sesembahan dan pujaan hamba. Disaksikan langit dan bumi beserta segala isinya, hamba berjanji bahwa akan mempergunakan segala kepandaian yang Paduka karuniakan kepada hamba untuk prikemanusiaan sejalan dengan kehendak Paduka. Hamba menyerahkan jiwa dan raga hamba ke dalam kekuasaan Paduka, semoga Paduka ----------------------- Page 138----------------------- ----------------------- Page 139----------------------- http://zheraf.net “Nah, kaulatih lima gerakan itu sampai menjadi gerakan otomatis, Aji. Sekarang dengarkanlah baik-baik. Semua gerakan itu adalah olah raga, namun herus didasari kepasrahan kepada kekuasaan Gusti Allah, tidak lagi dikendalikan oleh pikiran. Mulai sekarang, seperti yang sudah kaujanjikan tadi, engkau harus menyerahkan segala sesuatunya kepada kekuasaan Gusti Allah, biarlah kekuasaan Gusti Alah yang akan membimbingmu dalam segala langkah hidupmu.” “Apakah Eyang guru maksudkan bahwa saya tidak lagi boleh berusaha dengan kemauan sendiri, melainkan menyerah secara bulat kepada Gusti Allah?” “Jangan salah mengerti penyerahan, Aji. bukan berarti penyerahan secara mandeg dan mati, membiarkan Gusti Allah bekerja sendiri dan kita tinggal enak-enak saja! Itu berarti malah menentang kehendak Gusti Allah. Manusia dilahirkan disertai alat-alat yang serba lengkap. anggauta tubuh yang sempurna, hati akal pikiran dan disertai nafsu-nafsu, semua itu untuk membantu kita dalam hidup ini dan dapat menikmati hidup. Sudah menjadi kehendak Gusti Allah bahwa semua perlengkapan itu harus kita pergunakan, harus kita kerjakan! Manusia hidup wajib berikhtiar, berusaha sekuat kemampuannya, menggunakan anggauta tubuhnya dan hati akal pikirannya. Kita tidak boleh menggantungkan kepada kekuasaan Gusti Allah semata, melainkan harus membantu! Akan tetapi, segala ikhtiar itu kita landaskan kepada penyerahan dengan keyakinan bahwa hasil keputusan terakhir berada dalam kekuasaanNya. bukan tergantung kepada usaha kita. mengertikah engkau, Aji?” “Saya berusaha untuk mengerti, Eyang. Akan tetapi Eyang mengajarkaan agar saya menyerah kepada kekuasaan ----------------------- Page 140----------------------- ----------------------- Page 141----------------------- http://zheraf.net menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Tubuhnya jangkung tegap, wajahnya tampan manis, sikapnya sederhana dan rendah hati, sama sekali tidak berkesan seorang jagoan, akan tetapi langkahnya seperti seekor harimau dan sepasang matanya yang bersinar lembut itu kadang dapat mencorong penuh wibawa. Ki Tejobudi kini semakin tua dan sakit-sakitan. Akhirnya dia jatuh sakit dan tidak dapat turun lagi dari atas pembaringannya. Aji merawatnya dengan penuh kebaktian, Juga ibunya, Warsiyem merawat kakek itu seperti kepada ayah sendiri sehingga Ki Tejobudi merasa berterima kasih dan terharu sekali. Ketika penyakitnya semakin parah, pada suatu pagi Ki Tejobudi memanggil Warsiyem dan Lindu Aji ke dalam kamarnya. Ibu dan anak itu duduk di tepi pembaringan di mana tubuh yang kurus kering kakek itu rebah dan napasnya tinggal satu-satu. “Nini Warsiyem,” kata Ki Tejobudi dengan suara yang lemah dan lirih, namun cukup jelas bagi ibu dan anak itu. “Andika seorang wanita dan ibu yang baik budi. semoga Gusti Allah memberkahimu. Selama lima tahun andika menerima dan menganggap diriku seperti orang tua sendiri. Andika seorang janda dan aku melihat Ki Parto yang telah menjadi duda sejak tiga tahun yang lalu itu seorang yang baik, dia sahabat baik mendiang suamimu dahulu, dan aku dapat melihat bahwa dia mencintamu dan juga sayang kepada Aji. Kenapa andika menolak pinangannya? akan baik sekali kalau andika dapat menjadi isterinya.” “Paman, harap jangan berkata begitu ...... “ Warsiyem menundukkan muka dan kedua air matanya menjadi basah. Memang, beberapa bulan yang lalu Parto pernah ----------------------- Page 142----------------------- ----------------------- Page 143----------------------- http://zheraf.net dan bangga. Mendiang suamimu sungguh beruntung mempunyai seorang isteri sepertimu dan Aji juga berbahagia sekali mempunyai seotrang ibu sepertimu. Sudahlah, lupakan anjuranku tadi, keputusanmu itu baik sekali. Aku tadi menganjurkan demikian karena puteramu Aji harus pergi mengabdikan diri kepada nusa dan bangsa, nini sehingga andika akan ditinggal seorang diri di sini.” “Kalau memang sudah seharusnya anakku pergi melaksanakan perintah Paman, saya sanggup hidup seorang diri. Bukankah di sebelah masih ada kang Parto yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri?” “Bagus sekali kalau begitu. Sekarang, Aji, dengarkan baik-baik kata-kataku. Ini merupakan pesan terakhir dariku.” “Eyang ........ “ “Paman ........!” Ibu dan anak itu terkejut. “Kalian tenanglah. Aku bersukur kepada Gusti Allah bahwa pada saat terakhir ini ada kalian berdua yang menungguiku dengan kasih sayang. Dahulu aku juga mempunyai isteri, akan tetapi tidak sebaik nini Warsiyem. Aji, aku meninggalkan seorang anak, namanya Sudrajat, panggilannya Ajat. Dia ikut saudara tunggal guru denganku yang kini menjadi ayah tirinya yang namanya Ki Tejo Langit dan hidup di Banten tempat asalku. Carilah Ajat dan beritahukan bahwa aku, ayah kandungnya, telah meninggal dunia dengan tenteram dan bahagia.” “Akan saya ingat pesan eyang dan akan saya laksanakan.” kata Aji sambil menahan keharuan hatinya. Di dalam hatinya telah tumbuh rasa hormat, segan dan sayang kepada orang tua ini yang selain mewariskan ilmu-ilmu ----------------------- Page 144----------------------- ----------------------- Page 145----------------------- http://zheraf.net nasihatku, jangan sekali-kali engkau mendendam kepada Raden Banuseta atas kematian ayahmu ......” “Akan tetapi, Paman!” Warsiyem membantah. “Bagaimana kami tidak boleh mendendam? Raden Banuseta itu telah membunuh suamiku tercinta, membunuh ayah Lindu Aji!” “Ibu benar, Eyang. Eyang sendiri mengajarkan kepada saya untuk menentang orang yang bertindak jahat. Banuseta itu telah membunuh bapak saya, bukankah sudah menjadi kewajiban saya untuk menentangnya?” Kakek itu menghela napas lagi dan suaranya kini semakin lirih dan agak sukar, seolah dia harus megeluarkan seluruh sisa tenaganya untuk dapat berbicara. “dendam mendendam, benci membenci, balas membalas, bunuh mebunuh! Rantai beracun ciptaan iblis itu tidak akan ada hentinya kalau kita tidak berani memutusnya! Banuseta membunuh Harun karena Harun membunuh Aom Bahrudin. Kalau kemudian engkau membunuhnya, apa kaukira tidak ada anaknya, ataupun saudara dan sanak keluarganya yang tidak akan mendendam lalu berusaha untuk membalas dan membunuhmu? Kemudian mungkin keturunanmu atau kerabatmu kembali mendendam dan membalas. Tidak akan ada habisnya saling bunuh itu, membiarkan iblis menggunakan nafsu amarah dan kebencian untuk mempermainkan manusia.” “Eyang, lalu apa yang harus saya lakukan? Apakah saya tidak boleh menentang Banuseta yang melakukan kejahatan? Apakah saya harus mendiamkan saja orang itu melakukan kejahatan dan membunuhi orang ?” Kembali kakek itu menghela napas panjang seperti hendak mengumpulkan tenaga. “Sama sekali tidak, angger. ----------------------- Page 146----------------------- ----------------------- Page 147----------------------- http://zheraf.net Ibu dan anak itu merasakan benar bahwa kakek itu telah wafat, mereka berbisik-bisik, “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun ...... !” Para tetangga datang melayat. Hampir semua penduduk dusun Gampingan datang melayat sampai jenasah itu dikebumikan. Biarpun semua orang di Gampingan mengetahui bahwa kakek yang tua renta dan tampak lemah berpenyakitan itu menjadi guru Lindu Aji, akan tetapi tidak seorangpun menyangka bahwa dari kakek itu Aji telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi dan hebat. Hal ini adalah karena Aji tidak pernah menonjolkan diri dan tidak pernah memperlihatkan ilmunya kepada orang lain. -o0-dwkz-budi-0o- JILID V etelah Ki Tejobudi wafat, ibu dan anak itu setiap hari bekerja seperti biasa. Warsiyem tetap berjualan nasi di S warungnya dan Aji bekerja di sawah ladang milik mereka. semua berjalan seperti biasa dan Aji melihat betapa sikap tetangga mereka, Parto, tetap baik dan ramah kepada mereka. bahkan sikapnya terhadap ibunya tampak melindungi dan dalam percakapan dengan duda berusia lima puluh tahun itu, jelas terbayang bahwa laki-laki itu menganggap Warsiyem sebagai adiknya sendiri. Hal ini membahagiakan hati Aji, karena bagaimanapun juga, hatinya merasa lebih bahagia kalau ibunya tetap setia kepada ayahnya dan tidak menikah lagi dengan pria lain. ----------------------- Page 148----------------------- ----------------------- Page 149----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ tangisnya dan matanya liar penuh rasa takut berulang kali memandang ke belakang, ke arah selatan. Warsiyem sudah tiba di situ dan ia merangkul wanita itu. “Tenanglah, dik dan ceritakan apa yang telah terjadi dengan anak-anakmu.” Rangkulan dan ucapan Warsiyem itu agaknya dapat menenangkan hati wanita itu. “Aduh, mbakyu ...... anak-anakku ...... dua orang anakku diculik orang.” “Diculik orang? Di mana?” Tanya Aji. Wanita itu menghadap ke selatan dan menudingkan telunjuknya. “Ketika kami berjalan sampai di luar dusun ini, tiba-tiba ada seorang perempuan berpakaian mewah bertemu dengan kami. Ia memandang anak-anakku, seorang anak laki- laki dan perempuan berusia tujuh dan lima tahun, dan bilang ia mau membeli anak-anakku. Tentu saja aku menolaknya dan tiba-tiba ia memondong kedua orang anakku dan membawa mereka lari menuju selatan. Tolong ...... tolonglah mereka ......“ “Ibu, ajak bibi ini ke rumah, aku akan mencoba melakukan pengejaran!” kata Aji dan diapun sudah melompat dan lari ke arah selatan. “Aji ......! Hati-hatilah ...... !” seru ibunya. “Baik ibu!” jawab Aji tanpa menghentikan larinya. Dia pernah melatih diri dengan ilmu meringankan tubuh dan lari cepat yang disebut Aji Bayu Sakti. Setelah mempergunakan aji itu, dia berlari cepat sekali seolah kedua kakinya tidak lagi menginjak bumi. Bagaikan terbang tubuhnya meluncur ke arah selatan, ke arah Laut Kidul! Akan tetapi dia tidak melihat orang. Sejak tadi ia memperhatikan kalau-kalau ada orang di sepanjang perjalanan. Akan tetapi daerah itu sepi saja. Mungkin hari masih terlalu ----------------------- Page 150----------------------- ----------------------- Page 151----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ bayangan seorang berkelebat, lari menuruni bukit batu karang itu. Dia terkejut dan menjadi penasaran sekali, merasa tertipu oleh suara jerit kanak-kanak tadi. Kiranya selagi dia berlari naik mendaki bukit, ada orang yang melarikan diri menuruni bukit batu karang itu. Dia mengerahkan tenaga dan berloncatan turun. Karena dia mengerahkan semua ilmunya berlari cepat berdasarkan ilmu meringankan tubuh, maka dia dapat berlari secepat terbang menuruni bukit itu. Ketika dia tiba di kaki bukit karang, dia melihat seorang wanita berlari di atas pantai berpasir. Larinya cepat sekali walaupun dia memondong dua orang anak kecil di kedua pundaknya. Dua orang anak itu tampak diam saja dan tidak meronta lagi, seperti tertidur di atas pundak wanita itu. Aji merasa tegang hatinya ketika timbul dugaan bahwa kedua orang anak itu jangan-jangan sudah mati! Dia mengerahkan tenaga sekuatnya sehingga larinya cepat sekali dan akhirnya dia dapat menyusul wanita itu. “Sobat, berhenti dulu!” seru Aji sambil melompat mendahului dan memutar tubuhnya menghadapi wanita itu. Dia tertegun juga melihat seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun namun lagaknya seperti seorang gadis belasan tahun, rambutnya panjang ikal mayang dan hitam, dibiarkan terurai dan kepalanya terhias semacam tiara dari emas berhiaskan intan permata. Wajah yang bentuknya bulat itu cantik sekali, kulitnya putih mulus, sepasang matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya memiliki daya tarik luar biasa, bibirnya penuh dan merah membasah. Mata dan mulut itu mengandung daya tarik dan memikat, senyum dan kerling matanya genit. Tubuhnya yang ramping padat itu mengenakan pakaian mewah dari sutera halus, telinganya memakai hiasan telinga, lehernya ----------------------- Page 152----------------------- ----------------------- Page 153----------------------- http://zheraf.net “Heh-heh-hi-hi-hik! Lindu Aji, pemuda tampan, engkau menghendaki dua orang anak ini, boleh, akan kubebaskan mereka akan tetapi sebagai gantinya engkau harus ikut aku bersenang-senang selama tiga hari tiga malam!” Wanita itu lalu melepaskan dua orang anak yang dipanggulnya ke atas tanah. Dua orang anak itu rebah miring di atas tanah dan kini Aji merasa yakin bahwa mereka itu pingsan. Wajah Aji menjadi merah mendengar ucapan itu. Biarpun dia belum pernah akrab dengan wanita, namun dia sudah cukup dewasa untuk dapat menangkap apa yang dimaksudkan wanita itu. “Aku hanya menghendaki agar engkau menyerahkan dua orang anak itu kepadaku untuk dikembalikan kepada ibunya. Aku tidak menginginkan apapun darimu!” katanya dengan suara tegas dan jelas mengandung penolakan atas ajakan wanita itu. “Hei pemuda tampan tapi tolol! Engkau belum mengenal siapa aku, ya? Aku adalah Nyi Maya Dewi. di seluruh Pejajaran, dari puncak gunung-gunung sampai ke tepi laut selatan, tidak ada seorangpun laki-laki yang tidak merindukan diriku. Mereka akan berebutan untuk menjadi pilihanku, mereka akan rela mati asal dapat bersamaku semalam saja. Para muda bangsawan dan hartawan, semua merindukan aku dan sekarang andika berani menolak ajakanku?” Nyi Maya Dewi mengerutkan alisnya dan marah karena merasa terhina. Belum pernah selama hidupnya ia ditolak laki-laki, apalagi hanya seorang pemuda berpakaian petani seperti ini! Aji juga mengerutkan alisnya. “Nyi Maya Dewi, bagaimanapun juga, aku bukan seorang di antara laki-laki yang ----------------------- Page 154----------------------- ----------------------- Page 155----------------------- http://zheraf.net “Syuuuttt ...... dukkkk!!” Dengan tangan miring Aji menangkis tendangan itu. Nyi Maya Dewi mengeluarkan teriakan kaget. Kakinya yang tertangkis tadi terpental dan terasa nyeri. Dengan gerakan ringan ia melangkah empat kali ke belakang. Kaki kanannya terasa berdenyut-denyut nyeri seolah tadi bertemu dengan sepotong baja. Maklumlah ia bahwa yang disangkanya hanya seorang pemuda petani biasa yang lemah itu ternyata seorang pemuda yang memiliki kegesitan dan tenaga besar. Hatinya semakin tertarik dan gairahnya semakin besar untuk dapat memiliki pemuda itu. Ia lalu berkemak kemik, megerahkan kekuatan sihirnya dan sepasang matanya mencorong menatap titik di antara kedua alis Aji lalu mulutnya berkata dengan suara mengandung wibawa. “Lindu Aji, aku perintahkan ke padamu, berlututlah andika ke padaku!” tangannya digerakkan, telunjuknya menuding ke arah Aji. Pemuda itu mendadak dikuasai tenaga aneh yang mendorongnya untuk menjatuhkan diri berlutut kepada wanita itu. Akan tetapi saat itu dia teringat akan semua gemblengan yang diterimanya dari mendiang Ki Tejobudi dan tahulah dia bahwa ada kuasa gelap menyerangnya. Dia segera mengangkat kedua tangan ke atas dan membaut gerakan menyembah di depan dada. Perasaan sejuk, tenteram dan kuat sekali memasuki dirinya dan mengusir dorongan tidak wajar tadi, Dia memandang wanita itu, tersenyum dan berkata dengan lembut dan penuh kesabaran. “Nyi Maya Dewi, kalau andika ingin berlutut, mengapa tidak andika lakukan saja sendiri?” Terjadi keanehan. mandadak saja wanita cantik itu menekuk kedua lututnya dan ia sudah berlutut menghadap Aji! Akan tetapi hal ini terjadi hanya sebentar saja karena Nyi Maya ----------------------- Page 156----------------------- ----------------------- Page 157----------------------- http://zheraf.net atas pasir. Anak laki-laki yang berusia kurang lebih tujuh tahun itu merangkul adiknya, anak perempuan yang berusia lima tahun dan yang menangis lirih. “Lindu Aji, apa perdulimu dengan urusan pribadiku! Aku hendak menculik atau membunuh siapapun juga, apa urusanmu?” bentak wanita itu dan kini bagi Aji, kecantikan wanita itu berubah menyeramkan, cantik akan tetapi wajah itu penuh sinar mengerikan, kejam dan jahat sekali, seperti wajah iblis betina! Mata itu seperti mata seekor anjing gila yang pernah dia lihat di dusun kemudian dibunuh ramai-ramai oleh penduduk. “Aku tidak akan perduli kalau urusan pribadimu tidak menyangkut orang lain. Engkau boleh jungkir balik, gulung koming (bergulingan), jatuh bangun atau terjun ke laut, aku tidak akan perduli. Akan tetapi kalau engkau menculik dua orang anak yang tidak berdosa, urusan itu sudah menyangkut keselamatan dua orang anak. Terpaksa aku harus mencampuri dan turun tangan.” “Hemm. begitukah, bocah sombong? Memangnya engkau ini seorang pendekar, seorang pahlawan, seorang kesatria?” wanita itu mengejek sambil memegang sabuk sutera emasnya, direntang melintang di depan dadanya yang membukit. Aji teringat akan pesan mendiang ayahnya dan juga mendiang gurunya dan dia menjawab gagah, “Aku akan selalu berusaha untuk menjadi seorang penegak kebenaran dan keadilan, pembela mereka yang tertindas, dan penentang mereka yang jahat dan sewenang-wenang seperti engkau!” “Babo-babo, Lindu Aji! Engkau bocah kemarin sore yang masih berbau brambang dan kencur! Engkau berani ----------------------- Page 158----------------------- ----------------------- Page 159----------------------- http://zheraf.net Sakti (kera Sakti). Sikap tubuhnya seperti seekor kera saja, berloncatan dan bergulingan, cekatan bukan main sehingga semua smbaran ujung sabuk itu tidak ada yang pernah menyentuh tubuhnya! Mendiang Ki Tejobudi melatih Aji dengan ilmu silat yang mengandalkan kejelian penglihatan, ketajaman pendengaran, dan keringanan tubuh ini. Ketika berlatih, Ki Tejobudi menyerangnya dengan sebatang ranting secara bertubi-tubi, makin lama semakin cepat dan Aji harus dapat mengelak dari semua serangan itu. Bahkan lalu mempergunakan butir kacang untuk menghujaninya dengan sambitan dan pemuda itu harus mampu mengelak dari semua kacang yang menyambar. Latihan ketajaman pendengaran dilatih dengan duduk di tepi laut mendengarkan suara air yang beraneka ragam, mencoba untuk menangkap satu-satu semua suara yang berbeda-beda itu, dan di waktu malam mendengarkan penuh perhatian akan suara kutu-kutu walang- atogo (binatang-binatang yang berbunyi di waktu malam), membedakan satu-satu semua suara yang bercampur aduk itu. melatih kejeliaan mata dengan menampung air hujan lalu mempergunakan air dalam tempayan yang dipercik-percikkan dengan tangan ke arah kedua mata yang tetap dibuka. Latihan seperti ini dilakukan bertahun-tahun lamanya, barulah Aji dapat melakukan ilmu silat Wanara Sakti dengan baik. Nyi Maya Dewi menjadi penasaran bukan main. Ia sudah menyerang dengan mengerahkan seluruh tenaganya sehingga sabuk cinde itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar keemasan yang menyambar-nyambar. Namun tak pernah senjatanya itu menyentuh pemuda yang bergerak seperti monyet sehingga tubuhnya berkelebatan dengan amat gesitnya. ----------------------- Page 160----------------------- ----------------------- Page 161----------------------- http://zheraf.net “Dessss ...... pratttt !!” tubuh Nyi Maya dewi terjengkang dan terhuyung sedangkan Aji hanya mundur dua langkah. Wanita itu terkejut bukan main ketika melihat betapa sabuk di tangan kanannya tinggal sepotong. ternyata sabuk itu putus di tengah-tengah! Aji melempar potongan sabuk ke atas tanah dan berkata lembut. “Nyi Maya Dewi, sudah kukatakan padamu bahwa aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Tinggalkan anak-anak itu dan pergilah, jangan ganggu orang lagi.” Akan tetapi Aji kecelik kalau dia menduga wanita itu akan mau sudah begitu saja. Nyi Maya Dewi adalah seorang wanita keturunan bangsawan Pajajaran yang telah menyeleweng dan tersesat ke dalam kesesatan golongan hitam. Ia dikenal sebagai seorang datuk wanita yang ditakuti, memiliki banyak macam ilmu kanuragan, sudah banyak pengalaman berkelahi dan banyak pula tipu muslihatnya. Akan tetapi ia memiliki kelemahan, yaitu mata keranjang. Ia tidak tahan melihat pria tampan, apa lagi yang gagah perkasa. Ia tidak akan berhenti berusaha sebelum dapat memperoleh pria itu dalam pelukannya. tentu saja hal ini tidak begitu sukar baginya karena ia memiliki kecantikan wajah dan keindahan tubuh yang membuat banyak pria tergila-gila. Kalau sang pria menolak, ia masih dapat mengandalkan ilmu sihirnya untuk menundukkan pria itu, atau bahkan menggunakan kesaktiannya untuk memaksakan kehendaknya. Kalau semua usaha gagal, ia akan membunuh pria itu! Dan kalau berhasil, iapun hanya akan menjadikan pria itu sebagai permainan selama beberapa hari saja karena Nyi Maya Dewi adalah seorang wanita pembosan dan selalu haus akan laki-laki baru. ----------------------- Page 162----------------------- ----------------------- Page 163----------------------- http://zheraf.net Dewi sudah menyerang dengan Aji Sarpa Naka (Kuku Ular) dan setiap kuku jarinya mengandung racun ular yang mematikan. sekali kena guratan kuku itu sudah cukup menewaskan lawan. Aji yang selalu waspada, cepat mengelak dan otomatis dia sudah bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Akan tetapi ketika dia melompat ke belakang, wanita itu cepat menubruk ke arah dua orang anak itu. Anak laki-laki itu berteriak, akan tetapi ia sudah diringkus dan dipondong Nyi Maya Dewi dan dibawa lari ke arah laut! Anak perempuan yang direnggut lepas dari kakalnya itu menjerit-jerit ketakutan melihat kakaknya dilarikan wanita itu. Aji tertegun sejenak. Sama sekali tidak mengira bahwa serangan wanita yang dahsyat tadi hanya pancingan saja agar perhatiannya terpecah sehingga dengan mudah wanita itu dapat melarikan anak laki-laki yang tadi berpelukan dengan adiknya. “Heii ! Berhenti, kembalikan anak itu!” Aji berteriak marah dan dia lalu mengejar dan berlari cepat. Akan tetapi Nyi Maya Dewi ternyata tidak berlari menyusuri pantai, melainkan terus ke arah lautan, menerjang ombak besar yang datang bergulung-gulung! Tentu saja Aji merasa heran dan kaget, akan tetapi demi keselamatan anak laki-laki itu, dia mengejar terus. Ketika gelombang menggulungnya, dia menyelam dan berenang. Setelah ombak lewat, dia melihat Nyi Maya Dewi berenang ke tengah, memiting anak itu. Aji tidak mau kalah dan diapun berenang secepatnya. Untung bahwa dia juga mahir sekali berenang karena sudah terbiasa bermain-main di laut yang bergelombang itu. ----------------------- Page 164----------------------- ----------------------- Page 165----------------------- http://zheraf.net menyelam. Untung sudah terbiasa baginya menyelam smbil membuka mata kalau dia bermain-main di air untuk melihat ikan. Matanya sudah terbiasa dan tidak pedas lagi terkena air laut. Dia melihat bayangan wanita itu yang meluncur cepat ke arahnya dengan kedua tangan dijulurkan. Dia mengelak ke samping san lengannya bergerak menangkap lengan lawan. Memukul dalam air tiada gunanya karena tenaga pukulannya akan habis kekuatannya tertahan air. Maka dia berusaha untuk menangkap lengan wanita itu. Akan tetapi wanita itu dapat bergerak gesit bukan main. Bukan saja telah dapat menarik kembali lengannya sehingga tidak dapat tertangkap, bahkan tubuhnya sudah meluncur melalui bawah tubuh Aji dan tiba di belakangnya! Aji cepat bergerak membalik, akan tetapi di kalah cepat. Sebuah tamparan mengenai pelipisnya. Tamparan itu itu tidak terlalu keras karena tertahan air, namun tetap saja membuat dia terpelanting. Sebelum dia dapat mengtur kedudukan tubuhnya, tiba-tiba kedua kakinya dipegang kedua tangan wanita itu. Kuat sekali pegangannya. Aji menendang-nendangkan kedua kakinya. Akan tetapi wanita itu tetap menempel dengan memegangi kedua pergelangan kakinya seperti seekor lintah! Pada saat itu, Aji sudah mulai kehabisan napas. Hawa yang disedot dan ditampung dalam paru-parunya tadi sudah dihembuskan keluar semua. Dan hampir tidak tahan lagi dan dia mengerahkan seluruh tenaga pada kaki dan tangannya sehingga tubuhnya meluncur ke atas. Akan tetapi kedua tangan itu masih tetap memegangi kedua kakinya. Aji berhasil muncul di permukaan air sebatas lehernya. Paru-parunya yang kehausan itu mengisap hawa sebanyaknya. akan tetapi baru satu kali dia menghirup udara, tubuhnya sudah ditarik lagi ke bawah! Kembali mereka ----------------------- Page 166----------------------- ----------------------- Page 167----------------------- http://zheraf.net merebahkan Aji di bawah sebatang pohon kelapa. Setelah itu, tanpa malu dan tanpa khawatir kalau-kalau ada orang yang melihatnya, wanita itu lalu menanggalkan pakaiannya satu demi satu. Dalam keadaan telanjang bulat ia memeras semua pakaiannya yang basah kuyup, mengebut-ngebutkannya agar cepat kering. Kemudian ia mengenakan lagi pakaiannya dan menghampiri Aji yang masih menggeletak telentang di atas tanah. “Kasep (bagus), sekali ini engkau harus menuruti keinginanku,” kata Nyi Maya Dewi mengeluarkan sebuah botol kecil yang tadi ia selipkan di ikat pinggangnya. Botol kecil itu berisi cairan merah. Ia membuka tutup botol kecil itu dan tangan kirinya membuka mulut Aji, siap hendak menuangkan isi botol ke dalam mulut pemuda itu. Pada saat itu, Aji sadar dari pingsannya. Biarpun kepalanya masih agak pening dan pikirannya masih gelap, namun dengan naluirinya yang tajam dia segera dapat merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya. Maka, tiba-tiba saja tangannya bergerak memukul botol kecil yang sudah ditempelkan dibibirnya itu, meronta dan menggulingkan tubuhnya ke kiri. Nyi Maya Dewi terkejut sekali. Botol itu terlempar dan isinya tumpah, juga pegangannya pada kepala pemuda itu terlepas. Melihat pemuda itu menjauhkan diri sambil bergulingan, ia cepat bangkit dan hendak mengejar dan menyerang. Akan tetapi Aji yang kini sudah sadar betul, ingat bahwa dirinya tadi terpukul pingsan dan tertawan, maklum akan datangnya bahaya. Dengan tubuh menelungkup, kaki tangan di atas tanah seperti merangkak, tiba-tiba dia mengeluarkan sura gerengan yang dahsyat sekali. Gerengan itu ----------------------- Page 168----------------------- ----------------------- Page 169----------------------- http://zheraf.net merasakan suatu kegembiraan yang luar biasa. Inilah yang dimaksudkan mendiang Ki Tejobudi ketika dia mengatakan bahwa kepentingan orang lain merupakan kebahagiaan menolong orang itu. Dua orang anak itu berlari menghampirinya dan setelah dekat, Aji merangkul kedua orang anak itu. “Kmi menghaturkan terima kasih atas pertolongan kakangmas kepada kami.” kata anak laki-laki itu dan Aji memandang heran. kedua orang anak itu berpakaian lusuh seperti anak dusun. Dan anak laki-laki itu baru berusia tujuh tahun, akan tetapi cara dia bicara sama sekali bukan seperti anak dusun. Bahasanya begitu teratur dan rapi, juga hormat seperti seorang anak yang berpendidikan. Juga setelah kini dia mengamati, dua orang anak itu berwajah tampan dan manis. “Adik-adik yang baik, siapakah nama kalian?” “Nama saya Priyadi, dan ini adik saya bernama Wulandari,” jawab anak laki-laki itu. Aji mengangguk-anggik. Tidak salah dugaannya, mereka ini bukan anak-anak dusun biasa. Baru nama mereka saja sudah menunjukkan bahwa mereka ini anak “priyayi”, nama mereka begitu indah. “Kakangmas yang telah menyelamatkan kami, siapakah nama andika?” Tanya anak laki-laki yang mengaku bernama Priyadi itu. “Namaku Lindu Aji, sebut saja aku Mas Aji.” “Mas Aji, di mana ibuku?” Tanya anak perempuan berusia lima tahun yang bernama Wulandari itu. Anak inipun tidak pemalu dan kata-katanya juga teratur. ----------------------- Page 170----------------------- ----------------------- Page 171----------------------- http://zheraf.net Setelah suamiku gugur, aku hanya hidup bertiga dengan dua orang anakku, Priyadi dan Wulandari yang diculik orang itu.” “Wah, kalau begitu engkau adalah seorang priyayi!” seru Warsiyem. “Suamimu seorang perwira kerajaan Mataram!” “Ah, tidak juga, mbakyu. Aku dulu seorang gadis dusun, kemudian menikah dengan suamiku yang memang keturunan prajurit Mataram. Sama sekali kami bukan trahing kusumo rembesing madu (berdarah bangsawan), melainkan rakyat biasa saja.” Mendengar ini, Warsiyem tersenyum dan teringatlah ia akan pendapat suaminya tentang kebangsawanan yang disebutnya keturunan “menak”. “kebangsawanan seseorang sama sekali tidak ditentukan oleh darah keturunannya, melainkan oelh sepak terjangnya dalam hidup ini.” Demikian pendapat suaminya. “Lalu bagaimana engkau sampai meninggalkan kota raja bersama anak-anakmu sehingga terjadi penculikan itu, dik Juminten?” Janda muda itu menghela napas panjang, lalu mengamati majah Warsiyem, “Sudah berapa lamakah mbakyu menjadi janda?” “Hem, sudah lima tahun lebih, kenapa?” “Kalau begitu, ketika mbakyu menjadi janda, tentu hanya lebih tua sedikit daripada aku. Mbakyu seorang wanita yang cantik, tentu telah merasakan betapa susahnya menjadi janda, banyak godaan datang menganggu.” “Benar sekali, dik juminten. memang aku juga pernah mendapat gangguan besar, Akan tetapi apakah yang telah terjadi denganmu?” ----------------------- Page 172----------------------- ----------------------- Page 173----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Warsiyem memegang pundak juminten yang duduk di atas bangku, di sebelahnya. “Ah, kasihan engkau, dik Juminten, digoda banyak laki-laki tanpa ada yang membelamu. Aku, biarpun digoda laki-laki tanpa ada yang membelamu. Aku, biarpun digoda laki-laki, selalu ada yang membela. Pertama laki-laki yang kemudian menjadi suamiku, kemudian ankku si Aji itu. Lalu bagaimana, dik Juminten?” “Berbulan-bulan kami merantau, smua bekal yang kubawa telah habis kujual sehingga seringkali kami bertiga kekurangan makan. Ketika pagi tadi kami tiba di luar dusun ini, kami bertemu dengan seorang wanita cantik dan berpakaian seperti seorang bangsawan. ia tadinya hendak membeli anak- anakku, ketika kutolak, ia lalu menyambar dan memondong mereka dan lari ke selatan.“ Juminten terisak lagi, teringat akan kedua orang anaknya. “Aahh ...... Priyadi, Wulandari, anak- anakku ...... “ “Kenapa engkau tadi tidak mengejarnya dan berusaha merampas mereka kembali? Penculik itu kan hanya seorang perempuan seperti kia?” Tanya Warsiyem penasaran. Kalau ia yang dirampas anaknya seperti itu tentu ia akan mengamuk dan melawan mati-matian! “Sambil menahan isak Juminten berkata, “Sudah kukejar, mbakyu, akan tetapi ...... ia berlari seperti terbang ...... cepat sekali sehingga sebentar saja aku kehilangan bayangannya. Maka aku lalu berlari memasuki dusun ini dan minta tolong ...... “ “Jangan khawatir, Aji tentu akan dapat menemukan mereka ...... “ ucapan Warsiyem ini terputus oleh teriakan suara dua orang anak, “Ibu .......... !” ----------------------- Page 174----------------------- ----------------------- Page 175----------------------- http://zheraf.net Juminten mengerutkan alisnya mengingat-ingat, lalu ia menggeleng kepalanya. “Tidak, aku tidak pernah mendengar nama itu, juga belum pernah bertemu dengannya. Akan tetapi, mungkin sengaja ia disuruh oleh Raden Kuncoro untuk menculik anak-anakku sehingga ia dapat memaksaku menuruti kehendaknya.” “Raden Kuncoro? Siapakah dia, bibi?” tanya Aji heran. Warsiyem lalu menceritakan riwayat Juminten kepada Aji. Aji mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian dia berkata, “Mungkin saja wanita itu utusan Raden Kuncoro, akan tetapi mengapa ia mengaku datang dari Pasundan? Dan logat bicaranya memang menunjukkan bahwa ia adalah seorang Sunda.” “Sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi hal itu. Perempuan jahat itu sudah pergi dan anak-anakmu sudah selamat, adik Juminten.” Warsiyem menghibur, melihat Juminten masih menahn isak sambil merangkul kedua anaknya, wajahnya diliputi kegelisahan. mendengar kata-kata hiburan ini, Juminten malah menangis tersedu-sedu. Warsiyem menjadi bingung dan saling pandang dengan Aji. “Bibi, ada apakah lagi yang menyusahkan hati bibi? Katakanlah, kami akan berusaha membantumu sedapat kami,” kata Aji. “Benar apa yang dikatakan anakku, dik Juminten. Kenapa engkau masih kelihatan sedih dan khawatir pada hal kedua orang anakmu sudah kembali kepadamu dengan selamat?” Tanya Warsiyem. Juminten menyusut air matanya. Setelah menghela napas panjang berulang kali, barulah ia dapat bicara, suaranya lirih penuh kesedihan, mukanya menunduk. ----------------------- Page 176----------------------- ----------------------- Page 177----------------------- http://zheraf.net yang didengarnya, kemudian mulutnya mewek-mewek menangis lagi. “ ...... kalau aku mau ...... ? Duh gusti ...... ! Mbakayu Warsiyem ...... anakmas Aji ...... apa yang dapat kukatakan?” Ia memegang tangan kedua anaknya dan menyeret mereka sehingga mereka bertiga menjatuhkan diri berlutut di depan ibu dan anak itu, menyembah-nyembah. “ ...... anakmas Aji telah menyelamatkan anak-anakku ...... dan sekarang ...... kalian sudi menerima kami tinggal di sini ......? Terima kasih ...... terima kasih atas pertolongan dan budi kebaikan kalian yang amat besar ......!” Ia menyembah sambil menangis. Warsiyem merasa terharu dan kedua matanya juga basah. Ia cepat membungkuk, merangkul dan menarik Juminten agar duduk kembali. Juga Aji menarik kedua anak itu yang ikut ibunya menangis karena mereka juga mengerti bahwa mereka mendapat pertolongan sehingga mereka bertiga kini duduk kembali dengan air mata masih mengalir di pipi mereka. “Dik Juminten, tidak usah berterima kasih kepada kami. Apa yang kami lakukan ini memang menjadi kewajiban kami. Kukira engkau sendiripun akan melakukan perbuatan yang sama kalau keadaanmu mengijinkan. Kita manusia memang sudah sepatutnya saling tolong menolong, bukan? kami membantumu memberikan tempat tinggal kepadamu, dan engkau juga membantu kami dalam mengurus rumah tangga ini. Berarti kita saling bantu dan saling menguntungkan. akan tetapi kita ini bukan hartawan dan kita hanya dapat hidup sederhana, dik.” “Ibu berkata benar, bibi Juminten. Bibi tadi keliru kalau mengatakan bahwa Gusti Allah tidak sudi mendengarkan keluh kesahmu. Nah, sekarang berterima kasihlah kepada Gusti ----------------------- Page 178----------------------- ----------------------- Page 179----------------------- http://zheraf.net masak, pandai membuat penganan dan gorengan yang lezat sehingga warung itu menjadi semakin ramai dikunjungi orang. -o0-dwkz-budi-0o- Semenjak pengalamannya bertanding melawan Nyi Maya Dewi yang membuat dia kewalahan, apalagi perkelahian dalam air yang membuat dia hampir saja celaka di tangan wanita itu, Aji seringkali pergi ke pantai berpasir yang sunyi. Apalagi sekarang di rumah ada Juminten yang membantu ibunya. Bahkan dua orang anak itupun rajin membantu, menyapu dan membersihkan rumah sehingga dia mempunyai banyak waktu untuk bermain di pantai berpasir. Selain berlatih silat di pantai yang sunyi itu, juga Aji berlatih renang dan bermain-main dalam air. dia memperdalam ilmunya ini setelah mengalami kekalahan ketika bertanding dalam air melawan Nyi Maya Dewi. Dia tahu bahwa kekalahannya itu karena dia kalah bertahan napas dalam air. Maka kini hampir setiap hari dia berlatih pernapasan dan melatih paru-parunya untuk menampung hawa sepadat mungkin sehingga dia dapat bertahan lebih lama tanpa bernapas di dalam air. Pada suatu sore, setelah lelah berlatih menyelam dan bersilat, dia merebahkan diri telentang di atas pasir sambil mengeringkan celana pendeknya yang tadi dia pakai untuk berlatih menyelam dan bermain dengan gelombang lautan. Matahari telah condong ke barat dan sinarnya tidaklah sekuat siang tadi. Tiba-tiba matanya tertarik oleh sebuah titik hitam yang melayang-layang di udara. makin lama, titik hitam itu semakin membesar dan setelah pandang matanya menangkap, ternyata titik hitam itu adalah seekor burung yang besar dan gagah ----------------------- Page 180----------------------- ----------------------- Page 181----------------------- http://zheraf.net memangsa ular itu, sebaliknya ular itupun membela diri dan balas menyerang karena burung alap-alap itupun dapat menjadi mangsanya yang mengenyangkan. Aji menonton penuh perhatian dan dia merasa kagum sekali. Gerakan dua ekor binatang itu sungguh hebat, mereka itu hanya binatang-binatang yang tidak berakal budi. Akan tetapi gerakan naluri mereka dalam mempertahankan hidup sungguh indah dan mengandung kekuatan sepenuhnya. Gerakan itu dapat ditiru dan akan menjadi gerakan silat yang tangguh. Alap-alap itu bergerak dengan tangkas dan garang, serangan paruh dan kedua cakarnya dibantu kibasan kedua sayapnya membayangkan kelenturan, keluwesan, kelicikan dan menghadapi kekerasan dengan kelenturan yang mematikan. Aji tahu bahwa sekali saja patukan moncong ular itu mengenai leher alap-alap itu, tentu gigitan itu tidak akan dilepaskan lagi yang membahayakan keselamatan nyawa burung itu. Akan tetapi alap-alap itu sungguh tangkas. Setiap patukan ular itu dielakkan sambil ditangkis dengan kibasan sayapnya yang juga kuat. Perkelahian mati-matian itu berlangsung sampai setengah jam lebih. Beberapa kali tubuh alap-alap itu terbelit tubuh ular, akan tetapi selalu terlepas lagi karena dengan paruhnya yang kuat burung itu menyerang dan melukai tubuh ular. Tubuh ular itu mulai terluka dan berdarah. Akhirnya alap- alap itu berhasil mematuk kepala ular dengan paruhnya. Paruh itu seperti catut baja yang amat kuat, sekali menangkap kepala ular itu tidak dilepaskannya lagi. Ular menggunakan tubuhnya untuk membelit tubuh alap-alap dan dihimpitnya. Akan tetapi burung itu mengguncang-guncang kepala ular yang digigitnya itu dan memukul-mukulnya kepada batu karang yang tajam ----------------------- Page 182----------------------- ----------------------- Page 183----------------------- http://zheraf.net Semenjak itu kalau bermain di tepi laut, Aji bersilat menirukan gerakan burung alap-alap. Dia dapat meniru dan merangkai gerakan burung itu menjadi gerakan silat, menyerang, mengelak, menangkis, memukul atau menendang. Juga loncatan-loncatan untuk menghindar dan berbalik menyerang. Karena dia telah memiliki dasar ilmu silat yang dalam maka dia dapat merangkai semacam ilmu silat alap-alap yang tangguh. Selain itu, dia juga terus melatih diri berenang, menyelam dan bermain dalam air seperti ikan. berlatih pernapasan sehingga dia dapat lebih lama bertahan di dalam air. -o0-dwkz-budi-0o- JILID VI ada suatu senja Aji masih rebah telentang di atas pasir seperti yang biasa dilakukan. Sudah kampir enam bulan Psejak gurunya meninggal dunia dan dia selalu terkenang akan semua nasihat gurunya. Gurunya meninggalkan pesan sebelum wafat. Pesan pertama adalah agar dia mencari putera gurunya yang bernama Sudrajat atau panggilannya Ajat yang ikut dengan ayah tirinya yang bernama Ki Tejo Langit dan hidup di Banten dan mengabarkan tentang kematian gurunya itu. Adapun pesan kedua dari gurunya adalah agar dia pergi merantau dan memanfaatkan semua ilmu yang telah dipelajarinya untuk kepentingan manusia, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang segala macam kejahatan yang dilakukan orang. ----------------------- Page 184----------------------- ----------------------- Page 185----------------------- http://zheraf.net Aji merasa kehilangan dan kesepian. Makin mendesak keinginan hatinya untuk merantau, terbang melayang seperti alap-alap itu. Dia bangkit duduk, mengatupkan mulutnya. hatinya telah mengambil keputusan. Dia harus pergi meninggalkan dusunnya, pergi merantau memenuhi pesan terakhir gurunya. Bangkitlah dia, kemudian dengan langkah tegap dia meninggalkan pantai berpasir dan menuju ke dusun Gampingan, tempat tinggal ibunya. Mereka telah menantinya untuk makan malam. Melihat nasi dan lauk pauknya telah tersedia di atas meja dan mereka semua belum makan, Aji berkata kepada ibunya, “Ibu, kenapa ibu dan bibi Juminten tidak makan saja dulu?” “Ah, anak ini! Bagaimana makan bisa enak kalau kami meninggalkanmu? Hayo cepat pergi mandi lalu makan bersama!” tegur Warsiyem sambil tersenyum. Aji cepat membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah itu, mereka makan bersama. Aji, ibunya, Juminten dan dua orang anaknya. Biarpun lauknya hanya jangan (sayur) asem, sambal trasi, dan tempe goreng, mereka makan dengan sedap dan lahapnya. Sehabis makan, minum air kendi juga terasa segar dan sejuk. Kita akan selalu dapat menikmati apa yang ada pada kita dan bersukur atas semua berkah yang dilimpahkan Gusti Allah kepada kita kalau saja kita tidak dikuasai nafsu angkara murka. Nafsu akan selalu menggoda kita, menimbulkan keinginan untuk menjangkau yang lebih sehingga apa yang ada pada kita tidak akan tampak cukup dan menyenangkan. Nafsu keinginan untuk mendapatkan yang lebih, melenyapkan kebahagiaan, melenyapkan kenikmatan saat ini, mendatangkan kekecewaan dan penasaran, menimbulkan rasa iba diri dan duka. Berbahagialah orang yang ----------------------- Page 186----------------------- ----------------------- Page 187----------------------- http://zheraf.net “Ibu tentu masih ingat akan pesan terakhir dari mendiang Eyang Guru Ki Tejobudi kepadaku dulu.” Aji memulai. Warsiyem memandang wajah puteranya. “pesan mana yang kau maksudkan?” “Eyang guru berpesan agar aku pergi merantau, mencari puteranya yang bernama Sudrajat, kemudian aku harus berjuang membela nusa dan bangsa, membantu Kanjeng sultan Agung. Juga aku ingin mencari kakak tiriku, putera ayah yang bernama Hasanudin itu.” Warsiyem mengeritkan alisnya. “Akan tetapi dia mengancam ayahmu dan hendak membunuhnya!” “Justru itulah sebabnya mengapa aku harus menemuinya, ibu. Aku ingin menyadarkan kakakku itu dari kesalahannya, menyadarkan bahwa ayah tidak bersalah, bahwa ayah meninggalkannya karena terpaksa keadaan.” Kini Warsiyem mengamati wajah puteranya. jantungnya berdebar tegang. Saat seperti ini memang selalu dikhawatirkannya, saat yang tidak akn mungkin lolos. suatu saat tentu ia harus bepisah dari puteranya. Anaknya kini sudah menjadi seorang pemuda dewasa dan tentu saja ia tidak berhak untuk mengikat anaknya seperti memingit seorang anak perawan. “Aji ......, engkau ...... engkau akan meninggalkan ibumu ini?” akhirnya ia bertanya lirih. Aji memandang ibunya. keduanya saling bertemu pandang. Aji melihat wajah yang dibayangi kekhawatiran dan kesedihan itu. “Kalau ibu mengijinkan ...... “ katanya lirih pula dan Warsiyem melihat betapa kekecewaan besar membayangi wajah puteranya di balik sikapnya yang berbakti kepadanya itu. ----------------------- Page 188----------------------- ----------------------- Page 189----------------------- http://zheraf.net tersenyum walaupun air matanya menetes netes. Ia merangkul dan mencium dahi puteranya itu. “Aji, berhati-hatilah, nak. Jangan lupa untuk pulang. Ibu akan selalu menunggu kedatanganmu,” katanya lirih. “Bibi, tolonglah bibi menjaga dan menemani ibuku agar ia tidak kesepian,” kata Aji sambil berpamit kepada wanita itu. “Jangan khawatir, anak mas Aji. Aku sudah menganggap ibumu sebagai kakakku sendiri,” kata Juminten. “Priyadi, engkau satu-satunya laki-laki di rumah ini. Jadilah seorang anak laki-laki yang jantan. Sementara aku pergi, gantikanlah aku untuk menjaga ibuku dan ibumu, juga adikmu,” Aji lalu mencium pipi Wulandari dan diapun berangkat, diantar sampai ke pintu gerbang dusun itu oleh ibunya, Juminten, Priyadi dan Wulandari. Mereka yang mengantarnya ini baru kembali ke rumah setelah bayangan Lindu Aji tidak tampak lagi dan menghilang di sebuah tikungan jalan, tertutup pohon-pohon. -o0-dwkz-budi-0o- Setelah berusaha dan melakukan perang selama belasan tahun sejak memegang tampuk kerajaan Mataram, akhirnya Sultan Agung berhasil menaklukkan daerah Jawa Timur dan Madura. Hanya Blambangan saja yang belum dapat ditundukkan. Daerah terakhir yang ditundukkan adalah Surabaya, kemudian Giri. Akan tetapi, sesuai dengan politiknya yang hendak dan mempersatukan semua daerah dan menyusun kekuatan untuk menghadapi musuh utamanya, yaitu Kompeni Belanda, Sultan Agung sama sekali tidak menghukum para adipati dan bupati daerah-daerah yang ditundukkan itu. Dia menghendaki agar daerah-daerah itu dapat ----------------------- Page 190----------------------- ----------------------- Page 191----------------------- http://zheraf.net datuk di Madura. Usianya sudah hampir tujuh puluh tahun, namun semangatnya menentang Mataram masih amat kuat. Setelah mati-matian membantu kadipaten Madura ketika melawan pasukan Mataram dan akhirnya pasukan Madura kalah. Ki Harya Baka Wulung mengungsi ke Surabaya. Ketika Surabaya jatuh, dia melarikan diri ke Giri. Di sana diapun membantu Sunan Giri ketika Giri diserbu balatentara Mataram. Akan tetapi Giri jatuh pula dan kembali Ki Harya Baka Wulung melarikan diri, kini dia mengungsi ke Blambangan. Dengan tubuh tuanya yang kelelahan, lelah lahir batin, dengan hati yang mengandung dendam kebencian terhadap Mataram, Ki Harya Baka Wulung memasuki daerah Kadipaten Blambangan. Biarpun seluruh Madura sudah takluk kepada Mataram, akan tetapi dia pribadi tidak sudi tunduk Ada dendam sakit hati pribadi dalam hatinya terhadap kerajaan Mataram, setelah putera tunggalnya tewas dalam perang terhadap Mataram. Kini harapan satu-satunya hanya pada Kadipaten Blambangan karena adipatinya belum takluk kepada Mataram dan di sana terdapat seorang kawan baiknya, yaitu Wiku Menak Kuncar, datuk kenamaan di Blambangan. Ketika Ki Harya Baka Wulung, kakek berusia hampir tjuh puluh tahun yang bertubuh tinggi besar kokoh kuat seperti raksasa, rambut dan kumis jenggotnya yang kaku seperti kawat itu sudah berwarna dua, matanya lebar dan liar, memasuki Blambangan, melangkah kelelahan dengan kepala menunduk, tidak ada orang yang memperhatikannya. Dengan terhuyung-huyung karena kelelahan, Ki Harya Baka Wulung memasuki pekarangan sebuah rumah gedung yang berdiri di pinggir kota raja. Rumah itu berdiri tegak agak terpencil dan keadaannya sunyi sekali. Pekarangan, kebun di ----------------------- Page 192----------------------- ----------------------- Page 193----------------------- http://zheraf.net Marahlah Ki Harya Baka Wulung, “Cerewet benar kau ini! sudahlah, biar aku aku yang masuk dan mencarinya!” Dia lalu melangkah lebar menuju ke serambi rumah, walaupun langkahnya agak terhuyung karena dia memang sudah lelah sekali. Akan tetapi tukang kebun yang setia itu melompat dan berdiri menghadang di depan kakek itu. Sebagai seorang Blambangan asli, tukang kebun inipun memiliki watak keras, apalagi kesetiaannya menuntut dia untuk membela majikannya. “Nanti dulu! Kalau hendak menghadap Sang Wiku, harus sabar menanti dulu di sini sampai beliau selesai bersamadhi. Tidak boleh sembarangan memasuki rumah mengganggu Sang Wiku!” “Hemm, siapa yang melarang?” hardik Ki Harya Baka Wulung. “Saya yang melarang!” kata tukang kebun itu, sikapnya menantang, dan dia membusungkan dadanya di depan Ki harya Baka Wulung. ----------------------- Page 194----------------------- ----------------------- Page 195----------------------- http://zheraf.net baru dia menyadari bahwa kakek tua renta raksasa itu adalah seorang yang sakti mandraguna. Kakek berkulit hitam arang itu menoleh dan memandang kepada Ki Harya Baka Wulung. setelah saling tatap sejenak, kakek itu melebarkan matanya yang sipit, lalu berseru dengan kaget dan girang. “Kakang Harya Baka Wulung! Andikakah ini?” teriaknya sambil bergegas melangkah maju. “Adi Wiku Menak Koncar, aku datang untuk minta bantuanmu!” kata Ki Harya Baka Wulung sambil mengembangkan kedua lengan. Mereka berpelukan dan Wiku Menak Koncar, kakek berkulit hitam itu, menggandeng tangan sahabatnya. “Ah, sahabatku. Beritanya dari Giri sudah sampai ke sini. Kami ikut prihatin. Mari masuk, kita bicara di dalam.” Mereka berdua lalu memasuki rumah itu. Tukang kebun itu akhirnya dapat bangkit berdiri, menggaruk-garuk kepalanya dan dia bersukur bahwa dia masih hidup. Kini dia tahu bahwa kalau saja tamu tadi tidak bersahabat baik dengan Sang Wiku, tentu dia sudah mati. Ucapan kakek tadi bukan sekedar omong kosong. apa lagi setelah dia melihat sikap Sang Wiku terhadap kakek itu. Diapun pergi ke belakang dengan jalan agak terpincang karena pinggulnya masih terasa nyeri. Dia harus cepat-cepat menyuguhkan minuman untuk tamu terhormat itu, untuk menebus kesalahan sikapnya tadi. Sementara itu, setelah masuk ke ruangan dalam rumah itu, Ki Harya Baka Wulung segera menjatuhkan diri di atas lantai bertilam babut tebal. Dia duduk bersila, memejamkan mata dan mengatur pernapasan untuk memulihkan kekuatannya. dia lelah sekali, lelah lahir batin. ----------------------- Page 196----------------------- ----------------------- Page 197----------------------- http://zheraf.net Menak Koncar lalu mengajaknya makan bersama. “Kita makan dulu, baru nanti bercakap-cakap.” katanya. Ki Harya Baka Wulung mengangguk dan mereka makan bersama. Setelah selesai makan, mereka bercakap-cakap di ruangan depan yang lebih luas dan lebih sejuk karena bagian depan ruangan itu terbuka sehingga hawa udara dari luar dapat masuk dengan bebas. Mereka duduk berhadapan di atas kursi menghadapi meja dan di atasnya tergantung sebuah lampu yang cukup terang. “Aku sudah mendengar bahwa Giri akhirnya jatuh juga ke tangan Sultan Agung. Kakang Harya. Bagaimana hal itu bisa terjadi? bukankah Kanjeng Sunan Giri seorang yang sakti mandraguna? Bahkan andikapun berada di sana membantunya?” Ki Harya Baka Wulung menghela napas dan mengepalkan tinju kanannya dengan gemas. “Menyebalkan sekali, Adi Wiku! Sebetulnya pasukan Mataram dan Surabaya tidak mungkin dapat mengalahkan Giri. Akan tetapi Sultan Agung licik! Dia mengangkat puterinya, Ratu Wandansari, menjadi senopati. Menghadapi musuh seorang puteri, Kanjeng Sunan Giri menjadi lemah, apalagi mengingat bahwa puteri itu telah menjadi isteri Pangeran Pekik, muridnya yang tersayang. Apalagi Pangeran Pekik juga memihak Sultan Agung yang sudah menjadi mertuanya. Ah, aku merasa menyesal sekali dan dendam pribadiku terhadap Sultan Agung semakin mendalam. Karena itulah maka aku datang mengunjungimu, Adi Wiku. Aku ingin minta bantuanmu untuk membalas dendam kepada Sultan Agung!” “Akan tetapi bagaimana caranya. Kakang Harya? Kedudukan Mataram semakin kuat dan Kadipaten Blambangan ----------------------- Page 198----------------------- ----------------------- Page 199----------------------- http://zheraf.net dua orang datuk itu. Setelah itu berangkatlah mereka berdua, berperahu melalui selat Bali terus ke utara kemudian menyeberangi selat Madura, menuju ke Sampang. Ki Harya Baka Wulung adalah guru Raden Praseno yang kini menjadi adipati di Madura bergelar Pangeran Cakraningrat. tentu saja kedatangan kedua datuk itu diterima dengan hormat oleh sang adipati. juga Pangeran Cakraningrat menerima Wiku Menak Koncar dengan hormat. Gia mengenal baik kakek itu apalagi Wiku Menak Koncar membawa salam dari Adipati Blambangan. Untuk menghormati dua orang datuk itu Pangeran Cakraningrat mengadakan perjamuan makan. Setelah selesai perjamuan, mereka bercakap-cakap dalam sebuah ruangan tertutup karena Ki Harya Baka Wulung minta kepada bekas muridnya itu untuk membicarakan urusan penting secara rahasia. Setelah mereka bertiga duduk di ruangan tertutup Ki Harya Baka Wulung menceritakan rencananya, mengajak sang adipati untuk menghimpun kekuatan seluruh kabupaten di Madura untuk memerangi Mataram. “Jangan khawatir, Anakmas Adipati, Sang Adipati Blambangan juga sudah siap untuk membantu gerakan kita. Kalau seluruh kekuatan di Madura dihimpun, kemudian dibantu oleh pasukan Blambangan, mustahil kita tidak mampu mengalahkan Mataram.” Ki Harya Baka Wulung menutup bicaranya. Sejak tadi Pangeran Cakraningrat hanya mendengarkan saja. Walaupun hatinya merasa terkejut bukan main, namun dia bersikap tenang dan hanya mendengarkan sampai bekas gurunya itu berhenti bicara. Setelah itu baru dia berkata. ----------------------- Page 200----------------------- ----------------------- Page 201----------------------- http://zheraf.net Bukan main marahnya hati Harya Baka Wulung mendengar ucapan bekas muridnya itu. Dia masih mencoba untuk membujuk, dibantu oleh Wiku menak Koncar, akan tetapi sama sekali kesetiaan Pangeran Cakraningrat terhadap Sultan Agung tidak goyah. Dengan putus harapan dan marah Ki Harya Baka Wulung mengajak Wiku Menak Koncar untuk meninggalkan Sampang. “Bagaimana kalau kita mencoba untuk membujuk Pangeran Pekik, adipati di Surabaya?” Wiku Menak Koncar berkata kepada Ki Harya Baka Wulung ketika perahu mereka sudah meninggalkan pantai Madura dan memasuki selat Madura. Ki Harya Baka Wulung yang muram wajahnya itu menjawab kesal. “Pangeran Pekik? Seperti mengharapkan matahari bersinar di malam hari! Tidak mungkin sama sekali. Setelah dia menikah dengan Ratu Wandansari, menjadi mantu Sultan Agung, mana mungkin dia diajak memberontak terhadap mertuanya?” “Kalau begitu, apa yang akan andika lakukan sekarang, Kakang Harya? Kalau sudah tidak ada sesuatu lagi yang dapat kubantu, lebih baik aku kembali saja ke Blambangan,” kata Wiku Menak Koncar. “Nanti duku, Adi Wiku,” kata Ki Harya Baka Wulung. Dia tampak mengerutkan alisnya, termenung, termenung dan mengolah pikirannya. Kemudian dia mengepal tangan kanannya dan memukul pahanya sendiri. “Ah, inilah jalan terbaik! Kita harus dapat memberi pukulan yang tepat sekali untuk menghancurkan hati Sultan Agung dan melemahkan kedudukannya, merenggangkan hubungan Mataram dengan ----------------------- Page 202----------------------- ----------------------- Page 203----------------------- http://zheraf.net dapat mengalahkan andika atau aku, apalagi kalau kita berdua melawannya.” “Akan tetapi, Kakang Harya. Ia telah menjadi isteri Pangeran Pekik. Ia tentu berada di istana Kadipaten Surabaya dan terjaga kuat. Bagaimana kita mendekatinya, apalagi membunuhnya?” “Inilah yang harus kita selidiki, Adi Wiku. Kita selidiki ke Surabaya dan begitu ada kesempatan, kita bertindak. Bagaimana? apakah andika masih mau membantuku?” “Baiklah, aku akan membantumu, Kakang Harya.” “Bagus, terima kasih, Adi Wiku.” “Tidak perlu berterima kasih karena kalau usaha kita berhasil berarti suatu keuntungan besar pula bagi Kabupaten Blambangan. Mereka lalu memerintahkan anak buah untuk mengarahkan perahu ke Surabaya. -o0-dwkz-budi-0o- Setelah meninggalkan dusun Gampingan, Aji berhenti di persimpangan jalan, meragu sejenak. Dia merasa bingung harus mengambil jurusan mana. Biarpun ia mengemban tugas untuk mencari putera mendiang gurunya yang berada di Banten, yaitu daerah yang menurut gurunya berada jauh di barat, juga keinginannya mencari Hasanudin putera ayahnya mengharuskan dia pergi ke daerah Galuh di utara lalu ke barat, namun keinginannya merantau dapat dilakukan ke arah mana saja. Tiba-tiba teringatlah dia akan burung alap-alap yang sering dilihatnya di atas pantai Laut Kidul. Teringat akan ini, langkahnya membawanya ke selatan, ke arah laut. ----------------------- Page 204----------------------- ----------------------- Page 205----------------------- http://zheraf.net pantai teluk Panggul. Karena hari telah menjelang senja, Aji mengambil keputusan untuk bermalam di dusun itu. Pada saat dia memasuki dusun itu, tiba-tiba tampaklah olehnya seekor burung alap-alap melayang-layang di angkasa. Aji merasakan jantungnya berdebar gembira. Entah bagaimana, setiap kali melihat burung alap-alap terbang di angkasa, penglihatan itu begitu akrab dalam hatinya. Penglihatan yang tidak asing. seolah-olah yang melayang-layang itu adalah alap- alap yang dulujuga, yang suka melayang di atas pantai berpasir di sebelah selatan dusun tempat lahirnya, alap-alap yang pernah dilihatnya berkelahi melawan ular dan memenangkan perkelahian itu. Alap-alap yang dengan perkelahian itu telah mengajarkan ilmu tata kelahi yang baru kepadanya. Dan kini alap-alap itu terbang pergi, menuju ke utara! Seolah menjadi pertanda baginya bahwa perjalanan selanjutnya adalah utara. Demikianlah, setelah bermalam di rumah seorang petani tua di dusun Wonocolo itu selama satu malam, pada keesokan harinya Aji melanjutkan perjalanannya. Kini dia melakukan perjalanan ke arah utara! Dia merasa dirinya seekor burung alap-alap yang terbang bebas di udara, menuju ke manapun hati dan kakinya membawanya. Beberapa hari kemudian tibalah dia di daerah Caruban. Pada saat itu matahari sedang panas-panasnya dan tepat beradadi atas kepala. Aji melepas lelah dan duduk di bawah sebatang pohon dadap. Tempat itu sejuk sekali karena terlindung banyak pohon yang tumbuh di tepi jalan. Agaknya dia telah tiba di jalan raya yang membentang dari timur ke barat. Simpang tiga itu berada di daerah berhutan dan keadaan di situ sepi, agaknya jauh dari dusun. Padahal perutnya sudah ----------------------- Page 206----------------------- ----------------------- Page 207----------------------- http://zheraf.net usianya sudah hampir tujuh puluh tahun ini menunjukkan bahwa mereka “berisi”, yaitu dua orang yang memiliki kesaktian. Lima orang laki-laki yang berjalan di belakang mereka juga merupakan orang-orang yang bersikap gagah. Usia mereka dari empat puluh sampai lima puluh tahun dan Aji melihat keanehan pada pakaian mereka. Lima orang itu mengenakan baju dan celana hitam. Mereka membiarkan baju itu terbuka di bagian dada, dan celana hitam mereka sampai ke bawah lutut. Yang menarik adalah ikat pinggang mereka. Ikat pinggang itu merupakan kolor yang besar, hampir sebesar lengannya, panjang hampir menyentuh tanah dan bermacam- macam warnanya. Aji yang belum pernah keluar dari dusun tempat lahirnya, paling jauh dia hanya pergi ke tepi laut, dan sama sekali belum berpengalaman. sama sekali tidak tahu bahwa lima orang itu adalah para warok, yaitu jagoan dari daerah Ponorogo. Ketika dalam perjalanannya beberapa hari yang lalu dia melewati Ponorogo, dia juga melihat banyak kaum pria yang berpakaian seperti lima orang itu, akan tetapi karena tidak pernah terjadi sesuatu, diapun tidak tahu siapa mereka, sama sekali tidak mengira bahwa mereka adalah para jagoan dan bahwa kolor yang besar itu merupakan senjata mereka yang ampuh. Ketika rombongan itu tiba di dekat tempat Aji tersandar pada batang pohon, dua orang kakek itu menghentikan langkah mereka. Lima orang itupun berhenti dan mereka mengamati Ajim dengan penuh perhatian. Kemudian terdengar kakek berkulit hitam arang itu berkata dengan suara tinggi seperti suara wanita. ----------------------- Page 208----------------------- ----------------------- Page 209----------------------- http://zheraf.net membantunya mencari kesempatan untuk membunuh Ratu Wandansari, puteri Sultan Agung atau isteri Pangeran Pekik dalam usahanya membalas kematian anaknya. Dengan membunuh Ratu Wandansari, dia dapat menghancurkan hati Sultan Agung dan sekaligus merenggangkan hubungan antara Mataram dan Surabaya, juga Giri. Beberapa lamanya mereka menanti dan mengintai kesempatan dan sekarang kesempatan itu tiba! Dari beberapa orang anak buah yang mereka sebar di Kadipaten Surabaya untuk melakukan penyelidikan, mereka mendengar bahwa pada hari itu Ratu Wandansari akan melakukan perjalanan menuju Mataram, seorang diri, tidak dengan Pangeran Pekik. Dan seperti biasanya, puteri yang digdaya, sakti mandraguna dan memiliki kelebihan, mampu melindungi diri sendiri. Mendengar berita ini, Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar menjadi girang bukan main. Saat yang ditunggu-tunggu selama berpekan-pekan itu akhirnya tiba. Kesempatan itu akhirnya terbuka. Mereka cepat mendahului perjalanan sang puteri dan di daerah Madiun mereka berhasil menemui lima orang warok bersaudara yang terkenal sebagai Lima Macan Nganjuk. Lima orang jagoan bersaudara ini berasal dari Ponorogo dan dulu pernah memperdalam aji kanuragan dari Ki Harya Baka Wulung sehingga mereka boleh disebut murid-murid datuk ini, walaupun mereka tidak menyerap seluruh kepandaian Ki Harya Baka Wulung, melainkan hanya memperdalam ilmu mereka sendiri menurut petunjuk datuk itu. Akan tetapi hal ini sudah cukup untuk membuat mereka menaati perintah Ki Harya Baka Wulung yang mereka anggap sebagai guru mereka. Ketika datuk itu minta bantuan mereka, dengan senang hati lima orang warok ----------------------- Page 210----------------------- ----------------------- Page 211----------------------- http://zheraf.net Dengan hati-hati dia menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak untuk mendekat agar dapat melihat lebih jelas. Perhitungan Ki Harya Baka Wulung dan kawan- kawannya tidaklah salah. Ratu Wandansari yang berada dalam kereta yang dikawal selosin prajurit itu. Siang itu hawanya panas sekali dan perjalanan jauh itu melelahkan, maka Ratu Wandansari yang duduk dalam kereta itu mengantuk dan melenggut. Sedikitpun ia tidak merasa khawatir akan menemui halangan dalam perjalanan. Ia adalah puteri Sultan Agung dan isteri Pangeran Pekik. Siapa yang akan berani mengganggunya? Pula, andaikata ada yang begitu berani mengganggu, ada selosin perajurit pilihan mengawalnya, dan dia sendiri tidak takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun. Tiba-tiba sais kereta itu menahan empat ekor kuda penarik kereta. Karena dia menarik kendali secara mendadak, maka kereta berhenti dengan tiba-tiba pula dan hal ini membuat Ratu Wandansari tersentak bangun dari keadaan setengah tidur. Dua belas orang prajurit berloncatan turun dari atas kuda mereka dan berlari ke depan kereta untuk melindungim sang puteri. Mereka melihat tujuh orang tiba-tiba berloncatan dari kanan kiri jalan dan berdiri menghadang dengan sikap mengancam. Aji sudah menyelinap cukup dekat dan dia menonton dengan hati tegang. Dia menghadapi pertentangan, mungkin pertempuran kedua pihak yang tidak dikenalnya, tidak tahu siapa di antara kedua pihak itu yang benar atau salah, siapa yang harus dibantu atau ditentang. ----------------------- Page 212----------------------- ----------------------- Page 213----------------------- http://zheraf.net “Ah, kiranya Paman Harya Baka Wulung dan Paman Wiku Menak Koncar! Maafkan kalau saya tidak mengenal paman berdua tadi. Akan tetapi apa kehendak paman menghadang perjalanan kami yang mengawal Gusti Puteri Wandansari?” “Sudah, minggirlah! Kami tidak ingin berbicara dengan orang-orang kecil macam kalian! Minggir! Kami hendak bicara langsung dengan puteri Wandansari!” kata Ki Harya Baka Wulung dengan lagak angkuh. Pada saat itu, tirai kereta itu tersingkap dari dalam dan keluarlah seorang wanita dari dalam kereta. Aji memandang dengan mata terbelalak kagum. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang wanita yang demikian anggun. Usianya sekitar tiga puluh tahun. Pakaiannya indah. tubuhnya ramping padat. Kepala dan tubuhnya tegak ketika ia berdiri sehingga tampak gagah dan berwibawa. Rambutnya hitam panjang digelung dan dihias tusuk sanggul dari emas permata. Sepasang matanya tajam dan mengandung wibawa yang kuat. Sebatang pedang dengan sarung berukir indah tergantung di punggungnya, membuat wanita itu tampak semakin gagah. Aji yang selama ini hanya bertemu dengan wanita dusun yang sederhana, tentu saja kini merasa seolah-olah sedang bermimpi dan bertemu dengan seorang puteri kahyangan atau bertemu dengan tokoh Srikandi, wanita perkasa dalam cerita wayang! Ketika wanita itu bicara, suaranya merdu namun lantang dan berwibawa. “Kiranya Paman Harya Baka Wulung dan Paman Wiku Menak koncar yang menghadang perjalananku. Seingatku, kami tidak mempunyai urusan apapun dengan andika berdua! Ada kepentingan apakah paman berdua menghadang perjalananku?” ----------------------- Page 214----------------------- ----------------------- Page 215----------------------- http://zheraf.net bukan main karena tenaga tusukannya diperkuat tenaga sakti, didorong gerengan seperti seekor katak buduk. Akan tetapi dengan gerakan tangkas sekali, Ratu Wandansari sudah melompat ke belakang dan begitu tangan kanannya meraba punggung, tampak sinar berkelebat dan tahu- tahu ia sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar mengkilap. Ki Harya Baka Wulung menerjang lagi, menyerang dengan kerisnya. Sekali ini, Ratu Wandansari menggerakkan pedangnya menangkis. “Wuuuutttt ...... trang ...... !” Pedang bertemu keris. Bunga api berpijar menyilaukan mata akibat benturan dua senjata yang didorong tenaga sakti dahsyat itu membuat sang puteri terhuyung ke belakang. Ternyata ia masih kalah kuat! Akan tetapi gerakannya trengginas sekali sehingga ketika Ki Harya Baka Wulung mendesak, ia sudah mampu mengendalikan diri dan mempergunakan kegesitannya dan menghindarkan serangan susulan. Mulailah puteri perkasa ini bersilat dengan ilmu pedang Kartika Sakti, sebuah ilmu pedang yang amat ampuh, yang dipelajarinya dari mendiang Resi Limut Manik, ----------------------- Page 216----------------------- ----------------------- Page 217----------------------- http://zheraf.net Pada saat itu terdengar seruan-seruan lantang dan penuh daya getaran. Ki Harya Baka Wulung dan Wiku Menak Koncar mengeluarkan ilmu mereka yang dahsyat. Datuk Madura itu dalam keadaan tubuh direndahkan mengembangkan kedua lengannya lalu mendorong ke depan. Dari gerakannya itu tiba- tiba saja tampak asap hitam mengepul tebal menyerang ke arah sang puteri. Itulah Aji Kukus Langking yang amat hebat. Ratu Wandansari adalah seorang wanita yang sakti mandraguna. Ia maklum akan bahayanya serangan yang menggunakan tenaga sakti dan kekuatan sihir itu. Iapun lalu mengerahkan tenaga sakti dan mendorong dengan kedua tangannya, menggunakan Aji Gelap Musti. “Aji Kukus Langking ...... !” Ki Harya Baka Wulung berseru dan memperkuat tenaga. “Aji Gelap Musti!” Ratu Wandansari juga berteriak melengking. Dua tenaga sakti bertemu dan akibatnya, sang puteri terdorong ke belakang sampai terhuyung-huyung. Jelas bahwa ia kalah kuat dalam pertandingan adu tenaga sakti ini. Sementara itu, dalam saat yang hampir bersamaan, Wiku Menak Koncar juga mendorongkan kedua tangannya ke depan sambil berseru nyaring. “Aji Bayu Bajra ...... !” Begitu dia berseru dan kedua tangannya mendorong, ada angin yang amat kuat menyambar ke arah para perajurit pengawal. Demikian kuatnya dorongan angin ini sehingga lima orang perajurit terpelanting dan terguling-guling! Tentu saja rekan-rekannya menjadi panik sehingga mereka terdesak mundur. Melihat Ratu Wandansari terhuyung, Ki Harya Baka Wulung menjadi girang sekali. Saatnya tiba baginya untuk membunuh sang puteri. Dia sudah menyarungkan kerisnya ----------------------- Page 218----------------------- ----------------------- Page 219----------------------- http://zheraf.net “Kalau begitu, wakili aku dan lawanlah. Aku harus membantu pasukan pengawal.” -o0-dwkz-budi-0o- JILID VII ilakan, Gusti Puteri!” kata Aji dengan nada suara gembira. Ratu Wandansari mengangguk dan ia lalu S memutar pedangnya dan menerjang ke arah Wiku Menak Koncar yang sedang dikeroyok perwira pasukan pengawal, sais kereta dan beberapa orang prajurit. Sambaran pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar itu mengejutkan Wiku menak Koncar dan terpaksa dia memutar ruyungnya untuk melindungi dirinya. Ki Harya Baka Wulung marah bukan main ketika mengenal Aji sebagai pemuda yang tadi dilihatnya tidur bersandar batang pohon. Dia telah gagal membunuh Ratu Wandansari karena dihalangi dan ditangkis pemuda ini! “Heh, bocah keparat! Siapakah engkau, berani mencampuri urusan kami?” Pada saat itu, entah mengapa, mungkin karena dia merasa gugup berhadapan dengan keadaan yang menegangkan seperti itu, juga karena dia tidak ingin memperkenalkan diri, Aji teringat kepada alap-alapnya. Dia merasa bahwa keadaannya seperti alap-alap itu, maka begitu saja keluar pengakuan dari mulutnya. “Aku? Aku Alap-alap dari Laut Kidul!” Dia sendiri terkejut dan heran atas pengakuannya itu, akan tetapi juga geli ----------------------- Page 220----------------------- ----------------------- Page 221----------------------- http://zheraf.net mantera, lalu membentak lagi, “Orang muda, kedukaan hebat mencengkeram hatimu. menangislah engkau!” Akan tetapi pemuda itu malah tersenyum geli. “Orang tua, apakah engkau sudah menjadi pikun? Ataukah pikiranmu sudah tidak waras lagi?” Wajah Ki Harya Baka Wulung menjadi merah sekali, merah karena malu dan terutama karena marah. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu berjongkok dan menyerang dengan dorongan pukulan kedua telapak tangannya sambil membentak. “Aji Cantuka Sakti ...... !” Dari perutnya terdengar bunyi nyaring. Serangkum hawa panas yang berbau amis menyambar keluar dari kedua telapak tangannya, menyerang ke arah Aji. Biarpun dia belum mempunyai banyak pengalaman dalam perkelahian, namun Aji sudah seringkali mendengar penjelasan dari mendiang gurunya, maka dia selalu waspada. Maka ketika kakek itu melancarkan pukulannya, dia sudah bergerak cepat dan mengelak dengan gerakan seperti seekor kera karena memang dia memainkan ilmu silat Wanara Sakti. Melihat pukulan mautnya luput, Ki Harya Baka Wulung menjadi penasaran dan mendesak terus dengan serangkaian serangan. Tubuhnya melompat-lompat dalam kedudukan berjongkok dan setiap kali memukul, dia mendorongkan kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka dan dari perutnya keluar suara berkokok nyaring. Aji mempergunakan kecepatan gerakannya untuk selalu menghindar, kadang membalas serangan lawan dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga sakti Aji Surya Candra yang kuat. Dari sambaran angin pukulan berupa tamparan ini, maklumlah Ki Harya Baka Wulung bahwa tamparan pemuda itupun ampuh sekali maka dia tidak berani ----------------------- Page 222----------------------- ----------------------- Page 223----------------------- http://zheraf.net tubuhnya yang meliuk ke kiri menghindarkan pukulan lawan mendadak melompat seperti terbang ke atas! Datuk Madura itu terkejut dan dia tidak berjongkok dan mengerahkan tenaga sakti Cantuka Sakti membuat dia lelah bukan main. Akan tetapi baru saja dia bangkit berdiri dan memandang ke atas, dia melihat pemuda itu sudah menukik ke bawah bagaikan seekor alap-alap (elang) menyambar ke arah kepalanya! Kedua tangan pemuda itu menyerang dengan membantuk cakar, mencengkeram ke arah kedua pelipis kepalanya! Ki Harya Baka Wulung mengenal serangan maut ini. Karena serangan itu datangnya cepat sekali, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menyambut serangan itu dengan kedua tangannya pula. “Wuuuttt ...... plakkk!” Dua pasang tangan itu saling bertemu di udara. akan tetapi pada saat itu, kaki Aji yang tadinya ada di atas itu turun dan dengan kecepatan kilat kedua kakinya menghantam kakek yang ada di bawahnya. “Dessss ...... !!” Ki Harya Baka Wulung berteriak mengaduh dan tubuhnya terjengkang keras lalu terbanting ke atas tanah. Akan tetapi dia memang tangguh. Dia bergulingan lalu melompat bangkit berdiri lagi. Sekilas pandang tahulah dia bahwa keadaan teman-temannya juga dalam bahaya. Wiku Menak Koncar repot menghadapi Ratu Wandansari yang dibantu perwira pengawal, sais kereta dan dua orang prajurit pengawal. Datuk Blambangan itu hanya dapat memutar ruyungnya untuk menangkis serangan lima orang pengeroyoknya itu tanpa sempat membalas lagi. Juga lima orang warok itu kini tinggal tiga orang, yang dua orang sudah roboh. Tiga orang warok itu menghadapi pengeroyokan enam ----------------------- Page 224----------------------- ----------------------- Page 225----------------------- http://zheraf.net itu maju sendiri, tentu dia masih dapat menandinginya. kini dia terdesak hebat dan menjadi bingung. Apalagi ketika dia melihat Ki Harya Baka Wulung melarikan diri begitu saja tanpa memperdulikan dirinya! tiba-tiba tiga orang warok yang juga dikeroyok dan didesak, berturut-turut roboh. Tinggal dia seorang diri! Wiku menak Koncar mengeluarkan gerengan yang mengandung getaran hebat sehingga empat orang yang membantu Ratu Wandansari yang mengeroyoknya terhuyung ke belakang. Hanya sang puteri yang mampu bertahan terhadap serangan daya suara itu. Wiku Menak Koncar tidak berpikir panjang lagi. Dia sudah amat lelah dan panic, maka dia menggunakan kesempatan ini untuk melompat dan melarikan diri. “Jahanam, hendak lari ke mana kau?” Ratu Wandansari membentak dan ia melakukan jurus serangan terakhir dari ilmu pedang Kartika Sakti. Ia mengerahka n tenaganya, dengan suara bentakan ia melontarkan pedangnya ----------------------- Page 226----------------------- ----------------------- Page 227----------------------- http://zheraf.net yang berniat membunuhku. Kalau tidak ada andika yang membantu, kukira kami semua telah tewas oleh orang-orang jahat itu.” Aji teringat akan semua nasihat mendiang gurunya. Dia memberi hormat dengan sembah lalu berkata, “Yang menolong paduka dan kita semua adalah Gusti Allah, dan kita semua hanya berusaha untuk melaksanakan kewajiban kita masing- masing sebaik mungkin, Gusti Puteri.” Ratu Wandansari melebarkan sepasang matanya yang jeli, merasa heran sekali mendengar ucapan itu keluar dari mulut seorang pemuda yang berpakaian demikian sederhana. “Anda tahu siapa aku, ki sanak?” “Saya mendengar percakapan tadi. Saya tahu bahwa paduka adalah Gusti Puteri Ratu Wandansari, puteri Kanjeng Gusti Sultan Agung dan garwa Adipati Surabaya.” Ratu Wandansari tersenyum, manis sekali. Dari logat bicara pemuda itu, yang bicara dengan teratur menunjukkan bahwa dia tahu tata susila, ia dapat menduga bahwa pemuda itu berasal dari daerah selatan. “Kalau andika sudah tahu siapa aku, lalu kenapa andika membantuku menghadapi orang-orang yang memusuhiku tadi?” ia sengaja memancing. “Mendiang bapa dan terutama sekali mendiang eyang guru saya memesan agar saya membela Mataram dan membantu Kanjeng Gusti Sultan Agung. Karena paduka adalah puterinya, maka tanpa ragu-ragu lagi saya membantu paduka. Apalagi karena dari pecakapan tadi saya menganggap bahwa kakek tadi yang jahat.” “Hemmm, begitukah? Lalu, siapa mendiang bapamu dan mendiang eyang gurumu itu? Dan siapa pula andika?” ----------------------- Page 228----------------------- ----------------------- Page 229----------------------- http://zheraf.net Mataram bersama sais dan pemuda ini.” Ia lalu menghampiri Aji. “Lindu Aji, maukah andika mengawal aku sampai ke Mataram? Andika tadi mengatakan hendak membantu Kanjeng Rama Sultan Agung. Nah, aku akan membawamu menghadap kalau andika memang hendak mengabdi kepada Mataram.” Aji mengangguk. “Saya akan senang sekali, Gusti Puteri.” “Bagus.” Sang puteri lalu berkata kepada perwira pengawal. “Pilihkan seekor kuda terbaik untuk Lindu Aji. Dia yang akan mengawalku sampai ke Mataram.” Perwira itu memberikan kuda tungganganya sendiri kepada Aji. Ketika tinggal di dusun Gampingan, Aji sering menunggang kuda milik kepala dusun sehingga menunggang kuda bukan merupakan kesulitan baginya. Dengan hati senang dia menunggang kuda dan berangkatlah sang puteri, menunggang kereta yang dikusiri sais dan Aji menunggang kuda di belakang kereta. Di sepanjang perjalanan ke arah barat ini, Aji termenung. Secara kebetulan sekali dia bertemu dengan Puteri Wandansari bahkan telah menolongnya dari ancaman bahaya. Kini dia mengawal sang puteri menuju ke Mataram. Dia dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Sang Puteri akan membawanya menghadap Sultan Agung! dia akan menghadap Sri Baginda Raja Sultan Agung yang sudah sering dia dengar dari cerita eyang gurunya. Mendiang Ki Tejobudi banyak bercerita tentang Sultan Agung yang dipujinya sebagai seorang raja yang bijaksana dan juga sakti mandraguna. Dan eyang gurunya itu wanti-wanti memesan agar dia dapat membantu raja itu. Tentu saja keadaan dirinya ini cocok sekali dengan pesan eyang gurunya. Akan tetapi ada satu hal yang ----------------------- Page 230----------------------- ----------------------- Page 231----------------------- http://zheraf.net terjadi di hutan Caruban yang masih termasuk daerah Madiun. Setelah bermalam di Kadipaten Madiun semalam. pada keesokan harinya puteri Wandansari melanjutkan perjalanannya. Kuda-kuda yang menarik kereta diganti dengan kuda baru agar tidak terlalu lelah. Juga Aji diberi seekor kuda baru yang masih segar dan kuat. Tawaran Adipati Madiun untuk memberi pengawalan ditolak oleh sang puteri. Perjalanan dilakukan seperti hari-hari yang lalu, tidak tergesa-gesa agar kereta tidak sangat terguncang dan melelahkan. Sang puteri berhenti di Sukowati dan setelah melewatkan malam di situ, keesokan harinya perjalanan dilanjutkan sampai ke kota raja Mataram. -o0-dwkz-budi-0o- Aji memasuki kota raja Mataram dengan hati penuh kagum dan heran. Sejak lahir dia berada di sebuah dusun yang sederhana. Rumah terbesar dan paling megah di dusunnya adalah rumah kepala dusun yang terbuat dari kayu jati. Ketika dia melakukan perjalanan melewati kota-kota kadipaten, dia melihat rumah-rumah yang lebih besar dan lebih megah. Juga ketika dia yang mengawal Puteri Wandansari memasuki gedung kadipaten, dia merasa kagum bukan main. Akan tetapi kini dia memasuki kota raja Mataram dan dia merasa dirinya kecil sekali. akan tetapi, dia adalah seorang pemuda yang sudah digembleng sejak kecil, digembleng lahir batinnya. Oleh karena itu, biarpun dia merasa takjub dan seperti dalam mimpi, namun keheranannya itu tidak tampak pada sikap atau wajahnya. Dia tetap bersikap tenang seolah semua pemandangan itu sudah biasa dilihatnya! ----------------------- Page 232----------------------- ----------------------- Page 233----------------------- http://zheraf.net telah kami angkat menjadi Pangeran Cakraningrat. Untung engkau dapat lolos dari tangannya.” “Karena pertolongan Lindu Aji inilah, kanjeng rama. Pemuda ini mampu menandingi dan membuat Ki Harya Baka Wulung melarikan diri. Dia adalah murid mendiang Ki Tejobudi. Dia seorang kawula yang setia dan siap membantu Mataram, kanjeng rama.” Sultan Agung mengangguk-angguk dan wajahnya yang masih tampak tampan dan anggun itu berseri. Walaupun usianya sudah lima puluh tahun namun raja yang bijaksana ini masih tampak anggun. “Engkau tentu lelah, Wandansari. Masuk dan istirahatlah, temui para ibu dan saudaramu.” Mendengar ucapan ayahandanya, ratu Wandansari menghaturkan terima kasih lalu meninggalkan ruangan itu menuju ke bagian dalam istana itu. Sultan Agung melayangkan pandang matanya kepada belasan orang yang duduk menghadapnya. Hari itu bukan merupakan hari sebo (menghadap raja) yang biasa dilakukan pada setiap hari Senin dan Kamis. Dalam hari sebo biasa itu, Sultan Agung dihadap para ponggawa besar kecil yang jumlahnya mencapai seratus orang lebih! Akan tetapi pada saat itu yang menghadap hanya lima belas orang, terdiri dari patih, menteri dan senopati yang memang datang menghadap karena dipanggil untuk membicarakan urusan penting. Di antara para senopati terdapat pula Tumenggung Wiroguno, Kyai Juru Kiting, Ki Mertoloyo, Suroantani dan lain senopati yang sudah berjasa besar dalam perang menundukkan daerah Jawa Timur yang tadinya menentang Mataram. Mereka tampak gagah dalam pakaian kebesaran masing-masing. Kemudian Sultan ----------------------- Page 234----------------------- ----------------------- Page 235----------------------- http://zheraf.net “Siapa orang tuamu dan di mana engkau tinggal?” “Bapa hamba sudah meninggal dunia, namanya Harun Hambali. Ibu hamba bernama Warsiyem, sekarang tinggal di dusun Gampingan dekat Laut Kidul. Hamba berasal dari dusun itu, Gusti.” Hemm, Gampingan. Sebuah dusun kecil di Pegunungan Kidul, pikir sultan Agung. Kalau begitu benar, seorang pemuda dusun. “Aji, coba angkat mukamu dan pandang kami!” perintahnya. Aji tidak berani menolak. Dengan jantung berdebar dia mengangkat muka dan memandang wajah yang yang anggun dan agung itu. Pandang matanya bertemu dengan sepasang mata yang demikian tajam penuh wibawa. Sebaliknya, Sultan Agung juga terkejut. Sepasang mata pemuda itu begitu lembut, penuh pengertian, namun juga mencorong dan membayangkan kekuatan batin yang hebat. Aji tidak berani memandang lebih lama lagi dan perlahan-lahan dia menundukkan kembali mukanya. Rasa kagum dan suka memenuhi hati Sultan Agung, Puterinya benar. Pemuda ini seorang yang hebat dan dapat dijadikan pembantu yang boleh diandalkan. “Aji, engkau tinggal di Gampingan yang berada di sebelah selatan kota raja. Bagaimana engkau dapat berada di hutan Caruban dan menolong puteri kami?” “Hamba sedang melakukan perjalanan merantau, Gusti.” “Merantau? Tujuanmu ke mana?” “Hamba tidak mempunyai tujuan tertentu. Hamba hanya mengikuti arah terbangnya Alap-alap Laut Kidul.” ----------------------- Page 236----------------------- ----------------------- Page 237----------------------- http://zheraf.net Kalau ada, beritahukan saja. Gusti Sultan arif bijaksana, tentu akan memberimu ganjaran besar kepadamu.” “Maaf, paman. sesungguhnya saya tidak mengharapkan ganjaran apapun juga. Saya hanya melaksanakan tugas saya seperti yang dipesan oleh mendiang bapa dan mendiang eyang guru.” Senopati Suroantani menyembah kepada Sultan Agung. “Ampunkan hamba, Gusti. Hamba hendak mengusulkan kalau paduka menyetujui agar anakmas Lindu Aji diangkat menjadi seorang senopati muda, mengingat dia mampu menandingi dan mengalahkan Ki Harya Baka Wulung.” Sultan Agung mengangguk-angguk. “Luhur budi anak ini! Sudah sepantasnyalah kalau menjadi senopati muda Mataram. Aji, bersediakah engkau kalau kami angkat menjadi seorang senopati muda Mataram?” Hal inilah yang dikhawatirkan Aji dalam perjalanan mengawal Puteri Wandansari. Akan tetapi dia sudah mengambil keputusan tetap untuk tidak mengikatkan diri dengan jabatan. Dari pertanyaan itupun dia tahu akan kebijaksanaan Sultan Agung. Raja itu tidak memerintahkan dia menjadi senopati, melainkan bertanya apakah dia bersedia! Maka dengan didahului sembah dia menjawab dengan hormat. “Mohon beribu ampun, Gusti. Bukan sekali-kali hamba menolak anugerah yang paduka berikan kepada hamba. Akan tetapi, pada waktu ini hamba masih harus melaksanakan tugas- tugas yang dipesan mendiang bapak dan eyang guru. Tugas itu mengharuskan hamba melakukan perjalanan ke daerah Galuh dan Banten.” Sultan Agung mengangguk-angguk. “Baik sekali keputusan hatimu itu, Aji. Memang sudah menjadi ----------------------- Page 238----------------------- ----------------------- Page 239----------------------- http://zheraf.net sakti untuk membantu meraka dengan menggunakan umpan harta benda. Selain itu mereka juga berusaha untuk mengadu domba dengan membujuk para bupati dan adipati agar menentang Mataram. Paman Kyai Juru Kiting, ceritakanlah kepada Aji tentang usaha kita menyerbu kumpeni yang telah mengalami kegagalan agar dia mengetahui duduknya perkara.” Sultan Agung menoleh kepada senopati tua itu. Senopati Kyai Juru Kiting yang sudah berusia enam puluh tahun itu menyembah lalu dengan suara yang lembut namun jelas dia menceritakan kepada Lindu Aji tentang usaha Mataram yang baru saja dilakukan dan mengalami kegagalan. Aji mendengarkan dengan penuh perhatian. Demikianlah cerita senopati itu. Setelah Sultan Agung berhasil menundukkan para adipati dan bupati yang tadinya melepaskan diri dari kekuasaan Mataram, memundukkan hampir seluruh daerah Jawa Timur kecuali Blambangan yang belum dapat dikalahkan, berhasil mempersatukan kekuatan seluruh Madura, Surabaya, Giri dan daerah Jawa Timur, Mataram lalu mengadakan penyerangan menuju Jayakarta atau Batavia. Penyerangan besar-besaran pertama itu terjadi dalam tahun 1628. Balatentara Mataram itu dipimpin oleh Senopati Baurekso dan dibantu pula oleh pasukan dari Madura dan Surabaya. Juga setelah tiba di Pasundan, pasukan Mataram itu dibantu oleh pasukan Pasundan yang dipimpin oleh Dipati Ukur. Pasukan pertama ini segera disusul oleh pasukan kedua yang cukup besar jumlahnya pula, dipimpin oleh tiga orang senopati terkenal, yaitu Suro Agul-agul, Kyai Adipati Mandurejo, dan Adipati Uposonto. Pasukan kedua ini dipersiapkan untuk membantu pasukan pertama dari belakang, kalau diperlukan. ----------------------- Page 240----------------------- ----------------------- Page 241----------------------- http://zheraf.net pertama kami itu gagal, namun kami merencanakan penyerbuan selanjutnya. Kami telah menusun kekuatan di daerah barat dan kami telah menyebar telik sandi untuk mengadakan persiapan di sekitar Batavia. Juga Kerajaan Galuh siap membantu. Karena itu, Aji, dalam perantauanmu ke daerah Pasundan, engkau dapat membantu kami. Engkau kami angkat menjadi telik sandi untuk membantu semua pihak yang mendukung Mataram dan menentang mereka yang menjadi antek Kumpeni Belanda. nah, sanggupkah engkau di samping melaksanakan tugas pribadimu, membantu kami?” Aji menjawab. “Hamba sanggup dan siap membantu, Gusti.” “Bagus sekali kalau begitu!” kata Sultan Agung dan dia mengambil sebatang keris dengan warangka terukir indah, lalu diserahkannya keris itu kepada Aji. “Terimalah pusaka ini, Aji. Semua pejabat daerah dan semua telik sandi Mataram akan mengenal pusaka ini kalau engkau cabut dari sarungnya. Keris ini adalah satu diantara serangkaian pusaka Naga yang menjadi pusaka-pusaka khas kami. Namanya Kyai Nagawelang satu di antara pusaka-pusaka buatan Empu Warihanom yang terbaik.” Aji menerima pusaka itu dan menghaturkan terima kasih. Selain keris pusaka ampuh itu, Aji juga mendapatkan seekor kuda dan sekantong uang untuk bekal dalam perjalanan. Setelah persidangan dibubarkan Aji lalu berangkat meninggalkan ibu kota Mataram, menuju ke barat, memulai dengan pengembaraannya melaksanakan perintah bapak dan eyang gurunya, sekalian untuk membantu usaha gerakan Mataram menentang Kumpeni Belanda. -o0-dwkz-budi-0o- ----------------------- Page 242----------------------- ----------------------- Page 243----------------------- http://zheraf.net lain, juga berpakaian hitam, sedang membuka dan memeriksa buntalan pakaiannya. Pada saat itu, sebuah perahu meluncur di atas sungai. Di atas perahu duduk dua orang laki-laki berpakaian hitam pula dan seorang di antara mereka, yang usianya kurang lebih lima puluh tahun bertubuh tinggi kurus, menelikung dan memeluk seorang wanita yang meronta-ronta dan menangis. Laki-laki kedua usianya agak lebih muda dan memegang dayung, mendayung perahu ke tepi, lalu berseru kepada empat orang yang sedang menangkap kuda dan membuka buntalan. “Heii, kenapa kalian berhenti di situ? Ada apakah?” “Ha-ha-ha-ha, lihat, kakang Jalak Uren! Apa yang kami dapatkan di sini? Rejeki nomplok! Seekor kuda yang besar dan bagus, tentu harganya amat mahal!” kata laki-laki yang kini sudah memegangi kendali kuda. “Dan kini lihat! Ha-ha-ha-ha, sekantung uang emas! Wah, kita menjadi kaya raya tanpa bersusah payah!” kata seorang laki-laki yang telah menemukan kantung uang pemberian Sultan Agung dalam buntalan pakaian Aji. Aji yang tadi keheranan itu kini menyadari bahwa mereka itu adalah perampok-perampok yang hendak merampas kuda dan buntalan pakaiannya. Cepat dia melompat bangkit menghampiri mereka yang telah membawa buntalan dan kudanya. “Hai ...... kisanak! Itu adalah kudaku dan buntalan pakaianku! Kembalikan milikku itu kepadaku!” teriak Aji. Seorang di antara empat orang laki-laki tinggi besar berpakaian serba hitam itu melompat ke depan Aji. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, tampak kokoh kuat seperti ----------------------- Page 244----------------------- ----------------------- Page 245----------------------- http://zheraf.net yang terjadi. Orang itu marah sekali. Kini dia melihat betapa seorang kawannya roboh dan tak dapat bangkit kembali, dan pundi-pundi uang itu telah berpindah ke tangan pemuda yang kelihatan biasa saja itu. Dia cepat mencabut sebatang golok yang tergantung di pinggangnya. Aji melemparkan pundi-pundi itu ke arah buntalan pakaiannya yang masih terbuka dan terletak di atas tanah. Ketika melihat sinar golok menyambar, dia mengelak dengan cepat ke kiri. Akan tetapi lawannya itu agaknya mahir juga memainkan goloknya, karena begitu bacokannya luput, dia sudah membalikkan lagi goloknya dan menyerang dari lain jurusan. Golok menyambar ke arah leher Aji. Kembali Aji mengelak ke belakang sehingga golok hanya mengenai tempat kosong. Orang itu mengejar dan tiba-tiba kaki kanannya mencuat, menyambar dengan tendangan kuat ke arah tubuh Aji. Tendangan yang demikian berbahayanya dibandingkan serangan golok tadi. “Wuuuttt ...... !” aji miringkan tubuhnya dan ketika kaki yang besar dan kokoh itu menyambar ke atas, secepat kilat tangannya menyangga kaki itu dan dengan sentakan tenaga dahsyat dia mendorong ke atas. tenaga tendangan kaki tadi kini ditambah tenaga dorongan aji, membuat si penendang itu tidak lagi dapat mempertahankan dirinya dan tubuhnya terdorong dan terlempar ke atas! Dia mengeluarkan teriakan kaget ketika tubuhnya terbanting dengan kaki di atas dan kepala lebih dulu menhantam tanah. “Dukkk ...... bresss ...... !” Orang kedua itu roboh dan tidak mampu berkutik lagi, pingsan karena kepalanya menumbuk tanah keras. ----------------------- Page 246----------------------- ----------------------- Page 247----------------------- http://zheraf.net itupun terpelanting dan roboh pingsan. Empat orang perampok itu sudah roboh semua dan pingsan. “Keparat, berani engkau menganiaya anak buahku?” bentak laki-laki yang mendayung perahu tadi dan disebut Kakang Jalak Uren oleh empat orang yang merampok. Dengan marah dia meninggalkan kawannya yang masih menelikung wanita itu dan melompat ke daratan sambil mencabut sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Sebentar saja orang yang bertubuh tinggi ini sudah berhadapan dengan Aji. Melihat betapa empat orang anak buahnya masih menggeletak tak bergerak, dia mengira mereka telah tewas maka kemarahannya memuncak. “Babo-babo, bocah keparat! Berani engkau membunuh empat orang anak buah perkumpulan para pendekar Gagak Rodra?” bentak Ki Jalak Uren, wakil ketua Gerombolan Gagak Rodra itu sambil menudingkan goloknya ke arah muka Aji. “Aku tidak membunuh mereka, hanya membuat mereka pingsan agar mereka tidak dapat merampas kuda dan barang- barangku.” kata Aji dengan sikap tenang. Dia lalu berjongkok dan membungkus lagi pakaian dan pundi-pundi uangnya dalam buntalan kain. Mendengar ucapan ini, Ki Jalak Uren menghampiri empat orang anak buahnya itu dan mendapat kenyataan bahwa yang diucapkan pemuda itu benar. Mereka tidak tewas melainkan pingsan. Akan tetapi kenyataan ini tidak mengurangi kemarahannya. Dia menghampiri lagi Aji yang telah selesai membungkus barang-barangnya dan kini berdiri dengan sikap tenang namun waspada. “Heh, pemuda yang kurang ajar! Siapa engkau, berani sekali engkau menentang Perkumpulan Gagak Rodra?” ----------------------- Page 248----------------------- ----------------------- Page 249----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ gerakannya sudah otomatis tanpa dikendalikan pikiran lagi. Maka, ketika angin tendangan menyambar, dia sudah mengelak mundur ke samping kanan sehingga kaki lawan yang menyambar ke arah dadanya itu luput. Namun Ki Jalak Uren ternyata bukan orang lemah. Dia jauh lebih tangguh dibandingkan dengan anak buahnya tadi. Orang ini adalah wakil ketua ke dua di Gerombolan Gagak Rodra, maka tentu saja lmu silat dikuasainya dengan baik di samping tubuhnya yang kebal dan kokoh kuat. Begitu tendangannya luput dan kaki yang menendang itu sudah turun, tubuhnya sudah menerjang maju dan goloknya menyambar dahsyat. Saking cepat dan kuatnya golok itu menyambar, golok lenyap bentuknya berubah menjadi sinar putih yang menyambar ke arah leher Aji. “Singggg ...... !!” Aji merendahkan tubuhnya dan sinar golok itu lewat di atas keplanya. Akan tetapi Ki Jalak Uren sudah menyusulkan serangan dengan tangan kirinya. Jari-jari tangan kirinya membentuk cakar dan mencemngkeram ke arah perut Aji dari bawah! Aji cepat menggerakkan lengan kanannya menangkis sambil mengerahkan tenaganya. “Wuuuttt ...... dukkk !” Dua lengan bertemu dan akibatnya, Ki Jalak Uren terdorong mundur dan terhuyung. Dia terkejut sekali. Dia adalah seorang yang kebal dan bertenaga besar, akan tetapi pertemuan kedua lengan itu bukan saja membuat dia terhuyung menandakan bahwa dia kalah kuat, akan tetapi juga lengannya terasa nyeri menunjukkan bahwa kekebalannya dapat ditembus oleh lengan pemuda itu! Maklumlah dia bahwa pemuda yang sederhana ini ternyata memiliki kesaktian. Dia menjadi semakin marah dan ----------------------- Page 250----------------------- ----------------------- Page 251----------------------- http://zheraf.net menggerakkan dayung, mendayung perahu melawan arus menuju seberang. Aji melompat ke air. “Byurrrr ...... !” Air muncrat dan Aji cepat berenang. Seperti seekor ikan saja dia meluncur di permukaan air. Sebentar saja dia dapat menusul perahu itu. Wanita itu kebetulan mukanya menghadap ke belakang perahu, melihat Aji lebih dulu. Melihat seorang pemuda yang tadi dilihatnya berkelahi melawan para perampok kini sudah berenang dekat perahu, wanita itu berseru, “Ki sanak, tolonglah aku, tolong ...... !” Laki-laki tinggi kurus yang mendayung perahu itu menoleh dan diapun melihat Aji yang sudah berenang dekat sekali dengan perahu. Aji sudah berada di belakang perahu dan tangan kirinya meraih pinggiran perahu. Melihat ini, laki-laki itu bangkit berdiri mengangkat dayungnya. “Ha-ha-ha, engkau berani menggangguku? Aku Blekok Ireng, akan menjadikan engkau makanan ikan!” Dayungnya menyambar ke arah tangan Aji yang berpegang pada perahu. Terpaksa Aji melepaskan tangannya dari perahu agar jangan sampai terpukul. Ki Blekok Ireng adalah wakil ketua pertama dari Gerombolan Gagak Rodra dan tentu saja tingkat ketangguhannya melebihi tingkat Ki Jalak Uren. Bahkan diapun seorang ahli bermain di air, maka melihat Aji mengejar perahunya, dia menertawakannya. “Ha-ha-ha, mampuslah!” katanya lagi dengan dayungnya dia memukul-nukul ke arah kepala Aji yang berenang di belakang perahu. Sambil bereang Aji mengelak ke kanan kiri, mencari kesempatan. Ketika mendapatkan kesempatan, cepat sekali tangannya menyambar dan dia sudah berhasil menangkap dayung yang dipukul-pukulkan ke ----------------------- Page 252----------------------- ----------------------- Page 253----------------------- http://zheraf.net Maka, tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan berenang mengejar perahu! Melihat ini Aji juga cepat berenang mengejar karena khawatir akan keselamatan wanita itu. Ki Blekok Ireng berhasil menangkap perahu itu dan ketika dia melihat bahwa Aji sudah berada di belakangnya, tanpa ragu-ragu lagi dia membalikkan perahu. “Aiiiihhh ...... byurrr ...... !” Tubuh wanita yang menjerit itu terjatuh ke air. Ternyata ia tidak pandai berenang dan megap-megap, kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi. Melihat ini, tentu saja Aji tidak membiarkannya tenggelam. Dia lalu berenang mendekati dan menangkap pangkal lengan kiri wanita itu lalu mengangkatnya sehingga kepalanya berada di atas permukaan air. Karena panik dan ketakutan, wanita itu merangkul leher Aji dengan kedua tangannya, merangkul erat- erat takut terlepas. Tentu saja hal ini merepotkan Aji, menghalanginya untuk bergerak dengan leluasa. hal inilah yang agaknya dimaksudkan oleh Ki Blekok Ireng ketika dia menggulingkan perahu. Melihat aji kerepotan karena dirangkul erat-erat oleh kedua tangan wanita itu, Ki Blekok ireng cepat berenang menghampiri. Dia sudah mencabut goloknya yang tadi belum sempat dia gunakan. Aji melihat bahaya. Wanita itu merangkulnya erat-erat karena takut terlepas sehingga tentu saja dia tidak dapat bergerak dengan leluasa. Untuk dapat berenang dengan baikpun sukar baginya, apalagi menghadapi serangan Ki Blekok Ireng yang sudah memegang sebatang golok! Dia dan juga wanita itu berada dalam ancaman bahaya maut! Untuk melepaskan diri mereka berdua dari ancaman maut, tanpa ragu-ragu lagi Aji menekan tengkuk wanita itu ----------------------- Page 254----------------------- ----------------------- Page 255----------------------- http://zheraf.net mengikatnya kembali. Dia baru merasa rikuh ketika memandang wanita itu lebih teliti. Ternyata wanita itu masih amat muda, sekitar dua puluh tahun dan wajahnya yang basah kuyup dengan rambut terurai lepas tampak ayu dan manis sekali. -o0-dwkz-budi-0o- JILID VIII uga baru sekarang dia melihat betapa tubuh yang berkulit Jputih mulus itu bentuknya indah menggairahkan. Sadar akan hal ini, barulah Aji merasa rikuh dan jantungnya berdebar tegang membuatnya salah tingkah. Akan tetapi dengan kekuatan batinnya dia menenangkan kembali hatinya, kemudian dia mengurut bagian tengkuk wanita itu. Mulut yang bibirnya merah dan mungil itu bergerak, mengeluh lirih. Mata itu terbuka dan bertemu dengan pandang mata Aji. Agaknya ia teringat dan cepat ia bangkit duduk, otomatis kedua tangannya hinggap didadanya yang indah untuk merasa yakin bahwa ikatan kainnya tidak terlepas. Kemudian matanya yang dibuka lebar-lebar memandang ke kanan kiri, melihat ke arah sungai lalu melihat lima orang masih menggeletak di situ, ada yang diam saja dan ada yang mengaduh kesakitan. “Ah ...... aku ...... aku telah tertolong ...... !” Ia menggerakkan tubuh menghadap Aji yang sudah bangkit berdiri, lalu menyembah. “Ki sanak, terima kasih ...... andika telah menyelamatkan diriku ...... “ ----------------------- Page 256----------------------- ----------------------- Page 257----------------------- http://zheraf.net Wanita itu meragu dan dipandangnya kuda itu. Seekor kuda besar dan tinggi karena kuda itu pemberian Sultan Agung. “Bagaimana aku dapat naik dan duduk di atas punggung kuda yang begini tinggi? aku tidak bisa, ki sanak. Biarlah aku berjalan saja.” Aji mengerutkan alisnya, lalu berkata. “Kalau begitu, maafkan aku, nimas. Biar aku membantumu naik.” Tiba-tiba dia menggunakan kedua tangannya untuk memegang pinggang wanita itu dan sekali angkat, dia telah mendudukkan wanita itu di atas punggung kuda, duduk miring. “Nah, berpeganglah pada pelana kuda, aku akan menuntunnya.” kata Aji yang lalu menuntun kuda itu meninggalkan tempat itu. Wanita itu tidak berkata-kata, hanya kedua pipinya berubah agak kemerahan. Ia duduk di atas pelana dan memandang Aji berjalan di depan kuda dengan alis berkerut, diam-diam merasa heran, bukan saja atas ketangguhan pemuda itu yang telah mengalahkan para perampok, akan tetapi juga atas sikap yang lembut dan sopan itu. “Jauhkah Loano dari sini, nimas?” Tanya Aji tanpa menoleh. “Jauh sekali. mereka itu membawaku sejak fajar tadi dengan perahu yang mereka dayung cepat-cepat.” jawab wanita itu. Aji berpikir. berperahu mengikuti aliran air sungai ditambah dengan tenaga dayung tentu cepat sekali, jauh lebih cepat dari pada orang berjalan kaki. Pada hal, wanita itu dilarikan dengan perahu sejak fajar tadi. Sudah setengah hari lebih. Kini, kalau dia mengantar wanita itu pulang, tentu sedikitnya akan makan waktu lebih dari satu hari, atau bahkan sampai dua hari. ----------------------- Page 258----------------------- ----------------------- Page 259----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ mengambil seperangkat pakaian terdiri dari celana dan baju, kemudian pergi ke belakang sebuah batu besar yang letaknya berlawanan arah dengan semak belukar itu. Wanita itu agak ragu sejenak, kemudian setelah melihat Aji menghilang di balik batu besar, iapun melangkah menuju ke semak belukar dan menghilang di balik semak. Aji telah selesai berganti pakaian. Dia kembali ke kudanya, memeras pakaiannya yang basah lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol dan menanti wanita yang berganti pakaian itu. Duduknya membelakangi semak-semak. Tak lama kemudian dia mendengar langkah lembut dari arah belakangnya. Aji bangkit dan memutar tubuhnya. Wanita itu telah berganti pakaian. Sarung itu melibat tubuhnya dari dada ke bawah. Bagian atasnya tertutup baju putih yang terlalu besar. Rambutnya sudah disanggul sederhana. Tampak lucu sekali, akan tetapi bersih, kering dan tidak mengurangi keayuannya. Kedua pipi itu kemerahan, mulutnya tersenyum malu-malu dibantu sinar matanya. “Aku ...... aku tentu kelihatan lucu sekali.” katanya lirih. “Ah, tidak! Andika kelihatan seperti seorang pemuda ...... “ “...... yang jelek dan tidak patut tentu!” “Sebaliknya malah. Andika tampak tampan dan patut sekali.” Wanita itu menghela napas dan duduk di atas akar pohon, lalu memeras pakaiannya yang basah. Aji berjongkok dan merapikan buntalannya lagi. Wanita itu membawa pakaiannya di tempat yang terbuka lalu menjemur pakaiannya di atas batu. Tanpa diminta ia mengambil pakaian Aji yang ----------------------- Page 260----------------------- ----------------------- Page 261----------------------- http://zheraf.net Winarsih tersenyum dan deretan giginya yang rapi dan putih tampak, membuat wajah itu tampak semakin menarik dan manis. “Dan andika yang baru berusia dua puluh tahun tampak bijaksana dan matang sikapmu, seperti orang yang jauh lebih tua, padahal wajahmu masih tampak muda sekali. andika tentu seorang satria, murid seorang yang sakti mandraguna. Suamiku banyak bercerita tentang orang-orang yang sakti mandraguna.” “Mbakayu Winarsih,” setelah menyebut wanita itu dengan mbakayu, Aji merasa lebih akrab dan tidak canggung lagi, merasa seolah bicara dengan mbakayunya sendiri. Setelah tahu bahwa wanita itu lebih tua bahkan telah bersuami, dia merasa lega dan tidak rikuh. “Kalau suamimu mengenal orang- orang sakti mandraguna, tentu suamimu juga seorang yang digdaya. Betulkah dugaanku ini?” Winarsih menghela napas panjang. “Tidak keliru dugaanmu, dimas Aji. Suamiku bernama Ki Sumali dan dia adalah seorang yang memiliki aji kadigdayaan. Akan tetapi semenjak aku menjadi isterinya, dia menyatakan ingin hidup tenang dan damai, tidak pernah lagi mencampuri urusan dunianya orang-orang yang suka mengadu ilmu kadigdayaan. Kami hidup bertani di Loano, hidup tenang dan tenteram.” “Akan tetapi bagaimana mbakayu tadi sampai ditawan mereka?” “Itulah, dimas. Kukira ini juga ada hubungan dengan cara hidup suamiku ketika masih menjadi pendekar dahulu. Aku sendiri tidak mengenal dia orang yang menculikku. Pada waktu fajar tadi, seperti biasa aku mencuci pakaian di sungai yang berada dekat dengan rumahku. Tiba-tiba dua orang laki- laki tadi menangkap aku dan melarikan aku dengan perahu mereka. Di darat masih ada empat orang kawan mereka yang ----------------------- Page 262----------------------- ----------------------- Page 263----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ yang menawanmu. Karena menduga bahwa engkau tentu diculik, maka setelah merobohkan para perampok, aku lalu berenang dan mengejar perahu itu.” “Aku juga ingin segera dapat berjumpa dengan suamimu, mbakayu. Mari kita lanjutkan perjalanan agar dapat tiba di sebuah dusun sebelum hari menjadi gelap.” “Baiklah, adimas.” Kini sikap Winarsih juga lebih akrab dan tidak canggung lagi karena iapun merasa seolah berhadapan dengan seorang adik sendiri. “akan tetapi biar aku berjalan kaki saja, rasanya tidak enak menunggang kuda sedangkan engkau berjalan kaki.” “Akan tetapi kalau engkau berjalan kaki, selain engkau akan menjadi lelah sekali, juga perjalanan menjadi semakin lambat. Ah, kalau saja engkau dapat menunggang kuda dan melarikannya, tentu kita akan dapat tiba di rumahmu dengan cepat, mbakayu. Kalau dudukmu menghadap ke depan, tentu kuda dapat dilarikan lebih cepat dan aku dapat berlari sambil menuntun kuda.” “Wah, membiarkan engkau berlari-lari sambil menuntun kuda yang kutunggangi? Tak mungkin aku dapat membiarkan hal itu. Terlalu enak untukku dan tidak enak untukmu! Lagi pula, andaikata aku dapat duduk menghadap ke depan, akupun tidak berani kalau kuda berlari kencang. Aku takut jatuh. Eh, bukankah kudamu ini cukup besar dan kuat, adimas? Kulihat berbeda dengan kuda biasa yang pernah kulihat. apa kuda ini tidak kuat kalau kita tunggangi berdua? Kalau berboncengan denganmu, aku tidak takut!” Tiba-tiba Aji menjadi rikuh kembali. “Akan tetapi ...... tidak apa-apakah kalau ...... kalau kita berboncengan? Kalau dilihat orang ...... apakah hal itu pantas?” ----------------------- Page 264----------------------- ----------------------- Page 265----------------------- http://zheraf.net rumahmu dan kita tidak melakukan atau memikirkan hal-hal yang tidak baik. Mengapa harus malu dan khawatir akan pendapat orang lain?” Dia lalu membuka lagi buntalan pakaiannya dan mengeluarkan celan hitam dan memberikannya kepada Winarsih. “Nah, kau kenakan calana ini mbakyu agar engkau leluasa menunggang kuda.” Winarsih tersenyum, menerima celana itu dan pergi lagi ke balik semak-semak untuk mengenakan celana itu di balik sarungnya. Ia berterima kasih sekali kepada Aji yang demikian penuh pengertian. Setelah selesai mengenakan celana dan keluar, ia melihat Aji sudah mengambil pakaian yang tadi dijemur dan dimasukkan dalam buntalannya. “Sekarang kita berangkat, mbakayu,” kata Aji yang sudah menggendong buntalan pakaiannya. Dia lalu membantu Winarsih naik ke atas pelana kuda. Wanita itu duduk menghadap ke depan dan tentu saja merasa lebih enak dan lebih mudah daripada ketika ia menunggang kuda dengan duduk miring. Aji lalu melompat ke belakang wanita itu, menjaga jarak agar tubuhnya tidak berhimpitan dengan tubuh Winarsih. Demikianlah dengan berboncengn seperti itu, Aji memegang kendali kuda dan perjalanan kini dapat dilakukan jauh lebih cepat. Semula Winarsih merasa rikuh juga dengan adanya seorang laki-laki duduk di belakangnya berdempetan. Belum pernah ia begitu dekat dengan seorang pria kecuali dengan suaminya. Akan tetapi ia merasa lega ketika tidak merasa tubuh pemuda itu menghimpit tubuh belakang dan ia menjadi semakin kagum saja kepada pemuda itu. Seorang pemuda yang benar-benar sopan dan berhati bersih. ----------------------- Page 266----------------------- ----------------------- Page 267----------------------- http://zheraf.net mengenalku dan aku merasa rikuh kalau mereka melihat kita berboncengan kuda. Juga pakaian ini memalukan, tentu akan menjadi buah tertawaan orang. Sebaiknya kalau aku berganti pakaianku yang kemarin.” Aji tak berkata apa-apa. Dia membuka buntalannya dan mengeluarkan pakaian Winarsih terdiri dari tapih (kain panjang) dan baju yang sudah robek di bagian pundak dan punggung. “Masih agak lembab, belum kering benar, mbakayu.” katanya. Winarsih menerima pakaiannya. “Tidak mengapa. nanti kalau sampai di rumah aku berganti lagi pakaian kering.” Ia mencari-cari dengan pandang matanya , kemudian menghampiri sebuah gubuk terdekat di persawahan itu untuk berganti pakaian. Aji diam saja, duduk di atas batu di tepi jalan, membelakangi gubuk itu. Kudanya dibiarkan makan rumput yang tumbuh di tepi jalan. Tak lama kemudian dia mendengar suara Winarsih di belakangnya. “Ini kukembalikan pakaianmu, dimas aji. Terima kasih!” Aji bangkit dan memutar tubuhnya. Winarsih sudah berdiri di depannya, berpakaian wanita, biarpun pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan, namun ia tampak ayu manis. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara melengking- lengking, merdu sekali namun suara suling yang mendayu- dayu itu mengandung suara yang membayangkan kemarahan. hal ini terasa benar oleh Aji yang juga pandai meniup dan memainkan suling. Dia tahu bahwa peniup suling itu biasanya ----------------------- Page 268----------------------- ----------------------- Page 269----------------------- http://zheraf.net akan terjengkang roboh kalau saja Aji tidak cepat bergerak dan menahan dengan kedua tangan menangkap pundak Winarsih. “Jangan sentuh aku!” Pria itu membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Winarsih. “Jangan kotori aku dengan tubuhnu yang ternoda dan hina!” Mendengar ucapan ini, seperti lemas kaki Winarsih dan ia terkulai, menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah sawah depan gubuk, air matanya bercucuran lalu berkata di antara isak tangisnya. “Kakang ...... engkau kenapakah, kakang? Apa ...... apa dosaku kepadamu?” Pria itu tersenyum mengejek dan pandang matanya yang tajam membayangkan kejijikan. “Engkau masih berpura- pura menanyakan dosamu, perempuan tak tahu malu? Engkau pergi dua hari satu malam tanpa pamit. Kucari ke mana-mana tidak ada, tanpa meninggalkan jejak dan sekarang engkau muncul bersama seorang pemuda tampan, menunggang kuda berboncengan, berhimpitan, bahkan mengenakan pakaian pria, tentu milik pemuda itu. Baru ganti pakaian setelah tiba di sini. Aku melihat semua itu dan kini engkau masih bertanya tentang apa dosamu?” Ketika tadi melihat pria itu, Aji menduga-duga siapa gerangan dia. baru dia dapat menduga bahwa pria itu tentu suami Winarsih ketika ia menyebut kakang kepada pria tua itu. tentu pria inilah yang bernama Ki Sumali, pendekar itu. Dari dorongan jarak jauh yang membuat Winarsih terpental tadi saja dia tahu bahwa pria itu memiliki tenaga sakti yang kuat. Mendengar betapa pria itu mencaci maki Winarsih, Aji menjadi penasaran dan cepat berkata. ----------------------- Page 270----------------------- ----------------------- Page 271----------------------- http://zheraf.net tebalnya kulit kerasnya tulang di hutan sana. Kalau engkau tidak berani, berarti engkau seorang pengecut besar dan aku pasti akan mencarimu dan membunuhmu!” Setelah berkata demikian, Ki Sumali sudah melompat dan lari menuju hutan yang berada di ujung persawahan sebelah timur, tidak perduli akan jerit tangis Winarsih. Mendengar ucapan itu, Aji merasa tersinggung kehormatannya. Selain harus mempertahankan kehormatannya, juga dia merasa berkewajiban untuk menyadarkan pemarah itu dan membela Winarsih agar nama wanita itu kembali bersih dan suaminya menyadari kekeliruannya. Maka, diapun pergi ke jalan, meloncat ke atas punggung kudanya dan mengejar Ki Sumali yang sudah berlari cepat sekali ke hutan. Setelah tiba di dalam hutan, Aji melihat Ki Sumali sudah berdiri sambil memegang suling bambunya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang. Wajahnya yang gagah itu tampak kemerahan. Aji melompat turun dari punggung kudanya, dengan tenang menambatkan kendali kuda pada sebatang pohon kemudian menghampiri kakek itu. Mereka kini berdiri saling berhadapan, hanya disaksikan pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat itu. Dengan sikap tenang Aji berkata, “Paman Sumali, kita baru saja saling berjumpa dan diantara kita tidak ada permusuhan apapun. Akan tetapi mengapa paman memusuhi aku?” “Hemmm, orang muda, Siapa namamu tadi?” “Lindu Aji” “Ya, Lindu Aji. Aku memusuhimu bukan sekali-kali untuk memperebutkan wanita, melainkan untuk membela kehormatanku yang sudah kau injak-injak. Engkau ----------------------- Page 272----------------------- ----------------------- Page 273----------------------- http://zheraf.net anehnya? Engkau masih muda, tampan, dan pandai mengambil hati. sedangkan aku ...... “ “Paman, kiranya tuduhanmu itu timbul dari rasa rendah dirimu! Engkau merasa sudah tua dan sebagainya! Sungguh engkau keliru, paman. Aku merasa yakin bahwa mbakayu Winarsih adalah seorang isteri yang mencinta suaminya, seorang isteri yang setia ...... “ “Cukup! Katakan saja engkau takut dan aku akan membunuhmu sebagai seorang perusak pagar ayu yang berjiwa pengecut!” Marahlah Aji mendengar ini. “Dan engkau seorang laki-laki yang keras kepala, ingin benar dan menang sendiri, seorang suami yang sudah menjadi buta karena cemburu yang tak berdasar. Bodoh dan tolol, percuma saja menganggap diri sebagai seorang pendekar!” “Bagus kalau engkau berani melawanku. nah, sambut seranganku ini!” Ki Sumali lalu menyerang dengan sulingnya. Biarpun senjata itu hanya sebatang suling bambu, akan tetapi ditangan seorang sakti dapat menjadi senjata yang ampuh dan berbahaya sekali. Ketika suling itu digerakkan untuk memukul ke arah kepala Aji dan menyambar, terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup! Akan tetapi Aji sudah waspada. Dia maklum bahwa orang ini memiliki kesaktian dan dia tahu benar betapa dahsyat dan berbahayanya serangan suling itu. Maka diapun cepat bergerak seperti kera, memainkan ilmu silat Wanara Sakti dan dengan mudahnya dia mengelak dari serangkaian serangan suling yang berisi tujuh kali serangan bertubi-tubi itu. Ki Sumali terkejut juga melihat betapa serangkai serangannya itu ----------------------- Page 274----------------------- ----------------------- Page 275----------------------- http://zheraf.net Wanara Sakti untuk mengelak, melainkan untuk balas menyerang. Terjadilah pertempuran yang amat seru. Aji harus mengakui bahwa lawannya memang hebat, memiliki ilmu silat aneh yang dimainkan dengan senjata suling, yang dapat mengimbangi ilmu silatnya Wanara sakti. Di lain pihak, Ki Sumali juga terheran-heran. Belum pernah dia bertemu tanding seorang yang masih begini muda namun memiliki kepandaian yang demikian tinggi. Mereka saling serang, balas membalas. Hanya bedanya, kalau Aji hanya menyerang untuk merobohkan lawan tanpa membunuhnya, sebaliknya Ki Sumali menyerang dengan jurus-jurus maut! Puluhan jurus lewat dan pertandingan itu masih berlangsung seru. Tiba- tiba Winarsih datang berlari- lari. Wanita ini merasa khawatir sekali melihat suaminya dan Aji pergi ke hutan itu. Ia lalu melakukan pengejaran dan ketika tiba di dalam hutan itu ia melihat suaminya sedang berkelahi mati-matian dengan Aji. Cepat ia nekat memasuki arena perkelahian dan ----------------------- Page 276----------------------- ----------------------- Page 277----------------------- http://zheraf.net alis berkerut merasa iba kepada Winarsih dan merasa gemas kepada Ki Sumali. Ki Sumali memandang kepada Winarsih dengan alis berkerut, lalu memandang kepada Aji. Terbayang lagi dalam ingatannya keika ia melihat istrinya itu duduk berhimpitan dengan pemuda itu, berboncengan di atas punggung seekor kuda. Teringat betapa pemuda itu membantu Winarsih turun dari kuda dengan mengangkatnya pada pinggangnya, lalu betapa isterinya bertukar pakaian dalam sebuah gubuk, dan sikap dan pandang mata dari kedua orang muda itu ketika saling bicara dan berhadapan. Cemburu merupakan api yang berkobar membakar segalanya, merupakan racun yang menggerogoti hati, mengacaukan pertimbangan akal dan menggelapkan pandangan. Ki Sumali menghela napas panjang, menyelipkan suling di pinggangnya. Akan tetapi ketika Aji dan Winarsih sudah merasa lega melihat gerakan Ki Sumali ini, mereka dikejutkan ketika tiba-tiba tangan kanan Ki Sumali menghunus kerisnya! Keris itu berluk Sembilan dan bentuknya seperti ular, warnanya hitam legam. Itulah keris pusaka Sarpo Langking (Ular Hitam) yang mengandung bisa amat mematikan! “Hayo, Lindu Aji, jangan kepalang tanggung. engkau atau aku yang harus mati!” kata ki Sumali. Aji menjadi marah sekali. Bukan main kerasnya hati orang ini! Sungguh buta mata batinnya, tidak tahu memiliki isteri yang demikian setia dan mencinta! Orang macam ini harus diberi pelajaran keras. Akan tetapi keris pusaka yang dipegangnya itu tampak ampuh dan berbahaya sekali. Maka diapun segera menghampiri buntalan pakaiannya, membukanya dan mencabut keris pusaka Kyai Nagawelang pemberian ----------------------- Page 278----------------------- ----------------------- Page 279----------------------- http://zheraf.net dan menghormati Sultan Agung sebagai junjungannya. Dia cepat membungkuk, memegang kedua pangkal lengan Ki Sumali, mengangkatnya dan berkata, “Ah, Paman Sumali, aku hanya seorang utusan, harap jangan menghormati aku secara berlebihan. Bersikaplah wajar saja dan jangan sebut aku raden agar kita dapat bicara dengan leluasa tanpa rikuh rikuh.” Diam- diam Aji mengerahkan tenaga saktinya, Ki Sumali dapat merasakan getaran kuat melalui telapak tangan pemuda itu yang memegang kedua bahunya. Sekali lagi mereka ingin saling menguji dan dia mengerahkan aji kesaktiannya membuat tubuhnya menjadi berat sekali. Akan tetapi tetap saja tubuh atasnya terangkat dan dia terpaksa berdiri. Dia memandang wajah pemuda itu penuh kagum dan kini wajahnya cerah berseri dan mulutnya menyungging senyuman. “Anakmas Aji, kini aku tidak merasa heran mengapa Gusti sultan Agung mengangkat engkau menjadi utusan dengan membekali Keris Pusaka Kyai Nagawelang sebagai tanda pengenal. Nah, sekarang ceritakanlah, anakmas, apa yang sesungguhnya terjadi dengan istriku Winarsih?” “Isterimu Mbakayu winarsih, tadi telah berkata sebenarnya. Ia diculik orang dan dilarikan dari Loano dengan menggunakan perahu menuju ke hilir. Aku yang sedang melakukan perjalanan berkelana melihat ia dengan dua orang laki-laki penculiknya. Aku hendak dirampok oleh anak buah orang itu, bahkan yang seorang juga ikut mengeroyok. Setelah merobohkan lima orang yang mengeroyokku, aku lalu terjun ke air dan mengejar perahu yang didayung seorang pemimpin perampok dan yang melarikan Mbakayu Winarsih. Aku berhasil menyusul dan mengalahkan pemimpin perampok itu setelah berkelahi didalam air. Akan tetapi perahu itu dia ----------------------- Page 280----------------------- ----------------------- Page 281----------------------- http://zheraf.net “Kakang Sumali ...... !” Winarsih melepaskan belatinya dan iapun menangis dalam dekapan suaminya. Kedua orang suami isteri itu bertangisan dan pada saat itu terasa benar oleh mereka betapa mereka itu sesungguhnya saling mencinta. Aji melangkah mundur dan mengalihkan pandangan sambil tersenyum. Hatinya girang bukan main melihat sepasang suami isteri itu telah rukun kembali. Betapa bahagianya seorang pria seperti Ki Sumali yang sudah tua itu memiliki seorang isteri seperti Winarsih yang masih muda, ayu manis dan baik budi penuh kasih sayang pula! Diam-diam dia mengharapkan agar kelak dia dapat memperoleh jodoh seorang wanita seperti ini! Setelah keharuan mereka agak mereda, Ki Sumali merangkul isterinya dan diajak bangkit berdiri. “Ah, benar seperti yang dikatakan anak mas Aji tadi. Aku telah mabok, bahkan gila karena cemburu buta. Akan tetapi, anakmas Aji, dapatkah perasaan cemburu itu dihilangkan dari hati yang lemah ini? Aku jauh lebih tua dari diajeng Winarsih, bahkan ia sepantasnya kalau menjadi anakku. Bagaimana perasaan cemburu tidak akan menggoda hatiku kalau ia bertemu dengan pria lain yang jauh lebih muda dan tampan dariku?” Ki Sumali bertanya sambil memandang wajah Aji. Pemuda itu tersenyum. Dia adalah seorang pemuda yang sama sekali belum mempunyai pengalaman tentang cinta dan cemburu. Akan tetapi dia sudah memiliki dasar pengertian yang luas tentang kehidupan. Dari mendiang Ki Tejobudi dia mendapat gemblengan batin dan diperkenalkan dengan nafsu- nafsu daya rendah dan segala macam ulahnya yang selalu mencoba untuk menguasai manusia. “Paman Sumali, sesungguhnya saya pribadi belum pernah merasakan apa yang dinamakan cinta terhadap wanita ----------------------- Page 282----------------------- ----------------------- Page 283----------------------- http://zheraf.net Winarsih, seperti aku akan kagum terhadap seseorang atau sesuatu yang indah, baik dan menarik perhatian menimbulkan kagum. Mungkin saja Mbakyu Winarsih suka dan kagum kepadaku karena aku telah menyelamatkannya dari tangan orang-orang jahat. Apa salahnya dengan rasa kagum dan suka itu, paman? Kita adalah manusia, mahluk beradab yang dibatasi oleh tata susila dan tata hukum. Rasa kagum dan suka kita itu terbatas oleh kesusilaan dan hukum, tidak mendorong kita untuk memiliki apa yang kita kagumi dan sukai, apalagi kalau yang kita sukai dan kagumi itu telah menjadi milik orang lain. Kalau aku kagum melihat bunga yang indah dan timbul rasa suka, bukan berarti aku ingin memetik dan memilikinya, apalagi kalau bunga itu menjadi milik orang lain. Bukan rasa suka dan kagum, melainkan nafsu binatanglah yang mendorong orang melakukan penyelewengan. Coba paman renungkan lalu jawab dengan sejujurnya. Apakah paman tidak akan tertarik melihat wanita lain yang cantik, pandai, bijaksana dan memiliki sifat-sifat baik lain yang mengagumkan? Apakah paman tidak akan menjadi kagum dan suka?” Ki Sumali memejamkan kedua matanya, mengerutkan alisnya, lalu tersenyum dan mengangguk-angguk. “Nah, itu jujur namanya. Laki-laki melihat wanita cantik menarik menjadi kagum dan suka atau sebaliknya wanita melihat pria tampan menarik menjadi kagum dan suka adalah suatu perasaan yang wajar dan sama sekali tidak perlu menjadikan malu. Kalau ada pria atau wanita mengaku bahwa dia tidak tertarik melihat lawan jenisnya yang mengagumkan, maka dia itu berbohong atau tidak normal. Suka dan kagum bukan berarti lalu menuruti nafsu dan menyeleweng. Semua itu tergantung pada pribudi manusianya, paman. siapa sih yang ----------------------- Page 284----------------------- ----------------------- Page 285----------------------- http://zheraf.net kita di mana kalian dapat bercakap-cakap lebih leluasa dan enak?” “Ah, engkau benar sekali, diajeng! Aku masih ingin bercakap-cakap lebih banyak dengan Anakmas Aji. Mari, anakmas, kami persilakan anakmas berkunjung ke gubuk kami. Perkenalan ini harus dipererat!” Aji tidak dapat menolak. Mereka bertiga keluar dari hutan. Winarsih dibantu suaminya naik ke atas punggung kuda dan dua orang pria itu berjalan kaki. -o0-dwkz~budi-0o- Rumah Ki Sumali cukup besar bagi keluarga yang belum mempunyai anak itu. Yang tinggal di situ hanaya mereka berdua, seorang pelayan wanita setengah tua dan seorang pelayan pria juga mengurus kebun mereka. Hari telah menjelang senja ketika mereka tiba di rumah Ki Sumali. Aji dipersilakan mandi. Setelah mereka semua mandi dan menikmati hidangan makan malam, Ki Sumali dan Winarsih lalu mengajak Aji bercakap-cakap di ruangan dalam. Aji sudah dibujuk suami isteri itu untuk menginap di rumah mereka dan pemuda itu tidak dapat menolak keramahan mereka. “Nah, sekarang kita dapat mengobrol dengan enak. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin sekali mengenalmu lebih baik lagi dan mengetahui banyak tentang dirimu. anak mas Lindu Aji, kami hanya mengetahui bahwa engkau adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna, berbudi mulia dan sebegini muda telah menjadi kepercayaan Gusti Sultan Agung sehingga diberi Pusaka Kyai Nagawelang. Akan tetapi kami tidak mengetahui siapa sebenarnya engkau, anak mas, dari ----------------------- Page 286----------------------- ----------------------- Page 287----------------------- http://zheraf.net urusan pribadi paman dan ikut-ikut memusuhi orang-orang yang aku tidak mengenalnya sama sekali?” “Ha-ha-ha, aku mengerti apa yang kau pikirkan, anak mas Aji. Aku tidak menyalahkanmu. Memang sudah sepatutnya kalau engkau meragu dan menolak permintaan bantuanku karena engkau tidak mengenal siapa musuh- musuhku dan apa kesalahan mereka. Engkau tentu tidak mau salah tindak dan memusuhi orang-orang yang tidak berdosa. Baiklah kuceritakan persoalannya dan setelah engkau mendengar ceritaku, baru engkau boleh memutuskan apakah engkau mau membantuku menhadapi mereka atau tidak.” Ki Sumali lalu bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Lindu Aji. Ki Sumali adalah penduduk asli Loano dan sejak dilahirkan dia tinggal di Loano. Akan tetapi sejak mula dia suka berkelana dan mempelajari ilmu-ilmu kanuragan sehingga dia terkenal sebagai pendekar Loano yang disegani dan dohormati banyak orang. Dia selalu menolong yang lemah dan menentang yang jahat. Ketika Loano pada suatu ketika diserbu bajak sungai, Ki Sumali seorang diri membela dan mengamuk, menewaskan banyak anggauta gerombolan bajak dan perampok. Dalam peristiwa itu dia menyelamatkan seorang perawan dusun yang diculik gerombolan. Perawan itu adalah Winarsih yang ketika itu berusia delapan belas tahun. Sejak itu nama Ki Sumali menjadi makin terkenal. dan yang merupakan hadiah terbesar bagi Ki Sumali adalah Winarsih yang jatuh cinta kepadanya karena pertolongan itu. Winarsih yang berusia delapan belas tahun itu dengan suka rela dan senang hati menjadi isterinya padahal waktu itu usianya sudah lima puluh satu tahun. Ki Sumali yang tadinya seorang perjaka tua itu ----------------------- Page 288----------------------- ----------------------- Page 289----------------------- http://zheraf.net kanannya selalu memegang sebatang tongkat dari ular kering. Mukanya meruncing ke depan seperti muka kuda, matanya yang sipit itu bersinar tajam penuh wibawa. Pakaiannya serba hitam dan berkalung sarung yang masih baru. Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar hitam dan jari-jari tangannya penuh cincin bermata akik yang besar-besar. Ki Sumali dan Winarsih yang sudah tiga tahun menjadi isterinya menyambut Aki Somad dengan hormat. Diam-diam Winarsih yang baru sekali itu berjumpa dengan Aki Somad, merasa ngeri melihat betapa sinar mata kakek itu menggerayangi tubuhnya dengan genit dan nakal. Akan tetapi melihat suaminya amat menghormati kakek itu, iapun bersikap ramah dan hormat. “Heh-heh, Adi Sumali. Inikah isterimu yang kabarnya masih amat muda itu? Hemm, engkau benar-benar beruntung, mendapatkan isteri yang muda, bahenol dan cantik!” kakek itu terkekeh. Ki Sumali tersenyum dan tidak merasa tersinggung karena dia mengenal sahabat yang juga dianggap gurunya ini memang seorang yang berwatak terbuka sehingga kadang- kadang terdengar kasar dan kurang ajar. Akan tetapi Winarsih menjadi sebal, mukanya berubah merah dan ia lalu mengundurkan diri, tidak mau keluar lagi. Bahkan ketika menyuguhkan hidangan, ia menyuruh Mbok Ginah, pembantu yang baru dua bulan bekerja kepadanya, untuk membawa hidangan itu ke ruangan tamu. Mbok Ginah yang berusia kurang lebih lima puluh tahun itu bekerja bersama suaminya, Pak Karto yang menjadi tukang kebun dan terkadang juga bekerja di ladang mereka. Suami isteri tua ini tadinya memasuki Loano sebagai orang-orang yang terlantar meninggalkan kampung halaman di tepi sungai Bogawanta ----------------------- Page 290----------------------- ----------------------- Page 291----------------------- http://zheraf.net Kumpeni Belanda. Tanpa adanya persatuan, kiranya tidak mungkin untuk dapat mengusir Balanda dari Nusantara.” -o0-dwkz~budi-0o- JILID IX eh-heh-heh, agaknya engkau juga sudah terkena pengaruh Mataram! Ketahuilah, Adi Sumali, semua Hyang kaukatakan itu sebetulnya hanya merupakan akal licik Sultan Agung saja untuk mencari alasan agar keangkara murkaannya tidak tampak. Dia menggunakan dalih untuk mengusir Belanda. Pada hal, apa sih kesalahan Belanda? Mereka datang untuk berdagang. Kedatangan mereka di Nusantara menguntungkan bangsa kita. Mereka membawa kepandaian yang perlu kita pelajari. Mereka datang membawa kemakmuran karena mereka itu kaya raya. Karena itu, Adi Sumali, kita dapat mempergunakan kepandaian dan kekuatan Belanda untuk membendung keangkara murkaan Sultan Agung di Mataram!” “Maksudmu, saya harus berbuat apa, Kakang Somad?” Tanya Ki Sumali, menahan perasaan hatinya yang panas mendengar kata-kata yang jelas bernada memusuhi Mataram itu. “Begini, Adi Sumali. Kami telah lama membantu pihak Belanda yang berjanji untuk membebaskan kami dari kekuasaan Mataram. Kami telah berhasil menggagalkan usaha pasukan Mataram yang melakukan penyerangan ke Jayakarta. Untuk itu, Kumpeni Belanda berterima kasih kepada kami dan ----------------------- Page 292----------------------- ----------------------- Page 293----------------------- http://zheraf.net “Adi Sumali! engkau ingin mengorbankan persahabatan kita dengan menolak tawaran kerja sama itu?” Aki Somad berseru marah. “Apa boleh buat, Kakang Somad. Bagaimanapun juga, sampai mati saya tidak mau mengkhianati Mataram dan akan tetap setia kepada kanjeng Sultan!” Aki Somad bangkit berdiri dengan marah. “Babo-babo, Ki Sumali! Kalau kelak Kumpeni Belanda menggilasmu, aku tidak akan menolongmu dan persahabatan antara kita putus sampai di sini!” Dia menggerakkan tongkat ularnya, dihantamkan ke atas meja. “Brakkk !!” Meja itu pecah berantakan dan semua hidangan yang berada di atas meja berloncatan dan jatuh berserakan di atas lantai! Ki Sumali juga bangkit berdiri, akan tetapi dia masih bersikap tenang dan waspada. “Terserah kepadamu, Kakang Somad! Engkau yang memutuskan, bukan aku.” Aki somad mendengus marah lalu memutar tubuh dan meninggalkan rumah itu dengan langkah lebar. Mendengar suara ribut-ribut itu Winarsih berlari memasuki ruangan dan ia terbelalak memandang meja yang sudah remuk dan hidangan yang berserakan di atas lantai. Akan tetapi hatinya lega melihat suaminya berdiri di situ dalam keadaan selamat. “Kakang, ada terjadi apakah? Di mana tamunya dan semua ini ...... “ Ia menuding ke arah meja dan hidangan yang berserakan. Melihat mata terbelalak dan wajah pucat isterinya, Ki sumali mendekati dan merangkul pundaknya. “Tenanglah dan jangan kaget, Narsih. Panggil saja Mbok Ginah dan Pak Karto agar mereka menyingkirkan dan membersihkan semua ini.” ----------------------- Page 294----------------------- ----------------------- Page 295----------------------- http://zheraf.net penjahat itu, aku lalu berteriak minta tolong. Akhirnya dimas Aji berhasil menyelamatkan aku.” “Paman Sumali dan Mbakayu Winarsih, andika berdua sudah menceritakan semua itu kepadaku. Sekarang Mbakayu Winarsih telah pulang dengan selamat. Lalu bantuan apa lagi yang paman kehendaki dariku?” “Begini, anak mas Aji. Engkau adalah orang kepercayaan Kanjeng Sultan Agung. tentu tidak akan tinggal diam melihat ada usaha pengkhianatan dan pemberontakan. Aku yakin bahwa penculikan atas diri Winarsih itu ada hubungannya dengan kemarahan Aki Somad kepadaku. Usahanya untuk membujuk para pamong praja untuk mengkhianati Mataram, untuk kelak menghalangi Mataram kalau pasukan Mataram hendak menyerbu ke Jayakarta atau Batavia, haruslah ditentang dan digagalkan.” “Paman Sumali, apakah engkau mengenal nama Ki Blekok Ireng?” “Ehh?” Ki Sumali memandang heran. “Mengapa engkau menanyakan nama itu? Apakah engkau mengenal nama-nama kepala bajak dan rampok yang terkenal di seluruh Kadipaten Kedu itu?” “Orang bernama Ki Blekok Ireng itulah yang memimpin penculikan atas diri Mbakayu Winarsih. Dia mengakui namanya ketika bertanding denganku dalam air.” “Ah, sudah kuduga! Dan ini menjadi bukti kebenaran kecurigaanku terhadap Aki Somad. Jelas sekarang, dialah dalang penculikan ini dengan niat untuk menghancurkan aku. Ketahuilah, anak mas Aji. Ki Blekok Ireng itu adalah ketua dari gerombolan Gagak Rodra yang terkenal bersikap menentang dan memusuhi Mataram. Bukan aneh kalau ----------------------- Page 296----------------------- ----------------------- Page 297----------------------- http://zheraf.net terdorong jatuh dari atas meja dan isinya berserakan di atas lantai. Ki Sumali dan Winarsih memandang heran dan keduanya hendak bangkit dari tempat duduknya untuk mengambil makanan yang terjatuh berserakan itu. Akan tetapi tiba-tiba Aji menjulurkan kedua tangan dan memegang lengan mereka. “Harap kalian jangan bergerak dan biarkan ayam itu makan singkong rebus!” bisiknya. tentu saja suami isteri itu merasa heran sekali dan mereka memandang kepada seekor ayam, ayam mereka, yang memasuki ruangan itu dari pintu depan. Agaknya ayam itu tertarik melihat singkong rebus berceceran dan binatang itu lari mendekat dan mematuk sepotong singkong, terus memakannya dengan asik. Aji dan suami isteri itu memandang, Aji dengan penuh perhatian, dan suami istri itu dengan heran dan tidak mengerti akan sikap Aji yang amat aneh itu. Kemudian terjadi hal yang membuat suami isteri itu terbelalak dan Winarsih menahan jerit di balik tangannya. mereka berdua melihat ayam itu tiba-tiba terguling dan berkelojotan, lalu mati! Aji bangkit dari duduknya dan mengangguk-angguk. “Sudah kuduga. Paman Sumali dan Mbakayu Winarsih. Singkong rebus itu mengandung racun yang amat berbahaya.” “Apa? Bagaimana mungkin?” Ki Sumali berseru heran, lalu memandang ke arah dalam rumah dan berteriak memanggil. “Mbok Ginah ...... ! Ke sinilah ...... !” Terdengar langkah kaki berlari-larian dari dalam dan muncullah Pak Karto dan Mbok ginah. Suami isteri pelayan ini ----------------------- Page 298----------------------- ----------------------- Page 299----------------------- http://zheraf.net racun yang berada di singkong redus. Kalau mereka tahu tidak mungkin mereka mau memakannya. “Begini, Pak Karto dan Mbok Ginah, kami mendapatkan kenyataan bahwa singkong rebus ini mengandung racun yang mematikan.” “Racun ...... ?” Suami istri pelayan itu berseru kaget. “Lihat ayam itu,” kata Ki Sumali. “Ayam itu segera mati setelah makan singkong yang tercecer.” “Akan tetapi ...... kenapa den mas ini menyuruh kami memakannya kalau sudah tahu bahwa singkong itu beracun?” Tanya Mbok Ginah menasaran, “dan kemudian mencegah kami memakannya?” “Ah, saya tahu sekarang!” kata Pak Karto. “Mbokne, den masnya ini agaknya mencurigai kita yang meracuni singkong itu dan hendak menguji kita!” “Sebenarnyalah.” kata Aji, “memang aku tadi mencurigai kalian dan maafkan aku ternyata bukan kalian yang menaruh racun dalam singkong rebus itu. Akan tetapi ceritakanlah, siapa yang merebus singkong ini?” “Saya yang merebusnya, denmas!” kata Mbok Ginah. “Apakah ketika merebusnya, engkau menjaganya, ataukah kautinggalkan pergi, mbok?” “Tentu saja saya tinggalkan untuk melakkan pekerjaan lain, denmas. Mosok nggodok singkong saja harus dijaga?” “Dan apakah tadi kalian tidak melihat ada orang memasuki dapur, atau masuk ke pekarangan rumah ini?” “Tidak ada, denmas.” kata Mbok Ginah. “Nanti dulu!” kata Pak Karto. “Ketika tadi saya menyirami bunga, saya seperti melihat bayangan orang berkelebat di samping rumah. Karena heran dan tertarik, saya ----------------------- Page 300----------------------- ----------------------- Page 301----------------------- http://zheraf.net sebaiknya kita mengaso dulu. Malam ini kita harus mengumpulkan tenaga dan besok pagi-pagi barulah kita akan berkunjung ke sarang geombolan Gagak Rodra.” “paman tahu di mana sarang gerombolan itu?” tanya Aji. “Aku tahu. Mereka memiliki sebuah perkampungan yang menjadi sarang mereka di Lembah Kali Bogawanta.” kata Ki Sumali. “Akan tetapi jumlah mereka tentu banyak sekali. Bagaimana kalian yang hanya berdua akan menentang mereka? Tentu kalian akan di keroyok banyak orang!” kata Winarsih dengan khawatir sekali. “Jangan khawatir, Narsih. Aku mendengar bahwa di sarang mereka itu terdapat keluarga mereka, isteri dan anak- anak mereka. Para anggauta gerombolan itupun manusia- manusia yang menyayangi anak isteri mereka. Kami berdua hanya akan menentang para pimpinan mereka saja. Kalau pimpinan mereka sudah dapat kami tundukkan, anak buahnya tentu akan tunduk pula. Selain itu, akupun akan mengumpulkan para muda di Loano untuk ikut dengan aku. Mereka adalah orang-orang yang setia kepada Mataram dan disamping itu, mereka tentu siap kalau diajak menggempur gerombolan perampok yang sering mengganggu penduduk di daerah Kedu dan sekitarnya. Sekarang harap engkau suka beristirahat dulu, anak mas Aji. Aku bersama mbakayumu akan pergi mengunjungi para pemuda di Loano dan mempersiapkan mereka untuk ikut dengan kita besok pagi.” “Baiklah, paman. Aku akan beristirahat.” ----------------------- Page 302----------------------- ----------------------- Page 303----------------------- http://zheraf.net ketololan itu agaknya dibuat-buat. Kedua, tadi ketika disuruh makan singkong rebus, dia melihat Pak Karto memberi isyarat kedipan mata yang tidak kentara kepada isterinya, dan sikap mereka yang keheranan itupun dibuat-buat karena pandang mata mereka sama sekali tidak membayangkan keheranan melainkan penasaran. Dan ketiga, baru saja kedua orang itu membuktikan bahwa mereka bukan orang sembarangan karena mereka berdua dapat menangkap langkah kakinya yang dibuat dengan hati-hati. Dua orang itu patut dicurigai, biarpun belum ada bukti yang nyata. Setelah jauh malam, Ki Sumali dan Winarsih pulang. Ki Sumali tampak gembira ketika Aji keluar dari kamar menyambut mereka. “Eh, anak mas Aji, engkau belum tidur?” Tanya Ki Sumali. “Kenapa engkau tidak mengaso, dimas Aji?”Tanya pula Winarsih. Aji tersenyum. “Aku belum mengantuk, paman. Bagaimana hasilnya?” “Wah, baik sekali! Para pemuda itu penuh semangat dan menyatakan untuk membantu kita besok. sedikitnya lima puluh orang pemuda akan ikut dengan kita!” “Bagus.” kata Aji. “Akan tetapi kuharap paman memberi tahu kepada mereka agar tidak terburu nafsu turun tangan menyerang kalau keadaan tidak memaksa. Seperti paman katakan tadi, kalau bisa kita tundukkan para pemimpinnya agar anak buah mereka tidak melakukan perlawanan. Kalau sampai terjadi pertempuran, aku khawatir akan jatuh banyak korban di kedua pihak.” ----------------------- Page 304----------------------- ----------------------- Page 305----------------------- http://zheraf.net ditarik begitu saja sudah terbuka. Agaknya memang tidak dipalang dari dalam, hanya ditutupkan begitu saja. Dua orang itu mencabut senjata, seorang mencabut sebatang parang dan yang seorang lagi mencabut sebatang pisau belati. Setelah melongok ke dalam kamar yang gelap dan sunyi itu, mereka lalu bergerak melompat ke dalam kamar melalui lobang jendela. Gerakan mereka yang gesit membuktikan bahwa kedua orang itu memiliki ketangkasan. Dua orang itu tanpa ragu segera menghampiri pembaringan di mana Aji tidur. Agaknya mereka sudah hafal benar akan keadaan dalam kamar itu. Buktinya mereka dapat bergerak dalam kegelapan tanpa menabrak meja kursi. Setelah tiba di tepi pembaringan, kedua orang itu dengan gerakan cepat dan kuat membacokkan parang dan menusukkan pisau belati ke atas pembaringan. Mereka merasa yakin bahwa sekali serang, orang yang tidur di atas pembaringan itu tentu tewas seketika tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. “Wuuuttt ...... brakkkk ...... !” Dua orang itu terkejut bukan main. Senjata mereka mengenai papan pembaringan sehingga menimbulkan suara keras. Agaknya tidak ada orang tidur di atas pembaringan itu! Dua orang itu terkejut dan cepat mereka berloncatan ke luar dari kamar itu melalui jendela. Di luar kamar tidak segelap dalam kamar karena tempat itu diterangi sebuah lampu gantung. ketika mereka tiba di luar kamar, Aji sudah berdiri menunggu mereka. “Pak Karto dan Mbok Ginah, kiranya kalian benar- benar mempunyai niat buruk untuk membunuh seperti yang kuduga!” kata Aji kepada dua orang yang bukan lain adalah Pak Karto dan Mbok Ginah. ----------------------- Page 306----------------------- ----------------------- Page 307----------------------- http://zheraf.net Dia tidak ingin melukai dua orang itu, dan kakinya hanya menyembar pergelangan tangan Mbok Ginah yang memegang pisau belati. Wanita itu berteriak kesakitan dan pisau belatinya terlepas dari pegangannya dan terlempar, jatuh berkerontangan d atas lantai. Suara ribut-ribut itu membangunkan Ki Sumali dan Winarsih. “Heiii ...... ada apakah ini ...... ?” Ki Sumali keluar dari kamarnya dan berseru heran ketika melihat Aji diserang Pak Karto dengan parang. Melihat munculnya Ki Sumali, Pak Karto yang sudah merasa gentar melihat ketangguhan Aji, segera melontarkan parangnya ke arah Aji, lalu dia melompat pergi, diikuti oleh Mbok Ginah. Parang itu meluncur cepat ke arah dada Aji karena dilontarkan dari jarak dekat dengan tenaga yang kuat. Akan tetapi Aji tidak menjadi gugup. dengan tenang dua miringkan ----------------------- Page 308----------------------- ----------------------- Page 309----------------------- http://zheraf.net “Memang, benar aku ingin menguji mereka. Kalau mereka menaruh racun pada singkong, tentu mereka tidak akan mau memakannya. Maka ketika melihat mereka mau memakannya, aku lalu mencegahnya. Pada waktu itu aku juga meragu apakah mereka sengaja meracuni singkong itu. Akan tetapi ada hal-hal yang mencurigakan hatiku. Pertama, sikap dan kata-kata mereka yang kadang-kadang teratur rapi itu menunjukkan bahwa mereka bukan orang-orang dusun yang bodoh, Kedua, ketika aku menyuruh mereka makan singkong, aku melihat Pak Karto memberi isarat berkedip kepada Mbok Ginah.” “Akan tetapi kalau ketika itu engkau tidak melarangnya, tentu mereka sudah mati karena makan singkong beracun itu, Dimas Aji!” kata Winarsih “Belum tentu, mbakayu. Baru semalam aku teringat bahwa orang yang pandai mempergunakan racun, tentu juga memiliki obat penawarnya. Aku yakin dua orang itu sudah makan obat penawar ketika mereka kuuji untuk makan singkong beracun itu. Kecurigaanku semakin kuat ketika aku melihat bahwa jendela kamarku tidak terpalang, hanya ditutup begitu saja sehingga mudah dibuka dari luar. Karena itu, aku telah siap siaga sehingga ketika mereka berdua memasuki kamar lewat jendela dan menyerang dengan senjata ke pembaringan, aku sudah meninggalkan pembaringan itu dan menghadang mereka di luar jendela. Maka terjadilah perkelahian itu.” “Ih, mengerikan sekali! Kalau diingat bahwa selama berbulan ini kami memelihara dua orang pembunuh ditengah- tengah akmi!” kata Winarsih. ----------------------- Page 310----------------------- ----------------------- Page 311----------------------- http://zheraf.net Setelah menitipkan isterinya, Ki Sumali lalu mengajak Aji berangkat, Di luar dusun telah berkumpul kurang lebih lima puluh orang pemuda. Mereka telah mempersiapkan diri, membawa senjata tajam apa saja yang mereka miliki. Mereka semua sudah siap dan bertekad untuk bertempur melawan para gerombolan orang jahat itu. Gerombolan Gagak Rodra mempunyai sebuah perkampungan di lembah Sungai Bogawanta. Perkampungan yang khusus dihuni para anggauta gerombolan ini terpencil dari dusun-dusun lain dan menjadi sarang gerombolan itu. Kurang lebuh limapuluh orang anak buah gerombolan tinggal di perkampungan itu dan anak istri merekapun tinggal di situ sehingga seluruh penghuni perkampungan itu berjumlah hampir dua ratus orang. Pada pagi hari itu, pagi-pagi sekali perkampungan Gerombolan Gagak Rodra kedatangan seorang tamu istimewa. Tamu itu seorang wanita cantik yang cantik jelita. Usianya tampak masih jauh lebih muda walaupun usianya sudah tiga puluh tahun. Rambutnya panjang hitam ngandan-andan (berombak) sampai ke punggung dan dibiarkan terurai. Pakaiannya mewah sekali. Wajahnya yang berbentuk bulat itu memang ayu manis dengan mata lebar dan hidung mancung. Mulutnya memiliki bibir yang bentuknya indah dan menantang, menggairahkan hati setiap orang pria yang melihatnya. Mata dan mulutnya mempunyai daya tarik yang kuat sekali, mulut yang selalu tersenyum manis dan mata jeli yang dapat mengerling dengan genit. Tubuhnya yang berkulit putih mulus itupun ramping dan padat. Akan tetapi. kedatangan wanita ayu ini ternyata disambut penuh kehormatan oleh dua orang pimpinan Gagak ----------------------- Page 312----------------------- ----------------------- Page 313----------------------- http://zheraf.net jawab atas kemajuan di daerah Kedu dan disepanjang Kali Bogawanta. Nah, laporkan kepadaku bagaimana kemajuan usaha kalian.” Dua orang pimpinan Gagak Rodra itu saling pandang dengan heran. Mereka memang mengenal datuk wanita ini sebagai seorang tokoh besar yang ditakuti dan dihormati. Akan tetapi itu bukan berarti bahwa datuk wanita itu menjadi pemimpin mereka, bahkan mereka tidak merasa pernah menjadi anak buah Nyi Maya Dewi. bagaimana sekarang tiba- tiba wanita itu minta mereka memberi laporan? Tentang kemajuan usaha apakah? “Maafkan kami, Nyi Maya Dewi. sesungguhnya kami masih belum mengerti apa yang andika maksudkan. Laporan apakah yang harus kami berikan? kemajuan dalam usaha apakah?” “Hemmm, aku lupa bahwa kalian belum mengenal benar siapa aku. Lihatlah ini. kenalkah kalian dengan ini?” Wanita itu mengeluarkan sebuah uang emas yang bergambar sepasang singa. Melihat itu, dua orang pemimpin ----------------------- Page 314----------------------- ----------------------- Page 315----------------------- http://zheraf.net “Bagus siasat itu untuk memaksa dia tunduk. Lalu bagaimana hasilnya?” “Kami sedang sial. Kami telah berhasil menculik wanita itu, akan tetapi kami bertemu seorang pemuda yang digdaya dan pemuda itu menggagalkan penculikan kami dan menolong wanita itu.” “Tolol benar kalian.” Nyi Maya Dewi mamaki. “Akan tetapi kami tidak putus harapan dan kami masih mempunyai cara lain untuk menundukkan dia atau kalau perlu membunuh dia sekeluarga agar tidak menjadi penghalang bagi kami.” “Bagaimana caranya?” “Kami tidak kekurangan akal, Nyi Maya Dewi!” kata Ki Blekok Ireng dengan nada suara bangga. “Benar, Nyi Maya Dewi. Kami tanggung Ki Sumali akan mampus di tangan kami!” sambung Ki Jalak Uren untuk menghibur karena kegagalan usaha mereka. “Hemm, bagaimana akal itu? Cepat katakan!” “Jauh hari sebelumnya, sudah beberapa bulan ini kami berhasil menyelundupkan dua orang yang kini diterima menjadi pembantu-pembantu rumah tangga Ki Sumali. Mereka telah dipercaya dan melalui kedua orang pembantu itu kami akan dapat mencelakai Ki Sumali.” “Bagus! Sungguh bagus sekali akal itu. Kalau siasat kalian ini berhasil, aku akan mencatat jasa kalian!” kata Nyi Maya Dewi girang. Tiba-tiba terdengar suara dua orang berlari-lari masuk ke dalam ruangan itu. Mereka itu bukan lain adalah laki-laki dan wanita yang mengaku bernama Pak Karto dan Mbok Ginah pelayan rumah Ki Sumali! ----------------------- Page 316----------------------- ----------------------- Page 317----------------------- http://zheraf.net meracuni mereka. Kami telah mencampurkan racun ke dalam singkong rebus dan menghidangkannya kepada mereka. Akan tetapi, lagi-lagi pemuda itu yang menggagalkan usaha kami itu. bahkan pemuda itu mengetahui bahwa singkong rebus itu beracun! Dia minta kepada kami untuk memakannya. Kami tahu bahwa dia curiga kepada kami dan hendak menguji kami. Karena kami sudah menelan obat penawar, kami siap memakannya. Akan tetapi pemuda itu mencegah kami memakannya. Agaknya kesediaan kami makan singkong itu menghilangkan kecurigaannya. Akan tetapi kami menganggap pemuda itu berbahaya sekali. Maka kami melakukan usaha terakhir. Jauh lewat tengah malam tadi, sebelum fajar, kami berdua memasuki kamar pemuda itu dengan niat membunuhnya. Akan tetapi ketika kami menyerang pembaringan, ternyata pembaringan itu kosong dan ketika kami keluar, pemuda itu sudah menghadang di luar kamar! Kami berdua menyerangnya, akan tetapi dia benar-benar sakti mandraguna. Kami berdua yang bersenjata tidak mampu mengalahkan dia yang bertangan kosong. Karena Ki Sumali terbangun, kami berdua lalu melarikan diri dan cepat lari ke sini.” “Nanti dulu” kata Nyi Maya Dewi. “Pemuda yang sakti mandraguna itu, siapakah dia? Bagaimana orangnya?’ Bardo dan Sumi tentu saja sudah mengenal Nyi Maya Dewi, maka Bardo menjawab, “Dia masih muda sekali, jangkung tegap, wajahnya tampan dan pakaiannya sederhana.” “Namanya! Siapa namanya?” Tanya datuk wanita itu. “Kami tidak tahu, akan tetapi kami dengar Ki Sumali menyebut dia anak mas Aji, dan Winarsih menyebutnya Dimas Aji.” ----------------------- Page 318----------------------- ----------------------- Page 319----------------------- http://zheraf.net Matahari telah naik tinggi ketika rombongan pemuda Loano yang dipimpin oleh ki sumali tiba di luar perkampungan gerombolan Gagak rodra. Para pemuda itu sudah dipesan oleh Ki Sumali agar jangan bertindak sembrono dan tidak melakukan penyerangan sebelum diperintah. Pesan ini sesuai dengan permintaan Aji yang tidak menghendaki terjadi pertempuran besar-besaran yang menjatuhkan banyak korban di kedua pihak. Kalau mungkin, dia hendak menyadarkan Gerombolan Gagak Rodra itu. Yang perlu ditundukkan adalah para pemimpinnya, karena kalau para pemimpinnya sudah dapat ditundukkan, tentu anak buahnya mudah di atur. Ki Sumali dan Aji berjalan di depan rombongan pemuda itu dan setelah berhadapan dengan gerombolan itu di depan perkampungan, mereka berhenti dan saling pandang. Ki Sumali melihat dua orang pimpinan Gagak Rodra berdiri dengan sikap angkuh dan di sebelahnya berdiri seorang wanita cantik. Juga dia melihat Pak Karto dan Mbok Ginah berdiri di depan. Ini membuktikan bahwa dugaannya benar. Dua orang itu memang diselundupkan oleh Gagak Rodra untuk menjadi pembantu di rumahnya, tentu untuk memata-matai dan kemudian berusaha membunuhnya. Ki Sumali menjadi marah sekali. Dia belum pernah berhadapan langsung dengan Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren, akan tetapi dia sudah pernah mendengar nama dua orang pimpinan Gagak Rodra ini dan dapat menduga bahwa tentu dua orang laki-laki yang tampak gagah itu yang menjadi pimpinan Gagak Rodra. Sementara itu, Aji mengenal dua orang kepala gerombolan yang pernah bentrok dengannya itu. Dan diapun diam-diam terkejut melihat Nyi Maya Dewi berada di situ, berdiri di pihak gerombolan Gagak Rodra, Juga dia melihat ----------------------- Page 320----------------------- ----------------------- Page 321----------------------- http://zheraf.net kami, dan kini kalian masih bertanya apa maksudku datang ke sini? Kalian bukan laki-laki sejati, mempergunakan cara yang curang dan pengecut. Kalau kalian memang hendak memusuhi aku, sekarang aku datang untuk menantang kalian bertanding seperti laki-laki jantan!” “Ki Sumali manusia sombong! Sikapmu yang sombong itu yang memancing permusuhan. Kalau engkau menuruti kehendak Aki Somad, tentu kami tidak akan memusuhimu dan kita dapat bekerja sama dan sama-sama hidup mulia dan senang. Apa yang kami lakukan kepadamu itu adalah sesuai dengan perintah Aki Somad. Oleh karena itu, kalau engkau hendak bertanya tentang itu, tanyailah saja kepada Aki Somad!” “Hemm, tak salah dugaanku. Kalian gerombolan Gagak Rodra juga sudah menjadi antek antek Belanda! hei orang- orang Gagak Rodra, tidak malukah kalian? Lupakah kalian bahwa kalian adalah orang-orang Jawa dan tinggal di Nusa Jawa? Apakah kalian begitu hina untuk mengkhianati bangsa sendiri, hendak menjual tanah air kepada bangsa Belanda? Sadarlah kalian, orang-orang lembah Kali Bogawanta dan mari kita membantu Mataram untuk menentang Kumpeni Belanda!” Blekok Ireng marah sekali, khawatir kalau di antara anak buahnya ada yang terpengaruh. “Tutup mulutmu, Ki Sumali! Engkaulah yang tidak tahu malu! Engkau yang sudah menjadi antek Sultan Agung yang telah menindas dan menaklukkan daerah kami. Kami akan selalu menentang Mataram yang angkara murka dan Kumpeni Belanda hanya membantu kami!” “Sudahlah, Blekok Ireng. tidak perlu banyak cakap lagi. kedatanganku ini untuk membuat perhitungan karena kalian ----------------------- Page 322----------------------- ----------------------- Page 323----------------------- http://zheraf.net berdiri menonton. Baginya, ia tidak perduli apakah pihak Gagak Rodra akan kalah atau menang karena mereka itu bukan anak buahnya. Mereka itu hanya antek-antek kecil saja. Akan tetapi kehadiran Aji di situ membuat perasaan hatinya tidak enak. Ia memandang pemuda itu dengan penasaran dan juga membencinya karena ia pernah dikalahkan. akan tetapi ia juga merasa agak jerih di samping kagum. Kalau saja ia dapat memiliki seorang kekasih sesakti pemuda itu, masih amat muda dan tampan lagi, hatinya akan merasa puas! Ia berdiri menonton dengan sikap yang tampaknya tenang, namun dalam hatinya ia sedang mencari-cari cara untuk menghadapi pemuda itu, atau mungkin mengalahkannya, bahkan lebih baik lagi kalau ia dapat menarik pemuda itu menjadi sahabatnya, bukan musuhnya! Melihat dua orang lawannya sudah menghunus parang dan pedang, Ki sumali tidak mau bersikap sembrono dan kedua tangannya bergerak ke arah pinggang dan di lain saat tangan kanannya sudah mencabut sebatang keris yang berlekuk-lekuk panjang seperti seekor ular dan berwarna hitam. Itulah keris pusaka Kyai Sarpo Langking (Ular hitam) dan tangan kirinya memegang sebatang suling dari bambu, akan tetapi berada di tangan Ki Sumali, benda lemah itu dapat menjadi senjata yang ampuh sekali dan hal ini sudah dibuktikan oleh Aji ketika dia bertanding melawan pendekar Loano itu. “Blekok Ireng dan Jalak Uren, aku sudah siap. Kalian mulailah!” tantang Ki Sumali sambil menyilangkan keris dan suling di depan dadanya. Sikapnya tenang namun waspada dan dia tampak gagah sekali. Dua oang pemimpin Gagak Rodra itu juga bukan orang lemah. meraka berdua sudah terkenal digdaya, apalagi kini ----------------------- Page 324----------------------- ----------------------- Page 325----------------------- http://zheraf.net “Hoosssss ........ !” Kembali klewang menyambar ganas, kini menyerampang ke arah kaki Ki Sumali. Jalak Uren menyerang sambil berjongkok. Ki Sumali melompat ke atas sehingga serampangan klewang itu menyambar lewat di bawah kedua kakinya. Pada saat itu, pedang di tangan Blekok Ireng sudah menyambar lagi, kini menyerang dengan bacokan dari atas ke bawah mengarah kepala. “Hyaaaatttt ........ !” Blekok Ireng mengeluarkan teriakan nyaring ketika pedangnya membacok. Namun dengan gerakan gesit sekali tubuh Ki Sumali yang masih belum menginjak tanah itu bergerak ke samping lalu berjungkir balik. Dia sudah dapat menghindarkan diri dari bacokan pedang itu. Dua orang lawannya menjadi semakin penasaran. mereka mendesak terus. Sampai enam tujuh kali Ki Sumali selalu mengelak atau mengakis sambil mempelajari gerakan dua orang pengeroyoknya. Setelah mulai mengenal dasar gerakan dua orang pengeroyoknya, mulailah Ki Sumali melakukan serangan pembalasan. Namun sepasang senjatanya terlalu pendek dibandingkan senjata kedua orang pengeroyoknya yang lebih panjang. Ketika klewang dan pedang itu membacok dari kanan kiri, keduanya mengarah kepalanya, Ki Sumali cepat menyambut dengan keris dan sulingnya sambil mengerahkan tenaganya. “Trakkk!” Empat senjata bertemu dan seperti melekat dan pada saat itu, tubuh Ki Sumali melompat, kedua kakinya mencuat ke kanan kiri menendang ke arah dada lawan. “Bukk! Bukk!” Tepat sekali kedua kaki Ki Sumali menghantam dada Blekok Ireng dan Jalak Uren. Dua orang itu terjengkang dan terbanting roboh. Akan tetapi dua orang ----------------------- Page 326----------------------- ----------------------- Page 327----------------------- http://zheraf.net lalu memasang aji pengasihan itu, suaranya merdu merayu ketika ia berkata lirih namun mengandung getaran aneh dan cukup keras untuk terdengar oleh Aji yang berdiri dekat. “Aji, wong bagus! Inilah aku jodohmu! Kita sehidup semati, atut runtut berkasih-kasihan seperti Mimi dan Mintuno! Ke sinilah, sayang, aku rindu kepadamu.” Aji menoleh dan dalam pandangan matanya, wanita itu tampak ayu manis, cantik jelita seperti seorang dewi kahyangan. Mata itu demikian jeli indah, sinarnya sayu lembut setengah terpejam mengandung gairah membangkitkan rangsangan berahi, hidung kecil mancung itu cupingnya bergerak-gerak lembut mengembang kempis, mulut itu sedikit ternganga, sepasang bibir yang tipis, penuh, lembut dan merah membasah itu seperti terengah, merekah menantang. Tubuh yang ramping padat, mengkal lembut itu seolah menuntut untuk didekap dan dibelai. -o0-dwkz~budi-0o- JILID X ji belum pernah merasa tertarik oleh kecantikan wanita, kecuali ketika dia bertemu dengan Ratu AWandansari yang membuatnya kagum namun penuh hormat, sekali ini merasa tersedot oleh daya tarik yang luar biasa, Baru sekali ini selama hidupnya dia mengalami berkobarnya gairah berahi dalam dirinya dan dengan sendirinya kedua kakinya melangkah, memenuhi panggilan wanita itu! Pengalaman yang baru sekali dirasakannya itu ----------------------- Page 328----------------------- ----------------------- Page 329----------------------- http://zheraf.net wanita itu seperti merayu Aji. Akan tetapi mereka tidak tahu apa yang terjadi. Hanya melihat pemuda yang dirayu itu maju beberapa langkah, lalu berhenti dan mundur lagi. Akan tetapi kini melihat serangan aneh itu mereka menjadi jerih dan mengkhawatirkan keselamatan pemuda itu. Juga hati mereka merasa takut menghadapi serangan sihir yang mengubah daun- daun menjadi ular-ular weling itu. Mereka semua mengenal ular yang amat berbahaya itu. Sekali tergigit, orang akan tewas seketika! Namun Aji yang diancam serangan puluhan ekor ular weling itu tampak tenang saja. Dia berjongkok mengambil segenggam tanah dan dilontarkannya tanah itu ke arah ular-ular yang merayap menuju kakinya. “Demi Allah, kembalilah kepada kodratmu!” Begitu disambar tanah yang dilontarkan ke arah ular- ular itu, tampak asap mengepul dan ular-ular jadi-jadian itupun kembali dalam ujud semula, yaitu beberapa helai daun sirih yang berserakan di atas tanah! Melihat ini, para pemuda Loano bertepuk tangan dan bersorak. Sebaliknya, para anak buah Gagak Rodra yang tadinya sudah merasa girang, mengerutkan alis mereka. Nyi Maya Dewi menjadi semakin marah. Tepuk tangan dan sorak sorai itu terdengar oleh telinganya bagaikan suara yang mengejeknya. Ia merangkap kedua tangan itu ke atas, lalu sambil membaca mantera ia menurunkan kedua tangan masih dalam sembah dan tiba-tiba ia mengeluarkan teriakan melengking dan panjang, kedua tangan itu dikembangkan ke arah puluhan orang pemuda Loano. Tiba-tiba dari kedua telapak tangannya itu muncul asap hitam yang tebal bergulung- ----------------------- Page 330----------------------- ----------------------- Page 331----------------------- http://zheraf.net ekor kerbau dan sapi telah menjadi korbannya, tewas seketika begitu terkena tamparan tangannya! Aji tidak mengenal ilmu itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa lawannya tentu mempergunakan aji pukulan yang ampuh. maka diapun bersikap waspada. “Mampuslah!” Wanita itu berteriak dan menerjang maju, tangan kirinya menampar. terdengar suara berdesir dan saking cepatnya tangan itu bergerak, yang tampak hanya sinar kemerahan menyambar ke arah kepala Aji. Akan tetapi pemuda itu sudah memainkan ilmu silat Wanara Sakti. Dengan mudahnya dia mengelak. Ketika tangan kanan yang merah itu menyambar dari lain jurusan, diapun sudah cepat melompat dan mengelak. Wanita itu semakin penasaran dan terus mendesak, namun tubuh Aji dengan cepatnya berloncatan ke sana sini, kadang-kadang melompat dan jungkir balik, namun semua serangan wanita itu hanya mengenai tempat kosong. Aji sendiri belum mau membalas karena bagaimanapun juga, dia tidak ingin memukul orang, apa lagi orang yang dilawannya itu adalah seorang wanita. Rasanya tidak pantas memukul seorang wanita! Sementara itu perkelahian antara Ki Sumali yang dikeroyok dua oleh Blekok Ireng dan Jalak Uren berlangsung semakin seru. Akan tetapi segera tampak bahwa dua orang pimpinan Gagak Rodra itu kewalahan menghadapi kedigdayaan Ki Sumali. Suling di tangan kiri Ki Sumali bergerak cepat sampai mengeluarkan suara melengking- lengking seperti ditiup. Hal ini membingungkan dua orang pengeroyoknya itu, apa lagi keris Sarpo Langking yang digerakkan dengan cepat itu merupakan sinar hitam yang menyambar-nyambar ganas. Beberapa kali dua orang itu ----------------------- Page 332----------------------- ----------------------- Page 333----------------------- http://zheraf.net “Maya Dewi. Minggirlah, biar aku yang akan menghajar bocah itu!” teriak Aki Somad. Melihat kedatangan paman gurunya yang dalam kedudukannya sebagai telik dandi (mata-mata) Kumpeni Belanda masih berada di bawah kedudukannya sendiri sebagai pengawas umum, Nyi Maya Dewi merasa girang sekali. “Paman, jangan bunuh dia. Tangkap hidup-hidup untukku!” teriaknya sambil melompat ke samping. “Huh, dasar mata keranjang!” Aki Somad terkekeh dan dia lalu menghadapi Aji. Sementara itu, melihat betapa dua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra sudah tewas oleh Ki Sumali, Nyi Maya Dewi menjadi marah sekali dan ia sudah meloncat ke depan dan langsung menyerang Pendekar Loano itu dengan ganas. Wanita ini sudah melolos senjatanya, yaitu sabuk Cinde Kencana. Begitu diputar, sabuk itu berubah menjadi gulungan sinar emas yang menyambar-nyambar ke arah Ki Sumali. Pendekar Loano ini sudah siap, cepat dia menggerakkan keris dan sulingnya untuk menangkis dan balas menyerang. Mereka berdua tanpa banyak cakap lagi, sudah saling serang dengan sengit. Adapun Aki Somad yang berhadapan dengan Aji, berkemak kemik membaca mantera. kemudian dia menudingkan tongkat ular kering itu ke arah kepala Aji dan berseru, “Terimalah ini dan mati engkau!” Tiba-tiba dari ujung tongkat itu tampak sinar meluncur dibarengi suara menggelegar seperti ada petir menyambar ke arah kepala Aji! Pemuda ini maklum bahwa lawannya ini memiliki ilmu sihir yang amat kuat dan sambaran petir yang keluar dari tongkat itu berbahaya sekali. Dia lalu berlindung ke dalam Aji Tirta Bantala, dirinya menjadi kosong terisi Kekuasaan Tuhan yang ----------------------- Page 334----------------------- ----------------------- Page 335----------------------- http://zheraf.net melontarkan tanah itu ke arah naga jadi-jadian sambil berseru, “Demi Allah, kembalilah ke ujud semula!” “Byarrrr ........ !” Naga itu seperti terbakar dan runtuh menjadi sebatang tongkat ular kering kembali yang jatuh ke atas tanah! Aki Somad menggerakkan tangan kanannya dan tongkat itu mendadak terbang kembali ke tangannya. “Babo-babo, bocah kemarin sore, yang masih bau pupuk ubun-ubunmu berani menentang aku! Bocah lancang, sudah butakah matamu, tulikah telingamu sehingga engkau tidak tahu bahwa engkau berhadapan dengan Aki Somad yang mbaurekso Nusa Kambangan?” “Kiranya aku berhadapan dengan Aki Somad yang sudah kudengar bahwa andika menjadi telik sandi Kumpeni Belanda. Aki Somad, maafkan kalau aku yang muda memberi nasihat kepada seorang kakek seperti andika, akan tetapi, tidakkah andika menyadari bahwa menjadi telik sandi Kumpeni Belanda sama saja dengan mengkhianati nusa dan bangsa dan hendak menjual tanah air? Seorang kakek yang sakti mandraguna seperti andika sepatutnya malu melakukan hal seperti itu, Aki Somad!” “Keparat, bocah sombong! Aku tidak mengabdi kepada Belanda, aku mengabdi kepada daerahku sendiri, ingin membebaskan daerahku sendiri dari kekuasaan Mataram, dengan bantuan Kumpeni Belanda!” “Sama saja, Aki Somad! Seharusnya andika membantu Mataram menghadapi Kumpeni belanda, berarti membebaskan nusa dan bangsa dari ancaman bangsa Belanda, bukan sebaliknya. Harap andika dapat menyadari kesalahan ini, Aki Somad.” ----------------------- Page 336----------------------- ----------------------- Page 337----------------------- http://zheraf.net “Dukkkk!” Dua lengan bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang dan terhuyung, Hal ini menandakan bahwa keduanya memiliki tenaga sakti yang seimbang. Aki Somad merasa penasaran sekali dan kembali dia memukulkan kedua tangannya dengan pengerahan sepenuh tenaganya. “Hyaaaaaaaaahhh ........ !!” kedua telapak tangan bernyala itu mendorong ke depan dan hawa yang amat panas menyambar ke arah Aji. Aji yang juga menekuk kedua lututnya, tubuhnya merendah dan diapun mengerahkan aji tenaga sakti Surya Chandra dan mendorong ke depan menyambut pukulan jarak jauh itu. “Wuuuuuuuttt ........ blarrrrr ........ !!” Kini keduanya terdorong ke belakang sampai tujuh langkah. Wajah Aki Somad menjadi pucat dan dia merasa dadanya agak sesak karena tenaga saktinya membalik. Aji hanya terguncang saja dan tidak menderita. Kemarahan Aki Somad memuncak. Dia lalu mengambil keputusan untuk mengeluarkan aji pamungkasnya yang belum pernah dia pergunakan untuk melawan musuh. Aji ini amat gawat dan hanya kalau terpaksa saja dia keluarkan. Kini, saking marahnya, Aki Somad lupa diri dan menggunakan aji yang teramat dahsyat itu hanya untuk mengalahkan seorang pemuda! Dia berkemak-kemik membaca mantera, kedua tangannya membuat gerakan menyembah ke atas dan dia mengerahkan seluruh aji kesaktiannya ke langit-langit mulutnya karena di sanalah letak sumber kesaktian ini. ----------------------- Page 338----------------------- ----------------------- Page 339----------------------- http://zheraf.net Pelindung Yang Maha Sakti, yaitu Kekuasaan Gusti Allah. Cepat dia tenggelam ke dalam Aji Tirta Bantala dan seluruh dirinya berlindung ke dalam kekuasaan Tuhan ketika dia menyerahkan diri, pasrah sepenuhnya kepada Kekuasaan Yang Maha Sakti. Kemudian, ketika kepala raksasa yang melayang dan menyambar turun hendak menerjangnya, tubuh Aji bergerak, digerakkan oleh kekuasaan di luar kehendaknya, bergeraknya Jiwa yang sudah hidup, kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan dan lututnya ditekuk, mukanya menghadap ke arah kepala raksasa itu, kedua tangannya bergerak sendiri, dengan kedua telapak tangan terbuka seperti mendorong ke arah kepala itu. “Syuuutttt ........ darrrr ........ !” terdengar ledakan dan kepala raksasa itu terpental ke atas. Kepala itu terbang berputar-putar, menyambar turun akan tetapi setelah dekat dengan Aji kepala itu naik kembali, agaknya seperti ragu-ragu atau takut, kemudian kepala itu lenyap, berubah menjadi sinar dan meluncur masuk lagi ke dalam mulut Aki Somad yang terbuka lebar. Aki somad terhuyung, mukanya pucat. Aji memandang dan berkata dengan suara mengandung teguran tegas. “Aki Somad, sungguh sayang sekali selama bertahun-tahun andika mesu-raga (mengendalikan jasmani) dan mesu-brata (mengendalikan hawa nafsu) sehingga andika beruntung dapat menguasai Aji Gineng Soka Weda yang sakti itu. Akan tetapi ternyata engkau menyalah gunakan aji yang ampuh untuk mengumbar nafsu amarah. Engkau tiada beda dengan Prabu Niwotokawoco yang senang menggunakan aji yang agung itu untuk mengumbar nafsu angkara murka sehingga akhirnya aji itu sndiri yang menghancurkannya. Bertaubatlah dan sadarlah akan kesesatanmu, Aki Somad!” ----------------------- Page 340----------------------- ----------------------- Page 341----------------------- http://zheraf.net mereka tahu bahwa kepandaian mereka masih terlampau rendah sehingga bantuan mereka tidak akan menolong, bahkan akan merepotkan yang dibantu. Sebaliknya Ki Sumali sudah terdesak, maka mereka maju mengeroyok agar pendekar Loano itu segera dapat dirobohkan. Tentu saja masuknya dua orang yang membantu Nyi Maya Dewi mengeroyoknya itu membuat Ki Sumali menjadi semakin repot. Dia sudah berusaha untuk balas menyerang dengan pekik Aji Jerit Birowo, akan tetapi pengaruh pekikan ini tidak mempan terhadap Nyi Maya Dewi dan kedua orang pembantu itu agaknya telah melindungi telinga mereka dan menutupnya dengan kapuk sehingga tidak terpengaruh oleh suara pekikan itu. Ki Sumali memutar suling dan kerisnya dan pada saat yang teramat gawat baginya itu, tiba-tiba tampak sesosok bayangan orang berkelebat. Segulungan sinar hijau berkeredepan menyambar dan menangkis sinar emas dari sabuk Cinde Kencana di tangan Nyi Maya Dewi yang mengancam Ki Sumali. “Cring ........ !” Tampak bunga api berpijar dan sabuk itu terpental sehingga Nyi Maya Dewi terkejut dan melompat ke belakang. ----------------------- Page 342----------------------- ----------------------- Page 343----------------------- http://zheraf.net Nyi Maya Dewi tak dapat menahan lagi kemarahannya. sambil mengeluarkan jerit menyeramkan, sabuk Cinde Kencana di tangannya menyambar dan ia sudah menyerang dengan ganas sekali. Akan tetapi gadis muda itu ternyata memiliki gerakan yang amat lincah dan cekatan. Ia sudah melompat ke kiri sehingga sambaran senjata sabuk itu luput dan kontan keras pedangnya berubah menjadi sinar kehijauan ketika menyambar dengan serangan yang tidak kalah ganasnya. Nyi Maya Dewi juga mengelak dan balas menyerang. Kedua orang wanita cantik itu sudah saling serang dengan hebatnya, dan ternyata keduanya memiliki kelincahan yang seimbang sehingga terjadilah perkelahian yang seru sekali. Melihat betapa gadis yang tak dikenalnya itu mampu menandingi Nyi Maya Dewi, Ki Sumali walaupun sudah terluka pundaknya sehingga berdarah dan dadanya yang tertendang tadi masih agak nyeri, kini cepat bergerak menyerang dua orang yang tadinya menyelundup sebagai pembantu rumah tangganya. Bardo dan Sumi juga melawan mati-matian. Para pemuda Loano sudah siap siaga, akan tetapi karena sudah dipesan Ki Sumali bahwa mereka tidak boleh turun tangan sebelum diperintah, mereka diam saja dan hanya bersiap-siap, tidak berani melakukan serangan. Di lain pihak, para anak buah gerombolan Gagak Rodra juga tidak berani menyerbu, apa lagi melihat dua orang pemimpin mereka sudah tewas di tangan Ki Sumali. Bahkan diam-diam beberapa orang di antara mereka telah menyelinap memasuki perkampungan untuk mempersiapkan keluarga mereka kalau-kalau mereka itu terpaksa harus melarikan diri mengungsi. mereka menyuruh para keluarga yang terdiri dari wanita dan kanak-kanak itu ----------------------- Page 344----------------------- ----------------------- Page 345----------------------- http://zheraf.net Nyi Maya Dewi seperti terbakar hatinya saking marahnya. Ia lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya setelah menenyimpan sabuknya. Kedua tapak tangan itu mengepulkan asap dan berubah menjadi merah seperti berlepotan darah. Dengan kedua tapak tangan merah itu ia lalu mendorong ke arah gadis yang menjadi lawannya sambil berteriak nyaring, “Aji Tapak Ludiro!” Gadis itu terkejut akan tetapi tidak merasa gentar. “Ih, ilmu siluman!” Ia berseru dan dengan berani iapun menyambut pukulan jarak jauh itu dengan dorongan kedua tangannya. “Aji Sunya Hasta ........ !” ia berteriak dan biarpun dari kedua tangannya seperti tidak mengeluarkan tenaga apapun, namun daya pukulan dahsyat yang dilontarkan Nyi Maya Dewi itu seolah tertahan di udara dan bertemu dengan dinding yang tak tampak. “Dessss ........ !” akibatnya, Nyi Maya Dewi terhuyung ke belakang akan tetapi gadis itu tampaknya tidak bergeming! Pada saat itu terdengar jerit dua kali dan ternyata Bardo dan Sumi yang mengeroyok Ki Sumali itu telah roboh dan tewas terkena tusukan keris dan pukulan suling di tangan pendekar Loano itu. Melihat betapa gadis remaja itu mampu menyambut aji pukulannya yang ampuh, bahkan membuatnya terhuyung, kemudian melihat dua orang pembantu itupun sudah roboh pula, ditambah lagi keadaan Aki Somad yang bertanding melawan Aji masih berimbang, hati Nyi Maya Dewi menjadi gentar. Nyi Maya Dewi maklum bahwa keadaan pihaknya tidak menguntungkan, apa lagi kedua orang pimpinan Gagak Rodra sudah tewas. Pemuda yang bernama Aji itu saja sudah merupakan lawan tangguh dan sekarang tiba-tiba muncul gadis ----------------------- Page 346----------------------- ----------------------- Page 347----------------------- http://zheraf.net Ucapan Ki Sumali yang lantang itu mendapat sambutan. Mula-mula para anggauta yang sudah tua membuang senjata dan duduk di atas tanah, lalu diturut para anggauta lain dan akhirnya semua anggauta perkumpulan itu membuang senjata dan duduk dengan sikap menyerah. “Bagus! kalian semua telah menyerah. Sekarang terserah keputusannya kepada anak mas Aji yang dalam hal ini menjadi orang yang mendapat kepercayaan dari Kanjeng sultan agung di mataram!” ki sumali lalu berkata kepada aji. “Anak mas, sekarang berilah keputusan sesuai dengan tugas anak mas yang anak mas bawa dari mataram.” Aji merasa terpaksa untuk bertindak. Bagaimanapun juga, ucapan Ki Sumali itu benar. Dia telah menjadi seorang abdi Mataram yang dipercaya dan diangkat menjadi telik sandi Mataram untuk mengamati keadaan di sepanjang perjalanan dan kalau perlu membantu Mataram menentang mereka yang menganggap Mataram sebagai musuh. Juga untuk menentang orang-orang yang dipergunakan Kumpeni Belanda untuk memusuhi Mataram dan menggagalkan usaha Mataram untuk mempersatukan semua daerah. “Saudara-saudara sekalian!” katanya dan Aji mengerahkan tenaga dalamnya sehingga suaranya terdengar lantang berwibawa. “Kita ini sesungguhnya adalah sebangsa, sesaudara, maka tidak semestinya kalau kita saling bermusuhan. Ketahuilah bahwa bangsa dan tanah air kita semua ini terancam oleh Kumpeni Belanda yang hendak memperluas kekuasaan mereka di Nusantara. Karena itu sudah sepatutnya kalau kita bersatu untuk mnentangnya. Tindakan mendiang pimpinan kalian, Aki Somad dan Nyi Maya Dewi yang membantu Belanda itu adalah tindakan sesat, ----------------------- Page 348----------------------- ----------------------- Page 349----------------------- http://zheraf.net Setelah dinyatakan bahwa mereka diampuni, para anggota Gagak Rodra menjadi gembira sekali dan mereka bahkan mengajak anak dan isteri mereka keluar, bersalaman dengan para pemuda Loano, bahkan mengajak para penduduk Loano untuk memasuki perkampungan mereka di mana mereka menyuguhkan hidangan dan beramah tamah. Sebagian ada yang mengurus jenasah Ki Blekok Ireng, Ki Jalak Uren, Bardo dan Sumi. Ki Sumali, Aji dan gadis perkasa itu tidak memasuki perkampungan dan kini Ki Sumali tidak dapat lagi menahan keheranan dan keinginan tahu hatinya terhadap gadis ayu manis yang sakti mandraguna itu. Mereka bertiga tinggal di luar perkampungan Gagak Rodra, berdiri di bawah pohon dan Ki Sumali menghampiri gadis itu. Setelah berhadapan dia mengamati wajah gadis yang memandang kepadanya dengan senyum manis dan pandang mata tajam bersinar sinar mengandung kejenakaan. “Nah, sekarang kita dapat bercakap cakap. Nona, aku masih merasa heran sekali. melihat sikapmu, andika seolah- olah mengenal aku dengan baik. Akan tetapi mengapa aku merasa sama sekali tidak pernah melihat dan mengenalmu?” Pendekar Loano itu mengamati wajah gadis itu dengan penuh perhatian dan dia beusaha keras untuk mengingat. “Pak-de Sumali, aku sendiripun baru yakin akan diri pak-de setelah aku melihat pak-de memegang Keris Sarpo Langking dan sebatang suling bambu. Tentu saja pak-de lupa kepadaku karena ketika pakde melihat aku, ketika itu aku baru berusia tiga tahun. Hi-hik!” Gadis itu terkekeh. Tawanya manis dan terbuka tanpa ditutup-tutupi seperti biasanya gadis tertawa malu-malu. Akan tetapi tawanya sopan, mulutnya terbuka ----------------------- Page 350----------------------- ----------------------- Page 351----------------------- http://zheraf.net hanya mendengarkan tanpa berani menatap wajah gadis itu secara langsung. “O ya, aku sampai lupa saking gembiraku. Lupa memperkenalkan kalian. Anak mas Aji, seperti engkau sudah mendengar sendiri, dara perkasa ini ternyata keponakanku sendiri, puteri dari adikku Subali yang tinggal di Galuh, namanya Sulastri. Lastri, pemuda ini bernama Lindu Aji. Dia datang dari Mataram dan engkau tadipun sudah mendengar. Dia ini seorang kepercayaan dari Gusti Sultan Agung di Mataram.” Dua orang muda ini saling pandang. Aji hanya menatap wajah itu sekelebatan saja. Dia merasa tidak pantas dan malu kalau harus berlama-lama menatap wajah yang ayu manis itu. Di lain pihak, Sulastri memandang wajah Aji dengan penuh perhatian, bahkan tidak menyembunyikan keheranannya tanpa malu-malu atau rikuh. “Lindu Aji? Namanya kok lucu ........!” kata Sulastri, sikapnya wajar, benar-benar heran, tidak bermaksud mentertawakan. “Sebut saja aku Aji.” kata Aji perlahan. “Aji, aku melihat tadi ketika andika menandingi kakek itu. Kepandaianmu hebat!” Sulastri memuji. “Lastri! Engkau jauh lebih muda, masih remaja. Jangan panggil nama anak mas Aji begitu saja. Sebut dia kakangmas!” Ki Sumali menegur keponakannya. Gadis itu tersenyum dan mengerling nakal ke arah pamannya. “Ah, pakde ini! Aku bukan anak kecil lagi, lho. Usiaku sudah delapan belas tahun!” Ki Sumali tertawa. “Baru delapan belas tahun. Anak mas Aji tentu jauh lebih tua. Bukankah begitu, anak mas Aji?” ----------------------- Page 352----------------------- ----------------------- Page 353----------------------- http://zheraf.net Winarsih menyambut pulangnya Ki Sumali dan Aji dengan gembira dan lega bukan main. Wanita yang ditinggalkan di rumah kepala dusun itu selalu merasa gelisah. Maka, ketika ia mendapat kabar dari seorang tetangga yang dimintai tolong oleh Ki Sumali untuk mengabarkan kepada isterinya bahwa dia sudah pulang, Winarsih cepat meninggalkan rumah kepala dusun dan berlari pulang. Melihat suaminya dan Aji berada di beranda rumah, ia menghampiri mereka dan dengan wajah cerah gembira ia berkata. “Kakang Sumali! Dimas Aji! Kalian pulang dengan selamat! Sukurlah, hatiku menjadi lega dan berbahagia!” Sulastri yang melihat seorang wanita muda cantik jelita menyambut kedua orang pria itu, tertegun. Ia bangkit dari duduknya, menghampiri pak-denya dan bertanya, “Pak-de, siapakah mbakayu ini?” “Mbakayu? Ha-ha-ha! Inilah budemu, Lastri. Ini Winarsih, isteriku! Winarsih, gadis ini adalah Sulastri, keponakanku. Ingat akan adikku Subali yang pernah kuceritakan kepadamu dan yang tinggal di Galuh? Nah, ini puterinya!” Dua orang wanita itu saling pandang dan Sulastri tidak menyembunyikan keheranannya. “Bu-de ........ ? Masih begini muda dan cantik?” “Memang, muda dan cantik! Pak-de mu ini memang seorang laki-laki yang beruntung, Lastri. Budemu muda dan cantik dan ........ amat mencintaiku!” Sulastri adalah seorang gadis yang sejak kecil memang berwatak terbuka dan jujur, sesuai dengan kegagahannya. “Benarkah itu, Bude Winarsih?” ----------------------- Page 354----------------------- ----------------------- Page 355----------------------- http://zheraf.net dan tidak mendengar kabar tentang mereka. Mereka baik-baik saja, bukan?” “Ayah dan ibu baik-baik saja, pak-de. Mereka titip salam hormat agar kusampaikan kepada pak-de.” “Setahuku, adikku subali hanya menguasai ilmu kanuragan biasa saja. sejak muda dia malas memperdalam ilmu kanuragan, lebih menyukai ilmu sastra. Bagaimana kini engkau anaknya memiliki kesaktian yang demikian hebat? Winarsih, tadi Lastri membantu kami. Kalau tidak ada ia yang membantu, mungkin kami akan menghadapi kesukaran.” “Ah, pak-de ini bisa saja memuji orang. Jangan percaya, Bu-de Winarsih. Dia melebih-lebihkan!” Winarsih tersenyum dan mengusap pipinya yang berkulit lembut halus dari gadis itu. “Pak-de mu tidak pernah berbohong, Lastri. Kalau dia memuji, berarti engkau memang sudah sepatutnya dipuji.” “Wah, bu-de ini setia sekali kepada pak-de, mati-matian membela dan membenarkan. Bisa kalah aku kalau dikeroyok begini!” Sulastri pura-pura cemberut. Sikapnya demikian lucu sehingga semua orang tersenyum. “Hayo jangan berputar-putar, Lastri. Ceritakan bagaimana engkau dapat menjadi seorang dara yang sakti mandraguna. bahkan engkau mampu menandingi seorang iblis betina sakti seperti nyi Maya Dewi. Bukankah ia Nyi Maya dewi, anak mas Aji? Aku baru sekali itu bertemu dengannya, akan tetapi sudah lama mendengar akan namanya yang kesohor!” “Benar, paman. Ia memang Nyi Maya Dewi.” kata Aji. “Apa? Jadi wanita itu tadi Nyi Maya Dewi datuk wanita Parahiyangan itu?” sulastri tampak terheran dan tertegun. ----------------------- Page 356----------------------- ----------------------- Page 357----------------------- http://zheraf.net meremas-remas batu sampai hancur menjadi tepung. Aku tertarik sekali dan aku merengek-rengek kepada ayah dan ibu agar diperbolehkan menjadi murid kakek itu. Ayah dan ibu akhirnya menyetujui. Ingat, aku anak manja dan kalau mereka tidak menyetujui, aku dapat menjerit-jerit menangis sampai orang-orang sedusun berdatangan karena kaget!” Gadis itu tertawa dan yang mendengarkan ikut merasa geli dan tertawa. “Demikianlah, selama sepuluh tahun aku digembleng oleh kakek itu yang menjadi guruku.” “Siapa nama kakek itu, Lastri?” “Tidak ada yang tahu siapa namanya, pak-de. Dia tidak pernah mau memperkenalkan namanya, bahkan kepada akupun tidak. Dia hanya mengaku disebut Ki Gede Pasisiran dan berasal dari Banten.” “Tentu kakek yang sakti mandraguna.” kata Ki Sumali. “Jadi engkau telah mewarisi aji kesaktiannya, Lastri? Sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat tiba-tiba muncul di tepi Kali Bogawanta tadi dan menolong kami?” “Aku memang hendak pergi ke Loano untuk mencarimu, pakde. Ketika melihat seorang laki-laki gagah perkasa, berusia lima puluh tahun lebih, memegang keris berbentuk ular hitam dan sebatang suling, aku segera dapat menduga bahwa orang itu tentu Pakde Sumali seperti sudah digambarkan oleh ayah. Maka aku segera membantumu, pakde.” “Dan kenapa engkau seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri menempuh jarak sedemikian jauhnya, mencariku? apakah engkau diutus oleh ayahmu untuk mencariku?” Sulastri menggeleng kepalanya, “Tidak, pakde.” ----------------------- Page 358----------------------- ----------------------- Page 359----------------------- http://zheraf.net de dan bude tentu tidak marah karena aku tidak mau berterus terang tentang persoalan pribadiku itu dan mau menerima aku, bukan?” “Tentu saja, Lastri! Persoalan pribadi yang dirahasiakan merupakan hak seorang dan kalau engkau tidak mau menceritakan kepada orang lain, jangan ceritakan! Kami menerimamu dengan senang hati.” “Lastri, engkau boleh tinggal di sini menenteramkan hatimu berapa lamapun kauinginkan.” “Terima kasih, pakde dan bude. Sekarang giliran pakde, bude dan juga Kakangmas Aji bercerita. Pakde Sumali dulu mendapatkan giliran!” kata Lastri yang kini sudah tersenyum- senyum cerah lagi, sudah lupa akan kekesalan hatinya. “Aih, keenakan bicara aku sampai lupa pekerjaan di dapur. Bisa hangus nanti nasi yang sedang kumasak.” kata Winarsih sambil bangkit dari tempat duduknya. “Biar aku membantumu, bude!” Sulastri juga bangkit. “Eeitt, kalau engkau membantu, lalu bagaimana engkau dapat mendengarkan cerita pakdemu? Tentang diriku, engkau dapat mendengar langsung dari pakdemu juga. Nanti saja engkau membantuku kalau percakapanmu dengan pakdemu sudah selesai, Lastri.” kata Winarsih yang segera pergi ke dapur. Sulastri terpaksa duduk kembali menghadapi Ki sumali. “Tentang diri kami berdua, tidak banyak yang dapat diceritakan, Lastri. Sejak dulu aku tinggal di Loano, maka ayahmu mengetahui alamatku. Aku bertemu budemu tiga tahun yang lalu ketika aku menentang gerombolan perampok yang mengacau di Loano, juga menolong budemu dari tangan mereka, kami saling jatuh cinta dan karena pada waktu itu aku masih bujangan biarpun usiaku sudah lima puluh satu tahun, ----------------------- Page 360----------------------- ----------------------- Page 361----------------------- http://zheraf.net “Setelah Winarsih diantar pulang oleh Anak mas aji dengan selamat, aku dapat yakin bahwa pelakunya adalah para pimpinan Gagak Rodra. malam itu aku mengumpulkan para pemuda Loano dan merencanakan persiapan untuk bedok pagi- pagi menyerbu ke sarang Gagak Rodra bersama Anak mas aji dan para pemuda itu. Akan tetapi malam itu kami bertiga, Anak mas Aji, Winarsih, dan aku sendiri hampir saja menjadi korban, diracuni oleh dua orang pembantu kami sendiri.” “Ah! Bagaimana dua orang pembantu sendiri hendak meracuni keluarga pak-de sendiri?” “Ternyata mereka itu adalah orang-orangnya antek Belanda yang sengaja diselundupkan ke sini sebagai pengungsi dan kami terima sebagai pelayan karena merasa kasihan. Sekali lagi, untung ada Anak mas Aji. Dia yang mula-mula menaruh curiga dan membiarkan ayam makan singkong rebus beracun itu sehingga ayam itu mati. Dua orang pelayan itu membuktikan kebersihan mereka dengan berani makan singkong rebus itu sehingga kami terkecoh. Akan tetapi pagi- pagi sekali tadi, dua orang yang mengaku suami isteri itu memasuki kamar Anak mas Aji dan bermaksud membunuhnya. Akan tetapi Anak mas Aji sudah curiga dan siap siaga sehingga usaha pembunuhan itupun dapat digagalkan. Mereka melarikan diri dan ketika kami menyerbu ke sarang Gagak Rodra tadi, ternyata mereka berdua berada pula di sana. Dalam perkelahian, mereka berdua dan dua orang pimpinan Gagak Rodra berhasil kubinasakan.” “Kalau begitu, pak-de dan Kakangmas Aji bersalah besar sekali!” tiba-tiba Sulastri mencela dan mengerutkan alisnya. Dua orang laki-laki itu tentu saja terkejut dan heran, ----------------------- Page 362----------------------- ----------------------- Page 363----------------------- http://zheraf.net sedang berselisih paham. Buktinya, ketika Mataram mengalahkan daerah-daerah yang tadinya menentang itu, Gusti Sultan tidak menghukum para bupati dan adipati yang tadinya menentang. Bahkan mereka diberi kedudukan kembali. Ingat saja, Pangeran Pekik dari Surabaya bahkan dinikahkan dengan Gusti Puteri Ratu Wandansari, lalu Raden Praseno putera Bupati Arisbaya malah diangkat menjadi Adipati Madura berjuluk Pangeran Cakraningrat. Kemudian Sunan Giri juga dimaafkan dan diangkat kembali dengan gelar Panembahan, dan masih banyak lagi. Karena itu, kalau sekarang kami memaafkan para anggauta Gagak Rodra dan memberi kesempatan kepada mereka untuk bertaubat dan mengubah jalan hidup mereka, hal ini adalah sesuai dengan kebijaksanaan Gusti Sultan Agung.” “Hemmm, engkau sungguh seorang yang setia dan mencontoh kebijaksanaan Sultan Agung, Kakangmas Aji. Lalu alasan yang kedua? Prikemanusiaan? Apa maksudmu?” “Nimas, jawablah dulu pertanyaanku ini. Percayakah engkau akan ucapan orang bijak jaman dahulu bahwa di dunia ini, tidak ada seorangpun manusia yang tanpa salah dan tidak berdosa?” Gadis itu mengangguk. “Aku percaya. Semua manusia pasti mempunyai kesalahan, setiap orang manusia pasti berdosa. Hanya Gusti Allah yang tanpa kesalahan tanpa dosa, serba sempurna.” “Bagus jawabanmu itu sudah menjawab pertanyaanmu tentang alasan ke dua itu. Engkau, aku, dan Paman Sumali adalah manusia-manusia juga, bukan?” “Tentu saja!” -o0-dwkz~budi-0o- ----------------------- Page 364----------------------- ----------------------- Page 365----------------------- http://zheraf.net menyembuhkan orang sakit dan aku percaya seyakin-yakinnya, kalau Gusti Allah menghendaki, mereka yang tadinya jahat itu dapat menjadi orang-orang yang berguna dan baik.” “Ah, betapa sukarnya untuk dapat memaafkan orang yang telah berbuat jahat kepada kita!” kata gadis itu. “Engkau benar, Lastri. Memang memaafkan orang yang bersalah kepada kita itu sukar sekali.” Pada saat itu muncul Winarsih. “Hei, tiada habis- habisnya kalian bicara. Mari, berhenti dulu bicaranya dan kita makan. Hari sudah siang, makanan sudah kupersiapkan di meja makan ruangan dalam. Silakan!” Mereka berempat lalu memasuki ruangan dalam dan makan bersama. Sulastri merasa gembira setelah mendapat kenyataan bahwa uwanya ternyata adalah seorang yang ramah dan baik. Terlebih lagi senang hatinya melihat isteri uwanya itu ternyata seorang yang amat ramah dan lembut, bersikap demikian akrab kepadanya seolah mereka sudah lama sekali berkenalan. Akan tetapi yang paling menarik hatinya adalah Aji. belum pernah sebelumnya dia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian lembut, sopan, berpemandangan luas, pandai berfilsafat seperti seorang kyai, dan memiliki kesaktian yang hebat pula! -o0-dwkz~budi-0o- Sampai tiga hari tiga malam lamanya Aji tinggal di rumah Ki Sumali. Dia selalu ditahan-tahan oleh suami isteri itu, bahkan Sulastri yang kini mulai akrab dengannya juga ikut membantu suami istri itu menahan Aji. Akan tetapi pada hari ke empatnya, pagi-pagi sekali Aji memutuskan untuk ----------------------- Page 366----------------------- ----------------------- Page 367----------------------- http://zheraf.net Kumpeni Belanda di Batavia dan juga mungkin aku akan pergi ke Banten.” Gadis itu memandang dengan wajah berseri dan kedua matanya bersinar-sinar. “Ke Galuh? Ah, sungguh kebetulan sekali! Aku pergi denganmu, Mas Aji. Akupun hendak pulang ke Galuh!” “Lastri, baru tiga hari engkau di sini. Masa sudah hendak pergi lagi?” kata Winarsih. “Lastri, Anak mas Aji melakukan perjalanan untuk melaksanakan tugas. Bagaimana engkau dapat melakukan perjalanan bersama dia?” kata pula Ki Sumali. “Bude, aku berjanji kepada ayah ibu untuk tidak terlalu lama pergi, maka aku akan segera pulang. Dan, Pakde, aku tidak mengganggu Mas Aji. Melakukan perjalanan berdua tentu lebih asyik dan menyenangkan! Pula, kalau perlu, aku dapat membantu Mas Aji melaksanakan tugasnya!” kata gadis itu dengan lincah dan gembira. Ki Sumali mengerutkan alisnya. Dia adalah pakde (uwa) dari gadis itu. Dan sudah sepantasnya kalau dia mewakili adiknya untuk menasihati gadis itu dan menganggapnya sebagai anak sendiri. “Nini Sulastri.” katanya dan suaranya terdengar sungguh-sungguh dan penuh wibawa. “Dengarkan nasihatku karena di sini aku menjadi pengganti ayahmu. Engkau tidak boleh melakukan perjalanan berdua dengan Anak mas Aji. Seorang perawan dan seorang perjaka, bagaimana boleh melakukan perjalanan jauh berhari-hari hanya berdua saja? Apa anggapan orang nanti? Ini namanya tidak pantas dan kalian dapat disangka suami isteri!” ----------------------- Page 368----------------------- ----------------------- Page 369----------------------- http://zheraf.net semua anggapan itu. Aku yakin ayahku akan memberi nasihat seperti ini, pakde. Kalau kita terlalu menggantungkan kehidupan kita pada pendapat orang lain, kita akan sukar untuk melangkah, tentu akan tersandung-sandung pendapat dan anggapan orang lain yang hanya usil dan mau tahu urusan orang lain.” Mau tidak mau Ki sumali tersenyum. Bantahan itu memang bernada keras, namun dia dapat melihat kebenaran yang terkandung di dalamnya. “Wah, engkau ini pantas menjadi Srikandi, Lastri. Akan tetapi kita ini manusia yang bermasyarakat, tidak hidup sendiri, bagaimana kita akan dapat mengabaikan pendapat umum begitu saja?” “Pendapat umum memang harus kita perhatikan, akan tetapi kita terima yang kita anggap benar dan baik saja, yang salah dan tidak baik tentu saja kita tolak! Wah, kita berbantahan panjang lebar tentang niatku melakukan perjalanan bersama mas Aji, sama sekali tidak ingat bahwa yang bersangkutan dan berkepentingan berada di depan hidung kita! Pada hal yang berhak menentukan adalah Mas Aji sendiri! Nah, Mas Aji, sekarang jawablah sejujurnya, tidak perlu rikuh- rikuh tidak perlu pura-pura. Bagaimana tanggapanmu? Maukah engkau kalau aku menemanimu melakukan perjalanan ke Galuh atau engkau merasa keberatan kalau kita melakukan perjalanan bersama?” Dalam perbantahan antara pakde dan keponakan tadi, Aji dapat merasakan kebenaran kedua orang itu. Sebetulnya, kalau dia mau jujur terhadap dirinya sendiri, dia merasa senang akan tetapi juga rikuh melakukan perjalanan berdua saja dengan seorang gadis yang demikian ayu manis merak ati! ----------------------- Page 370----------------------- ----------------------- Page 371----------------------- http://zheraf.net pendapat umum itu pasti benar! Itu salah kaprah namanya, biarpun salah kalau sudah menjadi pendapat umum menjadi benar! Celakalah orang yang tidak punya pendirian. Contohnya pakde sendiri. Pakde adalah seorang yang memiliki pendirian teguh dan pakde tentu berani menentang arus. Misalnya orang seluruh Loano ini menjadi antek Belanda, apakah pakde juga mengikuti arus, menuruti pendapat umum ikut-ikutan menjadi antek Belanda?” “Nah, itu namanya menentang arus karena pakde mempunyai prinsip berdasarkan kesetiaan pakde kepada Nusa dan Bangsa! Nah, sekarang contohnya yang jelas lagi seperti bude ini. Iapun wanita yang berani menentang arus karena mempunyai prinsip!” “Eh! Aku?” Winarsih membelalakkan matanya yang indah dan lembut sinarnya itu. “Jangan bergurai, Lastri! Aku ini hanya seorang perempuan yang lemah dan bodoh!” “Siapa bilang bude lemah dan bodoh? Maaf, aku bukan hendak menyinggung atau mengejek, aku bahkan kagum dan memuji, dan bicara dari hati tanpa tedeng aling-aling karena aku membicarakan kenyataan. Pakde dan bude, kukira umum akan berpendapat bahwa amat tidak baik dan tidak pantas bagi bude yang cantik dan muda menjadi istri pakde yang jauh lebih tua, bukan? Akan tetapi bude mempunyai prinsip yang kuat berdasarkan cinta kasih murni. Nah, karena prinsip itu, bude berani menentang arus, bertindak berlawanan dengan pendapat umum. Dan aku sama sekali tidak berpendapat bahwa tindakan yang diambil bude itu salah!” Ki Sumali dan Winarsih saling pandang, akan tetapi mereka tidak merasa tersinggung karena gadis itu bicara blak- blakan, walaupun wajah mereka berubah kemerahan. ----------------------- Page 372----------------------- ----------------------- Page 373----------------------- http://zheraf.net “Ah, ya tidak, pakde. Orang hidup harus saling bantu, saling tolong, saling melindungi. Betul tidak, kangmas Aji?” Aji tersenyum dan mengangguk. “Engkau benar, nimas.” Diam- diam Aji merasa senang. Gadis ini luar biasa. belum pernah dia bertemu dengan gadis selincah ini, Sama cantik jelitanya dengan Puteri Wandansari, isteri Adipati Surabaya dan puteri Sultan Agung. Hanya bedanya, Puteri Wandansari yang juga gagah perkasa itu sikapnya lembut dan penuh wibawa, sedangkan Sulastri lincah jenaka dan keras kepala, seperti kuda betina liar yang sukar ditundukkan dan dijinakkan. Akan tetapi, gadis ini jelas boleh diandalkan. Sakti mandraguna dan penuh keberanian, memiliki jiwa pendekar yang gagah perkasa. Setelah berkemas, Aji dan Sulastri pada hari itu juga meninggalkan Loano. Ki Sumali menyerahkan seekor kuda yang cukup baik untuk Sulastri dan kedua orang muda itu menyeberangi Kali Bogawanta lalu menunggang kuda menuju ke barat. ----------------------- Page 374----------------------- ----------------------- Page 375----------------------- http://zheraf.net seni. Dia pandai menari, menembang, mendalang dan ahli sastra, bahkan pandai mendalang wayang golek. Isterinyapun seorang waranggana (penembang) yang bersuara merdu dan sering menjadi pesindennya ketika suaminya mendalang. Mereka hanya memiliki seorang anak, yaitu Sulastri. Tidaklah mengherankan kalau suami isteri itu amat memanjakan Sulastri sehingga anak ini tumbuh menjadi seorang anak yang manja dan keras hati, minta agar semua keinginannya dituruti. Sejak kecil Sulastri berwatak lincah dan nakal, seperti seorang anak laki-laki yang diam-diam didambakan ayah ibunya. Ia bahkan suka bergaul dengan anak laki-laki daripada dengan anak perempuan. Kebiasaan ini tentu saja membuat ia bertambah lincah dan nakal, seperti anak laki-laki. Maka, tidak aneh kalau setelah ia berusia spuluh tahun, ia merengek kepada ayahnya, minta agar ia dibawa ayahnya untuk berguru ilmu bela diri kepada Ki Ageng Pasisiran, seorang kakek tua renta yang dikenal sebagai seorang yang sakti mandraguna. “Ah, kaukira mudah saja menjadi murid Ki Ageng Pasisiran?” teriak Ki subali terkejut dan heran ketika anaknya yang berusia sepuluh tahun itu merengek minta agar diantar ayahnya utnuk menjadi murid kakek sakti itu. “Hal itu sama sekali tidak mungkin, Lastri!” “Aih, ayah ini! Mengapa tidak mungkin? Aku tahu bahwa ayah adalah sahabat Ki Ageng Pasisiran! Kalau ayah yang membawa ke sana, tentu dia akan mau menerimaku sebagai murid!” Sulastri membantah. “Hemmm, anak tak tahu diri. Mau tahu mengapa tidak mungkin? Pertama karena engkau masih anak kecil dan perempuan lagi! Kedua, setahuku Ki Ageng Pasisiran tidak pernah menerima murid. Selama ini aku lihat dia hanya ----------------------- Page 376----------------------- ----------------------- Page 377----------------------- http://zheraf.net “Tidak mau, ayah! Aku hanya ingin menjadi murid Eyang Ageng Pasisiran!” Sulastri merengek dan menangis. Seperti biasa, kalau sudah begitu, ibu anak itu mendesak suaminya dan akhirnya Ki Subali mengalah. Apa boleh buat, dia pada suatu pagi mengantar anak perempuannya yang berusia sepuluh tahun itu kepada Ki Ageng Pasisiran yang tinggal di daerah pesisir, tentu saja dengan dugaan bahwa kakek tua renta itu pasti menolak, tentu anaknya yang bandel ini tidak akan dapt memaksanya lagi. Rumah kediaman Ki Ageng Pasisiran berada di dekat laut utara, sebuah rumah yang kokoh namun sederhana. Ki ageng Pasisiran ini datang dan bertempat tinggal di situ sebagai seorang duda kurang lebih lima tahun yang lalu. Usianya sekarang sudah tujuh puluh lima tahun dan dia hidup menyepi di rumah yang terpencil itu, hanya ditemani seorang cantrik atau pelayan laki-laki muda yang usianya sekitar dua puluh tahun. Ketika datang dan bertempat tinggal di situ, dia dikenal sebagai seorang pertapa yang bernama Ki Ageng Pasisiran. Sebetulnya, kakek ini bukan lain adalah Ki Tejo Langit yang datang dari Banten. Seperti kita ketahui, nama ini pernah disebut oleh Ki Tejo Budi sebagai kakak seperguruannya. Akan tetapi, kini Ki Tejo Langit muncul di pesisir Indramayu dengan nama Ki Ageng Pasisiran dan hidup menyendiri, hanya ditemani seorang pelayan atau cantrik. Di antara sedikit orang yang dikenal Ki Ageng Pasisiran, yang tak banyak juga jumlahnya, adalah Ki Subali. Kakek tua renta itu senang bercakap-cakap dengan Ki Subali tentang seni dan sastra. Sebaliknya Ki Subali juga mengagumi kakek tua renta itu karena luas pengalamannya. ----------------------- Page 378----------------------- ----------------------- Page 379----------------------- http://zheraf.net Ki Subali merasa agak rikuh dan tegang karena menganggap bahwa permintaannya tidak pantas. “begini, paman. Kedatangan saya ini, eh, kami ini ........ yaitu anak saya Sulastri ini ........ maksud saya ingin sekali ........ ah, bagaimana saya harus mengatakan ........ ?” Tiba-tiba Sulastri yang berkata lantang. “Eyang, saya ingin belajar aji kanuragan kepada eyang, saya ingin menjadi murid eyang!” Ki Subali terkejut dan cepat berkata dengan sikap hormat kepada kakek itu. “Ah, mohon maaf sebanyaknya atas kelancangan kami, paman. Kami telah mengajukan permintaan yang bukan-bukan dan tidak pantas ........ “ Akan tetapi betapa heran dan girang hati Ki Subali ketika Ki Ageng Pasisiran tertawa dan berkata, “Heh-heh-heh, bagus sekali, bagus sekali! Inilah kesempatan baik bagiku, dalam tahun-tahun terakhir hidupku dapat mewariskan ilmu- ilmuku kepada seorang murid yang bertulang baik dan berbakat! Sulastri, aku suka menerimamu sebagai muridku!” Sulastri memang anak yang luar biasa. Dalam usia sepuluh tahun itu, ia sudah pandai membawa diri dan begitu mendengar dirinya diterima menjadi murid Ki Ageng Pasisiran, langsung ia menjatuhkan diri berlutut dan menyembah di depan kaki ki Ageng Pasisiran! “Terima kasih banyak bahwa eyang guru sudi menerima saya menjadi murid!” Melihat ulah puterinya, ki Subali juga cepat menghaturkan terima kasih. Demikianlah, mulai hari itu, Sulastri menjadi murid Ki Ageng Pasisiran. Setiap hari ia datang ke rumah kakek itu dan mulai menerima gemblengan langsung dari Ki Ageng ----------------------- Page 380----------------------- ----------------------- Page 381----------------------- http://zheraf.net berkunjung, dua orang laki-laki itu sudah berada di situ. Seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun dan seorang lagi yang berusia kurang lebih lima puluh tahun. Tentu saja Sulastri menjadi terheran-heran, juga dua orang laki-laki itu memandang kepadanya dengan kagum. lalu muncullah Ki Ageng pasisiran yang kini telah berusia delapan puluh tahun lebih. Dia tersenyum melihat kedatangan Sulastri. “Ah, engkau, Lastri. Kebetulan sekali. Kenalkanlah, ini adalah puteraku, Sudrajat. Kini dia tinggal di Banten bersama keluarganya dan kebetulan dia datang berkunjung.” Kakek itu menunjuk kepada laki-laki yang berusia lima puluh tahun yang bertubuh sedang dan bersikap tenang dan lembut. “Ajat, inilah Sulastri, muridku seperti yang telah kuceritakan kepadamu semalam.” Karena laki-laki itu diakui sebagai putera eyang gurunya, Sulastri membungkuk dengan hormat dan berkata ramah. “Paman Sudrajat, kapankah paman datang dan apakah paman sekeluarga baik-baik saja?” Laki-laki itu adalah Sudrajat yang sebenarnya adalah anak tiri ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit karena sebenarnya Sudrajat ini adalah putera kandung Ki atau Resi Tejo Budi, guru Lindu Aji. Melihat sikap dan mendengar tegur sapa Sulastri yang demikian ramah, dia memandang kagum. Jarang ada gadis yang demikian lincah, ramah dan sama sekali tidak tampak malu-malu seperti para gadis lain. Juga dia merasa heran bagaimana ayahnya yang sudah begitu tua mengambil murid dara yang begini muda, apalagi kalau diingat bahwa dara ini menjadi murid ayahnya sejak berusia sepuluh tahun! ----------------------- Page 382----------------------- ----------------------- Page 383----------------------- http://zheraf.net rasa tidak suka memenuhi hatinya. Maka, biarpun ia telah diperkenalkan oleh gurunya kepada laki-laki yang menjadi kakak seperguruannya itu, ia diam saja, tidak seperti ketika diperkenalkan kepada Sudrajat yang langsung disapanya dengan ramah. Ia hanya memandang saja dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik, seolah hendak mengetahui laki- laki macam apa yang berada di depannya itu. Melihat gadis itu diam saja. pemuda itu tersenyum. Dia menganggap gadis jelita itu tentu malu kepadanya, tidak seperti kepada Sudrajat yng sudah tua tentu tidak merasa rikuh lagi. Maka diapun berkata dengan sikap manis. “Aeh, Nimas Sulastri, harap jangan malu-malu kepadaku. Aku adalah kakak perguruanmu sendiri.” “Kakangmas Hasanudin. ........ “ “Aeh, jangan panggil Hasanudin. Orang-orang yang dekat denganku menyebut aku Udin, lebih akrab!” “Akan tetapi aku menyebutmu kakangmas Hasanudin!” kata Sulastri dengan suara datar. “Aku tidak malu hanya masih asing karena aku tidak mengira mempunyai seorang kakak seperguruan. Eyang guru tidak pernah bercerita tentang engkau.” “Memang sudah lama aku tidak menghadap eyang guru, sudah lebih dari delapan tahun. Aku selalu sibuk dengan urusan pekerjaanku. Aku tinggal di Galuh ........ “ “Tentu dengan keluargamu, bukan?” Sulastri memotong. “Aeh, Adik Sulastri, aku belum berkeluarga, belum beristeri kalau itu yang kau maksudkan. Aku masih perjaka tulen, ha-ha-ha! Dan akupun tidak mempunyai seorangpun keluarga, kecuali Paman Sudrajat dan Eyang Guru ini.” Dia ----------------------- Page 384----------------------- ----------------------- Page 385----------------------- http://zheraf.net isteri saya dan sekarang tiba-tiba saja saya bertemu dengan nimas Sulastri ini. Ia cocok sekali untuk menjadi isteri saya, eyang. Mohon eyang suka mengatur agar saya dapat berjodoh dengan nimas Sulastri ini, eyang.” Tiba-tiba Sulastri tidak mampu menahan kemarahannya lagi. “Aku tidak sudi! Aku belum ingin menikah! Eyang guru, maafkan saya, saya akan pulang!” Setelah berkata demikian, Sulastri melompat dan berlari keluar, terus meninggalkan rumah gurunya. Setelah gadis itu berlari pergi, Ki Ageng Pasisiran menghela napas panjang. Dia merasa dirinya telah tua dan lemah sehingga wibawanya berkurang banyak dan dia melihat betapa murid-muridnya berani bersikap kurang mengacuhkannya. “Udin, kulihat engkau masih belum juga dapat mengendalikan keinginan perasaanmu. Setelah bertahun-tahun berpisah dariku, kulihat engkau masih tidak memiliki ketenangan dan kesabaran. Tidak semestinya engkau bersikap seperti tadi.” tegur Ki Ageng Pasisiran. “Ayah berkata benar, Udin. sikapmu tadi tidak benar, engkau telah menyinggung perasaan Sulastri!” Sudrajat juga menegur. Hasanudin memandang kedua orang itu dengan alis berkerut. “Paman Sudrajat, paman sendiri tadi mengusulkan pernikahan antara Sulastri dan putera paman. Akan tetapi Jatmika itu masih belum dewasa benar, masih hijau dan belum waktunya menikah. Dan bukankah sepantasnya kalau paman gurunya menikah lebih dulu sebelum dia?” Kemudian Hasanudin berkata kepada gurunya, “Eyang, sejak dahulu saya menganggap eyang sebagai pengganti orang tua saya. Oleh ----------------------- Page 386----------------------- ----------------------- Page 387----------------------- http://zheraf.net “Eh, ki Ageng Pasisiran masih mempunyai dua orang murid lain? Siapa mereka?” tanya Ki Subali. “Lho! Bertemu dengan dua orang saudara seperguruan mengapa menjadi tidak sengang dan marah-marah?” tegur ibunya heran. “Mereka itu adalah Ki Sudrajat yang ternyata malah putera eyang guru sendiri, berusia kurang lebih lima puluh tahun dan yang kedua bernama Hasanudin, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Bagaimana tidak akan menyebalkan hatiku? Ki Sudrajat itu ingin mengambil aku sebagai mantunya, dan Hasanudin itu ingin mengambil aku sebagai isterinya. memangnya aku ini apa? Diambil mantu dan isteri begitu saja! Menyebalkan!” Sulastri masih cemberut. Suami isteri itu saling pandang dan mau tidak mau mereka berdua tersenyum lebar, menahan tawa yang hendak terlepas dari mulut mereka. “Akan tetapi, Lastri. kenapa marah-marah? itu berarti bahwa mereka suka sekali kepadamu!” kata Ki Subali menahan tawa. “Ya, Lastri. mereka itu ingin mengambil mantu atau memperisteri engkau, berarti mereka kagum dan suka kepadamu!” kata pula ibunya, bangga betapa puterinya begitu dikagumi banyak orang! “Ah, ayah dan ibu ini! Aku tetap saja tidak suka dan tidak sudi dianggap barang mainan indah yang boleh diambil begitu saja! Ayah, aku mau melaksanakan keinginanku yang sudah bertahun-tahun kutunda, ingin pergi mengunjungi Paman Sumali di Loano!” Ayah ibunya terkejut. “Akan tetapi Loano itu jauh sekali, lastri!” kata ibunya. ----------------------- Page 388----------------------- ----------------------- Page 389----------------------- http://zheraf.net Sulastri merangkul ibunya dengan manja. “Aeh, ibu, apakah ibu masih menganggap aku seorang gadis yang lemah? Jangan khawatir, ibu. Aku adalah murid Ki Ageng Pasisiran yang terkasih! Kalau ada orang jahat berani menggangguku dalam perjalanan, berarti mereka itu mencari penyakit. Aku berpamit dengan baik-baik, harap ayah dan ibu suka melepas aku pergi dengan rela. Ayah dan ibu tidak menghendaki aku pergi dengan cara minggat, bukan?” Ayah dan ibu itu maklum bahwa tidak mungkin mereka mengubah niat hati puteri mereka yang manja dan keras ini. Akhirnya terpaksa mereka membiarkan Sulastri berkemas, membawa bekal kemudian mengantar kepergian gadis itu sampai di luar kota Indramayu sebelah selatan. Demikianlah, seperti kita ketahui, akhirnya dara perkasa yang keras hati ini berhasil juga bertemu dengan pamannya, Ki sumali, bahkan dapat membantu pamannya menghadapi musuh-musuh yang tangguh. Dan kini, Sulastri melakukan perjalanan menuju Galuh ditemani Aji. Kalau Sulastri semakin suka dan kagum kepada Aji yang ia lihat berbeda dari kebanyakan pemuda yang kalau memandang kepadanya mata mereka membayangkan gairah dan sikap mereka menjadi kurang ajar, di lain pihak Aji juga diam-diam kagum kepada gadis itu. Dia melihat bahwa Sulastri benar- benar seorang dara yang perkasa, tidak pemalu, sama sekali tidak lemah dan tidak cengeng walaupun terkadang agak manja. Seorang dara perkasa yang masih amat muda namun cerdik dan pemberani, juga yang dapat menghadapi segala kesukaran dengan sikap yang selalu lincah jenaka. Terkadang dara itu bersikap ugal-ugalan dan kekanak-kanakan, akan tetapi harus dia akui bahwa semua sepak terjang Sulastri ----------------------- Page 390----------------------- ----------------------- Page 391----------------------- http://zheraf.net terik panas membakar, iapun berkata dengan wajah ceria, “Wah, beruntung siang hari ini demikian panasnya sehingga kita dapat berteduh di sini menikmati kipasan angin dan sejuknya bayangan daun daun pohon!” Pendeknya, Aji tidak pernah mendengar dara itu berkeluh kesah. Dalam segala keadaan ia tetap bergembira dan tidak pernah mengeluh. Apalagi setelah mereka semakin akrab dan saling mengenal, baru Aji mengetahui bahwa selain memiliki aji-aji kesaktian, dara inipun pandai sekali bertembang dengan suara merdu, mengenal seni tari, dan pengetahuannya tentang sastera juga cukup luas. Sungguh merupakan seorang gadis yang memiliki banyak keahlian, cantik jelita bertubuh indah, sakti mandraguna, gagah perkasa dan cerdik lagi pandai. Seorang gadis pilihan di antara seribu dan sukar dicari keduanya! Selain ini, kiranya baru Sang Puteri Wandansari saja yang dapat disejajarkan dengan Sulastri! -o0-dwkz~budi-0o- Aji sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dara yang setiap hari bersamanya itu mempunyai hubungan dekat dengan orang-orang yang hendak dicarinya, yaitu kakak tirinya Hasanudin dan putera gurunya yang bernama Sudrajat! Memang Sulastri yang merasa kesal kepada dua orang itu tidak pernah bercerita kepada Aji tentang mereka berdua. Ia hanya menceritakan bahwa gurunya bernama Ki Ageng Pasisiran, seorang pertapa di pantai Laut Utara, di daerah Indramayu. Pada suatu pagi yang cerah, tibalah mereka di dataran rendah yang penuh dengan hutan. Ada yang cukup baik untuk dapat dilalui dengan cepat. Di kanan kiri terbentang sawah yang luas dan subur kehijauan dan di depan tampak hutan yang ----------------------- Page 392----------------------- ----------------------- Page 393----------------------- http://zheraf.net cepat sekali. Akan tetapi dia sudah mulai mengenal watak dara itu. Seorang dara yang keras hati dan dara seperti itu tidak mudah mengaku kalah! Bahkan kalau dikalahkan mungkin saja hatinya akan menjadi jengkel! Biarlah lebih baik membiarkan Sulastri yang menang karena dengan demikian gadis itu tentu akan senang hatinya. Maka diapun membatasi kecepatan larinya kuda dan hanya mengikuti dari belakang dalam jarak sekitar lima puluh meter. Cukup jauh akan tetapi dia masih dapat melihat bayangan gadis di atas kuda itu, setidaknya dia masih dapat melihat kepulan debu yang ditimbulkan keempat kaki kuda itu. Mereka berdua sudah memasuki daerah berhutan. Aji melihat bayangan gadis itu lenyap, membelok di sebuah tikungan jalan. Dia membedal kudanya untuk mengejar lebih dekat karena daerah yang cukup gawat karena biasanya di tempat seperti itu munculnya orang-orang jahat yang suka mengganggu orang lewat. Setelah dapat melihat lagi Sulastri yang duduk di atas kudanya ----------------------- Page 394----------------------- ----------------------- Page 395----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ membantu Ki Sumali dan gadis inipun maklum bahwa ia dan Aji berhadapan dengan lawan yang tangguh. Akan tetapi karena ia merasa mampu melawan Nyi Maya Dewi, sedangkan ia tahu bahwa Aji juga mampu melawan Aki Somad, hatinya besar dan ia memandang dengan berani dan marah. Ia sama sekali tidak mengenal Ki Harya Baka Wulung dan pria berpakaian mewah itu, tidak tahu bahwa Ki Harya Baka Wulung adalah seorang yang sakti mandraguna, tidak kalah digdayanya dibandingkan Aki Somad sendiri sehingga mereka tentu saja merupakan lawan yang amat berat dan bernahaya. Aji tahu akan hal ini, namun dia tetap bersikap tenang. Dia hendak memperingatkan Sulastri akan lawan-lawan yang berbahaya itu, akan tetapi dia tidak dapat mencegah Sulastri yang telah mendahuluinya. Gadis itu melangkah maju dan dengan suara lantang ia sudah memaki sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung Nyi Maya Dewi. “Heii, nenek genit tak tahu malu, iblis betina Maya!” Sulastri sudah mendengar dari Aji bahwa wabita cantik genit itu bernama Maya Dewi, akan tetapi ia sengaja memanggilnya Iblis Betina Maya. “Sungguh mukamu tebal sekali. Engkau sudah kalah, kini muncul mengandalkan banyak orang, bahkan dengan curang sekali menyerang dan membunuh kudaku! Kalau kamu bukan pengecut hina yang tidak tahu malu, hayo lawan aku. Jangan sebut aku Sulastri kalau pedang pusakaku Naga Wilis ini tidak akan memenggal batang lehermu!” Aji mengerutkan alisnya. gadis itu pemberani, akan tetapi sekali ini benar-benar sembrono dan terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Dia tahu benar bahwa mereka berdua saat ini berada dalam ancaman bahaya besar. Melawan Ki harya Baka Wulung atau Aki somad dia masih ----------------------- Page 396----------------------- ----------------------- Page 397----------------------- http://zheraf.net “Mari kita berdua menangkapnya!” Laki-laki itu mencabut sebatang golok bergagang emas. “Aku akan menahan pedangnya dan andika yang membuatnya tidak berdaya.” “Baik, Raden, akan tetapi jangan melupakan aku kalau gadis itu sudah berhasil kaudapatkan!” Mendengar percakapan antara dua orang itu, Sulastri tidak dapat menahan kemarahannya lagi. “Jahanam-jahanam busuk!” bentaknya dan gadis itu sudah menerjang maju menyerang laki-laki itu. Yang diserang menggerakkan goloknya yang bergagang emas. “Trang ........ !!” Bunga api berpijar ketika pedang bertemu golok dan laki-laki itu tampak terkejut bukan main ketika dia merasa betapa tangannya yang memegang golok tergetar hebat, tanda bahwa gadis muda itu memiliki tenaga sakti yang kuat bukan main. Akan tetapi pada saat itu, sinar keemasan menyambar ke arah pundak Sulastri. Gadis ini maklum bahwa Nyi Maya Dewi menyerangnya dari samping, maka ia cepat mengelak dan memutar pedangnya membalas. Segera dara perkasa itu dikeroyok dua dan ia mengamuk, memutar pedangnya sehingga pedang Nogo Wilis itu berubah menjadi gulungan sinar hujau. Sementara itu, Aji sudah dihadapi dua orang kakek sakti itu. Dia berdiri dengan sikap tenang walaupun hatinya mengkhawatirkan keselamatan Sulastri yang dikeroyok dua. “Heh, orang muda! Dahulu andika menggagalkan kami membunuh Puteri Wandansari! Sekarang tiba saatnya kami membunuhmu atas dosamu mencampuri urusan kami dan menggagalkan usaha kami!” kata Ki harya Baka Wulung ----------------------- Page 398----------------------- ----------------------- Page 399----------------------- http://zheraf.net elakan, bahkan segera membalasnya dengan tendangan kakinya yang mencuat dari samping dan hampir saja mengenai lambung Aki somad yang menjadi terkejut sekali. Kalau dia tidak cepat membuang dirinya ke samping, tentu lambungnya terkena sambaran kaki pemuda itu. Melihat Aki Somad sudah mulai bertanding melawan pemuda yang dia tahu amat digdaya itu, Ki Harya Baka Wulung cepat menggerakkan kerisnya mengeroyok Aji. -o0-dwkz~budi-0o- JILID XII eperti kita ketahui, Ki Harya Baka Wulung adalah seorang tokoh Madura yang mendendam terhadap S Mataram. Bukan itu saja karena Mataram telah menundukkan seluruh Madura, akan tetapi terutama sekali karena putera tunggalnya yang amat disayangnya, yang bernama Dibyasakti, telah tewas dalam pertempuran melawan pasukan Mataram. Dia bersumpah untuk membalas dendam dengan memusuhi Mataram. Berbagai upaya dilakukan. Setelah Madura jatuh dan kalah melawan Mataram, Ki Harya Baka Wulung mati-matian membantu Surabaya dan Giri melawan Mataram, bersama dua rekannya, yaitu Wiku Menak Koncar datuk dari Blambangan dan Kyai Sidhi Kawasa, datuk dari Banten. Usahanya ini gagal pula karena Surabaya dan Giri juga jatuh dan menakluk kepada Mataram. Semua kegagalan ini bahkan membuat kebencian dan dendam dalam hatinya terhadap Mataram semakin menjadi-jadi. Dia tidak pernah putus asa dalam usahanya membalas dendam, kepada Sultan ----------------------- Page 400----------------------- ----------------------- Page 401----------------------- http://zheraf.net pengeroyokan, apa lagi terhadap seorang pemuda, Ki harya Baka Wulung mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk merobohkan Aji. Akan tetapi ternyata pemuda itu tidak mudah dikalahkan begitu saja. Gerakannya tangkas, ringan dan juga tenaga saktinya kuat sekali. Dengan Aji Bayu Sakti, gerakan Aji seperti angin saja, tubuhnya berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua orang pengeroyoknya yang sudah tua. Juga keris di tangannya adalah sebuah pusaka ampuh, ditambah lagi Aji Surya Candra yang terkandung dalam tenaganya membuat kedua orang kakek itu terkadang sampai terhuyung apabila terpaksa mengadu tenaga. Dua orang kakek itu maklum bahwa percuma saja menggunakan kekuatan sihir mereka karena semua sihir itu tidak mempan terhadap pemuda luar biasa ini. Mereka mengandalkan pengeroyokan untuk mendesak Aji. Berulang-ulang tongkat ular kering di tangan Aki Somad dan keris besar di tangan Ki Harya Baka Wulung bertemu dengan keris pusaka Nagawelang di tangan Aji. Setiap kali beradu senjata, bunga api berpijar dan setelah beberapa kali bertemu keris, ujung tongkat ular kering di tangan Aki Somad patah! Hal ini membuat pertapa dari Nusakambangan itu terkejut dan marah sekali. Akan tetapi dia tetap tidak mampu mendesak Aji yang memiliki pertahanan amat kuatnya. Pertandingan antara Aji dan dua orang kakek itu berlangsung seru dan mati-matian. Yang gawat keadaannya adalah Sulastri. Sesungguhnya bahwa dara yang berusia delapan belas tahun ini telah mendapatkan gemblengan hebat dari Ki Ageng Pasisiran selama delapan tahun dan telah menguasai aji kanuragan yang amat hebat. Akan tetapi, dalam usianya yang masih muda itu ia ----------------------- Page 402----------------------- ----------------------- Page 403----------------------- http://zheraf.net dia pergi mencari pembunuh ayahnya. Akhirnya, setelah belasan tahun ayahnya terbunuh, dia dapat menemukan Harun Hambali di dusun Gampingan dan membunuhnya, bersama teman Harun yang bernama Ujang Karim. Sudah lama Raden Banuseta berkenalan, bahkan berhubungan sebagai kekasih gelap dengan Nyi Maya Dewi. Karena itu, ketika wanita itu membujuknya untuk membantu Kumpeni Belanda, dia setuju dan diam-diam Raden Banuseta juga menjadi komplotan yang mendukung Kumpeni Belanda memusuhi Mataram. Ketika dia berkunjung ke Nusakambangan untuk bertemu dengan Nyi Maya Dewi dan Aki Somad, kebetulan Ki Harya Baka Wulung juga datang berkunjung. Mendengar akan kekalahan Aki Somad dan Nyi Maya Dewi yang membantu Gerombolan Gagak Rodra melawan Ki Sumali yang dibantu Aji dan Sulastri, maka mereka berempat lalu bersepakat untuk menuntut balas dan kebetulan sekali di tengah perjalanan mereka melihat Aji dan Sulastri yang sedang menuju ke barat. Di dalam hutan di lembah Sungai Serayu ini mereka lalu menghadang sehingga terjadilah pertempuran itu. “Heeiiiitttt ........ !” Sulastri berseru dengan suara melengking nyaring. Pedangnya menjadi sinar hijau yang menyambar ke arah Raden Banuseta, meluncur ke arah leher pria itu. Raden Banuseta terkejut, maklum akan hebatnya serangan ini karena tadi beberapa kali dia sudah merasakan betapa kuatnya tenaga gadis itu ketika senjatanya bertemu pedang. Serangan itu demikian cepat sehingga tidak mungkin menghindarkan diri dengan elakan. maka terpaksa dia menyambut lagi dengan goloknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. ----------------------- Page 404----------------------- ----------------------- Page 405----------------------- http://zheraf.net habis darah mereka. Tentu ancaman wanita itu bukan kosong belaka. Dia akan menyesal selama hidupnya kalau dia tidak menyerah kemudian mereka benar-benar membunuh Sulastri di depan matanya. Sedangkan kalau dia menyerah, walaupun dia belum tahu bagaimana nanti jadinya dengan dirinya dan Sulastri, setidaknya dia masih mempunyai harapan untuk kemudian berusaha membebaskan dan menyelamatkan Sulastri. Maka, diapun cepat melompat ke belakang dan berkata, “Aku menyerah. Jangan bunuh gadis itu!” Aki Somad dan Ki Harya Baka Wulung menghentikan serangan mereka. Mereka lebih suka melihat pemuda itu menyerah karena mereka tadi merasa betapa sukarnya mengalahkan pemuda yang memiliki kepandaian hebat itu. “Aji, kalau engkau benar-benar menyerah, lemparkan kerismu ke sini!” perintah Nyi Maya Dewi. Wanita ini bersikap sebagai pimpinan dan memang sesungguhnyal ah, dalam hal bekerja untuk Kumpeni Belanda, wanita ini merupakan orang penting. Ia yang berhubungan langsung dengan para pembesar ----------------------- Page 406----------------------- ----------------------- Page 407----------------------- http://zheraf.net Setelah Nyi Maya Dewi dapat menenangkan lagi hatinya yang tadi terguncang, ia membungkuk dan mencabut keris yang menancap di tanah itu. Ia mengamati keris itu lalu mendekati Ki Harya Baka Wulung. “Paman Harya, apakah andika mengenal pusaka ini?” Ki Harya Baka Wulung menerima keris itu dari tangan Nyi Maya Dewi, mengamatinya lalu dia berseru sambil memandang kepada Aji. “Keris seperti ini merupakan pusaka Mataram, pasti milik Sultan Agung dan hanya diberikan kepada para senopatinya!.” “Kalau begitu dia seorang senopati Mataram! Tunggu apa lagi?” Aki Somad berseru dan dia sudah mengangkat tongkat ularnya. Juga Ki Harya Baka Wulung sudah mencabut lagi kerisnya. Agaknya dua orang kakek ini hendak menyerang Aji yang kini sudah tidak memegang senjata itu. “Hemm. aku tahu bahwa kalian hanyalah pengecut- pengecut curang!” bentak Aji dan diapun sudah siap menghadapi dua orang lawan itu, walaupun dia tidak memegang senjata. Akan tetapi pada saat itu Nyi Maya Dewi sudah melompat ke depan dua orang kakek itu. “Tahan! Paman berdua andika tidak boleh membunuh dia! Dia adalah senopati Mataram dan merupakan seorang tawanan yang teramat penting. Tuan Besar Jenderal tentu akan senang sekali mendapatkan tawanan ini dan merupakan jasa besar sekali kalau kita dapat menyerahkan dia hidup-hidup kepada Kumpeni.” Mendengar ucapan Nyi Maya Dewi itu, Aki Somad dan Ki Harya Baka Wulung menyimpan kembali senjata mereka. Mereka maklum bahwa dalam hal ini mereka harus menaati ----------------------- Page 408----------------------- ----------------------- Page 409----------------------- http://zheraf.net Banuseta tidak berani membantah lagi dan dia melepaskan tubuh Sulastri sehingga tubuh yang masih lemas itu terkulai dan rebah miring di atas tanah. Aji tidak memperdulikan lagi kepada mereka. Dia cepat menghampiri Sulastri yang menggeletak miring dan memeriksa keadaannya. Gadis itu masih pingsan dan biarpun dia sudah memijit dan mengurut jalan darah di tengkuk dan kedua pundaknya, tetap saja gadis itu masih terus pungsan. “Aji, ia pingsan oleh debu racun pembius. Tanpa obat penawar, ia tidak akan dapat siuman.” kata Nyi Maya Dewi Aji mengerutkan alisnya. “nyi Maya Dewi, sadarkan Sulastri!” “Hemm, nanti dulu, orang muda. Engkau tidak berada dalam keadaan menuntut dan memerintah, melainkan harus menaati kami. Kalian berdua menjadi tawanan kami, ingat?” Aji menahan kemarahannya. Memang wanita itu benar. Dalam keadaan seperti ini, dia terpaksa mengalah dan tuntuk. andaikata tidak ada Sulastri di situ, yang tidak berdaya dan terancam, pasti dia tidak akan mau tunduk begitu saja. Dia akan mengamuk dan mencari jalan untuk meloloskan diri. Akan tetapi demi keselamatan Sulastri, dia harus mengalah dan menahan kemarahannya. “Nyi Maya Dewi, sebetulnya apa yang kalian kehendaki dari kami?” “Tidak banyak. pertama-tama, kalau engkau menghendaki kami menyadarkan gadis ini, engkau harus menceritakan kepada kami segala hal tentang keadaan Mataram, kekuatan pasukan, dan rencana Sultan Agung untuk menyerang Batavia.” ----------------------- Page 410----------------------- ----------------------- Page 411----------------------- http://zheraf.net “Lindu Aji, akupun tidak begitu bodoh untuk membebaskan kalian begitu saja sebelum engkau dan gadis ini menceritakan segalanya di depan Kapten De Vos.” “Kapten De Vos?” Aji mengulang nama asing itu. “Dia atasanku. Baiklah, aku akan menyadarkan Sulastri ini. Akan tetapi ia akan tetap kami sandera dan kami jaga. Kalau engkau membuat ulah mencurigakan, kami tidak segan- segan membunuhnya. Mundurlah Paman Somad dan Paman Harya, harap andika berdua menjaga pemuda itu, jangan memberikan kesempatan kepadanya untuk melawan!” “Nyi Maya Dewi, aku sudah berjanji untuk menyerah. Pula, aku tidak membawa senjata lagi, sedangkan Sulastri berada dalam keadaan tak berdaya. Kenapa engkau masih tahut?” kata Aji, setengah mengejek. “Mundur kau, orang muda!” Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad menodongkan senjata mereka menyuruh Aji menjauhi Sulastri. Aji mundur sampai agak jauh. Nyi Maya Dewi mengambil pedang Naga Wilis milik Sulastri dan mengambil pula sarungnya dari punggung gadis itu, lalu memakai pedang dan sarungnya di punggungnya sendiri. Sedangkan keris Nogowelang ia selipkan di ikat pinggang. Kemudian ia mengeluarkan sebatang jarum yang dibungkus kain kuning, lalu menusukkan jarum itu di kedua pundak Sulastri yang masih pingsan. Aji mengira bahwa tusukan jarum pembius yang membuat Sulastri pingsan. Akan tetapi, dia melihat Nyi Maya Dewi berpaling kepadanya dan tersenyum. senyum yang amat manis penuh ejekan. “Nah, Lindu Aji, kalau engkau membuat banyak ulah, nyawa Sulastri tidak akan tertolong lagi.” ----------------------- Page 412----------------------- ----------------------- Page 413----------------------- http://zheraf.net mempercepat jalannya racun dan ia akan mati seketika! Karena itu, jangan kalian berdua coba-coba untuk memberontak.” Aji merasa tak berdaya sama sekali. Dia dan Sulastri sudah benar-benar terjatuh ke dalam tangan orang-orang yang amat jahat dan kejam. Dia harus bersikap cerdik. Dia menekan perasaan marahnya dan berkata. “Baik, sadarkanlah ia dan kami tidak akan melakukan perlawanan.” “Nah, begitu baru namanya ujang kasep (anak tampan)!” Nyi Maya Dewi tersenyum memuji. Kemudian ia menoleh kepada Banuseta dan berkata. “Raden, keluarkan obat penawarnya.” “Akan tetapi, ia akan kauberikan kepadaku, bukan?” Tanya pemuda jangkung itu. rupanya dia sudah tergila-gila benar Silastri. “Hushh, Raden! Lupakah engkau akan tugas kita? Kita harus dapat menahan keinginan nafsu sendiri dan mementingkan tugas. Gadis ini mempunyai rahasia yang teramat penting. Ia sama sekali tidak boleh diganggu, sebelum dihadapkan Kapten De Vos, sebelum menceritakan rahasia itu, mengerti?” Raden Banutirta menghela napas panjang. Dia merasa menyesal sekali telah terlibat dengan urusan menjadi telik sandi membantu Kumpeni Belanda karena merasa tidak bebas dan harus menurut perintah. Akan tetapi diapun maklum bahwa berkhianat merupakan bahaya maut. Pihak Kumpeni Belanda memiliki banyak antek yang berbahaya. baru Nyi Maya Dewi ini saja sudah amat berbahaya. Dia lalu mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna hijau. Dibukanya tutup botol itu dan botol itu dia dekatkan lubang hidung Sulastri sehingga dengan sendirinya isi botol tersedot ketika gadis itu bernapas. ----------------------- Page 414----------------------- ----------------------- Page 415----------------------- http://zheraf.net mengeluh kesakitan dan mukanya berubah pucat, bibirnya sitarik menahan rasa nyeri yang menusuk jantungnya sehingga tangan kirinya bergerak menekan dada kirinya. Kembali terdengar suara Nyi Maya Dewi tertawa terkekeh. Aji memegang lengan Sulastri dan menekannya agak kuat. “Lastri, dengar baik-baik! Kita sudah tertawan, tidak berdaya. mereka telah memberimu racun penghancur jantung. Kalau kaukerahkan tenaga saktimu, engkau akan tewas. Engkau akan bertahan selama tiga bulan maka jangan melawan. Sulastri memandang kepada empat orang itu dengan mata mencorong penuh kemarahan. “Akan tetapi apa yang mereka kehendaki dari kita?” “Rahasia kita, Lastri. Engkau tahu akan rencana penyerangan Mataram kepada Kumpeni belanda dan aku tahu akan keadaan kekuatan pasukan Mataram.” Diam-diam Aji memberi isarat dengan tekanan-tekanan pada lengan gadis itu yang masih dipegangnya. Tentu saja Sulastri merasa heran mendengar ucapan itu karena sesungguhnya ia sama sekali tidak tahu menahu tentang rencana penyerangan Mataram. akan tetapi ia adalah seorang gadis yang cerdik. Tekanan- tekanan pada lengannya itu membuat ia mengerti bahwa itu merupakan isarat. “Hemm, kalau begitu mengapa?” bersikap pura-pura memang menyimpan rahasia itu! “Mereka ingin agar kita mengaku tentang rahasia itu. Akan tetapi kita tidak boleh bodoh. Kita tidak akan mengaku sebelum mereka memberimu obat penawar racun, dan sebelum ----------------------- Page 416----------------------- ----------------------- Page 417----------------------- http://zheraf.net mempersiapkan segalanya. Kuda milik Aji lalu dipasang di depan kereta, menambah dua ekor kuda yang sudah ada. Kereta itu cukup besar. Raden Banuseta menjadi kusirnya. Aji dan Sulastri duduk di dalam dijaga oleh Ki Harya Baka Wulung , Aki Somad dan Nyi Maya Dewi sendiri. Nyi Maya Dewi sudah merasa yakin bahwa dua orang tawanan itu tidak akan membuat ulah karena keadaan Sulastri membuat mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak berani memberontak. Sementara itu, diam-diam Aji dan Sulastri juga memutar otak untuk mencari jalan keluar agar dapat membebaskan diri. Untuk sementara mereka merasa aman. Dengan adanya “rahasia” tentang Mataram yang mereka miliki seperti disangka oleh para antek Kumpeni Belanda itu, mereka tidak akan diganggu. Bahaya maut yang mengancam nyawa Sulastri juga baru akan tiba tiga bulan kemudian dan sementara itu mereka akan mencari jalan dan melihat perkembangannya nanti. Di sepanjang perjalanan itu, Aji dan Sulastri memperhatikan keadaan para penawan mereka. Dari sikap mereka, tahulah Aji bahwa yang menjadi pemimpin adalah Nyi Maya Dewi walaupun bukan wanita itu yang paling sakti di antara mereka. Juga dia dapat mengerti bahwa Ki Harya Baka Wulung mau menjadi antek Kumpeni karena rasa bencinya terhadap Mataram. Tentang Aki Somad, dari sikap dan pembicaraan mereka, dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang mudah terpikat oleh rajabrana (kekayaan) dan kedudukan dan dia mau menghambakan diri kepada Kumpeni Belanda tentu karena ingin memperoleh harta benda dan kedudukan. Yang masih menjadi teka-teki baginya adalah pria berusia empat puluh bertubuh jangkung itu. Dia tidak pernah mendengar namanya disebut, Nyi Maya Dewi hanya ----------------------- Page 418----------------------- ----------------------- Page 419----------------------- http://zheraf.net Aji dan Sulastri merasa heran sekali ketika kereta itu memasuki kadipaten dengan aman. Agaknya para penjaga di kadipaten itu mengenal baik Nyi Maya Dewi! Agaknya tidak ada seorangpun yang curiga dan menduga bahwa wanita cantik itu sebetulnya adalah seorang telik sandi, seorang antek Kumpeni Belanda! Pada hal Aji pernah mendengar dari Senopati Suroantani bahwa Tumenggung Tegal dan juga Adipati di Cirebon sudah setuju untuk dijadikan lumbung beras bagi keperluan ransum balatentara Mataram kalau nanti menyerbu Batavia untuk kedua kalinya. Dengan demikian berarti bahwa Tumenggung Tegal bersedia membantu Mataram. Akan tetapi kenyataannya kini, seorang telik sandi penting dari Kumpeni Belanda dapat masuk dan bergerak dengan leluasa di Tegal! Bahkan rombongan ini diterima oleh seorang laki-laki tinggi besar yang dari sikap dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang penting. Rumahnya besar dan rombongan itu disambut dengan hormat dan diadakan pesta. Aji dan Sulastri tidak diperkenalkan, akan tetapi mereka mendengar orang tinggi besar berusia sekita empat puluh tahun itu disebut Ki Warga. Rumah itu besar dan megah, tanda bahwa penghuninya orang yang kaya. Aji dan Sulastri diberi masing-masing sebuah kamar dan dua orang tawanan ini dibiarkan berada dalam keadaan bebas, seperti tamu, namun mereka maklum bahwa mereka dijaga oleh sekelompok orang dengan ketat. Pula, mereka sama sekali tidak berani meloloskan diri karena keselamatan nyawa Sulastri terancam. Hal ini yang membuat mereka merasa tak berdaya dan terpaksa harus menyerah. ----------------------- Page 420----------------------- ----------------------- Page 421----------------------- http://zheraf.net “Selama kita masih hidup, selalu masih ada harapan.” demikain dia berkata pada suatu kesempatan tanpa terdengar oleh para penjaga yang mengamati mereka. Sulastri cemberut, akan tetapi mengangguk tanda bahwa ia mematuhi ucapan pemuda itu. Malam itu udara dingin sekali. Aji duduk bersila dalam kamarnya. Dia maklum bahwa di luar kamarnya terdapat dua orang yang bertugas mengawasinya. Nanti lewat tengah malam, dua orang penjaga itu akan diganti dua orang lain. Demikian yang dia ketahui pada malam-malam yang lalu. Dia sudah mengambil keputusan tetap. Malam itu adalah malam terakhir dia dan Sulastri berada di rumah itu. Siang tadi Nyi Maya Dewi sudah memberitahukan kepadanya bahwa besok pagi-pagi mereka akan melanjutkan perjalanan, entah kemana wanita itu tidak mau memberi tahu. Maka, malam ini dia harus dapat melakukan penyelidikan ke mana mereka akan dibawa pergi dan menyelidiki rahasia lain yang ada hubungannya dengan keselamatan Sulastri. Dia ingin mengetahui di mana Nyi Maya Dewi menyimpan obat penawar racun yang mempengaruhi tubuh Sulastri. Setelah keadaan di rumah itu sunyi, tanda bahwa semua penghuninya sudah memasuki kamar masing-masing, Aji perlahan-lahan membuka daun pintu kamarnya. Sedikit gerakan ini cukup membuat dua orang penjaga itu menengok lalu menhampiri. “Andika hendak pergi ke mana?” Tanya mereka dan kedua orang itu berdiri di kanan kiri Aji. “Aku melihat di sana itu yang berkilauan itu apakah?” Dia menuding ke depan. Dua orang penjaga itu tentu saja menoleh dan memandang ke arah yang ditunjuk Aji. Pada saat ----------------------- Page 422----------------------- ----------------------- Page 423----------------------- http://zheraf.net tidak ada cemburu dan kita boleh bercinta dengan siapa saja tanpa yang lain mencegahnya. Bersabarlah, Raden. Kita membutuhkan gadis itu, Kalau ia kuserahkan padamu sekarang, kemudian ia tidak mau membuka rahasia penyerangan Mataram itu, bukankah kita yang menderita rugi? Sabarlah. Kalau ia sudah membuka rahasia itu, pasti ia akan kuserahkan padamu.” “Bagaimana engkau dapat memastikan hal itu akan dapat terjadi, Maya?” “Jangan khawatir, Raden. Bukankah obat penawar itu selalu ada padaku? Obat penawar itu adalah nyawa Sulastri! Selama obat penawar itu ada padaku, selama tiga bulan sejak dara itu keracunan, ia sepenuhnya berada di tanganku.” “Kalau begitu, berikan obat penawar itu kepadaku, Maya sayang? Setelah ia membuka rahasia, obat penawar itu akan dapat kupergunakan untuk membujuk dan mengancamnya agar ia suka menyerahkan diri dengan suka rela kepadaku. Aku tidak ingin mendapatkan ia secara paksa. Aku ingin ia menyerah dengan suka rela.” “Bodoh amat engkau, Raden. memang gadis itu cukup sakti dan kebal terhadap pengaruh sihir dan aji pengasihan, akan tetapi bukankah engkau memiliki racun perangsang yang amat ampuh? Kalau kau menggunakan racun itu, tentu ia akan jatuh.” “Ya, akan tetapi aku tidak suka karena ia hanya akan patuh seperti boneka hidup. Tidak, aku menghendaki ia menyerahkan diri karena ingin menyelamatkan nyawanya. Karena itu, berikanlah obat penawar itu padaku. Biar aku yang menyimpannya. Dengan obat itu padaku, aku akan merasa yakin dan dapat bersabar menanti.” ----------------------- Page 424----------------------- ----------------------- Page 425----------------------- http://zheraf.net Belanda amat pandai bersiasat. Tidak saja melakukan gerakan memecah belah persatuan dengan cara mengadu domba, akan tetapi juga pandai mempengaruhi para pejabat daerah dengan menggunakan pengaruh harta benda dan janji-janji kedudukan. Banyak kadipaten yang dapat dipengaruhi Kumpeni, sehingga walaupun pada lahirnya mereka takut dan menakluk kepada kekuasaan Mataram, namun diam-diam mereka mengadakan hubungan baik dengan Kumpeni Belanda dan mengadakan hubungan dagang yang dianggap menguntungkan. Sesungguhnya, tidak adanya persatuan yang bulat di seluruh Nusantara dalam menghadapi Kumpeni Belanda inilah yang membuat semua usaha untuk menentang Kumpeni selalu gagal. Bahkan oleh sebab ini pula maka penyerangan besar-besaran pasukan Mataram ke Batavia telah mengalami kegagalan. Aji dan Sulastri bersama empat orang pengawal mereka naik kereta seperti ketika mereka memasuki Tegal. Ki Warga sendiri menunggang kuda, malah dia mendahului kereta. Ternyata kedua orang tawanan itu dibawa kepantai dan dengan sebuah perahu mereka dibawaa ke sebuah kapal yang berlabuh tak jauh dari pantai. Pantai itu terlalu dangkal bagi kapal itu sehingga tidak dapat berlabuh dekat daratan. Aji dan Sulastri dibawa naik ke atas kapal itu. Diam- diam mereka memperhatikan keadaan kapal. Walaupun sikap mereka tenang saja, namun sebenarnya mereka merasa tegang dan memperhatikan keadaan dengan penuh selidik. Mereka melihat sebuah kapal yang besar dan dilengkapi dengan beberapa buah meriam besar. Di atas kapal terdapat belasan orang, hampir dua puluh banyaknya, semua adalah orang-orang kulit putih yang bertubuh tinggi besar, bermuka kemerahan dan rambut meraka tidak hitam, melainkan ada yang coklat, ----------------------- Page 426----------------------- ----------------------- Page 427----------------------- http://zheraf.net Belanda lainnya yang terkenal dengan sebutan Jakuwes (nama aselinya Jacques Levebre), De Vos inilah yang mengatur jaringan mata-mata kumpeni Belanda yang disebar di seluruh Nusantara! “Hallo, Nyi Maya Dewi yang manis, apa kabar? Kami mendengar kamu membawa tawanan yang amat penting bagi kami. Benarkah? Dan siapakah mereka semua ini?” Tanya De Vos setelah menjabat tangan wanita itu dengan hangat. Denga n senyumnya yang manis, Maya Dewi memperkenalk an teman- temannya, setelah memberi isarat kepada Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad untuk melangkah maju. “Ini adalah Ki Harya Baka Wulung dari Madura, tuan kapten. Dan yang ini adalah Aki Somad dari Nusa Kambangan. Mereka adalah pembantu-pembantu yang setia dan dapat diandalkan, sakti dan tangguh.” Kemudian dengan senyum tak pernah meninggalkan bibirnya ia melanjutkan sambil menunjuk kepada Ki Warga dan Raden Banuseta. “Dua orang ini tentu sudah tuan kenal dengan baik.” ----------------------- Page 428----------------------- ----------------------- Page 429----------------------- http://zheraf.net Ki Warga, Maya Dewi dan Banuseta tidak heran menyaksikan keahlian menembak itu. mereka sudah mengenal Kapten De Vos yang terkenal jago tembak. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad juga merasa kagum. Orang Belanda ini cukup berbahaya, pikir mereka. Nyi Maya Dewi yang pandai mengambil hati orang, bertepuk tangan memuji. “Hebat, tuan kapten, kepandaian tuan mempergunakan senjata api memang hebat sekali. Akan tetapi tuan harus berhati-hati terhadap mereka.” “Goed, goed (baik, baik). mari kita duduk di dalam dan bicara!” ajak Kapten De Vos sambil mengangguk-angguk. Mereka semua lalu memasuki ruangan kapal di mana terdapat sebuah meja besar dengan banyak kursi disekelilingnya. Aji dan Sulastri dipersilahkan duduk di atas kursi, berhadapan dengan Kapten De Vos. Maya Dewi duduk di samping kiri Kapten Belanda itu dan Ki Warga yang sejak tadi diam saja duduk di sebelah kanannya. Tempat duduk ini saja sudah menunjukkan betapa kedudukan Ki Warga itu penting sekali dan dia dihargai oleh Kapten De Vos. Aji duduk di depan kapten itu, Sulastri duduk disebelah kirinya. Mereka berdua diapit oleh Harya Baka Wulung dan Aki Somad, sedangkan Banuseta duduk di sebelah kanan Ki Warga. Jelaslah bahwa yang duduk di jajaran Kapten De Vos itu adalah orang-orang yang sudah dipercaya kapten Belanda itu, sedangkan Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad yang baru saja bertemu dengannya, merupakan pembantu-pembantu baru yang masih asing. “Hemm, kalian berdua ini orang-orang penting Mataram, ya? Dan kamu berdua mau bekerja sama dengan kami dan mau menceritakan kekuatan dan rencana Sultan ----------------------- Page 430----------------------- ----------------------- Page 431----------------------- http://zheraf.net yaitu kepercayaan orang-orang itu bahwa dia dan Sulastri benar-benar dapat memberi keterangan penting tentang gerakan pasukan Mataram yang ditakuti Kumpeni Balanda! “Tuan,” katanya, suaranya tegas dan tenang. “Urusan ini penting sekali bagi kami berdua. Menceritakan semua itu kepada Kumpeni, berarti kami berdua telah berkhianat dan hukuman untuk pengkhianat amat berat dan mengerikan.” “Ha, kamu berdua takut? Jangan takut! Kalau kamu berdua bekerja sama dengan kami, maka kamu berdua akan dilindungi. Jangan takut kepada Sultan Agung. Kami memiliki meriam-meriam besar dan senjata-senjata api yang ampuh. Hayo, ceritakan saja dan kamu akan memperoleh hadiah dan juga perlindungan dari kami !” kata Kapten De Vos. Aji menghela napas lalu menggeleng kepala. “Sungguh, tuan. Urusan ini amat penting dan gawat bagi kami berdua. Oleh karena itu, kami minta agar kami berdua diberi kesempatan untuk berunding dan memperbincangkan hal ini berdua saja. Ketahuilah, tuan. Ini merupakan keputusan hidup mati kami, karena itu harus kami rundingkan dengan matang lebih dulu.” Alis yang berwarna kelabu itu berkerut dan sepasang mata biru mencorong marah. “Kamu harus menceritakan sekarang juga!” bentaknya. Namun dengan tenang dan tegas Aji menggeleng kepala. “Besok pagi, tuan.” “Sekarang! Atau, kami akan menembak kamu berdua!” Kapten De Vos menggertak sambil mencabut pistolnya dan menodongkan senjata itu ke arah Aji dan Sulastri yang duduk di depannya. ----------------------- Page 432----------------------- ----------------------- Page 433----------------------- http://zheraf.net memperebutkan apakah kalian harus memberi keterangan sekarang ataukah besok pagi, maka kita adakan pertandingan untuk menentukan. Kalau kamu dapat mengalahkan jagoan kami dalam perkelahian tangan kosong, biarlah kami mengalah dan kamu boleh malam ini berunding dengan Sulastri ini dan besok pagi memberi keterangan kepada kami. Akan tetapi kalau kamu kalah melawan jagoan kami itu, kamu harus menceritakan keterangan tentang pasukan Mataram itu sekarang juga! Bagaimana, Aji, beranikah kamu berkelahi menandingi jagoan kami?” Aji berpikir sejenak, lalu bertanya, “Pertandingan tangan kosong tanpa menggunakan senjata api?” “Natuurlijk (tentu saja)! Kami bukan orang curang. Pertandingan boksen (tinju), tanpa senjata, satu lawan satu. Nah, beranikah kamu?” Aji saling lirik dengan Sulastri, lalu dia memandang Kapten De Vos dan berkata tegas, “Aku berani, tuan! Akan tetapi tuan jangan melanggar janji. Kalau aku keluar sebagai pemenang, aku diberi kesempatan bicara empat mata dengan Sulastri dan baru besok pagi kami memberi keterangan kepadamu.” “Bagus!” Kapten itu tampak gembira sekali dan dia lalu berseru kepada seorang anak buahnya. “Panggil Hendrik De Haan ke sini!” Tak lama kemudian muncullah kapten itu. Sulastri terbelalak memandang laki-laki yang melangkah datang seperti seekor gajah itu! Seorang bule berambut kecoklatan, usianya sekitar tiga puluh tahun dan segalanya pada diri laki-laki ini hanya dapat dinilai dengan satu kata : besar! Seorang raksasa yang tingginya satu setengah kali tinggi tubuh Aji. Kedua ----------------------- Page 434----------------------- ----------------------- Page 435----------------------- http://zheraf.net Dalam bahasa Belanda yang totok raksasa itu bertanya kepada Kapten De Vos, “Kapten, ada tugas apa untukku?” “Hendrik, kami mengadakan taruhan untuk mengadu kamu dengan pemuda ini. Pertandingan boksen satu lawan satu, tanpa senjata apapun. Jangan sampai kamu kalah olehnya. Hendrik karena yang kupertaruhkan ini penting sekali!” Sepasang mata yang lebar memandang kepada Aji yang masih duduk dan dia terbelalak lalu memandang atasannya. “Kapten! Aku hendak diadu dengan kleine jongen (bocah kecil) ini?” “Ya, siapa yang roboh dan tidak mampu melanjutkan pertandingan dianggap kalah.” “Hua-ha-ha-ha! Ah, kapten, jangan bergurau! Aku takut melawan anak ini, ha-ha-ha!” “Takut? Apa maksudmu, Hendrik?” Tanya De Vos heran. “Aku takut kalau pukulanku akan membuat kepalanya remuk atau dadanya pecah, kapten!” kata raksasa itu serius. “Ohh! Jangan keluarkan semua tenagamu, Hendrik. Dia ini orang penting, tidak boleh dibunuh, hanya boleh dikalahkan agar aku menang bertaruh.” Hendrik mengangguk-angguk. “Kalau begitu aku mengerti, kapten.” Kapten De Vos menoleh kepada Aji. “Nah, bagaimana, orang muda? Apakah kamu tetap bersedia dan berani melawan Hendrik De Haan ini?” Sambil tetap duduk tenang Aji menjawab, “Saya siap dan berani, tuan.” “Bagus, kalau begitu mari kita semua pergi keluar ruangan. Pertandingan dilakukan di atas dek luar yang luas.” ----------------------- Page 436----------------------- ----------------------- Page 437----------------------- http://zheraf.net menyeramkan. Ia khawatir kalau-kalau Aji akan tewas di tangan raksasa itu. Kalau Aji sampai tewas, hilanglah harapan baginya untuk dapat lolos dari tangan mereka. Ia tidak takut mati, akan tetapi ia merasa ngeri membayangkan dirinya dihina dan diperkosa. Kalau Aji sampai tewas di tangan raksasa itu, iapun akan mengamuk. Tidak perduli apakah racun di tubuhnya akan menewaskannya, ia pasti akan mengamuk sampai mati. Karena itu, ia tidak mau duduk, melainkan berdiri dan bersiap siaga. Raksasa bule bernama Hendrik de Haan itu kini telah menanggalkan baju kaosnya dan tinggal mengenakan sebuah selana pendek. Tubuh atas yang telanjang itu tampak besar dan kokoh sekali, dengan otot yang menggelembung dan melingkar-lingkar. Aji maklum bahwa tubuh itu memiliki tenaga otot atau tenaga kasar yang amat kuat, namun orang itu tidak mempunyai “isi”, hanya mngandalknan tenaga otot sehingga tiada bedanya dengan seekor kerbau. Diapun melangkah maju menghampiri tempat yang dilingkari para anak buah kapal itu, berhadapan dengan Hendrik. Sikapnya tenang saja dan dia hanya mengiktkan kain sarungnya agar jangan terlepas atau berkibar kalau dipakai bergerak. Aji tampak berdiri santai saja di depan calon lawannya, seolah dia sama sekali tidak membuat persiapan. Namun dari sinar matanya Sulastri tahu bahwa seluruh syaraf dalam tubuh pemuda itu dalam kedaan siap siaga. “Sebelumnya kamu harus tahu akan aturannya!” kata Kapten de Vos kepada Aji. “Pertandingan ini namanya boksen. Kamu hanya boleh memukul bagian pinggang ke atas. Bagian pinggang ke bawah tidak boleh dipukul. Juga dilarang ----------------------- Page 438----------------------- ----------------------- Page 439----------------------- http://zheraf.net “Kalau begitu aku tidak tanggung kalai sampai dia terpukul atau tertendang mati, kapten. Akan tetapi aku akan berusaha agar jangan sampai membunuhnya. Kapten De Vos mengangguk-angguk. Memang dia menghendaki pertandingan itu dilakukan dengan peraturan tinju karena dia tidak ingin kalau Aji sampai terpukul tewas. Dia amat membutuhkan keterangan dan pengakuan pemuda itu tentang Mataram. “Baiklah, Aji. Kamu boleh melawan Hendrik dengan cara bebas.” Mendengar ini, Aji memutar tubuh dan kembali menghadapi Hendrik. Bagaikan dua ekor ayam jantan hendak berlaga, kedua orang itu kini saling berhadapan dan saling pandang. Sungguh bukan merupakan lawan seimbang. Hendrik hampir dua kali lebih besar dan lebih tinggi daripada Aji. Kedua kakinya juga memakai sepatu kulit yang tebal. Raksasa bule ini sudah memasang kuda-kuda. Kaki kanannya ditarik ke belakang, kaki kiri ke depan, kedua tangan dikepal dan siap memukul, tergantung di depan dada. Sebaliknya Aji berdiri tenang dan santai saja, hanya sepasang matanya yang dengan tajam mengikuti semua gerak tubuh lawan. “Mulailah!” perintah De Vos yang menonton dengan mata bersinar-sinar. Semua orang yang menonton, kecuali Sulastri, memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar- sinar. Semua orang merasa gembira seperti biasa kalau mereka menonton adu tinju. Mendengar perintah ini, Hendrik mulai menyerang. Karena pertandingan itu tidak dibatasi dengan peaturan tinju, maka kedua tangannya menyambar dari kanan kiri. Maksudnya dia hendak menangkap tubuh kecil itu kemudian akan ----------------------- Page 440----------------------- ----------------------- Page 441----------------------- http://zheraf.net Pukulan yang dilakukan dengan sepenuh tenaga, kalau mengenai tempat kosong dapat menguras tenaga. Setelah pukulan-pukulan keras itu tidak ada yang mengenai sasaran sampai puluhan kali, mulailah Hendrik berkeringat dan dia merasa penasaran dan marah sekali. Dia tahu bahwa ada orang yang pandai berkelit dan memiliki gerakan gesit sekali, akan tetapi belum pernah dia dapat membayangkan ada orang yang mampu menghindarkan diri dari serangkaian serangannya sampai puluhan kali, hanya dengan elakan dan tidak pernah menangkis. demikian gesitkah orang ini, atau serangannya yang lamban? “Verrek, zeg ........ !” Dia memaki dan kini kedua kakinya yang berbulu, besar dan panjang itu menyambar- nyambar dengan tendangan sekuat tendangan pemain sepak bola yang mahir. Agaknya, tak pelak lagi, tubuh Aji akan terlempar seperti bola kalau sampai terkena tendangan dahsyat itu. Namun, Aji yang bergerak dengan ilmu silat Wanara Sakti itu menjadi cekatan sekali, tidak ubahnya seekor kera. Hanya dengan sedikit memutar tubuh saja tendangan lawan itu dapat dielakkan dan ketika tendangan demi tendangan susul menyusul datang bertubi-tubi, tubuhnya berputaran dan tak sebuahpun tendangan mampu menyentuh tubuhnya! Keringat telah membanjiri seluruh tubuh Hendrik. Dia mulai panik. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu keanehan seperti ini. Kini dia sudah mempergunakan segala daya. Dia tidak hanya meninju seperti seorang petinju, akan tetapi dia juga menampar, menjotos, mencengkeram, menendang, namun semua itu sama sekali tidak pernah menyentuh lawan. Dia merasa seolah bertanding melawan bayangan saja! ----------------------- Page 442----------------------- ----------------------- Page 443----------------------- http://zheraf.net menyambar lagi dengan pukulan, dia mengelak ke samping, menekuk lutut kiri dan dari bawah kaki kanannya menyambar cepat sekali. Kaki kanan itu menyambar dua kali ke arah lutut Hendrik, seperti ular memagut dan tepat sekali mengenai sasaran. “Tuk! Tuk!” Tepat sekali sambungan lutut kedua kaki Hendrik tercium tendangan dan tak mungkin dapat dipertahankan lagi, kedua kaki raksasa itu terasa lumpuh dan diapun jatuh bertekuk lutut. Aji tidak membuang kesempatan ini. Tangan kirinya menyambar dengan jari terbuka ke arah tengkuk raksasa itu. “Wuuuttt ........ dukkkk!” Tubuh yang besar itu terkulai roboh dan tak mampu bergerak lagi karena pingsan. Seruan- seruan kaget terdengar dan para anak buah kapal yang membawa bedil sudah siap menodongkan bedil mereka ke arah Aji. Akan tetapi Nyi Maya Dewi yang duduk dekat Kapten De Vos memberi isarat kepada pembesar Kumpeni itu dan De Vos memberi aba-aba kepada para anak buahnya untuk mundur. Beberapa orang anak buah kapal lalu menggotong tubuh raksasa yang pingsan itu pergi dari situ. “Tuan, jagomu telah kalah. Harap tuan suka memegang janji.” kata Aji kepada De Vos. Melihat kekalahan Hendrik tadi, De Vos mengerutkan alisnya dan tahulah dia bahwa Maya Dewi tidak berbohong atau melebih lebihkan. pemuda yang tampak lemah itu sungguh berbahaya sekali. Kalau gadis cantik itu juga sama tangguhnya, maka mereka berdua sungguh merupakan orang- orang berbahaya, apa lagi mereka adalah orang-orang Mataram! ----------------------- Page 444----------------------- ----------------------- Page 445----------------------- http://zheraf.net Kapten De Vos yang ingin sekali menarik dua orang muda itu agar dapat menjadi pembantunya, memperlihatkan sikap ramah dan hormat. Dia sendiri menuangkan anggur ke dalam gelas dan menghidangkannya kepada Aji dan sulastri. Akan tetapi ketika dua orang ini mencium bau anggur yang keras dan yang belum pernah mereka rasakan, Aji menolak dan minta agar mereka diberi minuman air teh saja. Permintaan ini dipenuhi dan Kapten De Vos mengangkat gelas anggurnya. “Mari kita minum untuk mengucapkan selamat datang kepada Tuan Lindu Aji dan Nona Sulastri, juga mengucapkan selamat atas kemenangannya!’ Tiba-tiba Sulastri yang selama ini berdiam diri saja karena merasa tidak berdaya, berkata, “Nanti dulu, tuan. Sebelum kita minum, aku ingin mendengar dulu darimu. Apakah setelah kami berdua menceritakan apa yang kita ketahui, kami akan dibebaskan tanpa gangguan apapun?” Kapten De Vos merasa heran dan kagum. Tadinya dia mengira bahwa Sulastri yang tadinya diam saja itu seorang gadis pemalu. Kiranya kini bicara dengan lancar dan pandang matanya kepadanya demikian mencorong penuh selidik dan wajah yang jelita itu tampak cerdik sekali! “Ya, tentu, tentu! Tentu kami akan membebaskan kamu berdua tanpa gangguan!” kata De Vos sambil mengangguk angguk. “Akan tetapi, kami telah diracuni oleh Maya Dewi dan ia berjanji akan memberikan obat penawarnya kepadaku kalau aku dan Mas Aji sudah memberikan keterangan. Apakah tuan berani menanggung bahwa Maya Dewi akan memegang janjinya?” Tanya pula Sulastri sambil melirik ke arah Maya Dewi. “Terus terang saja, aku tidak mungkin dapat ----------------------- Page 446----------------------- ----------------------- Page 447----------------------- http://zheraf.net “Bersumpah? Wat bedoel je (apa maksudmu)?” Ki Warga yang ternyata pandai berbahasa Belanda segera menerangkan apa yang dimaksudkan Sulastri dengan bersumpah. “Oo, is dat zo (begitukah)? Baik, kami bersumpah akan memenuhi janji-janji kami tadi. Kalau kami berbohong, biarlah kami mati tenggelam bersama kapal kami!” Setelah selesai makan, seperti yang telah dijanjikan, Aji dan Sulastri memperoleh kebebasan berdua saja dalam sebuah bilik di kapal itu. Sebelum bicara, keduanya meneliti keadaan kamar itu. Setelah melihat semua penjuru dan merasa yakin bahwa pembicaraan mereka tidak disadap atau diintai, mulailah mereka bercakap-cakap dengan suara berbisik sehingga andaikata ada yang mendengarkan dari luar kamar sekalipun, pendengarnya tidak akan dapat menangkap suara mereka. “Gertakanmu kepada kapten itu tadi sehingga memaksanya bersumpah sungguh baik dan tepat sekali, Lastri. Dengan demikian tentu dia sekarang tidak ragu lagi bahwa kita memang menyimpan rahasia Mataram.” bisik Aji. “Akan tetapi sesungguhnya aku masih tidak mengerti, Mas Aji. Mengapa engkau katakana kepada mereka bahwa kita mengerti akan rahasia Mataram? Rahasia apakah itu?” Aji tersenyum. “Itu hanya siasatku saja, Lastri. Kalau kita benar-benar mengetahui akan rahasia Mataram, apa kau kira aku akan sudi membocorkan rahasia itu kepada mereka? Tidak, lebih baik mati dari pada mengkhianati Mataram. Akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu apa-apa, hanya kukatakan bahwa aku tahu akan besarnya kekuatan pasukan Mataram dan bahwa engkau tahu akan rencana penyerbuan Mataram ke Batavia.” ----------------------- Page 448----------------------- ----------------------- Page 449----------------------- http://zheraf.net “Ketika kita berada di rumah Ki Warga, aku berhasil mendengar percakapan antara Maya Dewi dan pria jangkung itu. Aku tidak tahu siapa namanya.” “Aku juga hanya mendengar orang-orang menyebutnya raden saja.” kata Sulastri. “Apa yang kau dengar?” “Maya Dewi menyerahkan obat penawar untukmu itu kepada jahanam itu!” “Eh, kenapa?” “Jahanam keparat itu agaknya tergila-gila kepadamu, nimas. Dia menginginkan dirimu dan dia minta obat penawar itu agar dia dapat memaksamu. Kalau obat penawar itu berada ditangannya berarti nyawamu berada di tangannya.” “Si kunyuk babi anjing kurang ajar itu!” Sulastri memaki dan karena dalam amarahnya ia mengeluarkan suara keras, maka Aji cepat memberi isarat agar gadis itu tidak berteriak-teriak. “Lastri, tenang dan sabarlah. Dalam keadaan terancam seperti ini kita harus dapat bersikap tenang. Aku sengaja minta agar kita berdua mendapat kesempatan untuk berunding dan siasatku berhasil. Kita dapat bicara sekarang. Tunggu sebenatar!” Aji kembali memeriksa keadaan sekitar luar bilik kapal itu. Tidak ada orang mengintai. Dia kembali lagi, duduk dekat Sulastri dan melanjutkan pembicaraan dengan suara berbisik. “Malam nanti kita harus bergerak, harus bertindak cepat.” “Apa yang akan kita lakukan?” ”Kita harus membuat kekacauan di kapal ini malam nanti.” ----------------------- Page 450----------------------- ----------------------- Page 451----------------------- http://zheraf.net bertanya. “Semua itu baik sekali, Mas Aji. Akan tetapi bagaimana seandainya rencana kita gagal? Andaikata aku tidak dapat melaksanakan pembakaran dan engkau tidak berhasil menyandera De Vos? Bagaimana? Mereka tentu akan memaksa kita untuk memberi keterangan tentang Mataram yang tidak kita ketahui sama sekali. Kalau begitu, bagaimana?” “Kalau kita gagal, masih ada harapan bagi kita. Selama mereka masih yakin bahwa kita berdua menyimpan rahasia tentang Mataram, aku yakin mereka tidak akan begitu bodoh untuk mengganggu kita. Rahasia itu masih dapat kita pergunakan sebagai perisai dan pelindung diri. Kita masih dapat mencari kesempatan dan akal lain. Kalaupun terpaksa kita harus bicara, kita dapat saja memberi keterangan secara ngawur. Kita dapat mengarang sesuka kita asal masuk di akal. Misalnya aku. Aku dapat mengatakan bahwa besar kekuatan pasukan Mataram ada lima puluh laksa (lima ribu) orang dan masih ada cadangannya sebanyak itu pula. Aku dapat mengatakan bahwa seluruh kadipaten di Nusa Jawa siap membantu Mataram dan banyak lagi yang dapat kukatakan untuk membuat Belanda menjadi panik.” “Dan aku, bagaimana? Aku tidak mengerti tentang siasat perang!” kata Sulastri bingung. “Ah, katakana saja bahwa balatentara Mataram akan dipecah menjadi empat bagian. Tiga bagian akan menyerang dari barat, selatan dan timur Batavia, sedangkan yang sebagian akan menyerang dengan menggunakan perahu-perahu dan mengepung di utara. Dengan demikian Batavia akan dikepung dari semua penjuru. Kalau ditanya tentang ransum, katakan saja rakyat di sekitar Batavia sudah siap membantu. Juga Banten akan datang pula menyerang. Dengan demikian ----------------------- Page 452----------------------- ----------------------- Page 453----------------------- http://zheraf.net Kapten De Vos yang sudah mulai mabok anggur sehingga mukanya yang biasanya sudah kemerahan itu kini menjadi merah sekali, tertawa-tawa gembira. Tiba-tiba suara yang tenang serius Ki Warga menghentikan suara tawa Kapten De Vos. “Saya harap tuan kapten tidak terlalu gembira lebih dulu.” Kapten De Vos menghentikan tawanya dan pada saat itu, Hendrik De Haan memasuki ruangan itu. “Aha, Hendrik, kebetulan kamu datang. Duduklah dan ikut berunding. Mungkin kami membutuhkan pendapatmu!” Raksasa itu lalu menyeret sebuah kursi dan duduk di tempat yang lowong, di depan Ki Harya Baka Wulung, terhalang meja. Tanpa diperintah dia meraih botol minuman anggur dan menuangkan ke dalam sebuah gelas besar yang kosong, lalu minum dengan lahap sekali. Melihat sikap itu, kapten De Vos dan yang lain-lain tidak memperdulikannya. Memang demikianlah sifat dan watak raksasa ini, atau watak pelaut kulit putih pada umumnya, keras dan kasar. “Tuan Warga, apa yang kau katakan tadi? Kenapa kamu mencegah kami terlalu gembira? Apakah masalahnya?” “Begini, tuan kapten. Tuan bergembira karena dua orang tawanan itu, Lindu Aji dan Sulastri, akan membuka rahasia Mataram, memberi keterangan tentang kekuatan balatentara Mataram dan rencana siasat mereka menggempur Batavia sebagai pengulangan serangan mereka pertama yang berhasil kita gagalkan.” “Ya, tentu saja. Apa salahnya itu?” “Tidak salah, tuan. Akan tetapi kalau bergembira sekarang, itu terlalu terburu-buru namanya. belum waktunya untuk bergembira.” ----------------------- Page 454----------------------- ----------------------- Page 455----------------------- http://zheraf.net mereka sampai terbukti benar tidaknya laporan mereka seperti dikatakan Tuan Warga tadi.” “Baik, tuan.” kata Nyi Maya dewi patuh. Tiba-tiba Ki Harya Baka Wulung berseru nyaring. “Aku tidak setuju!” Tentu saja semua orang terkejut dan memandang kepadanya. “Apa maksudmu dengan ucapan itu, Tuan Harya?” tanya Kapten De Vos sambil memandang penuh selidik dengan sepasang matanya yang kebiruan. “Tuan Kapten, aku Ki Harya Baka Wulung adalah seorang tokoh besar Madura yang gagah perkasa. Bangsa kami terkenal keras namun terbuka dan sekali berjanji, akan memenuhinya dengan taruhan nyawa. Aku tidak suka kalau diajak utuk mengingkari janji, biarpun terhadap dua orang muda yang menjadi musuhku. Aku tidak setuju dengan cara yang curang itu.” Mendengar ucapan yang nadanya keras itu, Hendrik De Haan yang menjadi pengawal pribadi dan jagoan Kapten De Vos menjadi marah. Dia bangkit berdiri mengepal tinjunya yang besar diamangkan ke arah Ki Harya Baka Wulung. “Harya Baka Wulung!” Dia berteriak dengan suara cedal lalu melanjutkan kata-kata dalam bahasa Belanda karena tidak mahir berbahasa daerah. Ki Warga segera menyalin dalam bahasa daerah agar dapat dimengerti Ki Harya Baka Wulung. “Harya Baka Wulung, kamu mengaku tokoh Madura yang gagah perkasa akan tetapi buktinya Madura sudah jatuh ke tangan Mataram. Kamu sekarang ini menjadi pembantu Kumpeni Belanda dan kewajibanmu adalah untuk menaati ----------------------- Page 456----------------------- ----------------------- Page 457----------------------- http://zheraf.net “Aku hanya ingin menghajar si keparat ini!” kata Ki Harya Baka Wulung. Sementara itu, Hendrik De Haan yang sudah agak banyak minum anggur dan hawa panas sudah mulai naik ke kepalanya, tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia sudah menerjang ke depan, menyerang bagaikan seekor biruang. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung adalah seorang sakti yang memiliki kemahiran pencak silat yang sudah matang. Melihat serangan kedua tangan dari kanan kiri atas itu, diapun menangkis dari dalam dengan kedua lengannya. “Dukkk!” Dua pasang lengan bertemu dan pada saat itu, kaki kanan Harya Baka Wulung menyapu kaki lawan dan pada saat yang sama, lengan kanannya yang menangkis dan sikunya menhunjam ke depan dengan kuat sekali. “Desss ........ dukkk!” Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Hendrik terjengkang. Akan tetapi dia bukan orang lemah. Ketika tubuhnya terdorong ke belakang dan kakinya terjegal, dia malah membuang diri ke belakang dan berjungkir balik sehingga dia tidak sampai terbanting roboh. Hantaman siku kanan Harya Baka Wulung yang mengenai dadanya tadi seolah tidak dirasakannya. Hendrik menjadi marah dan sambil mengeluarkan gerengan dari mulutnya yang berbau arak itu, dia menerjang lagi. Kedua lengannya yang besar panjang itu kini tidak memukul melainkan bagaikan dua ekor ular cepatnya tahu-tahu telah menangkap kedua lengan lawan. Gerakannya cepat sekali karena dia mempergunakan ilmu gulat yang pernah dipelajarinya. Harya Baka Wulung terkejut dan tidak mampu menghindar, tahu-tahu kedua lengannya telah ditangkap dan raksasa bule itu mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengangkat tubuh Harya Baka Wulung dan membantingnya. ----------------------- Page 458----------------------- ----------------------- Page 459----------------------- http://zheraf.net “Paman Harya, jangan membunuh!” kembali Maya dewi berteriak. Mendengar teriakan ini, Harya Baka Wulung teringat. Diapun bukan seorang bodoh yang menurutkan nafsu amarah. Dia tahu bahwa kalau dia membunuh, bukan saja nyawanya terancam oleh Kapten De Vos dan anak buahnya yang mempunyai senjata api, akan tetapi juga usahanya bekerja sama dengan Belanda untuk membalas dendamnya kepada Mataram akan gagal. Maka, dia tidak membanting tubuh raksasa itu. Kalau dibantingnya dengan tenaga Cantuka Sakti tentu akan remuk tulang-tulang tubuh itu atau akan pecah kepalanya. Dia lalu melemparkan saja tubuh Hendrik ke atas. “Bressss ........ !” Tubuh itu melayang ke atas lalu terbanting jatuh ke atas lantai kapal. Memang tidak sampai tewas atau patah-patah tulangnya, namun cukup membuat kepalanya pening dan pinggulnya nyeri, perutnya mulas. Hendrik merasa malu sekali dan hal ini membuatnya marah besar. Biarpun pandang matanya masih berkunang, namun dia segera mencabut sebuah pistol besar yang terselip di pinggangnya dan siap untuk menembakkan pistol itu ke arah Harya Baka Wulung. Akan tetapi, datuk besar Madura ini sudah siap. Dia sudah mengerahkan ajinya yang amat dahsyat yaitu Aji Kukus Langking (Asap Hitam). Begitu dia mendorongkan kedua tangannya, asap tebal hitam menyambar ke arah Hendrik dan terdengar kakek itu berseru dengan suara menggetar mengandung penuh wibawa. “Lepaskan senjata api itu!” Terjadi keanehan. Bentakan yang mengandung kekuatan sihir itu membuat Hendrik melepaskan pistolnya sebelum dia sempat menarik pelatuknya. Pistol jatuh berdetak ----------------------- Page 460----------------------- ----------------------- Page 461----------------------- http://zheraf.net pegawai kami. Silahkan duduk kembali, Tuan Harya. Kita bicara dan berunding sebagai sahabat, bukan sebagai atasan kepada bawahan. Silakan.” Kapten De Vos adalah seorang pejabat yang bertugas sebagai intelejen Belanda dan dia memang sudah mendapat pendidikan mendalam sehingga dia mampu menyesuaikan diri demi keuntungan Kumpeni. Menghadapi sikap sabar dan ramah ini, mereda kemarahan Harya Baka wulung dan dia pun duduk kemabli ke atas kursinya yang tadi. Kapten De Vos menuangkan sendiri anggir ke dalam gelas di depan Harya Baka Wulung, lalu dia mengajaknya minum anggur sambil berkata. “Marilah kita minum anggur ini sebagai pernyataan persahabatan ini dan sebagai permintaan maaf kami atas kelancangan Hendrik tadi.” Harya Baka Wulung menyambut dan minum anggurnya. Suasana menjadi akrab kembali. “Tuan Harya, kalau boleh kami bertanya, kenapa kamu begitu membenci Mataram? Apakah karena Mataram telah menaklukkan seluruh Madura dan sekarang kamu ingin membebaskan Madura dari kekuasaan Mataram?” Tanya Kapten De Vos. Harya Baka Wulung menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Kekalahan Madura terhadap Mataram tidak perlu dipersoalkan lagi. Madura telah membuat perlawanan sekuatnya, akan tetapi karena memang kalah kuat maka dapat ditundukkan, kini malah dapat dipersatukan di bawah pimpinan Pangeran Cakraningrat yang berkedudukan di Sampang, diangkat oleh Sultan Agung. Pangeran Cakraningrat itu dahulunya adalah Raden Praseno, putera Bupati Arisbaya, dan ----------------------- Page 462----------------------- ----------------------- Page 463----------------------- http://zheraf.net Akhirnya Kapten De Vos berseru, “Mari kita minum lagi. Kita lupakan kenangan masa lalu dan mari kita bersiap untuk menghancurkan Mataram, musuh kita bersama!” Mereka minum anggur lagi. Setelah ketegangan mereda, De Vos bertanya kepada Harya Baka Wulung. “Tuan Harya, kalau tuan tidak setuju untuk tetap menahan dua orang tawanan sampai terbukti bahwa laporan mereka benar, lalu kalau menurut tuan, apa yang harus kita lakukan agar kita tidak sampai menderita rugi oleh kebohongan mereka?” “Kalau mereka besok pagi memberi keterangan, kita harus membebaskan mereka seperti yang telah dijanjikan. Untuk mencegah agar mereka tidak berbohong, kita minta mereka bersumpah lebih dulu sebelum memberi keterangan mereka. Orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan seperti mereka pasti tidak akan mau melanggar sumpah sendiri. Kalau hal ini masih meragukan, kita beri mereka racun yang akan bertahan sampai saat terjadinya penyerbuan Mataram seperti yang mereka katakan. Setelah ternyata keterangan mereka kelak benar, mereka kelak boleh datang minta obat penawar kepada kita.” Kapten De Vos melihat betapa semua pembantunya mengangguk-angguk menyetujui siasat itu, maka diapun berkata gembira, “Bagus, bagus sekali. Dengan begitu, kita tidak melanggar janji, juga kita tetap mengikat mereka sehingga mereka pasti tidak berani berbohong!” Dengan gembira dia lalu mengajak semua orang untuk menambah minuman anggur. Sementara itu, setelah menunggu cukup lama, membiarkan musuh-musuh mereka berpesta dan makan minum sepuasnya, sesuai dengan yang sudah mereka atur dalam ----------------------- Page 464----------------------- ----------------------- Page 465----------------------- http://zheraf.net melangkah mundur lalu menoleh ke kanan kiri dan berkata lirih. “Jangan di sini, tuan. Aku takut dan malu kalau ketahuan orang lain. Mari kita bicara dalam kamarku saja.” Dua orang anak buah kapal yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu saling pandang, terbelalak dan tersenyum. Hati mereka melonjak dan rasanya ingin bersorak gembira. Ketika melihat gadis itu dengan lenggang memikat sehingga pinggulnay menari-nari melangkah menuju kembali ke kamarnya, dua orang itu seperti berebut mengikuti dari belakang. Karena seluruh perhatian mereka tertuju kepada tubuh belakang Sulastri yang menggairahkan, mereka sama sekali tidak tahu bahwa pintu kamar sebelah terbuka dan sesosok bayangan berkelebat keluar dari kamar itu. Ketika dua orang penjaga itu tiba di luar kamar Sulastri yang daun pintunya terbuka lebar, Sulastri berkata dengan manis, “Masuklah saja, tuan-tuan, jangan ragu dan malu!” Dua orang itu melangkah masuk dan pada saat itu, Aji melompat ke belakang mereka. Kedua tangannya menyambar ke arah tengkuk dua orang anak buah kapal itu. “Ngek-ngek!” Dua orang itu terkulai. Sulastri cepat menyambut bedil mereka yang terlepas dari pegangan agar tidak menimbulkan suara gaduh. Aji sudah menangkap lengan kedua orang itu sehingga tidak sampai terguling roboh. Dia lalu menyeret dua tubuh yang sudah tak dapat bergerak karena pingsan itu ke dalam kamar. Menggunakan kain alas pembaringan yang dirobek, aji mengikat kaki tangan kedua orang itu dan menyumbat mulut mereka. Kemudian, tanpa mengeluarkan suara, kedua orang muda itu berindap ke luar. ----------------------- Page 466----------------------- ----------------------- Page 467----------------------- http://zheraf.net sedangkan De Vos sendiri berlari ke arah buritan kapal karena di sanalah terjadinya kebakaran. Semua anak buah kapal sibuk berusaha untuk memadamkan kebakaran. Sebetulnya, dengan tenaga banyak orang, kebakaran tentu mudah dipadamkan. Akan tetapi karena persediaan minyak dalam bilik gudang itu terbakar, maka agak sukarlah kebakaran itu dipadamkan, Kapten De Vos yang marah-marah memberi petunjuk dan aba-aba kepada anak buahnya. Dia berjalan mondar-mandir sambil berteriak memberi komando. Tiba-tiba, lengan kanannya ditangkap sebuah tangan yang amat kuat dan lengan itu ditelikung ke belakang tubuhnya. Sebelum dia sempat meronta, sebatang ujung pisau belati yang runcing tajam menempel dilehernya. Aji yang menangkap kapten itu berseru, “Diam, jangan bergerak, atau lehermu akan kupenggal!” Sulastri yang berada di dekat Aji, cepat mengambil pistol yang tergantung di pinggang Kapten De Vos dan membuang senjata api itu ke luar kapal. Kemudian mereka berdua mengundurkan diri ke pagar kapal. Aji menarik dan memaksa De Vos ikut dengan menyeretnya. Sementara itu, lima orang pembantu yang berlari menuju je dua buah kamar tawanan, tentu saja menjadi terkejut melihat dua orang penjaga berada di kamar Sulastri dalam keadaan terikat dan tersumbat mulut mereka, sedangkan dua orang tawanan itu tidak tampak. Ki Warga cepat membebaskan mereka dan bertanya apa yang telah terjadi. “Perempuan itu ........ ia memanggil kami dan tahu-tahu kami dipukul dari belakang dan tidak ingat apa-apa lagi. Ketika ----------------------- Page 468----------------------- ----------------------- Page 469----------------------- http://zheraf.net berdiri tak berdaya dengan muka pucat. Di belakangnya berdiri Lindu Aji dan Sulastri, keduanya memegang sebatang pisau belati yang runcing dan tajam. Aji menempelkan belatinya di leher De Vos sedangkan Sulastri menodongkan belatinya di lambungnya! Melihat ini, para anak buah kapal sudah menodongkan bedil mereka ke arah dua orang tawanan itu, akan tetapi Aji cepat membentak. “Lepaskan bedil kalian atau kami akan membunuh Kapten De Vos lebih dulu!” Dia dan Sulastri menekan pisau belati yang mereka rampas dari dua orang penjaga tadi lebih kuat sehingga ujung pisau yang runcing itu mulai menembus kulit dan kulit di leher dan lambung terluka dan mengeluarkan darah. “Stop! Lepaskan semua bedil itu, kalian goblok!!” Kapten De Vos berteriak kepada anak buahnya. Anak buah kapal itu tak dapat berbuat lain kecuali menaati perintah atasan mereka. Kalau mereka nekat menembak, tentu Kapten De Vos akan mati dan kalau hal ini terjadi, berarti malapetaka besar bagi mereka! Ditangkapnya De Vos oleh dua orang tawanan itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Terpaksa mereka melepaskan bedil masing-masing ke atas dek. Nyi Maya Dewi berkata dan suaranya terdengar penuh ancaman. “Lindu Aji, apa yang kaulakukan ini? Bukankah kita sudah berjanji bahwa engkau besok akan melaporkan keterangan kepada kami dan sebagai gantinya kami akan membebaskan kalian dan memberi obat penawar kepada Sulastri yang akan mati tersiksa beberapa hari lagi?” “Maya Dewi, siapa percaya akan janji-janji kalian? Sekarang bukan saatnya bagi kalian menuntut. Bukan kalian yang berhak menentukan, melainkan kami! Kalian harus ----------------------- Page 470----------------------- ----------------------- Page 471----------------------- http://zheraf.net tidak mudah gugup. “Akan tetapi, Aji. Aku tidak dapat menyerahkan obat itu kepadamu di sini. Obat penawar itu kusimpan di daratan, yaitu di Tegal di rumah Ki Warga.” “Hemm, Nyi Maya Dewi, tidak perlu lagi kau berbohong. Aku tahu pasti bahwa obat penawar itu ada padamu. Hayo cepat berikan! Ataukah aku harus menyiksa Kapten De Vos lebih dulu?” Aji sengaja menekan pisau belati itu di leher De Vos sehingga kapten itu berteriak. “Ben je gek, Maya (Gilakah kamu, Maya)? Hayo cepat berikan obat penawar itu kepadanya!” Maya Dewi tampak bingung dan ia memandang kepada banuseta. Terpaksa ia menangguk memberi isyarat kepada pria itu dan berkata lirih, “Berikanlah, Raden.” Banuseta mengerutkan alisnya dan memandang kepada Sulastri. Dia tidak rela melepaskan kesempatan untuk menguasai gadis yang digandrunginya itu. “Akan tetapi ........ Maya ........ “ “Tidak ada tapi!” Kapten De Vos membentak marah. “Godverdomme, zeg! Berikan obat itu atau kuperintahkan orang-orangku untuk menembak kepalamu!” Mendengar bentakan ini, Banuseta menjadi pucat mukanya dan dia segera merogoh ke balik ikat pinggangnya, mengeluarkan sebuah bungkusan kain kecil dan menyodorkannya kepada Sulastri. Akan tetapi seperti yang sudah ia rencanakan bersama Aji, Sulastri tidak mau menerimanya, tidak mau memberi kesempatan dirinya ditangkap. “Letakkan di atas lantai dekat sini!” perintah Aji. Banuseta menurut karena Kapten De Vos memandang ----------------------- Page 472----------------------- ----------------------- Page 473----------------------- http://zheraf.net “Kapten, cepat perintahkan menurunkan perahu kecil itu!” kata Aji kepada tawanannya. “Juga sediakan tangga tali untuk turun!” Perintah itu diteriakkan Kapten De Vos. Setelah perahu diturunkan ke air dan tangga tali dipasang, Aji memberi isarat kepada Sulastri untuk menurunkan tangga tali dan masuk ke dalam perahu kecil yang sudah diturunkan di sisi perahu besar. Kemudian dia berkata kepada Nyi Maya Dewi dengan nada suara mengancam. “Kami akan menyandera Kapten ini. Nanti kalau ternyata bahwa obat penawar yang kauberikan itu manjur dan menyembuhkan Sulastri, kami pasti akan membebaskan dia. Kalau ternyata engkau menipu kami dan obat penawar itu tidak dapat menyembuhkan Sulastri, kapten ini akan kami bunuh!” Mendengar ini, Kapten De Vos menjadi pucat wajahnya. “Maya, jangan main-main kamu! Kalau kamu menipu dan gadis itu tidak dapat disembuhkan sehingga aku terbunuh, Kumpeni tentu akan menangkap kalian semua dan menghukum kalian dengan siksaan yang paling berat!” Mendengar ini Maya segera berkata kepada Aji. “Aji, kami telah menuruti semua permintaanmu, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa engkau akan benar-benar membebaskan Tuan Kapten De Vos.” “Aku pasti akan membebaskannya. Katakan bagaimana aturan minum obat penawar racun itu.” “Mudah saja. Masukkan obat bubuk itu semua ke dalam secangkir air kelapa muda hijau, kemudian minum sampai habis dan pengaruh racun itu akan punah. Akan tetapi setelah itu engkau harus membebaskan tuan kapten.” ----------------------- Page 474----------------------- ----------------------- Page 475----------------------- http://zheraf.net “Mudah-mudahan engkau benar, tuan kapten, karena nyawamu juga tergantung kepada kesembuhan Sulastri.” kata Aji. Sulastri minum air kelapa muda yang sudah dicampur obat bubuk itu. Setelah air kelapa muda diminumnya habis, ia lalu duduk bersila, mengatur pernapasan untuk membiarkan obat di dalam perutnya bekerja. Aji dan De Vos memandang dengan penuh perhatian dan perasaan tegang. Tiba-tiba gadis itu mengerutkan alisnya dan menggigit bibirnya sendiri. Ia tampak menahan perasaan nyeri yang hebat. “Lastri, kenapa ...... ?” Aji bertanya khawatir. “Perutku ....... mulai melilit-lilit ........ ah, aku tidak kuat lagi ....... harus ke sungai ........ !” Gadis itu melompat berdiri dan lari ke arah anak sungai yang tadi mereka lewati. “God ........ (Tuhan)! Apa yang terjadi dengannya ...... ?” De Vos berkata dengan muka pucat sambil memandang ke arah menghilangnya bayangan gadis itu di balik pohon-pohon. Aji masih tenang. Dia merasa yakin bahwa Maya Dewi pasti tidak berani menipunya, apa lagi mencelakai Sulastri dengan obat palsu karena Kapten De Vos masih berada di tangannya. Wanita itu tidak akan berani melanggar perintah De Vos yang merupakan orang penting dari Kumpeni. “Mungkin itu pengaruh obat penawar yang akan menyembuhkan.” kata Aji tenang. “Mudah-mudahan begitu ........ “ Kapten De Vos termenung, hatinya masih diliputi kekhawatiran kalau-kalau terjadi sesuatu pada diri gadis itu yang dapat menyebabkan dia dibunuh. Dia duduk dengan lemas di atas akar pohon yang menonjol di permukaan tanah dan menanti. Dia merasa tidak berdaya sama sekali. selama ini andalannya hanyalah senjata ----------------------- Page 476----------------------- ----------------------- Page 477----------------------- http://zheraf.net Pohon kelapa itu tumbang! Kapten De Vos terbelalak dan mukanya berubah pucat. Kalau tidak melihat sendiri, pasti dia tidak akan percaya bahwa ada orang apalagi ia seorang gadis jelita, mampu merobohkan dan menumbangkan sebatang pohon kelapa hanya dengan pukulan jarak jauh. “Lastri, engkau telah sembuh!” seru Aji dengan girang sekali. Gadis itu telah mampu mempergunakan pukulan tenaga sakti, berarti ia telah sembuh sama sekali. “Obat itu memang manjur sekali, semua racun terkuras keluar dari perutku. Saking lega dan girang, aku tadi sekalian mandi, segar sekali rasanya.” kata Sulastri. “Syukurlah! Kamu telah sembuh, ahhh ........ aku girang sekali ........ !” De Vos berseru sambil berloncatan seperti hendak menari-nari karena hal itu akan berarti dia dibebaskan! Sulastri menoleh kepadanya dan alisnya berkerut. “Jangan girang dulu, kumpeni jahat! Hendak kulihat apakah badanmu lebih kuat dari pada batang pohon kelapa itu?” Tiba- tiba Sulastri sudah menghantamkan tangan kirinya yang terbuka dengan dorongan dahsyat ke arah orang Belanda itu. “Haiiittt ........ !” “Plakk ........ !!” Sulastri terdorong ke belakang dan ia memandang kepada Aji dengan mata terbelalak. “Kangmas Aji! Kenapa ........ kenapa kau lakukan itu? Kenapa engkau menangkis pukulanku dan ........ melindungi kumpeni musuh rakyat ini?” “Tenanglah, Adi Sulastri. Aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang yang melanggar janji sendiri. Kita sudah berjanji bahwa kalau obat penawar itu berhasil menyembuhkanmu, kita akan membebaskan Kapten De Vos ini.” ----------------------- Page 478----------------------- ----------------------- Page 479----------------------- http://zheraf.net Aji tersenyum. “Itu sudah menjadi kewajibanmu, tuan. Akupun kalau bertemu denganmu dalam pertempuran, tidak akan ragu untuk membunuhmu.” “Mas Aji, kenapa susah-susah? Bunuh saja dia sekarang! Bukankah dia musuh kita?” kata Sulastri. “Tidak, di antara dia dan kita tidak ada permusuhan pribadi, Lastri. Tuan kapten, ketahuilah, kami adalah satria- satria Mataram yang tahu akan harga diri dan kehormatan. Yang bermusuhan adalah antara kerajaan kita. Karena itu, dalam perang membela kerajaan masing-masing mungkin kita akan saling bunuh. Akan tetapi antara kita pribadi tidak ada permusuhan apapun Apa lagi kami sudah berjanji akan membebaskan setelah Sulastri sembuh oleh obat penawar itu. Pergilah, tuan, mudah-mudahan engkau akan menyadari bahwa kerajaan tuan dari seberang lautan yang jauh itu sedang mengganggu dan mengacau tanah air kami!” Kapten De Vos tersenyum dan menggerakkan pundaknya sebagai tanda bahwa dia tidak berdaya dalam hal itu. “Apa boleh buat, Tuan Aji, salah atau benar Belanda adalah kerajaanku yang harus kubela. Selamat tinggal!” Dia lalu melangkah pergi dengan cepat menuju ke pantai di mana tadi Aji meninggalkan perahu kecil yang mereka naiki untuk mendarat. Setelah Kapten De Vos pergi, Sulastri menghela napas, memandang Aji dan berkata. “Mas Aji, siasat kita berjalan baik dan mulus seperti kita rencanakan. Untung sekali bahwa aku telah dapat disembuhkan. Akan tetapi hatiku merasa penasaran bukan main, bahkan sampai sekarang masih terasa panas dan tidak puas!” ----------------------- Page 480----------------------- ----------------------- Page 481----------------------- http://zheraf.net api mereka. Setidaknya kita sekarang mengetahui siapa-siapa yang menjadi antek dan mata-mata Kumpeni.” “Hemm, kalau saja tadi aku membunuh Belanda itu, setidaknya akan tertebus rasa penasaranku.” “Sebaliknya, Lastri. Perasaan kita akan tertekan karena kita telah melanggar janji sendiri. sudahlah, mari kita cepat pergi dari sini. Aku yakin bahwa kalau Kapten De Vos suadah kembali ke kapalnya, mereka semua akan mencari kita di sini. mereka tidak ingin melepaskan kita begitu saja karena telah mengetahui semua rahasia mereka.” Dengan wajah membayangkan ketidak puasan hati, Sulastri mengikuti Aji meninggalkan tempat itu dengan cepat menuju ke arah barat, Karena mereka melakukan perjalanan cepat, mempergunakan ilmu berlari cepat, maka seandainya gerombolan antek Kumpeni melakukan pengejaran, tetap saja mereka tidak akan dapat menemukan dua orang muda perkasa itu. -o0-dwkz~budi-0o- Usaha penyerangan Sultan Agung dengan mengerahkan pasukan besar ke Batavia untuk pertama kalinya (tahun 1628) telah mengalami kegagalan besar. Senopati Baureksa yang diserahi tugas memimpin pasukan penyerbuan itu gugur dalam perang, tertembak peluru meriam Belanda. Banyak perwira Mataram gugur sehingga melemahkan semangat bertempur pasukan Mataram. Selain itu, timbul pula gangguan yang teramat besar dan yang merupakan pukulan parah bagi pasukan Mataram yang mengepung Batavia, yaitu berjangkitnya penyakit malaria yang menewaskan banyak perajurit dan melemahkan sebagian besar dari mereka. Ditambah lagi karena ----------------------- Page 482----------------------- ----------------------- Page 483----------------------- http://zheraf.net kegelisahan di antara para menteri, senopati, para panglima dan perwira. Akan tetapi, kegagalan besar itu sama sekali tidak membuat jera hati Sultan Agung yang amat membenci sepak terjang Kumpeni Belanda yang semakin meluaskan kekuasaannya secara licik, mula-mula melalui perdagangan, lalu perlahan-lahan memperluas bumi Nusantara yang dicengkeramnya. Sultan Agung membuat persiapan lagi untuk melakukan penyerangan kedua yang lebih besar. Untuk itu, dia mengangkat Tumenggung Singoranu yang tua sebagai senopati yang akan memimpin penyerbuan, memerintahkan Tumenggung Singoranu untuk melatih dan memperkokoh barisan Mataram, mengundang para pemuda yang perkasa untuk menjadi perajurit. Juga Sultan Agung menyerahkan kepada Senopati Suroantani untuk memimpin mempersiapkan penyerbuan dengan cara menyebar banyak telik sandi (mata- mata) ke kadipaten-kadipaten sampai menyusup ke Batavia, untuk menyelidiki siapa-siapa yang akan menjadi lawan dan siapa menjadi kawan, serta sampai di mana ketahanan dan kekuatan pihak Kumpeni Belanda. Setelah berhasil melepaskan diri dari cengkeraman para antek kumpeni yang dipimpin Nyi Maya Dewi, Aji lalu mengajak Sulastri untuk pergi ke Kadipaten Cirebon. dari Senopati Suroantani Aji sudah mendengar bahwa Adipati di Cirebon dapat dipercaya dukungannya terhadap Mataram. Mereka lalu mohon menghadap dan setelah Aji memperlihatkan Keris Pusaka Nogo Welang hadiah yang juga merupakan tanda kekuasaan dari Sultan Agung, Sang Adipati Cirebon menerima kunjungan Aji dengan hormat. ----------------------- Page 484----------------------- ----------------------- Page 485----------------------- http://zheraf.net “Lindu Aji? Wah, nama yang bagus sekali! Nah, sekarang katakanlah kepada kami, kepentingan apa yang membawa andika menghadap?” “Hamba hendak melaporkan bahwa keadaan di Kadipaten Tegal cukup mencurigakan, Gusti Pangeran. Di sana hamba berdua telah ditawan oleh segerombolan orang-orang yang menjadi kaki tangan Kumpeni Belanda. Beruntung sekali Gusti Allah masih melindungi hamba berdua sehingga hamba dapat membebaskan diri hamba dan hamba segera menghadap paduka untuk menceritakan hal ini karena siapa tahu mereka itu akan mengadakan kekacauan di daerah paduka.” Adipati itu mengerutkan alisnya dan berseru, “Alhamdulillah bahwa kalian telah dapat melepaskan diri dari cengkeraman mereka. apa yang terjadi dan siapa mereka yang menjadi antek Kumpeni Belanda itu?” Aji lalu menceritakan pengalamannya bersama Sulastri ketika bentrok dengan Nyi Maya Dewi dan kawan-kawannya sampai mereka berdua tertawan dan dibawa ke kapal Belanda, dihadapkan kepada Kapten De Vos sampai akhirnya mereka berdua mempergunakan siasat dan dapat membebaskan diri dari cengkeraman mereka. Sang Adipati mendengarkan dengan penuh perhatian. setelah Aji mengakhiri ceritanya dia bertanya. “Coba andika sebutkan lagi satu demi satu nama mereka yang menjadi antek Kumpeni Belanda.” Aji menjawab dengan jelas. “Mereka adalah Ki Warga yang tinggal di Tegal dan agaknya dia orang penting dari Kumpeni. Kemudian Nyi Maya Dewi, Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad pertapa di Nusakambangan. Ki Harya Baka Wulung itu seorang tokoh besar dari Madura, dan seorang laki- ----------------------- Page 486----------------------- ----------------------- Page 487----------------------- http://zheraf.net urusan dengan pihak Kumpeni Belanda. Masih diragukan apakah dia itu antek Belanda ataukah sebetulnya dia alat Kadipaten Tegal untuk menyelidiki keadaan demi keuntungan Kadipaten Tegal yang sebetulnya tidak memperlihatkan tanda- tanda menentang Mataram, akan tetapi juga tidak berkeras menolak kehadiran kapal Kumpeni di pantainya. Bagaimanapun juga, berita yang andika sampaikan kepada kami ini amat penting sehingga kami dapat bersiap-siap dan waspada tehadap segala kemungkinan buruk.” “Hal ini sudah menjadi tugas kewajiban hamba, gusti. Paman Senopati Suroantani memang memesan kepada hamba untuk menceritakan semua hal yang menyangkut gerakan Kumpeni Belanda melalui para mata-matanya kepada para kadipaten yang menjadi sekutu Mataram termasuk Kadipaten Cirebon. Karena itu, hamba mengharap paduka sudi mengirim utusan untuk mengabarkan semua ini kepada Paman Senopati Suroantani di Mataram.” “Jangan khawatir. Kami akan mengabarkan semua kepada Senopati Suroantani di Mataram. dan andika, Nini Sulastri, andika, telah dapat membantu anakmas Lindu Aji. Agaknya andika juga seorang gadis yang memiliki aji kesaktian, nini. Apakah andika tunggal guru dengan anakmas Lindu Aji?” “Hamba bukan saudara seperguruan Kakangmas Aji, gusti. Guru hamba adalah Ki Ageng Pasisiran yang tinggal menyepi di daerah pantai Dermayu.” “Hemm, Ki Ageng Pasisiran? Kami pernah mendengar akan adanya seorang pertapa yang tua renta di pantai Dermayu itu. Akan tetapi tidak pernah terdengar dia membuka perguruan pencak silat. Kiranya andika seorang wanita yang masih muda ----------------------- Page 488----------------------- ----------------------- Page 489----------------------- http://zheraf.net digdaya. Beberapa kali kami mengirim pasukan untuk menumpasnya, namun sejauh ini belum berhasil bahkan kami kehilangan banyak perwira yang tewas ketika terjadi pertempurang. Gerombolan Munding Hideung itu bersarang di gunung Cireme. nah, mengingat bahwa andika berdua adalah murid-murid tokoh sakti mandraguna dan juga merupakan orang kepercayaan sultan agung, kami harap andika berdua menolong kami. Hancurkan gerombolan itu dan tangkap hidup atau mati, para pimpinan Munding Hideung. Kami akan menyediakan pasukan yang kalian butuhkan. Aji menoleh kepada Sulastri dan kebetulan gadis itupun sedang menoleh kepadanya sehingga mereka bertemu pandang sejenak. Namun pertautan pandang mata mereka yang sejenak itu sudah cukup untuk dapat saling mengerti perasaan masing- masing. mereka setuju untuk membantu Kadipaten Cirebon. Maka, tanpa ragu-ragu lagi Aji lalu berkata dengan sembah. “Hamba berdua siap untuk membantu dan melaksanakan perintah paduka, gusti pangeran.” Adipati itu tampak gembira sekali. “Bagus! Terima kasih, anakmas Lindu Aji dan Nini sulastri. lalu, berapa banyak perajurit yang kalian butuhkan?” “Hamba berdua tidak akan membewa pasukan, gusti. Kalau membawa pasukan, tentu akan mudah ketahuan dan gerombolan itu dapat bersiap-siap, bersembunyi atau bahkan menjebak kami. Kami akan melakukan penyelidikan berdua saja dan akan berusaha untuk menangkap pemimpin gerombolan itu. Hamba kira kalau pemimpinnya sudah dapat ditangkap, para anak buahnya tidak akan merajalela lagi dan mudah untuk dibasmi.” ----------------------- Page 490----------------------- ----------------------- Page 491----------------------- http://zheraf.net “Sendika, kami nyuwun pangestu, gusti.” kata Aji dan Sulastri sambil menyembah. sang adipati melambaikan tangan dan keduanya lalu keluar dari ruangan paseban. Akan tetapi begitu mereka tiba di pintu gerbang kadipaten, dua orang perajurit yang menuntun dua ekor kuda menghadang mereka dan memberi hormat lalu berkata, “Kami diperintahkan Gusti Pangeran Ratu untuk menyerahkan dua ekor kuda ini kepada andika berdua.” Aji saling pandang dengan Sulastri dan kedua orang muda ini tertawa senang. Jalan pikiran mereka sejalan. Kalau bicara tentang kebutuhan mereka pada saat itu, yang mereka butuhkan memang dua ekor kuda sehingga mereka dapat melakukan perjalanan menuju pegunungan Careme dengan cepat. Mereka mengucapkan terima kasih, mencengklak kuda masing-masing dan melarikan kuda keluar dari Kadipaten Cirebon. Menjelang senja tibalah mereka di sebuah dusun yang berada di kaki gunung Careme, yaitu dusun kecil yang disebut Dusun Kapayun. Karena di dusun sekecil itu tidak terdapat warung makan maupun penginapan, Aji dan Sulastri lalu langsung mencari rumah pamong dusun atau kepala dusun itu. Semua orang menunjuk ke sebuah rumah yang lebih besar dari pada sekitar tiga puluh rumah yang berada di dusun itu. Ki Sajali, pria berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus berkumis panjang yang menjadi pamong dusun Kapayun, menyambut dua orang muda itu dengan sinar mata penuh curiga. Sinar matanya memandang penuh selidik kepada dua orang muda yang sedang menambatkan kuda mereka di sebatang pohon di pekarangan rumahnya. Stelah menambatkan ----------------------- Page 492----------------------- ----------------------- Page 493----------------------- http://zheraf.net barangkali andika berdua ingin mandi-mandi dan mengaso dulu. Saya akan menyuruh orang mempersiapkan makan malam.” “Wah, tidak usah terlalu merepotkan paman.” kata Aji agak rikuh. “Tidak, sama sekali tidak repot, den mas!” Kepala dusun itu melangkah masuk diikuti dua orang muda itu. Mereka mendapatkan dua buah kamar dan dengan ramah Ki Sajali mempersilakan mereka untuk mandi di kamar yang berada di belakang, lalu meninggalkan mereka untuk mempersiapkan makan malam. Aji dan Sulastri memasuki kamar masing-masing. Kamar yang kecil sederhana, namun cukup lumayan untuk melewatkan malam itu karena di situ terdapat sebuah amben (dipan) yang bertilamkan tikar yang cukup bersih. Aji bersikap hati-hati dan mereka mandi bergantian untuk dapat melakukan penjagaan atas barang-barang yang mereka tinggalkan dalam kamar. Setelah selesai mandi dan bertukar pakaian, mereka keluar dari kamar, meninggalkan buntalan pakaian mereka kecuali senjata mereka yang mereka bawa. Sulastri menggantungkan pedang Nogo Wilis di punggung sedangkan Aji menyelipkan Keris Nogo Welang di ikat pinggangnya. Mereka bertemu di luar kamar dan Sulastri berbisik. “Mas Aji, engkau melihat sesuatu yang aneh?” “Di rumah ini?” “Di rumah ini dan di dusun ini.” “Hemm, sikap Ki Sajali itu cukup mencurigakan. Tadinya dia bersikap angkuh, keras dan curiga, kemudian setelah dia tahu siapa kita, sikapnya berubah dan berlebihan, ----------------------- Page 494----------------------- ----------------------- Page 495----------------------- http://zheraf.net “Orang-orang jahat tidak pantang menggunakan cara- cara yang licik dan jahat. Kita sudah mengalaminya sendiri ketika tertawan komplotan para antek Kumpeni Belanda itu. Karena kita tidak mengenal benar Ki Sajali dan keadaan di sini mencurigakan, maka kita harus berhati-hati.” Sulastri mengangguk-angguk, lalu berbisik, “Sstt, dia datang.” Ki Sajali yang kini sudah pula berganti pakaian menghampiri mereka. “Denmas dan denroro sudah mandi? Ah, kenapa andika berdua membawa-bawa senjata pusaka? Saya hanya ingin mengundang andika berdua untuk makan malam!” Aji cepat menjawab, “Paman, kami adalah pengemban- pengemban tugas penting yang selalu menhadapi bahaya dimanapun kami berada. Oleh karena itu, terpaksa kami selalu membawa pusaka untuk melindungi diri kami.” “Akan tetapi di sini andika berdua aman! Marilah, kita makan dulu sebelum beitirahat. Akan tetapi di dusun ini kami tidak dapat menyuguhkan makanan yang pantas untuk andika berdua.” “Ah, sambutan paman ini saja sudah cukup menyenangkan hati kami dan kami berterima kasih sekali.” kata Aji dan bersama Sulastri dia mengikuti tuan rumah itu menuju ke ruangan makan yang berada di bagian kiri rumah. Ketika mereka memasuki ruangan yang diterangi tiga lampu gantung yang cukup besar itu, mereka melihat di ruangan yang luas itu sebuah meja besar yang penuh dengan masakan sayur-sayuran dan daging ayam dan kambing! Cukup mewah bagi suguhan di dusun yang kecil dan sunyi itu. Juga masakan-masakan itu masih mengepulkan uap, tanda bahwa ----------------------- Page 496----------------------- ----------------------- Page 497----------------------- http://zheraf.net selalu menyentuh dan makan hidangan setelah melihat tuan rumah memakannya. sikap hati-hati mereka itu agaknya tidak diketahui Ki Sajali dan mungkin dia menganggap kecanggungan dua orang tamu mudanya itu karena rikuh dan malu-malu. Setelah selesai makan, Ki Sajali mempersilakan dua orang tamunya untuk minum air teh mereka. Dia sendiri minum dari kendi dengan mengucurkan air dari mulut kendi yang langsung diterima mulutnya yang ternganga. Melihat ini, Aji mengedipkan mata kepada Sulastri dan mengerling ke arah kendi yang dipergunakan tuan rumah untuk minum. Sulastri mengangguk. Ki Sajali menurunkan kendinya ke atas meja. Melihat dua orang tamunya belum minum air teh mereka, dia kembali mempersilakan. “Mari, silakan minum air tehnya, denmas dan denroro, selagi masih hangat.” Aji tersenyum dan berkata, “Paman Sajali, melihat paman minum air kendi itu kelihatannya segar sekali dan membuat saya ingin sekali minum air kendi itu pula!” Dia menuding ke arah kendi besar itu. “Aku juga demikian! Kelihatan sejuk dan segar sekali!” kata Sulastri sambil memandang kendi besar itu penuh gairah. “Ah, begitukah? Silakan!” kata Ki Sajali. Aji mengambil kendi itu dan menyerahkannya kepada Sulastri. Karena dia yakin bahwa minum air kendi itu tentu aman, seperti telaj dilakukan oleh Ki sajali, maka dia membiarkan Sulastri minum lebih dulu. Tanpa ragu lagi Sulastri mengangkat kendi, mengucurkan air dari mulut kendi ke mulutnya yang dibuka sedikit tidak seperti Ki Sajali tadi yang mulutnya dingangakan lebar. ----------------------- Page 498----------------------- ----------------------- Page 499----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ itu, serangan dua orang yang bersenjata pisau belati menyambar. Aji mengelak dengan loncatan ke kiri, kemudian sebelum dua orang itu sempat menyerang lagi, dari samping dia mengayun kedua tangannya menampar. “Plak-plakk!” Dua orang itu terpelanting roboh. Ketika mereka bergerak untuk bangkit, Aji mengayun kakinya dua kali menendang, mengenai tangan mereka yang memegang pisau. Dua orang muda itu berseru kesakitan dan pisau belati mereka terlepas dari pegangan, terlempar jauh. Mereka agaknya maklum bahwa yang mereka hadapi adalah orang yang sakti, maka cepat mereka merangkak dan melarikan diri. Aji melihat Ki Sajali juga sudah bangkit dan melarikan diri. Cepat dia melompat dan berhasil menangkap tengkuk orang itu, menekan sehingga tubuh Ki Sajali terpaksa berjongkok. Dengan tangannya yang terisi tenaga sakti, Aji menekan tengkuk itu. “Aduhhh ........ aduhhh ........ !” Ki Sajali mengeluh kesakitan, merasa tengkuknya seperti dijepit catut baja yang amat kuat. “Cepat berikan obat penawar itu!” bentak Aji lagi dan memperkuat cengkeraman tangannya pada tengkuk itu. “Aduhhhh ...... baik ...... baik ...... akan tetapi ...... lepaskan ...... ,“ keluh Ki Sajali yang wajahnya menjadi pucat sekali saking nyerinya. Aji melepaskan cengkeramannya dan Ki Sajali bangkit berdiri, kedua tangan memegangi leher dan menjatuhkan diri duduk di atas kursi, terengah-engah. Lalu tangannya meraba- raba ikat pingang dan dia mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan putih, lalu menyerahkan botol kecil itu kepada Aji. ----------------------- Page 500----------------------- ----------------------- Page 501----------------------- http://zheraf.net itu. Dia membantu Sulastri, menengadahkan kepalanya dan membuka mulut gadis itu dengan tangan kirinya. Sulastri tidak pingsan, akan tetapi lemas dan pening. Akan tetapi ia masih menyadari bahwa Aji yang berusaha menolongnya, maka ia menurut saja ketika kepalanya didongakkan dan mulutnya dibuka. Iapun menelan saja ketika isi botol itu dimasukkan ke dalam mulutnya. Tak lama kemudian, Sulastri membungkuk dan muntah-muntah. Semua makanan dan juga air yang mengandung racun tadi ikut tumpah keluar semua dari dalam perutnya. Aji membantunya dan memijit-mijit tengkuknya, mengurut punggungnya sampai semua isi perutnya dimuntahkan. Tubuh gadis itu penuh keringat. Akan tetapi setelah muntah-muntah, peningnya hilang, ulu hatinya tidak nyeri lagi dan ia merasa ringan dan lemas. Aji menggandengnya dan didudukkan di kursi yang agak jauh dari meja itu. Sulastri duduk dan mengusap keringat dari dahinya. “Bagaimana rasanya, Lastri?” Gadis itu tersenyum! “Rasanya sudah sembuh, Mas Aji. tidak penting lagi, tidak nyeri lagi perutku, racun itu pasti telah keluar semua. Aku hanya merasa lemas ...... eh, mana dia manusia jahanam itu? Aku harus membunuhnya! Dia meracuni aku, keparat!” Sulastri bangkit dengan cepat, akan tetapi karena tubuhnya terasa lemas, ia terhuyung dan cepat dirangkul Aji dan dibantunya lagi duduk. Aji menengok ke arah di mana tadi ki Sajali berada, akan tetapi orang itu ternyata telah pergi. Agaknya Ki Sajali menggunakan waktu selagi dia menolong Sulastri tadi, diam-diam dia melarikan diri dari rumah itu. “Hemm, keparat itu telah melarikan diri.” kata Aji. ----------------------- Page 502----------------------- ----------------------- Page 503----------------------- http://zheraf.net “Sudahlah, apa kaukira aku akan diam saja dan tidak berusaha sekuat kemampuan untuk menolongmu kalau engkau yang terancam bahaya seperti yang kaulakukan tehadap diriku ini? Kita melakukan perjalanan bersama, harus menghadapi segala bahaya bersama pula. Bukankah begitu?” Aji tersenyum dan memandang kagum. Dalam keadaan nyaris tewas dan baru saja lolos dari maut, gadis itu sudah bersikap sedemikian tabah dan gagahnya. “Sulastri, engkau ...... seorang gadis yang hebat! Mengasolah, aku akan membuatkan bubur untukmu.” katanya dan dia lalu keluar dari dalam kamar itu, dan memeriksa semua jendela dan pintu belakang dan depan. Dipalangnya semua jendela dan pintu. Setelah memeriksa seluruh ruangan dalam rumah itu dan merasa aman meninggalkan Sulastri seorang diri di kamarnya, Aji lalu masuk ke dalam dapur. Dia mendapatkan prabot dapur yang cukup lengkap dan dapat menemukan beras dan garam. maka dengan girang dia lalu memasak bubur secukupnya untuk Sulastri. Selagi melakukan pekerjaan ini, dia selalu waspada, menggunakan ketajaman pendengarannya untuk menjaga keamanan Sulastri yang berada di dalam kamarnya. Setelah buburnya matang, dia membawa makanan itu dalam sebuah mangkok besar ke kamar Sulastri. Gadis itu ternyata tidak tidur, sedang rebah telentang memandang ke atap kamar. Ia tersenyum ketika Aji memasuki kamar sambil membawa semangkuk bubur panas dan sendoknya. “Aah, Mas Aji. Engkau membuat aku merasa malu sekali.” kata gadis itu sambil bangkit duduk. Ia tidak begitu lemas lagi dan dapat bankit duduk sendiri tanpa bantuan. Aji duduk di atas sebuah bangku dekat pembaringan. “Mengapa engkau merasa malu kepadaku, Sulastri?” tanyanya ----------------------- Page 504----------------------- ----------------------- Page 505----------------------- http://zheraf.net “Itu menurut orang-orang yang kita tanyai di dusun ini. Ingat, kita tidak melihat wanita atau kanak-kanak di dusun ini, hanya laki-laki muda. siapa tahu mereka itu semua anak buah gerombolan yang kita sedang selidiki.” “Aku sependapat denganmu, Lastri. Akan tetapi malam ini kita tidak dapat berbuat sesuatu. Malam gelap sekali dan kita tidak mengenal medan. Makan lalu beristirahatlah. Engkau perlu menghimpun kembali tenagamu karena besok kita tentu akan menghadapi ancaman mereka. Aku akan melakukan pengintaian di luar pondok.” “Baiklah, mas Aji. Akan tetapi berhati-hatilah.” Aji melangkah keluar dan Sulastri mulai menyendok dan makan buburnya yang masih hangat. Setelah menghabiskan bubur semangkuk itu tubuhnya mulai pulih dan sehat kembali, tidak terlalu lemas seperti tadi. Ia lalu duduk bersila dan menghimpun tenaga sakti untuk memulihkan keadaan tubuhnya. Sementara itu, Aji membuka daun pintu depan dengan hati-hati. Di luar pondok gelap dan sunyi. Bahkan rumah- rumah dalam perkampungan itu tampak gelap. Tidak ada sinar lampu sama sekali dari sekeliling pondok milik kepala dusun itu. Agaknya semua rumah di dusun itu tidak memasang lampu! Atau Ki Sajali yang memerintahkan semua penduduk untuk memadamkan lampu di rumah mereka? Dia menyelinap keluar dengan cepat lalu menutupkan kembali daun pintu rumah dari luar. Dengan hati-hati dia membiasakan pandang matanya dengan kegelapan di luar rumah. Lambat laun tampaklah kelap-kelip beberpa kelompok bintang di langit dan pandang matanya mulai terbiasa dengan kegelapan di luar. Dia lalu melangkah perlahan dan berjalan mengelilingi pondok itu ----------------------- Page 506----------------------- ----------------------- Page 507----------------------- http://zheraf.net Alangkah herannya ketika dia melihat Sulastri yang mengakibatkan berkesiurnya angin lembut itu. Gadis itu sedang menghampirinya dan tubuhnya bagaikan bayangan saja, demikian ringan dan gesit. Dia merasa kagum sekali. Jelas dapat dia ketahui bahwa gadis itu mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang hebat. “Kiranya engkau, Lastri? Mengapa engkau bangun? Malam telah larut, tidurlah lagi dan jangan bangun sebelum pagi.” Gadis itu memandang Aji dengan sinar mata menyatakan kekagumannya yang tidak disembunyikan. -o0-dwkz~budi-0o- JILID XV ah, Kakangmas Aji! Aku sudah mengerahkan Wseluruh kemampuanku untuk meringankan tubuh, namun tetap saja engkau dapat mengetahui kedatanganku. Tadinya aku hendak mengejutkanmu, akan tetapi aku kecelik.” Aji bangkit berdiri dan tersenyum memandang gadis itu. “Aku cukup mendapat kejutan, Lastri, kejutan yang menggembirakan. Gerakan dan sikapmu menunjukkan bahwa engkau telah sembuh dan tenagamu sudah pulih sama sekali. Sukurlah, Lastri. Akan tetapi kenapa engkau sudah bangun? Tidurlah lagi.” ----------------------- Page 508----------------------- ----------------------- Page 509----------------------- http://zheraf.net dari dalam rumah, buntalan pakaian mereka telah bertengger di punggung masing-masing. Ketika mereka mencari-cari, ternyata seperti yang sudah mereka duga dan khawatirkan, dua ekor kuda tunggangan mereka yang kemarin sore mereka tambatkan pada batang pohon di pekarangan rumah, sudah tidak tampak. Dua ekor kuda mereka telah dicuri orang! “Jahanam keparat Ki Sajali itu!” Sulastri mengepal tangan kanannya. “Awas kamu, sekali tertangkap olehku, akan tahu rasa kamu!” “Sabar dan tenanglah, Lastri. Agaknya kita berhadapan dengan gerombolan yang teratur, licik dan berbahaya. Lihat, dusun ini agaknya telah kosong. Kurasa dugaanmu semalam tepat sekali. Dusun ini adalah perkampungan gerombolan dan besar sekali kemungkinan mereka adalah anak buah gerombolan pimpinan Munding Hideung.” “Barangkali Ki Sajali itu pimpinan mereka.” kata Sulastri. Aji menggeleng kepalanya. “Kurasa bukan. Menurut keterangan Gusti Pangeran Ratu, Munding Hideung pemimpin gerombolan itu digdaya sehingga berulang kali serbuan pasukan Cirebon gagal. Sedangkan Ki Sajali tadi, kulihat tidak berapa tangguh. Mungkin dia hanya seorang di antara para pembantunya saja.” “Mari kita kejar dan cari mereka, kakangmas! Tanganku sudah gatal-gatal untuk segera menhajar mereka!” kata Sulastri yang merasa tidak sabar lagi. Kini gadis itu bukan hanya menjadi utusan Adipati Cirebon untuk membasmi gerombolan munding hideung, melainkan juga hendak membalas dendam karena nyaris ia tewas oleh gerombolan itu. ----------------------- Page 510----------------------- ----------------------- Page 511----------------------- http://zheraf.net celana dan baju loreng terbuat dari kulit harimau loreng. Laki- laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun itu memegang sebatang tombak yang berwarna hitam dan berlekuk-lekuk, mengerikan sekali. Aji menudingkan telunjuk kirinya kepada Ki Sajali dan berkata dengan lantang. “Ki Sajali, kiranya dusun ini menjadi sarang gerombolan. tentu engkau dan semua penduduk dusun ini adalah kaki tangan gerombolan yang dipimpin Munding Hideung!” Ki Sajali yang memegang sebatang golok tidak menjawab, akan tetapi laki-laki gagah yang memegang tombak itu yang menjawab dengan suaranya yang besar dan parau. “bagus kalau andika sudah tahu bahwa kami adalah Gerombolan Mundung Hideung! Dan aku, Ki Manggala, yang memimpin pasukan ini. Kalian anak-anak menyerah dan berlututlah agar dengan baik-baik kami bawa menghadap pimpinan kami!” ----------------------- Page 512----------------------- ----------------------- Page 513----------------------- http://zheraf.net orang itu, Sulastri sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan ia seperti mendapat kegembiraan, dengan penuh semangat ia bergerak ringan dan cepat bagaikan bayang-bayang, berkelebatan ke sana sini dan pedangnya digerakkan cepat, berubah menjadi sinar kehijauan yang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar. Dalam waktu beberapa menit saja terdengar teriakan-yeriakan disusul robohnya empat orang pengeroyok, menjadi korban Pedang Nogo Wilis. Aji juga sudah dikeroyok. Mula-mula Ki Manggala menggerakkan tombaknya. menyerang secara bertubi-tubi. namun dengan mudah Aji dapat menghindarkan diri dari serangkaian serangan tombak itu. Tubuhnya seperti tubuh seekor burung alap-alap ketika dihujani serangan patukan ular, mengelak dengan cepat dan ringan sehingga serangan tombak itu selalu mengenai tempat kosong belaka. Kemudian dia bergerak sambil membalas, dengan tamparan tangan kiri dan tendangan kedua kakinya silih berganti. Dia tidak menggunakan kerisnya karena Aji sama sekali tidak ingin membunuh lawannya. Akan tetapi serangan balasan itu cukup hebat sehingga akhirnya Ki Manggala tidak mampu menghindarkan diri dari sambaran kaki kiri Aji. “Bukk!!” pinggangnya menjadi sasaran tendangan yang dilakukan dengan tubuh miring dan Ki Manggala terpental dan roboh terbanting. Akan tetapi dia memang cukup tangguh. Dia melompat bangun dan menyerang semakin ganas, kini dibantu oleh lima orang anak buahnya, sisa dari mereka yang mengeroyok Sulastri. Terjadilah pertempuran yang hebat di dekat pintu gerbang perkampungan gerombolan itu. Sulastri mengamuk dan pedangnya bergerak semakin ganas, Gulungan sinar ----------------------- Page 514----------------------- ----------------------- Page 515----------------------- http://zheraf.net dihindarkan lagi, golok itu tepat mengenai punggung Ki Sajali, menancap sampai setengahnya. Ki Sajali mengeluarkan teriakan mengerikan dan tubuhnya roboh menelungkup, tewas seketika! “Mari kita kejar mereka, Mas Aji!” seru Sulastri. “Tunggu dulu, Lastri!” kata Aji. “Tunggu apa lagi?” gadis itu mencela. “Jangan biarkan mereka semua lolos. Kita harus membasmi mereka semua!” “Mereka hanya anak buah, Lastri. Lebih baik kita mencari seorang yang dapat membawa kita ke sarang mereka dan bertemu dengan pimpinan mereka. Kita dapat memaksa seorang di antara mereka yang terluka itu.” Pada saat itu, seorang diantara para anak buah gerombolan yang roboh terluka, bangkit berdiri dan dia melarikan diri. Akan tetapi dengan lebih cepat lagi Aji melompat dan tiba di depan orang itu. Ternyata orang itu tidak terluka. Tapi dia roboh pingsan ketika tengkuknya terkena pukulan tangan Aji dan setelah siuman dia berusaha untuk melarikan diri. Akan tetapi alangkah kagetnya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Aji sudah berada di depannya. Karena tidak melihat jalan lain, dia menjadi nekat dan menyerang dengan pukulan ke arah dada Aji. “Wuuuttt ........ plakkk!” Tangan kanan yang memukul itu tertahan dan telah ditangkap tangan kiri Aji yang segera mengerahkan tenaga untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan itu. “Aduhhh ...... aduhhh ...... ampun ...... !” Orang itu berteriak-teriak kesakitan. Sulastri sudah meloncat dekat dan pedangnya menodong lambung orang itu disusul bentakannya. ----------------------- Page 516----------------------- ----------------------- Page 517----------------------- http://zheraf.net “Ada apakah, mengapa kita berhenti di sini?” Tanya Sulastri dan juga tawanan mereka itu memandang wajah Aji dengan sinar mata bertanya. “Kita sudah hampir tiba di puncak, mengapa belum juga sampai di sarang kalian?” Tanya Aji kepada orang itu. “Di manakah sarang gerombolan itu? Jangan coba-coba untuk menipu kami!” Orang itu menggeleng kepala, apa lagi ketika Sulastri memandang kepadanya dengan sinar mata marah dan penuh ancaman. Dia merasa lebih takut terhadap gadis itu daripada Aji. Dia tadi melihat betapa banyak kawan-kawannya yang mengeroyok gadis itu roboh dan mandi darah, terluka parah atau tewas, bahkan Ki Sajali juga tewas oleh gadis itu. Sedangkan para pengeroyok Aji yang roboh tidak terluka parah seperti dia, dan agaknya tidak ada yang tewas. “Tidak, saya tidak berani menipu. dahulu, sarang kami memang berada di hutan sebelah bawah itu. Akan tetapi setelah dua kali kami diserang pasukan Kadipaten Cirebon, pimpinan kami lalu memindahkan sarang kami di lereng balik gunung, di seberang sebuah danau kecil yang terdapat di sana.” “Cepat antar kami ke sana! Ingat, kalau engkau berani menipu kami, aku akan menyayat-nyayat seluruh kulit tubuhmu agar engkau mati dengan tersiksa sekali!” bentak Sulastri. Orang itu mengangguk dan melanjutkan perjalanan. Aji menegerling kepada Sulastri dan mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia tidak setuju dengan sikap dan sepak terjang Sulastri yang demikian ganas, akan tetapi dia tidak berani menegurnya, maklum bahwa teguran akan membuat gadis itu ----------------------- Page 518----------------------- ----------------------- Page 519----------------------- http://zheraf.net itu tentu akan makan waktu lama dan juga amat sukar karena terdapat jalan setapak. “sarang kalian berada di hutan seberang danau itu?” tanyanya. “Benar, denmas,” kata orang itu. “Lihat itu ada asap mengepul. tentu asap dari dapur umum kami.” Dia menuding ke seberang. Aji dan Sulastri melihat itu dan mereka percaya. “Berapa banyaknya anggauta gerombolan?” tanya Sulastri. “Ada lima puluh orang lebih, den roro.” “siapa saja yang menjadi pemimpin mereka?” Aji bertanya. “Pemimpin kami adalah Ki Munding Hideung dan adiknya, Ki Munding Bodas, dibantu oleh lima orang. Kami membangun pondok-pondok kayu di dalam hutan itu.” Matahari telah naik tinggi. “Lastri, kita harus menyeberang.” kata Aji. “Kurasa juga begitu. Akan tetapi dengan apa? Tidak ada perahu di sini.” “Mudah saja. banyak bambu besar tumbuh di sana.” Aji menuding ke kiri. Sulastri maklum. “Heh kamu! Cepat tebang tiga batang pohon bambu besar dan buatkan rakit untuk kami1” bentaknya kepada orang itu. Orang itu mengangguk. “baik, denroro. akan tetapi ........ saya tidak mempunyai alat menebang.” Sulastri mencabut pedang Nogo Wilis. “Aku yang akan menebang. Engkau harus membuatkan rakit untuk kami!” Setelah berkata demikian, gadis itu mengajak anak buah gerombolan itu menghampiri rumpun bambu. Dengan tiga kali ----------------------- Page 520----------------------- ----------------------- Page 521----------------------- http://zheraf.net mencapai seberang. Tiba-tiba tampak bayangan banyak orang bermunculan dari balik batang-batang pohon dan meluncurlah puluhan batang anak panah menyambar ke arah tiga orang yang berada di atas rakit! Karena Sulastri berdiri di bagian depan rakit, tentu saja ia yang lebih dulu menjadi sasaran hujan anak panah itu. Ia memutar pedangnya dan tampak gulungan sinar hijau menjadi perisai dan semua anak panah yang menerjang perisai gulungan sinar hijau itu runtuh dan terlempar ke kanan kiri. Anak buah gerombolan yang melihat penyerangan anak panah ini, berderu ketakutan dan dia sudah melompat ke dalam air, berenang sekuatnya berusaha menjauhi pantai itu. Akan tetapi beberapa batang anak panah menyambar ke arahnya. Terdengar dia menjerit dan dia tenggelam. Tampak gelembung-gelembung di permukaan air yang berwarna agak kemerahan. “Putar terus pedangmu, Lastri!” kata Aji dan pemuda ini mengerahkan tenaganya mendayung sehingga rakit itu meluncur dengan cepatnya ke tepi danau. Anak panah semakin gencar meluncur dan menyerang, namun tidak sebatangpun mampu menerobos gulungan sinar hijau dari Pedang Nogo Wilis yang diputar cepat sekali olah Sulastri. Puluhan batang anak panah itu terlempar ke sana sini, banyak di antaranya patah ketika bertemu sinar hijau. Setelah rakit meluncur dekat, dalam jarak dua tiga meter dari darat, Aji berseru kepada Lastri. “Lastri, kita mendarat!” Aji melompat ke darat sambil memutar dayungnya sedangkan Sulastri melompat sambil memutar pedangnya. Mereka menangkis anak panah yang masih menyerang seperti hujan. Akhirnya mereka tiba dan berdiri di atas tanah. Tidak ----------------------- Page 522----------------------- ----------------------- Page 523----------------------- http://zheraf.net putih (Munding Bodas). Hayo, kutantang kalian untuk bertanding satu lawan satu! Kalau main keroyokan ternyata kalian memang hanya kerbau-kerbau tolol yang pengecut!” Semua anggauta gerombolan itu terbelalak. Belum pernah selama hidup mereka menyaksikan seorang gadis remaja seberani dan segalak ini! Menantang Munding Hideung dan Munding Bodas! Dan menghina mereka lagi, menghina secara keterlaluan dan tidak kepalang tanggung! Bahkan Aji sendiri merasa betapa Sulastri telah menghina orang secara berlebihan, akan tetapi tentu saja dia diam dan hanya waspada, siap menghadapi segala kemungkinan. akan tetapi diam-diam diapun kagum karena dia dapat menduga bahwa kegalakan sikap Sulastri itu memang disengaja untuk memanaskan perut dua orang pemimpin gerombolan agar mereka menyambut tantangannya demi harga diri mereka! Hal ini menunjukkan betapa cerdiknya Sulastri. Dugaan Aji memang tepat dan ternyata akal Sulastri itupun berhasil baik. Wajah Munding Hideung yang hitam itu berubah menjadi semakin hitam dan wajah Munding Bodas yang putih itu kini tampak kemerahan. Dari sinar mata mereka tampak bahwa dua orang benggolan perampok itu marah bukan main mendengar ucapan Sulastri yang amat menghina mereka. Dua orang itu, kakak beradik Munding Hideung dan Munding Bodas, adalah tokoh-tokoh yang mewarisi aji kesaktian dari peninggalan Kerajaan Pajajaran. Guru mereka adalah mendiang Ki Mahesa Sura, seorang datuk yang berasal dari kerajaan Pakuwan (Bogor). Mereka memang digdaya sehingga tidak aneh kalau dua kali serangan pasukan Cirebon dapat mereka pukul mundur. Selain aji kanuragan, yaitu ilmu pencak silat yang disertai penggunaan tenaga sakti, juga mereka ----------------------- Page 524----------------------- ----------------------- Page 525----------------------- http://zheraf.net sepenuhnya sehingga makin lama ilmu itu semakin merosot tingkatnya. Biarpun demikian Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas masih mewarisi aji kesaktian yang cukup hebat, diantaranya mengubah diri menjadi harimau besar yang ganas! Maka, tentu saja mereka menjadi marah sekali ketika ada seorang gadis remaja menghina mereka di depan anak buah mereka. Kemarahan membuat mereka menjadi lengah, kemarahan membuat mereka lupa betapa pembantu mereka, Ki Sajali dikabarkan tewas di tangan gadis ini dan dua puluh lebih anak buah mereka dibuat kocar-kacir, ada yang tewas dan ada yang terluka, sisanya melarikan diri dan melapor kepada mereka berdua. Mereka lupa bahwa mereka kini sedang berhadapan dengan lawan yang sakti mandraguna. Mereka terlalu tekebur dan mengandalkan kekuatan sendiri, memandang rendah kepada orang lain. Dua kakak beradik itu saling pandang dan maklumlah mereka akan isi hati masing-masing, bahwa mereka harus membunuh gadis remaja yang telah melontarkan penghinaan yang amat menyakitkan hati mereka itu. Mereka berkemak- kemik membaca mantera, lalu keduanya mengeluarkan suara gerengan yang menyeramkan. Bukan suara manusia lagi, melainkan suara harimau yang menggereng-gereng marah, lalu suara itu makin meninggi menjadi auman harimau yang menggetarkan hati. Tiba-tiba mereka berdua menurunkan kedua tangan ke atas tanah, seperti merangkak, berjungkir balik tiga kali dan dua orang kakak beradik itu seketika berubah menjadi dua ekor harimau sebesar anak lembu! Dua ekor harimau itu mengaum-aum, mendesis memperlihatkan taring ----------------------- Page 526----------------------- ----------------------- Page 527----------------------- http://zheraf.net Dengan sikap tenang namun suaranya yang lembut penuh wibawa, Aji menjawab. “Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas! Benarkah kalian yang bernama demikian dan menjadi pimpinan gerombolan yang suka mengacau di Kadipaten Cirebon selama ini?” “Benar, kamilah pimpinan gerombolan Munding Hideung! Siapa kalian?” “Aku bernama Lindu Aji dan gadis ini adalah Sulastri. Kami berdua merupakan utusan dari Gusti Pangeran Ratu di Cirebon untuk menangkap kalian yang mendatangkan kekacauan.” “Hoa-ha-ha-ha!” Ki Munding Hideung tertawa bergelak. “Adi Munding Bodas, kamu dengar ocehan bocah ini? Mereka hanya datang berdua tanpa pasukan dan katanya hendak menangkap kita. Ha-ha-ha!” Ki Munding Bodas juga tertawa bergelak. “Heh, kalian dua ekor kerbau gila yang tolol! Apa kalian berani menerima tantanganku tadi untuk bertanding satu lawan satu? Atau kalian adalah pengecut-pengecut yang hendak melakukan pengeroyokan? Kalau begitupun kami berdua tidak takut dan akan membasmi kalian semua!” “Gadis sombong! Aku yang akan menandingimu dan kalau engkau tertawan olehku, engkau harus menghiburku sampai aku merasa bosan dan membunuhmu!” teriak Ki Munding Bodas dan dia sudah menerjang gadis itu menggunakan sebatang senjata ruyung, yakni sebuah penggada terbuat dari galih asem (bagian tengah pohon asam) yang diberi benjol-benjol runcing. Senjata yang menggiriskan ini berat sekali, akan tetapi Ki Munding Bodas dapat menggerakkannya dengan cepat seolah senjata itu hanya seringan kayu. Angin ----------------------- Page 528----------------------- ----------------------- Page 529----------------------- http://zheraf.net yang berbahaya dan mematikan. Terjadilah pertandingan yang seru dan mati-matian. Sementara itu, melihat adiknya sudah saling serang dengan gadis berpedang sinar hijau itu, Ki Munding Hideung lalu mencabut senjatanya, sebatang parang (golok) yang besar dan berat. “Bocah lancing, mampus kau!” bentaknya dan parangnya yang sudah menyambar dengan amat cepat dan kuatnya ke arah leher Aji. Agaknya dia ingin memenggal kepala pemuda itu dengan satu kali bacokan! “Singggg ........ !” Golok itu menyambar lewat atas kepala Aji ketika pemuda ini mengelak dengan merendahkan tubuhnya. Akan tetapi dengan amat cepat, golok itu seperti terbang membalik dan sudah menyambar lagi ke arah dadanya. Bukan main cepatnya gerakan golok di tangan Munding Hideung itu. Namun Aji lebih cepat lagi. Dia sudah melangkah ke belakang sehingga ujung golok menyambar lewat di depan dadanya. Akan tetapi kembali golok itu membalik dan sudah menyerang lagi dengan cepat, menyambar ke arah kedua kaki pemuda itu. Bertubi-tubi datangnya serangan golok, namun Aji yang segera menghadapi serbuan golok itu dengan ilmu silat Wanara Sakti, dapat bergerak lincah dan cepat luar biasa, berloncatan mengelak ke sana-sini sehingga golok itu sama sekali tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Diam-diam Aji harus mengakui bahwa lawannya ini benar-benar memiliki ilmu golok yang amat dahsyat. Maka dia berhati-hati sekali dan menggunakan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri sambil mencari kesempatan dan lowongan untuk merobohkan ----------------------- Page 530----------------------- ----------------------- Page 531----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Tangan itu terbuka dan seperti mendorong ke arah tubuh Ki Munding Bodas. “Haiiiitttt ........ !” Kebetulan Aji mendapat kesempatan melompat ke belakang dan memandang ke arah gadis itu. Mereka dapat terlihat dengan mudah karena berada di puncak tebing. Aji tertegun. Dia mengenal pukulan tangan kiri Sulastri itu. Itu adalah Aji Margopati! Aji yang dikuasai gurunya, akan tetapi yang oleh Ki Tejobudi sengaja tidak diajarkan kepadanya karena aji itu terlalu dahsyat, terlalu ganas, sesuai dengan namanya, Margopati (Jalan Maut). Pukulan itu adalah pukulan maut jarak jauh dan tidak sembarang orang mampu bertahan atau menghindarkan diri dari pukulan maut itu. “Aahhhh ........ !” Tubuh Ki Munding Bodas terjengkang roboh, terjungkal ke bawah tebing sebelah sana. Aji terpaksa mengelak dengan lompatan ke kiri ketika beberapa buah golok menyerangnya. Para anak buah gerombolan sudah mulai mengeroyolnya. Akan tetapi dia sengaja melompat jauh kesamping untuk melihat keadaan Sulastri. Alangkah terkejutnya ketika dia melihat apa yang terjadi di atas puncak tebing itu. Pada saat Sulastri menggunakan Aji Margopati memukul roboh Ki Munding Bodas, belasan orang anak buah gerombolan menyerang Sulastri dengan hujan anak panah! Gadis itu cepat memutar pedang di tangan kanannya, akan tetapi agaknya ia sedikit terlambat karena tadi perbuatannya tercurah kepada Ki Munding Bodas sehingga sebatang anak panah mengenai pundak kirinya dan gadis itu terhuyung ke belakang, tidak menyadari bahwa di belakangnya adalah akhir puncak tebing ----------------------- Page 532----------------------- ----------------------- Page 533----------------------- http://zheraf.net turun dari puncak tebing dan ikut mengeroyok, tetap saja mereka dihajar sampai kocar-kacir oleh Aji. Belum pernah selama hidupnya hati Aji dicengkeram kemarahan seperti itu, kemarahan yang timbul karena kekhawatiran hatinya terhadap Sulastri. Akan tetapi, betapapun marah dan sakit hatinya, tetap saja Aji membatasi tenaganya sehingga para anggauta gerombolan yang dirobohkannya itu tidak ada yang sampai tewas. Mereka hanya menderita patah tulang dan tidak mampu melanjutkan pengeroyokan. Setelah lebih dari tiga puluh orang gerombolan roboh oleh tamparan dan tendangan Aji, sisanya menjadi gentar dan mereka menghentikan pengeroyokan, bahkan mundur menjauhkan diri. Aji tidak memperdulikan mereka lagi. Dia cepat mendaki puncak, dia menjenguk ke bawah tebing sebelah sana dan matanya terbelalak, wajahnya menjadi pucat. tebing itu ternyata curam bukan main! Orang yang terjatuh ke bawah tebing tak mungkin dapat lolos dari maut. Tentu tubuhnya remuk-remuk terhempas ke batu-batu gunung, terguling-guling dan akhirnya terhenti di dasar tebing dalam keadaan remuk! “Sulastri ........ !” Dia mngeluh lirih lalu cepat mencari jalan menuruni tebing. Jalan turun sungguh tidak mudah dan kadang dia harus merayap berpegangan kepada batu-batu gunung yang menonjol dan akar-akar pohon, seperti seekor kera. Tinggi tebing itu tidak kurang dari tiga ratus meter! Di bawah sana, dasarnya tidak tampak karena tertutup daun-daun pohon dan semak-semak belukar. Setelah tiba di bawah, mulailah Aji mencari-cari. Hatinya terasa seperti diremas-remas dan dia merasa ngeri membayangkan akan menemukan tubuh Sulastri dalam keadaan luka-luka parah, berdarah-darah dan remuk, dan tentu ----------------------- Page 534----------------------- ----------------------- Page 535----------------------- http://zheraf.net penuh darah, matanya melotot, dari mulut dan hidungnya keluar darah menghitam, Aji tidak terkejut lagi. Akan tetapi dia mengerutkan alisnya ketika melihat dada yang tidak tertutup baju lagi itu ada tanda telapak tangan menghitam. Itulah aji pukulan Margopati! Dia sudah mendengar banyak tentang aji itu dari mendiang Ki Tejobudi dan kakek itu memang sengaja tidak mengajarkan aji pukulan yang amat keji kepadanya. Agaknya tubuh Ki Munding Bodas terhempas jatuh, terguling- guling dan akhirnya masuk ke dalam semak belukar yang lebat itu, yang kini seolah mengubur jasadnya. Dia melepaskan kuakan pada semak itu yang menutup kembali menyembunyikan mayat itu, dan melanjutkan pencariannya. Akan tetapi, setelah menjelajahi seluruh dasar tebing, memeriksa setiap semak belukar, menjenguk ke jurang-jurang yang berada di bawah tebing, dia tidak dapat menemukan Sulastri! Harapan mulai memenuhi hatinya. Kalau tidak dapat ditemukan jenazahnya, hal itu hanya berarti bahwa gadis itu masih hidup! Akan tetapi, andaikan atas kehendak Gusti Allah Sulastri masih hidup, setidaknya ia tentu terluka dan tidak dapat pergi jauh. Harapan yang timbul ini menggembirakan hatinya dan mulailah dia berteriak memanggil. “Lastri ........ ! Nimas Sulastri ........ !” Karena dia memanggil dengan pengerahan tenaga saktinya, suaranya bergaung di sekeliling lembah. Dia menanti sampai gema suaranya menghilang lalu mengerahkan pendengarannya. Tidak ada jawaban, tidak terdengar gerakan. “Nimas Lastri ........ ! Di mana engkau ........ ?” Kembali dia berteriak, bahkan lebih kuat daripada tadi karena dia mengerahkan seluruh tenaganya. Gaung suaranya juga lebih ----------------------- Page 536----------------------- ----------------------- Page 537----------------------- http://zheraf.net sebagian yang lain melarikan diri, pikirnya. Akan tetapi dia tidak melihat Ki Munding Hideung yang hendak ditangkap dan dibawanya ke Kadipaten Cirebon, diserahkan kepada Sang Adipati. “Di mana Ki Munding Hideung dan para pemimpin yang lain?” Aji bertanya, suaranya mengandung wibawa kuat. “Suruh mereka keluar! Aku ingin bicara dengan mereka.” Aji memandang dan melihat para anggauta gerombolan itu berdiam diri dan hanya menundukkan muka dengan sikap takut-takut. Dia menunggu, akan tetapi sampai lama tidak ada yang berani menjawab pertanyaan itu. Aji menjadi penasaran. Dia dapat menduga bahwa sikap diam mereka itu sama sekali bukan hendak menentang, melainkan karena ketakutan. “Hayo, seorang di antara kalian katakan, di mana adanya para pimpinan kalian itu? jangan takut! Kalau para pimpinan kalian marah, aku yang akan melindungi kalian!” Setelah orang-orang itu saling pandang dan saling berbisik sehingga gaduh, akhirnya seorang anggauta gerombolan yang usianya sekitar lima puluh tahun bergerak maju sambil berjongkok lalu berkata dengan lirih seolah takut kalau sampai terdengar para pemimpinnya. “Denmas, harap ampuni kami. Para pemimpin kami sudah lari meninggalkan kami di sini. Ki Munding Bodas telah terjatuh ke dalam jurang bawah tebing. Ki Munding Hideung dan lima orang pembantunya melarikan diri.” “Ke mana? Ke mana mereka melarikan diri?” tanya Aji. “Kami tidak tahu, denmas. Mereka pergi tanpa pesan dan tidak memberitahukan ke mana mereka melarikan diri.” Aji percaya bahwa para anak buah gerombolan itu tidak berani membohonginya, akan tetapi untuk meyakinkan hatinya, ----------------------- Page 538----------------------- ----------------------- Page 539----------------------- http://zheraf.net mempergunakan kekuatan kalian untuk membela nusa bangsa, untuk membantu Sultan Agung di Mataram, menentang Kumpeni Belanda? Kalaupun hal itu masih belum dapat kalian lakukan, setidaknya kalian harus bekerja baik-bauk, kembali ke jalan benar dan tidak mengganggu rakyat bansa sendiri. Sekali ini aku mengampuni kalian, akan tetapi kalau lain kali aku masih mendapatkan kalian merampok, aku tidak akan mengmpuni lagi dan akan membasmi dan membunuh kalian semua!” “Terima kasih atas kebijaksanaan denmas!” kata anggauta tua itu dan semua anggauta gerombolan itupun bergumam menghaturkan terima kasih mereka. “Sekarang aku minta bantuan kalian.” kata Aji. “Kalian yang tidak terluka, harap mencari jalan menuruni tebing ini dan mencari temanku, gadis yang terjungkal ke bawah tebing tadi sampai dapat kalian temukan. Aku akan menanti di sini dan tinggal di rumah ini.” Dia menunjuk rumah bekas tempat tinggal Ki Munding Hideung. Para anggauta gerombolan menjadi girang bukan main karena mereka diampuni, maka mendengar permintaan Aji itu, berbondong-bondong mereka lalu mencari jalan untuk menuruni tebing, tentu saja dengan jalan memutar karena menuruni tebing seperti yang dilakukan Aji tadi, tak sanggup mereka melakukannya. Aji lalu memasuki rumah induk gerombolan itu dan mengaso. Dia duduk bersila dan termenung. Wajah Sulastri selalu terbayang di depan matanya, apa lagi bayangan yang menggambarkan jatuhnya gadis itu ke bawah tebing. Dia selalu gagal dalam Samadhi karena pikirannya tak pernah dapat menghilangkan bayangan gadis itu. perasaan hatinya tertindih ----------------------- Page 540----------------------- ----------------------- Page 541----------------------- http://zheraf.net hari mencari-cari jejak Sulastri. Akan tetapi ternyata sia-sia belaka. Para anggauta gerombolan hanya menemukan mayat Ki Munding Bodas saja. Akan tetapi seorang dari mereka menemukan pedang Sulastri dan menyerahkan kepada Aji. Aji menerima Pedang Nogo Wilis itu, mengamatinya dengan hati penuh tanda tanya. Pedang dapat ditemukan, berarti Sulastri tentu terjatuh di sana pula, tak jauh dari pedangnya. Akan tetapi kenapa mereka tidak dapat menemukan Sulastri? Secercah sinar harapan menerangi hatinya. Sulastri tidak ada, juga tidak ditemukan bekas-bekas darah. ini hanya mempunyai satu arti, yakni bahwa gadis itu tentu masih hidup dan pergi dari dasar tebing itu. Akan tetapi kenapa pedang pusakanya ditinggalkan? Dan kenapa gadis itu tidak mendaki tebing lagi untuk menemuinya? Dia yakin, Sulastri pasti masih hidup. Akan tetapi bagaimana caranya gadis itu menyelamatkan diri, dan ke mana kini berada, menjadi pertanyaan yang selalu bergema dalam benaknya dan tidak dapat dia menjawabnya. Aji membawa Pedang Nogo Wilis dan memasuki rumah, tepekur di dalam rumah itu sampai lama. Berbagai pertanyaan mengaduk benaknya. Sulastri hilang secara aneh. Sulastri mampu melakukan pukulan dengan Aji Mardopati! Sungguh aneh sekali. Dia lalu merenung tentang kematian, dan tentang kedukaan karena ditinggal mati orang yang dikasihi. Dia merasa yakin bahwa kematian bukan merupakan akhir segalanya. Memang kehidupan sebagai manusia dengan jasmani ini berakhir setelah mati, akan tetapi kematian adalah kelanjutan dari kehidupan ini. Kematian di dunia ini merupakan awal suatu keadaan yang baru. Suatu kehidupan baru dalam alam lain yang merupakan awal suatu keadaan ----------------------- Page 542----------------------- ----------------------- Page 543----------------------- http://zheraf.net Ketika sang adipati hendak memberi ganjaran, Aji menolak dengan halus dan diapun berpamit, meninggalkan kadipaten, menunggang kuda pemberian sang adipati yang kedua kalinya. Biarpun dia sudah menerima musibah yang menimpa Sulastri denngan segala kepasrahan, namun tetap saja dia merasa kesepian dan kehilangan sekali ketika meninggalkan pintu gerbang Kadipaten Cirebon. Dia merasa seolah ada sesuatu yang hilang, yang membuat hidup ini rasanya tidak lengkap lagi. bahkan ada rasa penyesalan besar dalam hatinya, seolah dia merasa bahwa dialah yang menyebabkan Sulastri mati. Kalau gadis itu tidak ikut dengannya tidak melakukan perjalanan bersamanya, belum tentu gadis itu akan tewas. Sejak gadis itu ikut melakukan perjalanan bersama dia, Sulastri selalu mengalami ancaman maut dan menderita. Ia pernah diserang racun penghancur tulang oleh Nyi Maya Dewi yang jahat. Kemudian ia juga keracunan oleh air yang disuguhkan Ki Sajali pembantu Ki Munding Hideung itu, dan sekarang dia bahkan terkena anak panah dan terjungkal ke bawah tebing yang amat tinggi. *** JILID XVI ulastri tentu tewas, hal itu tidak dapat diragukan lagi. Orang yang terjatuh dari tempat begitu tinggi, biar ia S seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekalipun, sulitlah akan dapat terlepas dari cengkeraman maut. Tentu saja ada kekecualian, yaitu kalau Kekuasaan Gusti Allah bekerja, maka tidak ada yang tidak mungkin bagi Kekuasaan gusti ----------------------- Page 544----------------------- ----------------------- Page 545----------------------- http://zheraf.net tidak akan mampu menghindarkannya dari sengatan maut yang mematikannya. Sudah menjadi kenyataan bahwa Gusti Allah menghendaki Sulastri hidup. Buktinya, ia tidak mati walaupun terjatuh dari atas tebing yang begitu tinggi. Ia jatuh membentur-bentur dinding karang, bahkan kepalanya terbentur keras sehingga ia pingsan sebelum mencapai dasar tebing. Dan anehnya, beberapa meter sebelum terbanting remuk di atas batu di dasar tebing, tiba-tiba luncuran tubuhnya terhenti karena bajunya tersangkut pada akar pohon besar yang mencuat dari dinding tebing seperti sebuah ujung tombak yang ada kaitannya! Tubuhnya tergantung di situ, bajunya terkait dan ia sama sekali tidak bergerak karena dalam keadaan pingsan. Dahinya dekat pelipis kiri berdarah. “Heh-heh-heh, bocah denok ayu kok menggantung diri di situ!” terdengar suara orang terkekeh. Dia seorang kakek yang usianya tentu sudah hampir tujuh puluh tahun, tubuhnya kurus kering dan bongkok, tangan kirinya ceko dan mukanya mengingatkan orang akan tokoh Pendito Durno penasihat kerajaan Ngastino. Akan tetapi biarpun tangan kirinya ceko dan kaki kanannya agak pincang seperti tokoh Gareng dalam cerita wayang, dia dapat bergerak dengan cekatan sekali ketika mendaki tebing. Gerakannya ringan dan sebentar saja dia sudah sampai di tempat di mana Sulastri tergantung pada akar pohon. “Uh-uh, perawan kinyis-kinyis, sayang sekali kalau mati di sini!” kata pula kakek itu. Kemudian dengan tangan kanannya dia melepaskan baju Sulastri dari kaitan akar pohon dan memondongnya lalu turun lagi seperti seekor monyet. Kalau ada yang melihatnya tentu akan terheran-heran. Bagaimana mungkin seorang kakek yang ceko dan pincang ----------------------- Page 546----------------------- ----------------------- Page 547----------------------- http://zheraf.net Kasihan engkau perawan denok ayu, aku akan mengobatimu!” Dia lalu keluar dari pondok dan mencari Widoro Upas, lalu dibawanya kembali ke pondok. Dengan jari-jari tangannya dia meremas Widoro Upas itu sampai hancur, lalu mencampurkannya dengan beberapa tetes madu dan mengoleskan campuran itu ke luka di dahi Sulastri. Setelah itu dia duduk di tepi dipan dan mengamati wajah yang cantik jelita itu. Biarpun rambut Sulastri terurau lepas dan pakaiannya cabik-cabik dan awut-awutan, namun kecantikannya bahkan tampak lebih menonjol. “Huh-huh, sungguh ayu manis, kinyis-kinyis merak ati ........ !: Kakek itu berkata, matanya bersinar-sinar penuh gairah, beberapa kali menelan air liurnya dan dia sudah menggerakkan kedua tangannya untuk menggerayangi tubuh muda yang menggairahkan hati dan menimbulkan nafsunya itu. “Puuuunten ........ !’ Terdengar suara orang beruluk salam dari luar pintu. Kedua tangan yang sudah bergerak ke depan itu tertahan dan kakek itu bangkit, bersungut-sungut. “Hemmm, siapa yang datang menggangguku?” Agaknya orang yang datang itu mendengar gerutunya. “Bapa Guru, saya yang datang!” “Uh-huh, kiranya engkau, munding hideung. Masuklah!” Yang datang itu memang Munding hideung. Dia masuk pondok itu dengan langkah terhuyung dan ketika sudah masuk di ruangan depan, dia segera menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil mengerang kesakitan. kakek itu keluar dari dalam kamar dan melihat wajah yang hitam itu kini tampak agak pucat dan wajah muridnya ang tinggi besar itu menyeringai kesakitan, dia segera menghampiri. ----------------------- Page 548----------------------- ----------------------- Page 549----------------------- http://zheraf.net yang patah. Ki Munding Hideung menggigit bibir menahan sakit sampai peluh keluar dari mukanya. Setelah itu, kakek itu mengoleskan bubukan obat itu ke kedua pundaknya, lalu membebatnya dengan kulit pohon randu dan diikat dengan kain. Memang hebat sekali kemanjuran pengobatan kakek itu. Biarpun tulang-tulang pundaknya masih belum pulih, namun Ki Munding Hideung sudah mampu menggerakkan kedua lengannya! “Nah, ceritakan apa yang terjadi, “ kata Panembahan Kolo Srenggi sambil duduk di kursi depan Munding Hideung. Ki Munding Hideung menghela napas panjang. “Kami mengalami kesialan, bapa guru. Dua orang utusan Adipati Cirebon, seorang pemuda dan seorang gadis, tiba-tiba menyerbu perkampungan kami. mereka itu sakti mandraguna sehingga banyak anak buah kami yang tewas dan terluka. bahkan Adi Munding Bodas juga terjatuh ke bawah tebing. Kami berhasil membuat gadis itu terjungkal ke bawah tebing dan tentu mampus. Akan tetapi pemuda itu sakti sekali sehingga kedua tulang pundakku patah oleh serangannya dan terpaksa kami melarikan diri karena kalau tidak kami semua habis dibunuhnya.” “Wah-wah, hanya dua orang saja dan kalian yang puluhan orang banyaknya sampai kalah? Siapakah dua orang utusan Adipati Cirebon itu?” “Pemuda itu bernama Lindu Aji dan gadis itu bernama Sulastri.” “Hemmm, sudah berapa kali kuperingatkan kalian agar tidak membuat kekacauan di daerah Cirebon. sang Adipati Pangeran Ratu adalah keturunan mendiang Sunan Gunung Jati, ----------------------- Page 550----------------------- ----------------------- Page 551----------------------- http://zheraf.net terbentur-bentur dinding tebing. Luka itu tidak terlalu dalam dan Panembahan Kolo Srenggi lalu mengobatinya dengan ramuan Widoro Upas dan Madu yang masih tersisa. “Bapa Guru, berikan gadis ini kepada saya! Saya akan memperisterinya, selain untuk kesenanganku karena saya belum mempunyai pendamping yang begini cantik dan sakti, juga untuk membalas dendam atas kematian Adi Munding Bodas di tangannya!” “Heh-heh-heh, engkau mau enaknya saja!” kata Panembahan Kolo Srenggi. “Akan tetapi karena aku sekarang sudah terlalu tua dan tidak tertarik lagi kepada yang denok ayu, boleh engkau memiliki dia, sekedar untuk menghibur hatimu yang berduka karena malapetaka yang menimpa diri dan perkumpulanmu.” “Terima kasih, bapa guru, terima kasih!” kata Munding Hideung dan bagaikan seekor singa kelaparan melihat seekor domba betina muda yang lunak dagingnya, dia segera membuat gerakan ke arah dipan seperti hendak menubruk tubuh Sulastri. Agaknya dorongan gairah nafsunya membuat dia lupa diri, tidak perduli lagi bahwa di situ terdapat gurunya dan dia hendak menyalurkan gairah nafsunya pada saat itu juga. Panembahan Kolo Srenggi, yang di waktu mudanya juga seorang hamba nafsu yang tersesar jauh dari jalan benar, hanya terkekeh seolah merasa lucu, bahkan ingin menikmati kejadian lucu dan menyenangkan yang akan terjadi di depan matanya. Pada saat jari-jari kedua tangan Munding Hideung sudah hampir menyentuh dada Sulastri, tiba-tiba tubuh gadis itu berbalik, menelungkup lalu seperti merangkak dan terdengarlah lengkingan yang demikian kuatnya sehingga seluruh pondok seperti terguncang hebat! Gadis itu telah sadar ----------------------- Page 552----------------------- ----------------------- Page 553----------------------- http://zheraf.net mengeroyok karena tulang pundaknya belum sembuh, akan tetapi Panembahan Kolo Srenggi sudah menggerakkan sebuah tongkat berbentuk ular yang panjangnya sama dengan tubuhnya. Gerakan tongkat ular ini cepat sekali dan mengandung tenaga sakti. Sulastri melawan mati-matian. Ia tidak bersenjata dan kepalanya masih terasa pening karena luka di dahi dan pundaknya. Bahkan luka di pundak kiri membuat gerakannya menjadi kaku dan lambat. Dan pada saat itu gadis itu bergerak menurutkan naluri saja karena ia tidak mampu mempergunakan akal pikirannya. Semua tampak tak berarti dan tidak dimengerti, membuatnya bingung, hanya nalurinya mengatakan bahwa ia berhadapan dengan musuh-musuh yang berbahaya dan yang hendak mencelakainya, maka ia melawan mati-matian. Bagaimanapun juga, karena ternyata Panembahan Kolo Srenggi itu sakti dan gerakan tongkat ularnya amat berbahaya, sedangkan lima orang pembantu itupun cukup tangguh, maka Sulastri terdesak hebat dan sudah dua kali pinggang dan pahanya terkena gebukan tongkat kakek itu. Untung baginya bahwa berkali-kali Ki Munding Hideung berteriak kepada para pembantu dan gurunya agar jangan membunuh gadis itu, melainkan menangkapnya. Tentu saja Sulastri yang masih pening dan lemas itu, juga seluruh tubuhnya terasa nyeri karena tadi terbentur-bentur dinding karang, menjadi sibuk sekali dikeroyok enam orang itu. Pada saat itu tampak berkelebat bayangan orang dan muncullah seorang laki-laki muda. Usianya masih muda sekali, paling banyak dua puluh dua tahun. Pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi. Bentuk tubuhnya sedang saja namun gerak geriknya sigap. Wajahnya tampan dan sinar matanya ----------------------- Page 554----------------------- ----------------------- Page 555----------------------- http://zheraf.net tongkatnya, namun pemuda itu dengan tangkas telah menyerangnya mendesaknya dengan hebat. Bukan hanya keris di tangan kanan pemuda itu yang amat tangguh, akan tetapi tangan kirinya juga memukul dengan tenaga pukulan yang dahsyat sekali. Sementara itu, Sulastri yang kini hanya tinggal menghadapi tiga orang pengeroyok, mengamuk hebat. Ia dapat menyambar golok yang terlepas dari tangan seorang di antara dua orang yang roboh tewas di tangan pemuda itu dan dengan golok ini iapun mengamuk. Gerakannya ganas dan cepat sekali dan dalam waktu singkat goloknya yang menyambar-nyambar ganas itu berturut-turut merobohkan tiga orang pengeroyoknya. Tiga orang pengeroyok itu roboh mandi darah dan tewas. Sementara itu, pertandingan antara Panembahan Kolo Srenggi melawan Pemuda itupun berlangsung seru. Akan tetapi kini jelas tampak betapa kakek itu terdesak hebat, terutama sekali oleh dorongan tangan kiri pemuda itu yang mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. “Heh, mampus kau!” kakek itu membentak dan tongkat ularnya yang sudah putus itu menyambar dahsyat. pemuda itu tidak menghindar ke belakang, bahkan maju mendekat dan tangan kirinya berhasil menangkap tongkat, lalu tangan kanan yang memegang keris menusuk. Keris pusakanya tepat menghunjam ke dada yang kerempeng itu. Panembahan Kolo Srenggi menjerit dan melepaskan tongkatnya, menggunakan tangan kiri mendekap dadanya yang terluka dan diapun terhuyung roboh telentang, tewas tak lama kemudian. Melihat betapa lima orangnya sudah roboh semua, bahkan guruna juga tewas, Ki Munding hideung cepat menggerakkan kakinya melarikan diri. akan tetapi karena ----------------------- Page 556----------------------- ----------------------- Page 557----------------------- http://zheraf.net “Terima kasih atas petolonganmu, ki sanak. Akan tetapi luka-luka ini ........ “ Ia meraba dahi dan pundak kirinya yang terluka. “ ...... kukira bukan mereka yang melukaiku. Ketika bertempur tadi aku tidak merasa dilukai mereka ...... “ “Kalau begitu, mengapa dahi dan pundakmu terluka? Siapa yang telah melukaimu?” Sulastri mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu ...... “ Pemuda itu menatap wajah Sulastri dengan heran. Bagaimana orang sampai tidak tahu apa yang menyebabkan ia terluka seperti ini? Dia lalu memandang kepada mayat orang- orang yang tadi mengeroyok gadis itu. “Siapakah mereka ini? Dan mengapa mereka mengeroyokmu?” Sulastri memandangi mayat-mayat itu satu demi satu dengan penuh perhatian, akan tetapi slisnya berkerut dan ia memandang kembali kepada pemuda itu lalu menggeleng kepalanya. “Aku tidak mengenal mereka dan tidak tahu mengapa mereka mengeroyokku ........ “ Pemuda itu menjadi semakin heran, “Ah, aneh sekali. Andika tidak mengenal mereka akan tetapi mengapa mereka mengeroyok andika? Sungguh jahat orang-orang ini. Akan tetapi, kalau boleh aku mengetahui, nona. Siapakah namamu dan bagaimana bisa sampai bisa sampai ke tempat ini?” Mendengar pertanyaan itu, Sulastri memandang pemuda itu dengan bingung. melihat sikap Sulastri, pemuda itu tersenyum maklum. Memang tidak pantas kalau seorang gadis memperkenalkan diri lebih dulu kepada seorang pemuda. “perkenalkanlah, nimas, aku bernama Jatmika dari Banten, akan tetapi sekarang aku telah pindah dan tinggal di dermayu. ----------------------- Page 558----------------------- ----------------------- Page 559----------------------- http://zheraf.net tampak sedih sekali dan minta tolong kepadanya untuk memberi tahu siapa ia. jatmika segera dapat menduga apa yang telah terjadi dan menimpa gadis itu. Mungkin luka di dekat pelipis itu, pikirnya. Gadis itu tentu telah menerima pukulan keras didahinya sehingga isi kepalanya mengalami guncangan hebat dan agaknya hal itu membuatnya melupakan segala hal! Dia merasa iba sekali dan kecerdikannya membuat Jatmika cepat mengambil keputusan ketika dia menjawab dengan sura lembut menghibur. “Ah, sekarang aku ingat, nimas! Namamu adalah Listyani dan biasa engkau dipanggil Eulis! dan aku tahu bahwa engkau datang dari daerah Cirebon walaupun aku tidak tahu tepatnya di mana karena aku belum pernah berkunjung ke rumahmu.” “Listyani ...... ? Eulis ...... ?” sulastri berkata perlahan seolah hendak menghafalkan nama itu. “kenapa aku dapat melupakan nama sendiri? Ah, engkau tentu benar, kakangmas Jatmika. engkau telah menyelamatkan aku. Engkau baik sekali kepadaku, tentu engkau tidak berbohong! Namaku Listyani, biasa disebut Eulis. Ya-ya ...... namaku bagus! akan tetapi siapa orang tuaku? Apa yang telah terjadi denganku selama ini? Aku telah lupa sama sekali!’ Jatmika tidak menjadi bingung. dia tersenyum. “Mana aku tahu, nimas Eulis? Kita baru saja berkenalan dan aku hanya mengetahui namamu saja. Engkau belum pernah menceritakan padaku tentang orang tuamu dan segala hal mengenai dirimu. Engkau agaknya mengalami pukulan yang cukup parah. Aku mengerti sedikit tentang pengobatan. Mari, biarkan aku memeriksa luka-lukamu, nimas. Akan tetapi jangan di sini. Tempat ini menyeramkan dengan mayat-mayat ----------------------- Page 560----------------------- ----------------------- Page 561----------------------- http://zheraf.net Eulis, “Marilah kita meninggalkan tempat ini, mencari tempat yang lebih bersih untuk bercakap-cakap.” “Bercakap-cakap?” Sulastri bertanya karena ia sendiri bingung, sama sekali tidak ingat akan apa yang telah dilakukan, dan tidak tahu apa yang sedang dan akan dilakukan. Ia sama sekali lupa akan segala hal mengenai dirinya. “Ya, bercakap-cakap ...... maksudku ...... aku harus memeriksa luka-lukamu dan mencoba untuk mengobatinya. Marilah, nimas,” kata Jatmika dengan lembut. Eulis mengangguk dan mengikuti pemuda itu meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian tibalah mereka di tepi sebuah sungai kecil. Sungai itu tidak banyak airnya, akan tetapi air yang mengalir di antara batu-batu itu jernih sekali. Sawah ladang membentang luas dan dari jauh tampak beberapa orang petani mencangkul di sawah. “Nah, mari kita duduk di sini dan aku akan memeriksa luka-lukamu, nimas,” kata Jatmika. Eulis mengangguk lalu duduk di atas sebuah batu yang rata. Jatmika menghampiri. “Maafkan aku, nimas,” katanya sopan sebelum dia memeriksa luka di dahi dekat pelipis itu. Luka itu memang tidak terlalu besar, akan tetapi cukup dalam dan melihat warna biru kehitaman di sekeliling luka, mudah diduga bahwa dahi itu terkena pukulan benda yang keras dan kuat sekali sehingga menggetarkan otaknya. “Bagaimana rasanya luka di dahi ini, Nimas Eulis?” “Rasanya agak pusing dan panas, “ kata Eulis. “Hemm, panas, ya?” Jatmika mengerutkan alisnya. “Tunggu, aku hendak mencari daun bayam dan madu. Dan luka di pundak ini ...... hemm, maafkan kelancanganku, nimas,” kata Jatmika dan tidak jadi menyentuh luka itu yang ----------------------- Page 562----------------------- ----------------------- Page 563----------------------- http://zheraf.net tiga hari saja luka-luka itu telah sembuh dan Eulis tidak merasa nyeri lagi. Hanya ingatannya yang belum kembali. Ia sama sekali lupa akan masa lalunya. Ia seolah hidup baru dan kehidupannya mulai dari pertemuannya dengan Jatmika! Ia hanya ingat bahwa ia dikeroyok enam orang lalu ditolong Jatmika, sejak saat itu sampai sekarang. Itulah saja yang dapat diingatnya! Set elah melihat keadaan Eulis sudah sembuh benar, mulailah Jatmika merasa bingung sendiri. Apa yang harus dilakukan terhadap gadis itu? Gadis itu kehilangan ingatan, tidak ingat lagi siapa dirinya dan siapa pula orang tuanya, tidak tahu di mana tempat tinggalnya. Tentu saja dia tidak dapat meninggalkan Eulis begitu saja! Gadis itu akan menjadi terlantar walaupun ia sakti dan tampaknya juga cerdik. Sore pada hari ketiga di rumah Ki Lurah itu, Jatmika mengajak Eulis untuk duduk berdua saja di dalam kebun belakang rumah Ki Lurah. Tuan rumah dan ----------------------- Page 564----------------------- ----------------------- Page 565----------------------- http://zheraf.net minta bantuan dari mana saja, kemudian tampak bingung dan akhirnya ia menghela napas dan menggeleng kepalanya. “Aku sungguh tidak tahu, kakangmas. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tidak tahu ke mana aku harus pergi. Akan tetapi yang jelas, aku harus pergi meninggalkan rumah Ki Lurah ini dan aku akan pergi, entah ke mana. Aku akan menghadapi ketidakpastian itu dengan berani!” “Engkau akan mencari orang tua dan tempat tinggalmu?” “Aku tidak ingat siapa orang tuaku dan di mana tempat tinggalku, akan tetapi aku tahu bahwa namaku Listyani dan panggilanku Eulis. Siapa tahu akan ada yang mengenalku dan memberitahu di mana dan siapa orang tuaku.” Jatmika menatap wajah ayu itu dan merasa kasihan sekali. Dia tidak tega untuk mengatakan bahwa nama Listyani atau Eulis itu sesungguhnya hanyalah nama pemberiannya, bukan nama aseli gadis itu! “Nimas Eulis, aku bersedia untuk membantumu, mencari orang tua dan tempat tinggalmu sampai dapat. Akan tetapi sungguh sayang, saat ini aku terpaksa tidak dapat menyertaimu karena aku mempunyai tugas kewajiban yang teramat penting.” Tadinya hati Eulis merasa girang sekali mendengar pemuda itu hendak membantunya mencari orang tuanya, akan tetapi ia kecewa mendengar lanjutan kalimat itu bahwa Jatmika tidak dapat menyertainya karena mempunyai tugas yang penting sekali. “Tugas penting apakah itu, kakangmas Jatmika? Engkau sudah menolongku, maka aku akan merasa girang ----------------------- Page 566----------------------- ----------------------- Page 567----------------------- http://zheraf.net dan kupatuhi di dunia ini, maka aku harus menaati pesan dan perintah mereka.” Sulastri memandang wajah pemuda itu dengan kagum. “Ah, ternyata engkau seorang yang berbakti sekali, kakangmas. Siapakah ayah dan eyangmu itu?” “Ayahku bernama Ki Sudrajat. Ibuku telah meninggal dunia dua tahun yang lalu. Tadinya ayah dan aku tinggal di Banten. Akan tetapi sekarang kami tinggal di pantai Dermayu untuk menemani eyang yang sudah tua sekali. Tadinya ayah sendiri yang pergi ke Dermayu, aku menyusul tak lama kemudian. Setelah tinggal di sana beberapa minggu, aku merasa tidak betah karena menganggur, maka aku berpamit hendak pergi merantau. Lalu ayah dan eyang memberi tugas ini kepadaku.” “Engkau belum mengatakan siapa nama eyangmu, kakangmas.” “O, ya, eyang bernama Ki Ageng Pasisiran dan dia sudah tua sekali, maka perlu ditemani ayahku.’ Ingatan Sulastri ternyata telah terhapus sama sekali sehingga nama gurunya inipun sama sekali tidak teringat olehnya. Ia seperti seorang hidup baru dan yang diketahuinya hanyalah bahwa ia bernama Listyani atau Eulis dan satu- satunya orang yang dikenalnya hanyalah Jatmika! “Dan apa tugas yang penting itu?” tanyanya. “Menurut ayah dan eyang, pada saat ini Kadipaten Sumedang sedang menghadapi pemberontakan yang kabarnya dipimpin oleh orang-orang yang sakti. karena antara eyang dan Sang Adipati di Sumedang masih ada hubungan sanak keluarga walaupun sudah jauh, maka eyang menuruh aku agar pergi ke ----------------------- Page 568----------------------- ----------------------- Page 569----------------------- http://zheraf.net Ketika Aji memasuki kadipaten Cirebon, dia melihat keadaan kota itu ramai dan makmur, seperti keadaan kota-kota pasisir pada waktu itu. Perdagangan agak ramai di kota Cirebon dan terdapat toko-toko bangsa Cina yang menjual berbagai barang yang tidak tedapat di pedalaman. Juga keadaan kota itu biasa saja, seolah tidak ada persiapan menghadapi perang besar yang direncanakan Sultan Agung untuk menyerang Kumpeni Belanda di Batavia. Pada hal, menurut keterangan yang dia dengar dari Suroantani, Adipati atau Raja di Cirebon sudah merupakan sekutu yang mengakui kekuasaan Mataram. Dia mencari keterangan dari penduduk tentang kota Dermayu dan setelah mendapat petunjuk lengkap, berangkatlah dia ke Dermayu dengan maksud mencari Ki Subali, ayah Sulastri. Setelah memasuki Dermayu (Indramayu), dia bertanya- tanya dan semua orang tahu siapa ki subali dan di mana rumahnya. Ki Subali adalah seorang dalang, satrawan dan seniman yang terkenal, bukan hanya Dermayu, bahkan terkenal sampai ke kota raja Cirebon. Setelah mendapat keterangan, siang hari itu Aji langsung saja berkunjung ke rumah Ki Subali. Rumah itu cukup besar dan terbuat dari kayu jati. Hal ini menunjukkan bahwa pemiliknya seorang yang memiliki penghasilan cukup. Di pekarangan depan terdapat taman bunga yang terawat oleh tangan-tangan mungil Sulastri! Dia memasuki pintu pagar yang tidak terjaga, melangkah di atas jalan berkerikil di tengah taman pekarangan. Keharuman bunga mawar daan melati menyambutnya dan kembali keharuman ini mengingatkan dia akan Sulastri yang suka menyelipkan bunga mawar dan melati ke rambutnya. ----------------------- Page 570----------------------- ----------------------- Page 571----------------------- http://zheraf.net “Maafkan saya, bibi. Saya bernama Lindu Aji dan kalau diperkenankan, saya mohon bertemu dengan Paman Subali. Benarkah ini rumah kediman Paman Subali?” Wanita itu adalah istri ki subali. Ia senang melihat sikap dan mendengar jawaban Aji yang demikian lembut dan sopan. “Benar, anakmas, ini adalah rumah kediaman Ki Subali dan aku adalah isterinya.” “Ah, maaf, kanjeng bibi. Terimalah, hormat saya,” kata Aji sambil membungkuk dengan sikap hormat. “Andika hendak bertemu dengan Ki Subali? Masuklah dan duduklah, anak mas. Tunggulah sebentar, aku akan memberitahu kepadanya.” Wanita itu mempersilakan Aji duduk di atas kursi yang terdapat di serambi itu. “Terima kasih, kanjeng bibi,” kata Aji dan diapun duduk di atas kursi serambi, menghadap ke arah pintu yang menembus ke dalam yang dimasuki wanita itu. Tak lama kemudian muncullah seorang laki-laki di ambang pintu. Usianya sekitar lima puluh tahun, beberapa tahun lebih tua dari wanita tadi, tubuhnya agak jangkung kurus, wajahnya membayangkan kesabaran dan sinar matanya tajam. Gerak-geriknya lembut ketika dia keluar dari pintu, memandang kepada Aji dengan mulut terhias senyum lembut. Aji cepat bangkit berdiri dan membungkuk hormat kepada pria itu. “Maafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu, paman. Apakah kanjeng paman ini yang bernama Ki Subali, ayah dari nimas Sulastri?” Wajah itu berseri gembira. “Ah, andika mengenal Sulastri? Benar, ia adalah anak tunggal kami dan sudah agak ----------------------- Page 572----------------------- ----------------------- Page 573----------------------- http://zheraf.net tiba di Loano dan berkenalan dengan adik paman yang bernama Ki Sumali, dan kami menjadi sahabat. Saya membantu Paman Sumali melawan orang-orang jahat yang hendak memaksanya bersekutu dengan mereka untuk menentang Mataram. Paman Sumali menolak dan terjadi pertempuran. Saya membantunya dan pada saat itu muncul Nimas Sulastri yang segera membantu kami. Akhirnya musuh dapat diusir pergi dan kami kembali ke rumah Paman Sumali. “Ah, jadi Lastri telah bertemu dengan pamannya dengan selamat. Bagus sekali kalau begitu.” kata Ki Subali. “Kemudian bagaiman, anakmas? Apakah masih berada di rumah Adi Sumali?” Tanya Nyi Subali. Aji menghela napas. Saat yang paling sulit untuk bicara tiba. Akan tetapi dia harus menceritakannya, tak mungkin mengelak lagi. “Ketika saya berpamit kepada Paman Sumali untuk melanjutkan perjalanan saya ke barat, tiba-tiba Nimas Sulastri menyatakan untuk melakukan perjalanan bersama karena katanya iapun hendak pulang ke Dermayu. Paman Sumali dan isterinya tidak mampu menahannya, dan saya sendiri tentu saja tidak dapat menolak keinginannya. Maka, kami berdua lalu melakukan perjalanan bersama.” Ki Subali tersenyum. “Ah, Adi Sumali telah menikah? Bagus sekali! Dan mana kalian semua mampu menghalangi kehendak Sulastri? Anak itu kalau sudah mempunyai keinginan, siapapun tidak akan dapat mencegahnya! Lalu bagaimana, anakmas? Kalau kalian melakukan perjalanan bersama, bagaimana sekarang engkau datang ke sini tanpa Sulastri?” Pertanyaan terakhir ini mulai dilontarkan Ki Subali dengan alis berkerut karena dia mulai merasa heran dan ----------------------- Page 574----------------------- ----------------------- Page 575----------------------- http://zheraf.net “Ah, jahat sekali perempuan itu!” teriak Nyi Subali. “Karena itu kami berdua tak berdaya dan terpaksa menurut saja ketika ditawan dan dibawa ke kapal. Setelah merencanakan siasat, malam itu kami berdua bergerak. Kami membakar kapal dan saya menangkap Kapten de Vos! Dengan kapten itu sebagai sandera, saya dapat memaksa Nyi Maya Dewi menyerahkan obat penawar bagi racun di tubuh Nimas Sulastri dan kami dapat melarikan diri dengan perahu yang mereka sediakan sambil membawa Kapten de Vos sebagai sandera.” “Bagus! Siasat yang bagus sekali!” seru Ki Subali gembira. “Dan bagaimana dengan keracunan anakku? Apakah dapat disembuhkan? Tanya Nyi Subali. “Kami mendapat obat penawar itu dan ternyata manjur. Nimas Sulastri dapat disembuhkan.” “Dan bagaimana dengan Belanda tawananmu itu?” Tanya Ki Subali. “Sulastri tentu membunuhnya!” “Tidak, paman. Saya mencegahnya dan kami membebaskannya, sesuai dengan yang telah kami janjikan ketika kami menawannya dan minta obat penawar.” Ki Subali mengangguk-angguk. “Bagus, memang kita harus memegang janji. Akan tetapi di mana Sulastri sekarang?” “Setelah kami berdua bebas, kami melanjutkan perjalanan dan setibanya di Kadipaten Cirebon, kami pergi menghadap Gusti Pangeran Ratu, adipati Cirebon untuk menceritakan tentang kapal Kumpeni itu dan tentang nama orang-orang yang menjadi antek Kumpeni Belanda agar Kadipaten Cirebon siap menghadapi orang-orang berbahaya yang mengkhianati nusa dan bangsa itu.” ----------------------- Page 576----------------------- ----------------------- Page 577----------------------- http://zheraf.net panah oleh anak buah gerombolan. Saya melihat sebatang anak panah mengenai pundaknya dan ia ...... ia ...... “ “Ia mengapa?” Ki Subali membentak dan wajah isterina menjadi pucat sekali. “Kenapa anakku sulastri?” teriak wanita itu, bangkit berdiri. Aji menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata mereka dan berkata lirih. “ ...... ia ...... terjatuh ke bawah tebing itu ...... “ “Aaaaiiiihhhh ...... “ jerit melengking ini disusul robohnya tubuh Nyi Subali. Suaminya cepat merangkulnya sehingga wanita yang pingsan itu tidak sampai terbanting roboh. Dengan bantuan Aji, wanita yang pingsan itu lalu diangkat dan direbahkan di atas sebuah dipan. “Biarkan saya menolongnya, paman.” kata Aji dan dia segera memijit lekukan bibir atas tepat di bawah hidung nyi Subali dan mengurut tengkuknya beberapa kali. Wanita itu siuman dan mengeluh lirih. Ia membuka mata dan segera teringat. Ia serentak bangkit dan memandang kepada Aji dengan mata terbelalak dan wajahnya pucat sekali. “...... anakku ...... Sulastri ...... bagaimana dengan ia ...... ?” ia bertanya lirih dan suaranya yang gemetar itu sudah diselingi isak tangis. “Saya cepat turun ke bawah tebing untuk mencarinya, Saya hanya menemukan mayat Munding Bodas dan juga pedang Nogo Wilis milik Nimas Sulastri ditemukan orang- orang yang membantu saya. Nimas Sulastri lenyap tanpa meninggalkan bekas ...... “ ----------------------- Page 578----------------------- ----------------------- Page 579----------------------- http://zheraf.net yakin, kanjeng paman dan kanjeng bibi, bahwa Sulastri pasti masih hidup!” Ucapan Aji yang penuh keyakinan ini menghidupkan harapan dalam hati suami isteri itu. “Akan tetapi bagaimana mungkin, Anakmas Aji.” Tanya Ki Subali. “Paman Subali, apakah paman percaya akan kekuasaan Gusti Allah yang mujijat?” Tanya Aji. “Tentu saja!” “Nah, kalau benar demikian, mengapa kanjeng paman masih merasa sangsi dan heran kalau Nimas Sulastri tidak tewas, biarpun ia telah terjatuh ke bawah tebing? Kalau Gusti Allah menghendaki ia hidup, apa sukar dan anehnya bagi Kekuasaan Gusti Allah untuk menyelamatkannya?” *** JILID XVII i Subali menghela napas panjang, hatinya merasa lega. “Maaf, aku yang bodoh, anakmas. Aku hampir Ksaja lupa bahwa tidak ada hal yang mustahil bagi Gusti Allah. Andika benar, sekarang aku pun mulai merasa yakin bahwa anakku Sulastri masih hidup karena buktinya, andika tidak dapat menemukan jenazahnya, berarti ia belum tewas dan dengan mujijat dan ajaib Gusti Allah menolongnya.” “Akan tetapi, kalau Sulastri selamat, semoga Gusti Allah mengampuni kami dan menyelamatkan anakku, lalu di mana ia berasa? kenapa ia menghilang tanpa meninggalkan ----------------------- Page 580----------------------- ----------------------- Page 581----------------------- http://zheraf.net Berdebar rasa jantung Aji mendengar ini. “Kanjeng paman mengenalnya?” “Tidak mengenal secara pribadi, anakmas. Aku tidak suka berkenalan dengan orang yang namanya dikabarkan sebagai orang yang tidak pantas kujadikan sahabat.” “Ah, bagaimana kabarnya tentang Raden banuseta itu, kanjeng paman?” “Dia terkenal angkuh dan sombong, suka mengandalkan kedigdayaannya dan bertindak sewenang- wenang, mengandalkan kedudukannya sebagai putera bangsawan. Kabarnya dia juga laki-laki mata keranjang yang suka merusak pagar ayu mengganggu anak bini orang. Dan itu masih belum seberapa, belakangan ini aku mendengar desas desus bahwa dia berhubungan akrab dengan Kumpeni Belanda.” “Hemm, benarkah itu?” “Belum ada bukti nyata, akan tetapi ketika ada kapal Belanda mengadakan pesta, diapun termasuk salah seorang yang datang sebagai tamu undangan. Sejak itu didesas desuskan bahwa Raden Banuseta itu membantu Kumpeni Belanda, atau setidaknya ada hubungan dengan mereka.” Girang hati Aji mendengar ini. Ternyata Raden Banuseta adalah seorang yang tersesat. Selain angkuh dan sombong, suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedigdayaan dan kedudukannya sebagai putera bangsawan, mata keranjang dan suka merusak pagerayu, juga dicurigai sebagai pembantu Kumpeni Belanda. Alasan ini cukup baginya untuk menentang orang yang telah membunuh ayah kandungnya itu! Dia masih ingat akan ajaran Ki Tejo Budi. Dia ----------------------- Page 582----------------------- ----------------------- Page 583----------------------- http://zheraf.net Aji menghela napas, merasa iba kepada orang tua itu yang tentu saja merasa amat gelisah dan kehilangan puterinya tersayang itu. Dia mencabut pedang yang terbungkus kain itu lalu menyerahkanna kepada Ki Subali sambil berkata, “Kanjeng paman, saya tadi lupa untuk menyerahkan pedang ini kepada paman. Terima pedang ini dan simpanlah, paman. Ini adalah pedang milik Nimas Sulastri.” Ki Subali menerima bungkusan pedang itu. “Apakah andika tidak memerlukannya, anakmas? Kalau andika memerlukannya, bawa dan pakailah dulu.” “Terima kasih, paman. Saya tidak memerlukannya. Sebaiknya paman simpan saja dan paman berikan kembali kepada Nimas Sulastri kalau ia pulang. Permisi, kanjeng paman dan kanjeng bibi.” Aji berpamit lalu melangkah keluar lagi. Kini dia melangkah cepat menuju ke ujung jalan besar kota Deramyu. Setelah tampak pintu gerbang, dia bertanya kepada seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang dia jumpai di jalan. “Maafkan saya, paman. Saya hendak bertanya.” Laki-laki itu memandang kepadanya dan tersenyum. “Orang muda, apakah yang hendak kautanyakan? Wajahmu tampak demikian gembira! Tentu perkara baik yang akan kautanyakan padaku.” Diam-diam Aji terkejut. Dia berwajah gembira? Apa yang menggembirakan hatinya? Dia termangu, lalu berkata, “Saya hendak bertanya di mana rumah perguruan Dadali Sakti, paman?” “Ah, perguruan Dadali Sakti?” Tiba-tiba wajah orang itu tampak muram, alisnya berkerut dan pandang matanya tidak senang. “Kiranya andika orang Dadali Sakti?” ----------------------- Page 584----------------------- ----------------------- Page 585----------------------- http://zheraf.net berpekarangan luas itu. Kini dia yakin apa yang akan dilakukannya. Tidak, dia tidak sudi dipengaruhi dendam sakit hati karena terbunuhnya ayah kandungnya oleh Raden Banuseta. Dia tahu bahwa ayahnya dahulu juga membunuh ayah Raden Banuseta karena bangsawan itu menculik dan memperkosa isteri pertama ayahnya sehingga wanita itu membunuh diri. Dendam mendendam, balas membalas yang tiada berkesudahan! Dia tidak boleh menambah mata rantai baru pada untaian mata rantai karma itu. Rantai balas membalas itu akan putus kalau dia tidak mendendam dan membenci. Dia akan menghadapi Raden Banuseta untuk menentang kejahatannya, bukan untuk membalas dendam. Di pintu pagar pekarangan itu dia berhenti. Di pekarangan itu tumbuh sebatang pohon jambu dan sebuah papan yang cukup lebar tergantung di dahan pohon. Papan itu warna dasarnya putih dan ada lukisan sepasang burung dadali (wallet) hitam sedang bertarung di udara. Lukisan sepasang burung itu indah sekali dan di bawahnya terdapat tulisan PERGURUAN SILAT DADALI SAKTI. Tidak salah lagi, inilah rumah perkumpulan Dadali Sakti itu dan Raden Banuseta adalah ketuanya. Dengan sikap tenang dia lalu mendorong pintu pagar itu sehingga terbuka dan dia melangkah memasuki pekarangan. Dua orang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, keduanya bertubuh tinggi besar dan berpakaian ringkas seperti yang biasa dipakai para pendekar silat muncul dari serambi rumah besar itu dan melangkah cepat menyambut Aji. Dari sikap dan wajah mereka, jelas tampak bahwa kedua orang itu merasa tidak senang dan menganggap kedatangan Aji seperti sebuah gangguan. ----------------------- Page 586----------------------- ----------------------- Page 587----------------------- http://zheraf.net Kembali dua orang itu saling oandang dan mereka bersikap ragu-ragu. “Dapatkah andika memberi tahu kepada kami siapa andika dan apakah keperluan dengan ketua kami itu, agar kami dapat melaporkannya kepada wakil ketua kami?” Tanya yang berhidung pesek. “Kenapa kepada wakil ketua? Aku ingin bicara dengan Raden Banuseta, ketua perguruan Dadali Sakti.” “Ketua kami sedang pergi, akan tetapi marilah andika kami hadapkan kepada wakil ketua kami agar andika mendapatkan keterangan lebih jelas,” kata si kumis tebal yang mulai menaruh curiga dan sengaja hendak membawa tamu itu menghadap wakil ketua sehingga atasannya itu yang akan mengambil keputusan. Aji yang memang bermaksud menyelidiki keadaan perguruan Dadali Sakti yang mempunyai nama buruk di Dermayu, yang kabarnya para anggautanya sudah bertindak sewenang-wenang, segera mengangguk menyetujui. Bukan hanya Raden Banuseta yang harus diselidiki dan ditentangnya, melainkan juga perguruan ini akan ditentangnya kalau memang benar suka bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. “Baiklah, mari kita menghadap wakil ketua kalian,” kattanya dan dia lalu mengikuti dua orang anggauta Dadali Sakti itu memasuki rumah besar itu. Ternyata rumah itu memang luas sekali, memiliki banyak kamar dan lorong. Melalui lorong mereka menuju ke bagian belakang di mana terdapat sebuah ruangan berlatih pencak silat yang amat luas. Pada saat mereka memasuki ruangan luas itu, tampak banyak orang berkumpul di situ. Aji melihat sekitar tiga puluh orang laki-laki yang sikapnya keras ----------------------- Page 588----------------------- ----------------------- Page 589----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ akan tetapi tidak tampak menyeramkan, melainkan tampak lucu seperti seorang badut sedang beraksi. “Wakil ketua kami sedang sibuk, kita tunggu saja dan duduk di sini.” kata si kumis tebal kepada Aji. Mereka berdua lalu duduk di luar lingkaran. Aji juga duduk di atas lantai, bersila dan memperhatikan apa ang akan terjadi. “Ki sanak,” terdengar pemuda itu berkata dengan suara lantang dan tabah. “Karena mendengar bahwa Dadali Sakti merupakan sebuah perguruan silat yang terkenal, maka kami memenuhi panggilan untuk datang ke sini pada hari ini. Akan tetapi mengapa kini kami dibawa ke ruangan ini, dikepung dan diperlakukan seperti orang-orang yang dihadapkan ke pengadilan?” “Heh, bocah! Kamu yang bernama Sumanta, bukan? Nah, bukalah matamu dan ketahuilah bahwa aku adalah Raden Wiratma, wakil ketua dari Cabang Dadali Sakti di Dermayu ini! Jangan sebut aku ki sanak, apa kaukira aku ini masih sanak keluargamu? Sebut aku Raden, tahu?” Si pendek gendut itu membentak dengan suara digalak-galakkan, namun tetap saja terdengar seperti orang merengek karena suaranya kecil dan serak. Dari sikap dan cara bicara pemuda dan wakil ketua Dadali Sakti itu saja jelaslah bagi Aji siapa di antara mereka yang baik dan buruk, siapa yang harus dibelanya dan siapa yang harus ditentangnya. “Baiklah, raden dan maaf, karena saya tidak tahu sebelumnya. Akan tetapi mengapa kami berdua dipanggil untuk datang ke sini dan apa artinya semua ini?” “Aku mewakili Adimas Raden Banuseta ketua Dadali Sakti untuk mengadili kamu, Sumanta! Kamu telah berani mati merampas Sriyani menjadi isterimu, pada hal Adimas Raden ----------------------- Page 590----------------------- ----------------------- Page 591----------------------- http://zheraf.net Sumanta mengerutkan alisnya, hatinya merasa penasaran sekali. “Bagaimanapun juga, kenyataannya sekarang Sriyani telah menjadi isteri saya. Lalu apa maksud andika memanggil kami berdua ke sini?” tanyanya. “Sumanta, Sriyani harus kauserahkan kepada Adimas Raden Banuseta!” kata Raden Wiratma dengan bentakan yang mengandung ancaman. Mendengar ini saja, Aji sudah mengerutkan alis dan mengepal tangan. Sungguh bejat watak orang pendek gendut itu, pikirnya. Aturan mana itu ada seorang suami dipaksa harus menyerahkan isterinya kepada orang lain? “Mana mungkin! Sriyani sudah menjadi istriku, tidak bisa ia menikah dengan orang lain!” bantah Sumanta yang mulai panas hatinya. “Mungkin saja kalau ia sudah menjadi janda,” kata si gendut pendek sambil menyeringai menjemukan dan matanya mengerling ke kanan kiri. Sumanta terbelalak, marah sekali. “Apa maksudmu?” bentaknya. “Ia akan menjadi janda kalau kamu ceraikan ia.” kata Raden Wiratma. “Tidak mungkin! Aku tidak mau menceraikan isteriku!” “Kalau begitu ada jalan lain agar ia menjadi janda, yaitu kalau engkau mampus!” Raden Wiratma tertawa, suara tawanya mengikik dan segera disusul tawa hampir semua orang yang berada di situ. Sumanta menjadi marah dan bertolak pinggang, menuruh isterinya berdiri di belakangnya. “Hemm, beginikah kegagahan orang-orang Dadali Sakti yang mengaku sebagai ----------------------- Page 592----------------------- ----------------------- Page 593----------------------- http://zheraf.net “Apa yang harus saya lakukan, bapa guru?” tanya raksasa itu kepada Raden Wiratma. Memang dia murid wakil ketua ini, murid tersayang karena Badrun memang amat tangguh. Diperguruan itu, hanya Raden Wiratma dan Raden Banuseta saja yang melebihinya. Akan tetapi Raden Wiratma tidak menjawab melainkan memandang Sumanta sambil menyeringai penuh ejekan. “Bagaimana, Sumanta. Mau kamu menceraikan Sriyani atau kamu berani menandingi muridku Badrun ini?” “Kang ...... jangan ...... aku takut, kang ...... “ Sriyani yang berdiri di belakang suaminya mengeluh. “Tenanglah, Yani, engkau isteriku, aku akan membelamu sampai mati!” Kemudian Sumanta lalu menghadapi Raden Wiratma dan raksasa itu, bertanya dan suaranya terdengar tetap tenang. “Kalau aku dapat memenangkan pertandingan ini, tentu andika akan membiarkan aku dan isteriku pulang, bukan?” “Kamu menang? Heh-heh-heh ...... !” Raden Wiratma tertawa terkekeh, diikuti suara tawa semua anggauta Dadali Sakti. Bagi mereka menggelikan sekali mendengar pertanyaan Sumanta itu. Bagaimana mungkin Sumanta dapat mengalahkan Badrun? Pernah raksasa itu dikeroyok lima orang dan semua pengeroyoknya akhirnya roboh dengan tulang patah-patah. “Jawablah, Raden Wiratma dan jangan berlaku curang. Kalau aku kalah, mungkin aku akan mati di sini dan isteriku menjadi janda. Akan tetapi bagaimana kalau aku keluar sebagai pemenang? Apakah aku boleh membawa istriku pergi dan pulang tanpa gangguan?” Sambil masih tertawa, karena merasa betapa lucunya ucapan Sumanta itu, Raden Wiratma berkata. “Boleh ......boleh, ----------------------- Page 594----------------------- ----------------------- Page 595----------------------- http://zheraf.net “Engkau siap, kalau bocah itu roboh, cepat tangkap gadis itu dan jaga jangan sampai ia membunuh diri.” Hanya Aji yang mendengar bisikan itu. Sementara itu, Badrun sudah berhadapan dengan Sumanta, menyeringai lebar sehingga deretan giginya yang besar-besar tampak. “Heh, Sumanta bocah Jatibarang, sudah siapkah engkau menghadapi seranganku?” “Aku sudah siap!” kata Sumanta tenang. Badrun memberi isarat ke belakang dan terdengarlah bunyi terompet dan kendang bertalu-talu. Itulah bunyi gamelan kendang pencak yang biasa dimainkan para murid Dadali Sakti untuk mengiringi gerakan pencak silat kalau mereka sedang berlatih. Badrun yang tinggi besar itu mulai dengan gerakan pembukaan dan kembangan. Gerakannya gagah, diikuti suara berketipak-tipungnya kendang yang berirama keras. Melihat ini, Sumanta yang juga seorang ahli pencak silat segera mengimbangi, membuat gerakan pembukaan dan kembangan yang indah. Mereka berdua bak dua ekor ayam jantan saling mengintai untuk mencari kesempatan memasukkan pukulan atau tendangan. Mereka membuat gerakan berkeliling, mengubah-ubah posisi, diikuti pandang mata semua anak buah Dadali Sakti. Sriyani memandang dengan wajah pucat, penuh kekhawatiran akan keselamatan suaminya. Akan tetapi Aji yang mengikuti gerak-gerik mereka, merasa lega. dari gerakan kaki tangan mereka, Aji maklum bahwa Sumanta memiliki kemahiran pencak silat yang cukup tangguh. “Aiiittt ...... !” Badrun tiba-tiba, menyerang dengan pukulan tangan kirinya yang menampar dari samping. Dengan lincahnya Sumanta mengelak ke belakang, akan tetapi kini ----------------------- Page 596----------------------- ----------------------- Page 597----------------------- http://zheraf.net murid paling tangguh dari perguruan Dadali Sakti karena biarpun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun dia dapat bergerak cepat sekali. diiringi bunyi kendang dan terompet, Badrun menjadi bersemangat dan kedua tangan dan kedua kakinya bergerak cepat menyambar-nyambar dan menghujankan serangan kepada lawannya. Namun ternyata Sumanta memiliki kelincahan dan ketangkasan. Semua serangan yang kuat dan cepat itu dapat dia hindarkan dengan elakan dan tangkisan. Melihat gaya permainan pencak Sumanta, tahulah Aji bahwa gaya silat pemuda Jatibarang itu lebih ditekankan kepada pertahanan atau penjagaan diri sehingga pertahanannya rapat. Akan tetapi karena seluruh perhatian dicurahkan untuk bertahan, maka diapun tidak mempunyai banyak kesempatan untuk balas menyerang. Maka pertandingan itu tampaknya berat sebelah. Badrun menyerang terus-terusan sedangkan Sumanta hanya mengelak dan menangkis. Hal ini menggembirakan para anggauta Dadali Sakti karena tampaknya Badrun dapat mendesak lawannya. Bahkan anggauta Dadali Sakti yang oleh Raden Wiratma ditugasi untuk menjaga Sriyani, sudah mulai mendekati dan duduk di belakang gadis yang masih berdiri itu, siap mencegah kalau gadis itu hendak membunuh diri setelah suaminya roboh. Akan tetapi Aji sama sekali tidak merasa khawatir. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa selain pertahanan Sumanta amat kokoh kuat sukar ditembus oleh Badrun yang mulai berkeringat dan serangan-serangannya ngawur, juga Sumanta agaknya menanti kesempatan baik untuk membalas dengan serangan yang tepat. ----------------------- Page 598----------------------- ----------------------- Page 599----------------------- http://zheraf.net mendatangkan rasa nyeri yang cukup hebat, namun dia dapat bangun dengan cepat. Dadanya terasa nyeri dan perutnya mulas, akan tetapi hal ini membuat dia semakin marah dan tiba-tiba kaki kanannya mencuat dengan tendangan kilat. Sumanta yang melihat bahwa tendangan yang dilakukan sekuat tenaga itu sebetulnya goyah, tanda bahwa lawannya masih menderita akibat pukulan dan tendangannya tadi, cepat mengelak ke kiri dan cepat sekali tangan kanannya menangkap pergelangan kaki itu dari bawah lalu dengan sekuat tenaga dia mendorong ke atas. “Hyaaaahhhh!!” Sumanta membentak dan tubuh Badrun terlempar ke atas jatuh bergedebugan menimpa teman- temannya sehingga ada lima orang ikut tertindih dan terbanting. Suasana menjadi kacau dan penabuh gamelan menghentikan permainan mereka karena semua anggauta Dadali Sakti menjadi terkejut dan kecewa sekali melihat betapa jago mereka kalah mutlak karena setelah terbanting jatuh, Badrun tidak mampu bangkit lagi, melainkan duduk bersimpuh sambil gereng-gereng kesakitan. Tiba-tiba Raden Wiratma yang gendut pendek itu bergerak maju menyerang Sumanta. Gerakannya luar biasa cepatnya. Mengherankan sekali bahwa tubuh yang pendek gendut itu dapat bergerak secepat itu. Sekali terjang, lengannya yang pendek bergerak dan tangan kanannya mencengkeram ke arah leher Sumanta, disusul tendangan ke arah bawah perut pemuda itu! Serangan ini selain cepat dan kuat, juga amat berbahaya karena keduanya merupakan serangan maut yang kalau mengenai sasaran akan mendatangkan kematian bagi Sumanta! Pemuda itupun terkejut sekali karena diserang dengan kecepata kilat. Masih untung dia dapat cepat ----------------------- Page 600----------------------- ----------------------- Page 601----------------------- http://zheraf.net Raden Wiratma terkekeh. “Heh-heh-heh, mampus kamu!” katanya dan dia melompat ke depan, tangan kanannya menghantam ke arah perut sumanta yang sedang terhuyung. “Wuuuutttt ...... dukkkk!!” Raden Wiratma terkejut bukan main, menyeringai dan dengan tangan kirinya dia memegang dan mengelus-elus pergelangan tangan kanannya yang rasanya seperti patah. Nyeri kiut-miut sampai ke jantungnya. Dan didepannya telah berdiri seorang pemuda yang tadi menangkis pukulannya kepada Sumanta, pukulan yang akan mematikan lawannya itu. Pemuda itu adalah Aji yang cepat menolong Sumanta ketika melihat pemuda itu terancam bahaya maut. “Keparat! Kalian curang, mengeroyok aku!” bentak Raden Wiratma sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Aji. Aji menoleh kepada Sumanta. “Sobat, lindungilah isterimu.” Mendengar ini Sumanta menghampiri isterinya yang segera merangkulnya. Lalu Aji menghadapi Raden Wiratma. “Siapakah yang curang dan tidak tahu malu? Kalian tadi mengajukan jago kalian Badrun untuk menandingi Sumanta dengan janji kalau Sumanta keluar sebagai pemenang kalian akan membebaskan suami isteri itu. Akan tetapi setelah Sumanta menang, engkau malah menyerangnya dan anak buahmu hendak menangkap isterimya. Hemm, beginikah watak orang-orang Dadali Sakti? Sudah kudengar bahwa kalian adalah orang-orang sombong yang suka memaksakan kehendak sendiri, melakukan penindasan dan ternyata memang benar! Kalian hendak membunuh Sumanta yang tak bersalah dan merampas isterinya! Mana dia Banuseta? Ketua kalian itu tentu ----------------------- Page 602----------------------- ----------------------- Page 603----------------------- http://zheraf.net Sementara itu, anak buah Dadali Sakti sudah menyerang Sumanta yang melindungi isterinya. Orang muda itu mengamuk dan karena para anggauta Dadali Sakti menyerangnya dengan menggunakan senjata seperti golok, pedang atau keris, Sumanta juga mencabut kerisnya dan melakukan perlawanan mati-matian. Dia mengamuk, merobohkan beberapa orang pengeroyok dengan tendangan kedua kakinya, tamparan tangan kirinya dan tusukan keris di tangan kanannya. Aji melihat betapa Sumanta dikeroyok dan mengamuk. Dia khawatir kalau dengan kerisnya Sumanta akan membunuh banyak orang, juga dia tahu bahwa keselamatan Sumanta dan isterinya tentu akan terancam, maka dia lalu melompat dan menggerakkan kaki tangannya. Begitu dia menyerang, empat orang pengeroyok berpelantingan sehingga mengejutkan para anggauta Dadali Sakti. “Sumanta, cepat ajak pergi isterimu, tinggalkanlah Dermayu agar kalian dapat hidup tenteram!” kata Aji sambil terus mengamuk. Setiap kali tangan atau kakinya bergerak, tentu ada seorang pengerook yang roboh dan tidak dapat bangun kembali. banyak yang patah tulang atau jatuh pingsan. Sumanta maklum akan maksud pemuda perkasa yang telah menolongnya itu. “Siapakah nama andika, ki sanak?” tanyanya sambil melanjutkan amukannya. “Aji, Lindu Aji. cepat, ajak isterimu pergi!” kata Aji. “Terima kasih!” kata Sumanta dan dia segera menggandeng tangan Sriyani dengan tangan kiri, menariknya untuk diajak lari keluar dari rumah itu. Setiap ada anggauta Dadali Sakti berani menghadang, dia lalu merobohkannya. Karena Sumanta tidak ragu-ragu merobohkan penghalang ----------------------- Page 604----------------------- ----------------------- Page 605----------------------- http://zheraf.net Kuasa. Kalau Gusti Allah tidak menghendaki seseorang mati, seribu orang musuh sekalipun tidak akan mampu membunuhnya. Sebaliknya kalau kematian seseorang sudah dikehendaki Gusti Allah, gigitan seekor binatang kecilpun akan dapat membunuhnya. Yang penting, jangan sampai kebencian menguasai hatimu, karena kalau sudah begitu berarti engkau membiarkan dirimu dikuasai iblis yang dapat menyeretmu ke dalam perbuatan-perbuatan kejam seperti membunuh dan sebagainya. Demikian antara lain wejangan mendiang Ki Tejo Budi yang selalu bergema dalam perasaan hati Aji. Karena itulah, menghadapi pengeroyokan hampir tiga puluh orang anggauta perguruan Dadali Sakti, Aji membatasi tenaganya. Dia tidak ingin membunuh mereka, hanya ingin memberi pelajaran agar orang-orang itu sadar akan kejahatan mereka dan dapat bertaubat. Biarpun para murid perguruan Dadali Sakti (Walet Sakti) itu memiliki ilmu silat Dadali Sakti dan mereka rata-rata memiliki gerakan yang gesit seperti burung walet, namun mereka masih terlampau lamban bagi Aji yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi. Tubuhnya berkelebatan di antara mereka, membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga orang-orang yang mengeroyoknya itu berpelantingan dan bergelimpangan. Akhirnya, tidak ada seorangpun yang tertinggal. Semua roboh dan mengeluh kesakitan, ada yang kepalanya benjol, ada yang tangannya patah, ada yang dadanya sesak atau perutnya mulas. Ruangan yang luas itu kini penuh dengan para anggauta Dadali Sakti yang malang melintang, ada yang rebah telentang, ada yang telungkup, ada yang berjongkok. Aji berdiri di tengah ruangan, memandang ke sekeliling. Kemudian dia berkata kepada mereka dengan suara ----------------------- Page 606----------------------- ----------------------- Page 607----------------------- http://zheraf.net anak buah dia sudah dapat duduk. Kedua lengannya seperti lumpuh, tak dapat digerakkan dan kedua pundaknya yang hancur tulangnya itu terasa nyeri bukan main. Aji lalu menghampirinya. “Wiratma, aku terpaksa menghancurkan kedua pundakmu agar andika tidak mampu lagi melakukan kejahatan. Sekarang katakan, di mana adanya Banuseta?” Wiratma yang masih merasa penasaran dan sakit hati, memandang pemuda itu penuh kebencian, lalu memaksa diri berkata, “Aku tidak tahu dia pergi ke mana. Akan tetapi kalau dia pulang dan melihat keadaan kami, dia pasti akan mencarimu dan membalaskan sakit hati kami!” Suaranya mengandung kebencian yang amat besar. Aji menghela napas panjang. “Gusti Allah Maha Kasih. Kita boleh menanam buah sesuka kita, Wiratma. Kalau andika bertekad melanjutkan kebiasaanmu menanam pohon beracun, maka andika sendiri yang akan memetik dan memakan buah beracun. Kalau Banuseta hendak membalas dendam kepadaku, boleh dia mencari, aku siap menghadapinya!” “Katakan di mana engkau tinggal agar dia dapat mencarimu nanti!” kata pula Wiratma sambil menahan rasa nyeri di kedua pundaknya. Aji berpikir sejenak. Di mana dia akan tinggal? Tidak di rumah Ki Subali, atau di rumah siapa saja karena tuan rumah tentu akan terlibat kalau terjadi perkelahian antara dia dan Banuseta. Tiba-tiba dia teringat bahwa dia akan pergi mencari guru Sulastri yang menurut Ki Subali tinggal di pantai laut dan bernama Ki Ageng Pasisiran. ----------------------- Page 608----------------------- ----------------------- Page 609----------------------- http://zheraf.net menghela napas panjang dan beberapa kali dia menatap wajah Ki Sudrajat. Ki Sudrajat sejak tadi diam-diam memperhatikan keadaan ayah angkat yang juga uwanya dan gurunya itu, merasa bahwa orang tua itu sedang memikirkan sesuatu yang membuat hatinya gundah. Dan dia merasa pula betapa kakek itu ingin sekali bicara dengannya, akan tetapi agaknya ragu- ragu. Sejak pagi tadi keadaan Ki Ageng Pasisiran seperti itu. Akhirnya Ki Sudrajat tidak dapat menahan hatinya lagi dan dia berkata lembut dan hati-hati. “Bapa, sejak tadi saya melihat bapa seperti gelisah dan hendak mengatakan sesuatu kepada saya. Kenapa bapa meragu? Kalau ada sesuatu yang mengganjal hati bapa, katakanlah kepada saya, dan sebelumnya saya mohon ampun kalau sekiranya saya mempunyai kesalahan yang membuat bapa menjadi berduka.” Mendengar ucapan Ki Sudrajat itu, Ki Ageng Pasisiran mengerutkan alisnya yang sudah putih semua. “Oohh, anakku Ajat! Betapa baiknya engkau, nak, betapa penuh pengertian, rendah hati dan penyabar, seperti ayah kandungmu. Mendiang ibu kandungmu juga seorang yang baik hati. Oh, kalau aku ingat semua, makin terasa olehku betapa hanya akulah orang yang amat jahat, hamba nafsuku sendiri yang tidak boleh diampuni ...... “ Ki Sudrajat menatap wajah ayah angkatnya dan dia merasa terkejut, juga heran melihat betapa sepasang mata tua itu basah! Ayah angkatnya, gurunya yang bijaksana itu, menangis dalam hatinya! “Aduh, bapa. Apakah yang bapa maksudkan dengan ucapan itu?” ----------------------- Page 610----------------------- ----------------------- Page 611----------------------- http://zheraf.net telah lama mengampuni aku. Akan tetapi kalau belum mendapatkan pengampunan darimu, aku tidak akan dapat mati dengan mata terpejam, anakku ...... “ Ki Sudrajat yang biasanya amat tenang itu, terkejut bukan main. Dia terbelalak memandang wajah ayah angkatnya yang baru sekarang dia lihat betapa wajah itu kini tampak tua sekali. “Bapa, mohon jangan berkata seperti itu!” dia berkata setengah berteriak karena dia benar-benar tekejut mendengar ucapan Ki Ageng Pasisiran. Kakek itu tersenyum. “Duh Gusti! Ingin aku melihat sikapmu nanti setelah mendengarkan pengakuanku. Ajat, coba engkau ingat-ingat, apa yang masih dapat kau ingat tentang bapa kandungmu, Adimas Tejo Budi? Ceritakan sejujurmu.” Ki Sudrajat merasa heran mengapa ayah angkatnya menanyakan hal itu, akan tetapi dia mengingat-ingat. “Saya tidak ingat banyak tentang Bapa Tejo Budi, bapa. Bahkan wajah beliaupun saya telah lupa. Yang saya tahu, seperti seringkali menjadi jawaban ibu dahulu kalau saya tanya, bapa Tejo Budi meninggalkan ibu dan saya, dan kami berdua lalu hidup bersama bapa.” Kakek itu mengangguk angguk, menghela napas lagi. “Tahukah engkau mengapa Adimas tejo budi meninggalkan engkau dan ibumu?” Ki Sudrajat menggeleng kepalanya. “Mendiang ibu dahulu juga tidak pernah memberi penjelasan, hanya menggeleng kepala menyatakan tidak tahu kalau hal itu saya tanyakan. Akan tetapi, sekarang saya tidak ingin mengetahui hal yang sudah lama terjadi itu, bapa. Tidak perlu kiranya bapa ----------------------- Page 612----------------------- ----------------------- Page 613----------------------- http://zheraf.net jina antara aku dan ibumu ...... ! Ah, kalau mengenang semua itu, betapa malu dan besar penyesalanku ...... !” Suara kakek itu menggetar dan dia memejamkan kedua matanya. Sudrajat mengerutkan alisnya dan mukanya berubah kemerahan. Sejenak ia mengangkat muka memandang wajah bapa angkatnya dengan heran dan ada penyesalan membayang dalam sinar matanya. Akan tetapi melihat keadaan ayah angkat dan juga gurunya yang memejamkan mata, tampak demikian tua dan berduka, Ki Sudrajat menundukkan mukanya kembali. “Bapa, semua itu sudah lama berlalu ...... “ katanya lirih, menghibur. “Aku berdosa, Ajat ...... aku bersalah besar terhadap Adimas Tejo budi ...... “ “Akan tetapi, bapa. Bukan kesalahan bapa sendiri, akan tetapi ...... mendiang ibu juga bersalah ...... “ “Tidak! Tidak, Ajat. Ibumu wanita yang bersih dan baik. Memang ia tertarik dan kagum kepadaku waktu itu, akan tetapi aku tahu bahwa sampai matipun ia tidak akan mengkhianati suaminya, tidak akan sudi menyeleweng dengan laki-laki lain. Ia tidak akan sudi berhubungan jina dengan aku kalau saja aku ..... aku ..... tidak mempergunakan Aji Pengasihan Sambung Sih ...... ! Nah, lega rasa hatiku sudah mengeluarkan ini semua kepadamu.” Kakek itu membuka mata memandang Ki Sudrajat yang masih menundukkan mukanya. “Heii, engkau masih diam saja? Masih belum marah kepadaku? Nah, dengarlah kelanjutan ceritaku agar engkau mengetahui akan semua kerendahan budiku. Setelah hal itu terjadi, Adimas Tejo Budi mengetahui. Kami bertengkar dan terjadi perkelahian antara kami. Kami setingkat dan seimbang. Entah apa akan jadinya dengan perkelahian itu kalau tidak datang ----------------------- Page 614----------------------- ----------------------- Page 615----------------------- http://zheraf.net Ki Sudrajat menjadi terharu. Dia bangkit dan menghampiri kakek itu. “Bapa tetap merupakan seorang ayah yang baik bagi saya ...... “ “ ...... Ajat. mendekatlah biarkan aku merangkulmu ...... !” Ajat atau Ki Sudrajat mendekat dan kakek itu lalu merangkulnaya. Mereka berangkulan. “Assalamu alaikum ...... !” Kakek dan anak angkatnya itu saling melepaskan rangkulan dan menoleh ke arah pintu dari mana salam itu terdengar. “Alaikum salam ...... !” Ki Sudrajat membalas salam itu dan bangkit lalu melangkah ke pintu depan, membuka pintu dan melihat seorang pemuda berdiri di depan pondok. Dia mengamati penuh perhatian. Pemuda itu masih muda, paling banyak dua puluh satu tahun usianya, sebaya dengan putera tunggalnya Jatmika. Akan tetapi pemuda ini bukan Jatmika biarpun sama tampan dan gagahnya. Pemuda yang jangkung tegap, berpakaian dan bersikap sederhana, sinar matanya lembut penuh pengertian. Pemuda itu adalah Lindu Aji. Melihat munculnya seorang pria setengah tua yang bertubuh sedang, sikapnya tenang dan sinar matanya tajam, Aji cepat membungkuk dengan hormat. “Mohon maaf sebanyaknya kalau kunjungan saya ini mengganggu, paman. Nama saya Lindu Aji dan saya ingin bertanya apakah benar pondok ini padepokan Ki Ageng Pasisiran?” Melihat sikap dan cara bicara Aji yang sopan, seketika Ki Sudrajat merasa suka dan tertarik. “Benar sekali, anakmas, ----------------------- Page 616----------------------- ----------------------- Page 617----------------------- http://zheraf.net membicarakan tentang Sulastri karena Sulastri pernah bercerita kepada saya bahwa ia adalah murid Ki Ageng Pasisiran.” “Sulastri? Benar sekali, ia murid Bapa. Mari anakmas Lindu Aji, mari masuk dan kuantar menghadap Ki Ageng Pasisiran.” Ki Sudrajat mempersilakan dengan sikap ramah. Mereka memasuki rumah dan langsung diajak masuk ruangan di mana Ki Ageng Pasisiran masih duduk bersila. Kakek itu telah dapat menguasai perasaannya dan kini duduk dengan sikap tenang, bersila di atas dipan seperti sebuah arca. Melihat kakek yang sudah tua renta itu, Aji lalu berlutut dan menyembah. “Eyang, mohon maafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu eyang.” “Bapa, orang muda ini bernama Lindu Aji dan dia mohon menghadap Bapa untuk menyampaikan berita tentang diri Sulastri.” Ki Sudrajat melaporkan. Mendengar ini, wajah Ki Ageng pasisiran agak berseri dan dia segera berkata kepada Aji. “Anak mas Lindu Aji ...... hemm, namamu sungguh bagus ...... “ “Saya biasa disebut Aji saja, kanjeng eyang.” “Baiklah, Aji. Andika datang membawa kabar tentang Sulastri? Nah, ceritakan tentang muridku yang bengal itu.” “Bagaimana andika dapat mengenal Sulastri, anakmas Aji?” Tanya pula Ki Sudrajat. “Begini ceritanya, kanjeng eyang dan kanjeng paman. Ketika itu saya membantu Ki Sumali dari Loano untuk menentang gerombolan Gagak Rodra. Ternyata gerombolan itu didukung oleh dua orang tokoh sesat yang sakti mandraguna, yaitu Aki Somad dari Nusakambangan dan Nyi Maya Dewi.” “Ah, dua orang itu di mana-mana selalu mendatangkan kekacauan!” seru Ki Sudrajat. ----------------------- Page 618----------------------- ----------------------- Page 619----------------------- http://zheraf.net perjalanan ke barat, Sulastri ikut. Iapun hendak pulang ke Dermayu. Dalam perjalanan, kami berdua bentrok dengan para antek Kumpeni Belanda, bahkan kami berdua sempat ditawan dan dibawa ke kapal milik Kumpeni Belanda. Akan tetapi kami berhasil meloloskan diri, Ketika kami tiba di Cirebon dan menghadap Gusti Pangeran Ratu untuk melaporkan tentang para antek kumpeni itu, Gusti Pangeran Ratu minta bantuan kami berdua untuk membasmi gerombolan pengacau pimpinan Munding Hideung yang bersarang di gunung Careme. Kami menerima tugas itu dan pergi ke Gunung Careme. Akan tetapi ...... justeru di sanalah ...... terjadi musibah yang menimpa diri Sulastri ...... “ kata Aji dengan nada sedih. “Apa yang terjadi dengan Sulastri?” Tanya Ki Ageng Pasisiran. “Ceritakanlah, apa yang telah terjadi, anakmas Aji?” Tanya pula Ki Sudrajat. Aji lalu menceritakan pengalamannya dengan Sulastri di lereng Gunung Careme itu, betapa Sulastri jatuh ke bawah tebing seperti yang telah dia ceritakan kepada Ki Subali dan isterinya. Juga dia menceritakan betapa dia sudah berusaha mencari, dibantu banyak anak buah Munding Hideung, namun tetap saja tidak dapat menemukan Sulastri yang hilang tanpa meninggalkan bekas, hanya menemukan pedang Naga Wilis yang kini sudah dia kembalikan kepada Ki Subali. Suasana menjadi sunyi setelah Aji mengakhiri ceritanya tentang musibah yang menimpa diri Sulastri. Kemudian Ki Ageng Pasisiran berkata dengan tenang, “Aku percaya bahwa Sulastri masih hidup. Tidak ditemukannya jenazah anak itu berarti bahwa ia masih hidup dan telah meninggalkan bawah tebing.” ----------------------- Page 620----------------------- ----------------------- Page 621----------------------- http://zheraf.net “Siapa lagi kalau bukan gurunya?” “Akan tetapi, bagaimana ini? Mana mungkin! Menurut mendiang guru saya, yang menguasai Aji Margopati hanya tiga orang saja, yaitu guru saya dan dua orang kakak seperguruannya!” Mendengar ini, Ki Ageng Pasisiran memandang aji dan bertanya dengan heran. “Katakanlah, siapa tiga orang yang menguasai Aji Margopati itu?” “Mereka adalah Ki Tejo Wening, ki tejo Langit, dan Ki Tejo Budi.” “Dan siapa gurumu itu?” Tanya pula Ki Ageng Pasisiran sambil menatap wajah Aji. “Guru saya adalah Eyang Guru Ki Tejo Budi.” “Aduh Gusti ...... !!” Seruan ini hampir berbareng keluar dari mulut Ki Ageng Pasisiran dan Ki Sudrajat dan mereka berdua bangkit dan berdiri di depan Aji. “Aji, katakanlah di mana gurumu itu sekarang?” Tanya Ki Sudrajat dan suaranya diliputi ketegangan “Eyang Guru Tejo Budi ...... telah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu.” “Ya Allah ...... !” Dua orang pria itu berseru dan Aji memandang terheran-heran ketika Ki Ageng Pasisiran terjatuh duduk di atas dipan kembali dan kakek itu menangis! “Kanjeng eyang dan kanjeng paman, apa artinya ini ...... ?” Aji bertanya. “Bapa dahulu bernama Ki Tejo Langit,” kata Ki Sudrajat. Kini Aji yang terkejut. Sungguh sama sekali tidak disangkanya! Tanpa dicari, dia sudah berhadapan dengan Ki Tejo Langit. Dan orang setengah tua itu. ----------------------- Page 622---------------------- ----------------------- Page 623----------------------- http://zheraf.net Sudrajat, Mereka kini menjadi akrab sekali karena Aji dianggap sebagai keluarga sendiri. Aji diminta untuk menceritakan segala hal mengenai Ki Tejo Budi, dan dia menceritakan semua yang diketahui dan dialami selama Ki Tejo Budi tinggal bersama dia dan ibunya. Mendengar betapa Ki Tejo Budi hidup menyendiri dan terlunta-lunta, kedua orang itu mendengarkan dengan hati terharu sekali. Terutama sekali Ki Tejo Langit yang makin merasa betapa dia yang membuat kehidupan Ki Tejo Budi menjadi terlantar kesepian dan penuh kedukaan. Ketika hari menjelang senja dan Aji berpamit, Ki Sudrajat menahannya. “Jangan pergi dulu, Aji. Engkau adalah murid tersayang bapa kandungku, berarti engkau adalah warga kami sendiri. Tingggallah di sini malam ini. Masih banyak yang ingin kutanyakan kepadamu mengenai bapa kandungku.“ Ki Tejo Langit juga menahannya sehingga terpaksa Aji tinggal di pondok itu. Ketika senja datang dan cuaca mulai remang, ki Sydrajat menyalakan beberapa buah lampu gantung. Sebuah digantung di depan pintu menerangi bagian luar pondok, sebuah digantung di belakang dan sebuah lagi di ruangan tengah di mana mereka bertiga bercakap-cakap. Selagi mereka bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar teriakan yang nyaring sekali dari luar pondok. “Lindu Aji, keparat jahanam kamu! hayo keluar untuk menebus dosamu terhadap perguruan Dadali Sakti dengan menyerahkan nyawamu!” Aji segera dapat menduga bahwa yang datang itu tentulah Raden Banuseta, Ketua Perguruan Dadali Sakti. Pembunuh ayahnya! Tidak, dia tidak mau mengingat tentang ----------------------- Page 624----------------------- ----------------------- Page 625----------------------- http://zheraf.net dia mengenal orang itu. Dia bukan lain adalah pria bangsawan yang mempunyai hubungan akrab dengan Nyi Maya Dewi, pria yang ikut pula berkunjung ke kapal Kapten De Vos, pria yang tergila-gila kepada Sulastri dan bermaksud keji dan mesum terhadap gadis itu! “Kau ...... kau ...... Raden Banuseta?” Tanya Aji, hatinya dipenuhi keheranan. Pria ini tersenyum mengejek dan dia mencabut goloknya yang bergagang emas. “Benar, akulah Raden Banuseta, ketua Dadali Sakti. Lindu Aji, tempo hari engkau berhasil lolos, akan tetapi sekarang tiba saatnya engkau membayar semua hutangmu! Engkau berani mengacau Dadali Sakti, sekarang bersiaplah untuk mampus!” Hati Aji bertambah panas. Raden Banuseta, yang telah membunuh ayah kandungnya, bukan hanya suka bertindak sewenang-wenang dan suka merusak pagar ayu merampas isteri dan anak orang, akan tetapi juga menjadi antek Kumpeni Belanda! “Hemm, kiranya engkau bukan hanya jahat sewenang- wenang, melainkan juga menjadi anjing peliharaan Kumpeni Belanda!” bentak Aji marah dan pada saat itu dia memandang kepada pria yang berdiri di belakang Banuseta. Dia itu seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap, sikapnya gagah. Dia juga tampak tenang, berdiri menyilangkan kedua lengan di depan dada dan sinar matanya yang tajam memandang wajah Aji. Juga Aji melihat bayangan mencurigakan dari beberapa orang yang tampaknya mengepung pondok itu dengan sembunyi-sembunyi. Dalam keremangan malam yang mulai tiba, dia melihat mereka itu memegang tongkat. ----------------------- Page 626----------------------- ----------------------- Page 627----------------------- http://zheraf.net untuk merampas Sriyani dari tangan Sumanta, dia marah sekali. Kemudian dia mendengar bahwa pemuda itu bernama Lindu Aji. teringatlah dia akan pemuda yang pernah menjadi tawanan Nyi Maya Dewi dan dia tahu bahwa pemuda itu memang sakti mandraguna. Maka, diapun membuat persiapan sebaiknya dan mendengar dari Wiratma bahwa musuhnya itu berada di pondok tempat tinggal Ki Ageng Pasisiran di pantai Laut Utara, dia membawa bala bantuannya menuju ke sana. Kini, biarpun dia sudah berhati-hati, dia melihat tamparang tangan kanan Aji ke arah pelipisnya, dia terkejut dan tidak sempat untuk mengelak atau menggunakan goloknya. maka dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan menangkis dengan gerakan dari dalam keluar. “Wuuttt ...... plakk!!” Raden Banuseta terhuyung ke belakang dan tentu akan jatuh terjengkang kalau tidak ada tangan yang kuat menangkap pangkal lengannya sehingga dia tidak sampai terjatuh. Yang melakukan itu adalah laki-laki tinggi tegap yang tadi berdiri di belakangnya. “Mundurlah, kakangmas Banuseta. Dia terlalu tangguh bagimu. Biar aku yang menandinginya!” kata pria berusia tiga puluh satu tahun lebih itu. Gerakannya ringan sekali ketika dia melompat ke depan Aji. “Dimas, bunuhlah dia untukku!” kata Raden Banuseta dan dia menyelinap ke belakang dan lenyap dalam kegelapan malam. Aji berhadapan dengan lawannya itu. Sejenak mereka saling tatap bagaikan dua ekor jago yang hendak berlaga. Tiba- tiba orang itu mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya ----------------------- Page 628----------------------- ----------------------- Page 629----------------------- http://zheraf.net Surya Chandra dan diapun mendorongkan tangan kananya untuk menyambut pukulan lawan itu. “Wuuuutttt ...... desss ...... !!” Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti itu dan akibatnya, Aji terdorong ke belakang akan tetapi lawannya juga terdorong ke belakang! “Heh ...... ???” Orang itu berseru heran dan memandang dengan mata terbelalak. Pada saat itu, sosok tubuh tua Ki Ageng Pasisiran muncul keluar dari pintu, bertopang pada tongkatnya. Ki Ageng Pasisiran atau yang dulu bernama ki tejo Langit memandang kepada lawan Aji itu dan di mengerutkan alisnya yang sudah putih lalu berseru dengan suara bernada penuh teguran, “Hei! Udin, apa yang kau lakukan ini ...... ?” “Dar-dar-dar-dor-dorrr!” Pada saat itu, dari arah kanan kiri terdengar beberapa kali ledakan dan tampak muncratnya bunga api dan tubuh kakek tua renta itu tersentak ke kanan kiri lalu roboh terkulai mandi darah! Pelor-pelor itu menembus tubuhnya yang tidak siap. Kini muncul Ki Sudrajat. Dia memegang sebuah lampu gantung dengan tangan kanan, mengangkat lampu gantung itu ke atas untuk menyinari wajah lawan Aji yang masih berdiri tertegun. “Udin! Hasanudin! Engkau ...... membantu kaki tangan Kumpeni ...... ?” “Dar-dar-dar-dor-dorr ...... !” Kembali terdengar letusan berkali-kali. Peluru bedil menyambar dari kanan kiri dan tampak bunga api berpijar- pijar. Lampu gantung di tangan Ki Sudrajat terkena tembakan ----------------------- Page 630----------------------- ----------------------- Page 631----------------------- http://zheraf.net pembunuh ayahnya sendiri! Dan karena Raden Banuseta ini antek Kumpeni Balanda, berarti bahwa Hasanudin atau Udin itu juga membantu Kumpeni Belanda! “Tarr ...... !” Pistol di tangan Raden Banuseta meledak lagi. Tanpa disadarinya sendiri, tubuh Aji menjerembab ke atas tanah, lalu bergulingan, tangannya menyambar sepotong batu dan sekali tangan itu bergerak menyambit, terdengar suara nyaring dan lampu gantung itu pecah sehingga menjadi gelap pekat. Raden Banuseta menjadi jerih menghadapi Aji dalam kegelapan. Dia tahu betapa sakti dan berbahayanya pemuda itu. Apalagi kini Hasanudin yang ia andalkan sudah lebih dulu melarikan diri bersama dua belas orang perajurit Kumpeni, meninggalkan tempat itu. Setelah merasa yakin bahwa para penyerbu itu telah melarikan diri meninggalkan tempat itu dan bahaya telah lewat, Aji cepat memasuki pondok, membawa keluar sebuah lampu dan digantungkan di luar. Kemudian dia memondong tubuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, dibawanya masuk ke dalam pondok dan merebahkan mereka di atas pembaringan. Ki Tejo Langit yang tubuhnya disambar lima kali tembakan itu ternyata telah tewas. akan tetapi Ki Sudrajat belum tewas walaupun dadanya ditembusi sebutir peluru. Aji merasa heran sekali. Tadi dia melihat sendiri betapa berondongan peluru hanya merobaek baju orang sakti ini, akan tetapi mengapa tembakan terakhir itu, hanya satu kali saja, telah merobohkannya. “Bagaimana keadaanmu, paman?” Tanya Aji ketika melihat Ki Sudrajat bergerak dan mengeluh panjang. “Aku ...... terluka parah ...... jahanam itu ...... “ ----------------------- Page 632----------------------- ----------------------- Page 633----------------------- http://zheraf.net para antek Kumpeni Belanda. Mereka tewas tanpa ada yang melayat dan hanya dia seorang yang menguburkan mereka dalam keadaan yang sunyi, tanpa kehadiran seorangpun manusia lain. *** Mereka merupakan sepasang orang muda yang serasi. Yang pria berusia kurang lebih dua puluh tahun, berwajah tampan bersikap gagah. Alis matanya hitm tebal melindungi sepasang mata yang mencorong, hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk manis dan membayangkan kegagahan, apa lagi dengan adanya setitik tahi lalat di dagu, menambah kejantanannya. Tubuhnya sedang dengan dada bidang, pakaiannya sederhana bersih dan rapi. Sebatang keris bergagang kayu cendana hitam terselip dipinggangnya. Adapun yang wanita berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah cantik jelita. Mata dan mulutnya amat indah. Sikapnya gagah perkasa sehingga ia merupakan seorang gadis yang memiliki wibawa dan membuat orang merasa segan untuk sembarangan menggoda. Langkahnyapun membayangkan ketangkasan, tidak lemah seperti wanita kebanyakan. Mereka adalah Jatmika dan Eulis. Siang hari itu panasnya terik sekali. Dua orang yang telah melakukan pejalanan sejak pagi itu tampak berkeringat. “Uhh, panasnya ...... “ Eulis mengeluh sambil mengusap keringat yang membasahi dahu dan lehernya yang berkulit putih mulus. Jatmika berhenti melangkah dan menudingkan telunjuknya ke arah kanan jalan di mana terdapat sebuah gubuk yang berdiri di tengah sawah. Mereka telah tiba di kaki ----------------------- Page 634----------------------- ----------------------- Page 635----------------------- http://zheraf.net ayahnya. Selain kakek gurunya, masih ada saudara-saudara seperguruan eyang gurunya, yang bernama Ki Tejo Wening dan Ki Tejo Budi. Bahkan yang bernama Ki Tejo Budi adalah kakek kandungnya yang sebenarnya, karena Ki tejo Langit itu hanyalah kakek angkatnya, Keterangan itu dia dapatkan dari ayahnya ketika dia hendak meninggalkan pantai Dermayu untuk pergi merantau. Dia tidak tahu di mana adanya Ki Tejo Wening dan Ki Tejo Budi sekarang, tidak tahu apakah mereka berdua itu masih hidup ataukan sudah mati. Kini, bertemu dengan Eulis, gadis yang kehilangan ingatannya itu, melihat gadis itu ada hubungan dengan seorang di antara kedua kakek itu! Sana sekali dia tidak pernah mimpi bahwa gadis itu sesungguhnya adalah murid dari Ki Tejo Langit sendiri. Kakek itu tidak menceritakan tentang gadis ini kepadanya ketika dia berada di pantai Dermayu. “Eh, Kakangmas Jatmika, kenapa sejak tadi engkau memandangku seperti itu?” Tiba-tiba Eulis bertanya denga suara menegur ketika tanpa disadarinya pemuda itu mengamatinya dengan sepasang mata penuh selidik Barulah Jatmika gelagapan dan baru dia menyadari bahwa kelakuannya tadi tidak patut. “Eh ...... ohh ...... aku sungguh merasa heran melihatmu, Nimas Eulis,” katanya agak gagap. “Heran?” Tanya Eulis mulai mengamati diri sendiri untuk mencari kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres. “Apakah ada sesuatu yang aneh pada diriku?” “Memang ada yang aneh sekali, nimas, akan tetapi bukan pada dirimu.” “Lalu apa yang aneh? Katakanlah, kakangmas, engkau membuat aku menjadi penasaran dan ingin tahu.” ----------------------- Page 636----------------------- ----------------------- Page 637----------------------- http://zheraf.net atau Eulis dan berasal dari daerah Cirebon. Akan tetapi engkau tentu ingat akan nama-nama semua aji yang engkau kuasai itu, bukan?” Eulis menggeleng kepala. “Engkau menguasai Aji Surya Hasta, Aji Margopati, dan Aji Guruh Bumi!!” kata Jatmika penasaran. Eulis menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Aku tidak tahu, tidak mengenal nama-nama itu. Sudahlah, Kakangmas Jatmika, aku memang sama sekali tidak ingat akan masa laluku. Tentang diriku, biarlah kita ketahui bahwa aku bernama Listyani atau Eulis berasal dari daerah Cirebon dan aku menguasai ilmu-ilmu kanuragan yang sealiran denganmu. Sekarang, sebaiknya engkau menceritakan tentang dirimu, kakangmas, agar aku dapat mengenalmu lebih baik lagi.” Jatmika menghela napas panjang. Sebetulnya ia ingin tahu sekali siapa sebenarnya gadis yang amat menarik hatinya itu. Dia harus mengakui bahwa biarpun dia sudah bertemu dengan banyak wanita cantik, semenjak tinggal di Banten, sampai pindah ke Dermayu, namun belum pernah dia bertemu dengan seorang gadis yang begitu menarik hatinya. Dia merasakan benar bahwa sekali ini dia benar-benar jatuh cinta kepada gadis yang tidak diketahui nama atau asal-usulnya ini. Dia memberi nama Listyani atau Eulis hanya agar gadis itu tidak menjadi bingung. Dia menduga bahwa gadis itu telah kehilangan ingatannya yang sebabnya tidak dia ketahui pula. Akan tetapi mendengar ucapan Eulis tadi, dia merasa gembira sekali. Setidaknya, gadis ini menaruh perhatian kepadanya dan ingin dapat mengenalnya lebih baik. “Engkau sudah tahu, namaku Jatmika. Aku berasal dari Banten. Ayahku bernama Ki Sudrajat dan sejak aku kecil, ----------------------- Page 638----------------------- ----------------------- Page 639----------------------- http://zheraf.net pemberontak yang mengadakan kekacauan di daerah Kadipaten Sumedang.” “Baik, kakangmas. Aku ikut dan aku akan membantumu sekuat tenaga walaupun aku tidak tahu mengapa engkau membantu Kadipaten Sumedang dan siapa pula Gusti Pangeran Mas Gede itu.” Kembali Jatmika menghela napas panjang. “Nimas, aku yakin bahwa seandainya engkau tidak melupakan asal usulmu, tentu engkau akan mengetahui akan keadaan yang kau tanyakan itu. Agaknya sekarang engkaupun tidak tahu akan Kerajaan Mataram dan Gusti Sultan Agung raja Mataram, bukan?” Eulis memandang bodoh dan menggeleng kepala. “Kasihan engkau, Nimas Eulis. Entah apa yang terjadi denganmu sehingga engkau melupakan segala hal. Ketahuilah, Kerajaan Mataram adalah kerajaan besar yang menguasai hampir seluruh Nusantara. Hampir semua kadipaten di Jawadwipa tunduk dan mendukung Kerajaan mataram yang kini sedang mempersiapkan diri dan menyusun kekuatan untuk menghadapi kekuasaan Kumpeni Belanda yang semakin merajalela.” “Siapakah Kumpeni Belanda itu, kakangmas?” Jatmika maklum bahwa gadis ini sudah kehilangan ingatannya, maka dia harus menjelaskan segalanya agar gadis itu tidak bingung dan tahu benar di pihak mana ia harus berdiri. “Kumpeni Belanda adalah bangsa asing berkulit bule dan bermata siwer (berwarna). Kalau engkau berasal dari daerah Cirebon, kurasa engkau pasti pernah melihat bangsa Belanda.” Eulis menggeleng kepala. “Aku tidak ingat, kakangmas.” ----------------------- Page 640----------------------- ----------------------- Page 641----------------------- http://zheraf.net Sumedang dikacau oleh gerombolan pemberontak yang agaknya digerakkan oleh Kumpeni Belanda. Maka kita harus membantu Sumedang dan menentang para pemberontak itu.” “Baik, kakangmas. Aku setuju untuk bersamamu membantu Kadipaten Sumedang.” “Mari kita lanjutkan perjalanan, nimas. Sudah cukup lama kita melepaskan lelah di sini.” kata Jatmika yang melompat turun dari atas panggung gubuk itu. Eulis juga melompat turun dan mereka meninggalkan gubuk di tengah sawah itu, melalui pematang sawah. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke barat. Akan tetapi ketika mereka tiba di tepi sebuah hutan, muncul lima orang dan Jatmika berbisik kepada Eulis. “Hati-hati, nimas. Lima orang itu agaknya mencurigakan. Mereka seperti sengaja menghadang kita.” Eulis memandang ke depan dan memang, lima orang itu kini berhenti dan sengaja menghadang di jalan yang menuju ke hutan itu. Jatmika mengambil sikap tidak acuh dan berjalan terus, Eulis berjalan di sisinya. Akan tetapi setelah mereka tiba dekat dengan lima orang itu, seorang di antara mereka berseru. “Benar, merekalah itu! Mereka yang telah membunuh Kakang Munding Hideung dan Paman Kolo Srenggi!” Jatmika dan Eulis memandang orang yang bicara sambil menuding kepada mereka itu. Mereka tidak mengenal orang itu, akan tetapi dari ucapan orang itu mereka dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang anak buah Munding Hideung yang berhasil meloloskan diri. Kini pemuda dan dara itu berdiri berhadapan dengan lima orang itu dan mereka mengamati dengan penuh perhatian. Yang bicara tadi adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Tiga orang ----------------------- Page 642----------------------- ----------------------- Page 643----------------------- http://zheraf.net jangan membela mereka karena kalau andika membela gerombolan itu, berarti andika juga jahat dan terpaksa kami akan menentangmu!” “Huh-huh, apa sih baik atau jahat itu? Yang baik bagiku belum tentu baik bagimu dan yang jahat bagimu belum tentu jahat bagiku! Kalian berdua telah membunuh sahabatku Kolo Srenggi dan muridku Munding Hideung, karena itu kalian harus dihukum!” Dia menoleh ke belakang, dan berkata kepada tiga di antara orang pengikutnya. “Panca Munding (Lima Kerbau) telah hilang dua, tinggal kalian bertiga harus dapat membalaskan dendam ini. Tangkaplah dua orang muda itu!” Mendengar perintah ini, tiga orang laki-laki yang tadinya berdiri di belakang Aki Mahesa Sura serentak berlompatan ke depan menghadapi Jatmika dan Eulis. “Aku adalah Munding Beureum!” kata seorang yang memakai sabuk berwarna merah. “Aku Munding Koneng!” kata orang kedua yang bersabuk kuning. “Aku Munding Hejo!” kata orang ketiga yang bersabuk hijau. “Selama bertahun-tahun, kami Panca Munding sehidup semati di gunung Careme. Kini kalian telah membunuh dua orang kakak kami, maka menyerahlah untuk kami tangkap dan menerima hukuman dari guru kami!” kata Munding Beureum. “Kami berdua tidak merasa bersalah. Kalau kalian hendak membela yang jahat, terpaksa kami akan menghajar kalian juga!” kata Jatmika. Eulis juga sudah siap karena ia mengerti bahwa mereka berhadapan dengan teman-teman penjahat yang telah dibasminya bersama Jatmika. Diam-diam ----------------------- Page 644----------------------- ----------------------- Page 645----------------------- http://zheraf.net melayang dan menyambar ke arah muka lawan. Munding Hejo cukup cekatan. Dia sudah mampu menghindar dari sambaran kaki itu dengan merendahkan tubuhnya lalu menyerang lagi dengan kerisnya. terjadi perkelahian sengit antara Eulis melawan Munding Hejo. Sementara itu, Munding Beureum dan Munding Koneng juga sudah maju mengeroyok Jatmika yang mereka anggap lebih tangguh dibandingkan gadis itu. Mereka menyerang dengan tusukan keris, bertubi-tubi, dengan gerakan yang tangkas, cepat dan kuat. Melihat gerakan mereka, tahulah Jatmika bahwa dua orang lawannya adalah lawan-lawan yang cukup tangguh. Maka diapun cepat mencabut kerisnya. Keris yang gagangnya terbuat dari kayu cendana hitam. Keris itu berpamor emas dan itulah Kyai Cubruk, keris pusaka dari Banten yang terkenal ampuh pemberian ayahnya Ki Sudrajat. “Trang ...... ! Cring ...... !!” Dua batang keris di tangan Munding Beureum dan Munding Koneng terpental ketika senjata mereka itu ditangkis oleh keris Kyai Cubruk di tangan. Gerakan tangan Jatmika yang memegang keris itu cepat dan kuat bukan main sehingga keris itu lenyap bentuknya, dan berubah menjadi sinar yang berkelebatan dan bergulung- gulung. Juga pemuda perkasa itu membalas serangan kedua orang pengeroyolnya bukan hanya dengan keris, akan tetapi juga tangan kirinya menyelingi tusukan kerisnya dengan tamparan-tramparan dahsyat. Karena dia mengerahkan tenaga sakti dalam tamparan tangan kiri itu, maka tamparan itu tidak kalah hebat dan berbahayanya daripada tusukan kerisnya. Dan setiap kali dua orang lawannya menangkis tamparannya, tubuh mereka terdorong dan mereka terhuyung ke belakang. ----------------------- Page 646----------------------- ----------------------- Page 647----------------------- http://zheraf.net mulur (memanjang) seperti karet saja dan tahu-tahu jari-jari tangan kiri itu sudah mengancam kepalanya. Eulis cepat membuang diri ke atas tanah dan bergulingan menjauh. Namun tetap saja tangan kiri itu mengejarnya dan tengkuknya terkena tepukan kakek itu. “Plakkk ...... !” Tubuh Eulis tiba-tiba menjadi lemas dan ia tidak mampu bergerak lagi. Aki Mahesa Sura menghampiri dan memegang pangkal lengan kanan Eulis dan diangkatnya gadis itu bangkit berdiri. Akan tetapi tubuh Eulis seperti lemas tak bertenaga sehingga ia berdiri lunglai dan bersandar ke tubuh kakek itu. “Jatmika, hentikan perlawananmu atau aku akan membunuh gadis ini!” Aki Mahesa Sura membentak dan Jatmika cepat melompat ke belakang lalu memandang. Alangkah kagetnya ketika dia melihat Eulis sudah tertangkap oleh kakek yang mukanya seperti Begawan Durna tokoh cerita Mahabarata itu! “Aki Mahesa Sura! Bebaskan gadis itu dan mari kita bertanding secara jantan!” Jatmika membentak marah dan juga khawatir melihat Eulis sudah tak berdaya dan tertawan. “Heh-heh-heh, Jatmika. Buang kerismu dan menyerahlah daripada engkau melihat gadis ini kubunuh di depan matamu!” Aki Mahesa Sura mengancam sambil mengangkat tongkat ularnya, mengancam untuk membunuh gadis itu dengan tongkatnya. “Aki Mahesa Sura, tidak malukah andika bertindak curang? Lepaskan Nimas Eulis dan mari kita mengadu kesaktian kalau andika berani!” kembali Jatmika menantang. ----------------------- Page 648----------------------- ----------------------- Page 649----------------------- http://zheraf.net “Hemm, baiklah. Kalau engkau tidak melawan dan menyerahkan diri, aku tidak akan membunuh kalian berdua!” kata kakek itu. “Bersum pahlah, Aki Mahesa Sura, baru aku mau percaya.” kata Jatmika. “Keparat! Engkau tidak percaya janji seorang datuk besar yang sakti mndraguna seperti aku? Baik, aku bersumpah tidak akan membunuh kalian kalau engkau mau menyerah.” “Jangan, Kakangmas Jatmika! Jangan percaya padanya, jangan menyerah dan jangan perdulikan aku!” teriak Eulis. “Nimas Eulis, jangan khawatir. Aku yakin bahwa seorang tua dan terhormat seperti Aki Mahesa Sura, tidak akan melanggar sumpahnya sendiri. Nah, Aki Mahesa Sura, aku menyerah!”: Jatmika menyarungkan kembali kerisnya. Aki Mahesa Sura lalu berkata kepada tiga orang muridnya dengan suara memerintah, “Ikat tangan mereka ke belakang, pergunakan tali pengikat pinggang kalian!” Tiga orang murid itu lalu melolos sabuk mereka. Sabuk itu terbuat dari lawe yang sudah dirajah (diberi kesaktian) karena itu merupakan benda yang memiliki daya yang luar ----------------------- Page 650----------------------- ----------------------- Page 651----------------------- http://zheraf.net melihat engkau melanggar janji. Tenanglah, nimas, engkau tidak perlu khawatir. Bukankah aku berada di sampingmu?” Eulis juga melihat betapa perlawanan akan sia-sia belaka, ia memandang pemuda itu dan melihat pemuda itu tersenyum dan sinar matanya seolah memberi isarat kepadanya. Iapun berhenti meronta dan menundukkan muka lalu berkata lirih, “Aku menyerah.” “Heh-heh-heh-ho-ho-ho!” Aki Mahesa Sura tertawa gembira. “Sebentar lagi malam tiba. Mari kita bawa dua orang tawanan ini ke pondok kita agar tidak kemalaman di perjalanan.” Tiga orang muridnya itu menggiring Jatmika dan Eulis memasuki hutan. Mereka berhenti setelah hari menjadi agak gelap. Senja telah tiba dan mereka sampai di lembah Sungai Ci Lutung di mana berdiri sebuah pondok kayu yang cukup besar. Jatmika dan Eulis disuruh masuk dan mereka semua duduk di atas bangku-bangku kayu mengelilingi sebuah meja. Munding Koneng dan Munding Hejo lalu sibuk bekerja di dapur mempersiapkan makanan dan di ruangan itu tinggal Aki Mahesa Sura dan Munding Beureum yang menemani atau menjaga dua orang tawanan itu. Tak lama kemudian dua orang murid yang sibuk di dapur itu memasuki ruangan membawa sebakul nasi dan beberapa macam masakan sederhana. “Biarkan Nimas Listyani makan lebih dulu! kata Jatmika. “Tidak, biarkan Kakangmas Jatmika yang makan.” bantah Eulis. “Baiklah, Jatmika akan makan lebih dulu.” kata kakek itu. Berdebar rasanya jantung kedua orang tawanan itu. ----------------------- Page 652----------------------- ----------------------- Page 653----------------------- http://zheraf.net “Hemm, engkau tidak mau makan? Kalau engkau lebih suka menderita dan mati kelaparan, terserah kepadamu!” kata Aki Mahesa Sura. “Nimas Eulis, harap engkau jangan berkeras hati seperti itu. Aki Mahesa Sura sudah berbaik hati memberi kita makan. Maka, makanlah, nimas, ini perlu untuk menjaga kesehatan tubuhmu.” Kembali mereka bertemu pandang dan Eulis melihat sinar mata pemuda itu yang mengandung isarat kepadanya. Iapun teringat bahwa selama mereka masih belum dibunuh, hanya ditawan saja mereka berdua masih mempunyai kesempatan untuk melepaskan diri dari cengkeraman Aki mahesa sura dan tiga orang muridnya. Akan tetapi tentu saja ia tidak akan mampu berbuat banyak kalau ia menderita kelaparan dan tubuhnya kehilangan tenaga dan menjadi lemas. Ia maklum akan isarat Jatmika. pemuda itu menganjurkan agar ia tetap menjaga kesehatan tubuhnya agar kalau kesempatan itu terbuka, mereka akan dapat memberontak dan melepaskan diri. “Baiklah, baiklah!” katanya marah dengan bersungut- sungut ia pun mulai makan. Tentu saja dalam keadaan seperti itu, makanpun tidak terasa sedap. Akan tetapi ia memaksa diri untuk menelan nasi dan sayurnya dan merasa betapa tubuhnya segar kembali. Setelah makan dan minum, eulis mempergunakan kesempatan itu untuk berkata kepada Aki Mahesa Sura, “Aki Mahesa Sura, aku merasa badanku gerah dan kotor berkeringat, maka perkenankanlah aku untuk mandi membersihkan diri di sungai.” Aki Mahesa Sura menyeringai dan mengangguk, berkata kepada tiga orang muridnya. “Kalian bertiga kawallah ----------------------- Page 654----------------------- ----------------------- Page 655----------------------- http://zheraf.net Setelah mandi, Jatmika juga merasa tubuhnya segar dan bersemangat. Dia memutar otaknya. Aki Mahesa Sura merupakan orang yang paling berbahaya di antara empat orang yang menawan dia dan Eulis. yang seorang lagi, anak buah Munding Hideung itu telah disuruh pergi oleh kakek itu, entah ke mana. Kini kakek itu menjaganya di tepi sungai. Kalau saja dia dapat merobohkan kakek itu sekarang, membunuhnya atau setidaknya membuat dia tidak berdaya, tentu tiga orang murid kakek itu tidak mengetahuinya dan diam-diam dia dapat menyerbu mereka untuk membebaskan Eulis! Membayangkan kemungkinan ini, jantung dalam dada Jatmika berdebar. ketika dia mengenakan kembali pakaiannya dalam gelap dan melangkah keluar dari tepi sungai, menghampiri Aki Mahesa Sura yang berdiri termangu tak jauh dari situ, seluruh urat syaraf dalam tubuhnya sudah menegang dan dia sudah siap siaga untuk melakukan serangan mendadak dan merobohkan kakek sakti mandraguna itu. ----------------------- Page 656----------------------- ----------------------- Page 657----------------------- http://zheraf.net menjaga mereka dengan ketat. Dia sendiri menjaga Jatmika dan tiga orang muridnya disuruh menjaga Eulis. Melihat kakek itu diam saja, hanya memandang dia dan Eulis penuh perhatian, Jatmika menjadi tidak sabar. “Aki Mahesa Sura, sekarang katakanlah, apa yang hendak kaulakukan kepada kami yang telah kautawan? Engkau hendak membawa kami ke manakah?” “Heh-heh, engkau tidak perlu tahu, Jatmika. sekarang jawablah pertanyaanku. Siapakah gurumu?” Jatmika tidak ingin menyembunyikan nama gurunya, bahkan dia ingin mengagetkan hati kakek itu dengan memperkenalkan nama besar gurunya. “Guruku adalah eyangku sendiri yang tinggal di pantai deramyu, berjuluk Ki Ageng Pasisiran, dahulu bernama Ki Tejo Langit.” Benar saja. Aki Mahesa Sura tampak terkejut. “Ah tiga orang saudara seperguruan Tejo dari banten yang terkenal. Tejo Wening, Tejo Langit dan Tejo Budi! Kiranya engkau murid dan juga cucu Ki Tejo Langit? Bagus sekali. Tiga orang datuk Banten itu tentu tidak suka kepada Mataram. Sungguh kebetulan sekali. Kalau begitu kita masih orang sendiri dan sehaluan. Sudahlah, skan kuhapuskan saja kesalah-pahaman antara kita. Mulai sekarang kuajak kalian berdua untuk bekerja sama. Eh, akan tetapi murid siapakah Listyani ini?” “Nimas Eulis adalah adik seperguruanku!” kata Jatmika karena dia sendiri tidak tahu, juga gadis itu tidak tahu murid siapakah ia. Akan tetapi dia tidak berbohong kalau mengakui gadis itu sebagai saudara seperguruannya karena ilmu-ilmu mereka memang sealiran. ----------------------- Page 658----------------------- ----------------------- Page 659----------------------- http://zheraf.net “Hemm, maksudmu hendak memberontak terhadap Kadipaten sumedang dan menggantikan adipatinya? Lalu kalau menurutmu, siapa yang akan dijadikan pengganti?” “Siapa saja asal dapat mengambil sikap memusuhi Mataram. Bisa diambil seorang dari murid-muridku, atau engkau sendiri juga bisa, Jatmika. Selama engkau menentang Mataram, aku akan selalu mendukung dan membantumu.” “Hemm, bicara memang mudah, Aki Mahesa Sura! Akan tetapi melaksanakan itulah yang sukar. Apa kaukira mudah saja merobohkan sang adipati yang memiliki banyak pasukan perajurit, hanya mengandalkan engkau, tiga orang muridmu dan kami berdua?” “Heh-heh-heh, engkau terlalu memandang remeh kepadaku, Jatmika! Kaukira aku sebodoh itu? aku sudah menghimpun kekuatan yang lumayan banyaknya. Walaupun tidak sebanyak pasukan Kadipaten sumedang, namun seluruh anggauta pasukan kami dipersenjatai dengan senjata api bedil, dan kalau kalian berdua mau membantu, sudah pasti Kadipaten Sumedang dapat direbut dan Pangeran Mas Gede dapat dirobohkan dan diganti orang lain.” Jatmika sejak tadi memutar otaknya. Dia menerima pesan dari eyang dan ayahnya untuk membantu Sumedang yang sedang terancam pemberontakan. Siapa kira dia dan Eulis kini malah telah tertawan oleh pimpinan pemberontak itu yang bukan lain adalah Aki mahesa Sura dan diajak untuk membantu pemberontakan menjatuhkan Kadipaten Sumedang! Jatmika maklum bahwa itulah sebabnya mengapa kakek itu tidak membunuh dia dan eulis, pada hal mereka berdua sudah membunuh murid dan sahabat kakek itu! Dia tahu bahwa kalau dia menolak, apalagi kalau kakek itu tahu bahwa dia malah ----------------------- Page 660----------------------- ----------------------- Page 661----------------------- http://zheraf.net “Tidak sudi aku sekamar dengan mereka!” Eulis membentak marah. “Aki Mahesa Sura, kalau murid-muridmu berani mengganggu selembar saja rambut Nimas Eulis aku akan ...... !” “Tenanglah, Jatmika. mereka tidak akan berani.” Kata kakek itu lalu berkata kepada tiga orang muridnya. “Biarkan gadis itu tidur dalam kamar sebelah dan kalian bertiga berjaga di luar kamar. Awas, kalau ada yang menyentuhnya, aku akan membuntungi anggauta badan kalian yang berani menyentuhnya!” Melihat gadis itu masih ragu dan memandang kepadanya, Jatmika berkata, “pergilah tidur di kamar sebelah, nimas dan percayalah, Aki Mahesa Sura tidak akan melanggar janji.” Setelah jatmika berkata demikian, barulah Eulis bangkit berdiri lalu melangkah dan memasuki kamar sebelah yang diterangi sebuah lampu gantung kecil. Dengan kedua tangan terbelenggu, gadis itu lalu merebahkan diri di atas pembaringan kayu, miringkan tubuh menghadap ke dalam dan segera ia dapat tidur karena memang ia sudah merasa lelah dan mengantuk. “Mari kita beristirahat, Jatmika,” kata Aki Mahesa Sura. jatmika bangkit dan mengikuti kakek itu memasuki sebuah kamar. dalam kamar itu terdapat dua buah dipan kayu. Menurut petunjuk Aki Mahesa Sura, Jatmika merebahkan dirinya di atas dipan yang berada di sebelah dalam, tidur miring membelakangi kakek itu yang duduk bersila di dipan kedua. Jatmika maklum bahwa memberontak tidak akan ada gunanya, bahkan membahayakan keselamatan ----------------------- Page 662----------------------- ----------------------- Page 663----------------------- http://zheraf.net hidupnya, tidak akan mudah berjegal tersandung, mudah melihat kesalahan sendiri. Tidak seperti orang yang dalam perjalanan hidupnya selalu menengadahkan muka melihat ke atas, dia mudah tersandung dan jatuh tersungkur. Orang yang selalu menundukkan muka memandang ke bawah, akan tetapi dapat melihat mereka yang berada di bawahnya, yang lebih rendah, lebih miskin dan lebih kekurangan daripada dirinya sendiri. Dengan demikian dia akan selalu merasa bahwa dia adalah seorang yang beruntung, cukup tinggi, cukup berkemampuan dan berlebihan dibanding banyak orang yang berada di bawahnya sehingga dia akan dapat mengucapkan syukur dan terima kasih kepada kemurahan Gusti Allah kepadanya. Sebaliknya orang yang selalu berdongak hanya akan melihat mereka yang berada lebih tinggi darinya, lebih pandai, lebih kaya, lebih tinggi kedudukannya. Dengan demikian dia akan selalu merasa bahwa dia adalah seorang yang tidak berbahagia, yang rendah, yang kalah kaya, kalah makmur, kalah pandai oleh mereka yang berada diatasnya sehingga dia akan selalu mengomel, mencela, mengatakan bahwa Gusti Allah tidak adil kepadanya, hidupnya penuh keluh kesah dan iri hati, Lihat betapa arif bijaksananya nenek moyang kita. Mereka membuat gambar-gambar wayang kulit yang mengandung penuh arti. Lihat gambaran wayang. Semua satria arif bijaksana, semua digambar dengan muka menunduk dan lihat para raksasa yang angkara murka, semua digambar dengan muka menengadah atau dagu terangkat! Coba bayangkan, bagaimana sikap orang yang sombong, yang sewenang-wenang, yang angkara murka, yang berbangga diri dan berkepala besar, semua tentu mengangkat mukanya. Sebaliknya, orang yang penyabar, yang mengalah, yang rendah ----------------------- Page 664----------------------- ----------------------- Page 665----------------------- http://zheraf.net mengakibatkan kita masih merasakan segala macam perasaan yang bergolak dalam hati akal pikiran seperti misalnya senang, suah, puas, kecewa, marah. malu, khawatir dan sebagainya. Hanya bedanya, Aji, orang yang kuat imannya dan penyerahannya kepada Gusti Allah, pengaruh nafsu-nafsu daya rendah itu tidak sampai menyeretnya terlalu jauh, tidak sampai membuat dia melakukan perbuatan-perbuatan jahat karena ada kekuasaan Gusti Allah yang akan menahan dan membimbingnya. Tidak seperti orang tak beriman yang lalu melampiaskan nafsu-nafsunya dengan melakukan perbuatan yang keji dan sejahat-jahatnya.” Teringat akan semua ini, biarpun Aji melihat dengan jelas betapa hatinya bergolak oleh pengaruh nafsu-nafsu, dia tidak merasa khawatir akan tetapi percaya bahwa Gusti Allah tidak akan meninggalkannya. Pada saat itu, dia merasa penasaran, marah, kecewa dan juga berduka dan khawatir. Dia merasa penasaran dan marah melihat sepak terjang orang-orang yang memberontak terhadap Mataram dan merendahkan diri menjadi antek Kumpeni Belanda menjual nusa bangsa sendiri. Dia kecewa sekali melihat betapa Hasanudin, kakak tirinya seayah berlainan ibu, telah tersesat dan terpikat oleh Belanda menjadi kaki tangannya pula. Dia berduka karena kematian Ki Sudrajat putera mendiang gurunya, dan kematian Ki Tejo Langit kakak seperguruan gurunya yang memang selama ini dicarinya. Baru saja bertemu, pada malam yang sama, mereka berdua tewas diterjang peluru-peluru senapan Kumpeni Belanda. Dan dia terutama sekali merasa khawatir memikirkan nasib Sulastri yang jatuh ke bawah tebing lalu lenyap tanpa meninggalkan bekas! Kini dia dibebani oleh lebih banyak tugas lagi. Selain mambantu Mataram dalam mempersiapkan diri ----------------------- Page 666----------------------- ----------------------- Page 667----------------------- http://zheraf.net dengan pengerahan tenaga dalam sehingga gerakannya cepat dan hanya berkelebat seperti bayang-bayang, Aji mendengar seorang di antara dua losin anak buah itu bertanya. “Gusti Menggung, tidak kelirukah jalan yang kita tempuh?” Pria yang gagah perkasa yang memimpin pasukan itu, yang berkumis tebal sekepal sebelah seperti Raden Gatutkaca, tertawa “Ha-ha, mana bisa keliru? Aku pernah ke sini. Hayo cepat, keburu malam!” Suaranya besar dan mantap, juga berwibawa, rombongan itu mempercepat jalannya, bahkan setengah berlari dipimpin orang yang disebut Gusti Menggung itu. Aji dapat melihat betapa orang gagah itu dapat berlari dengan ringan, tampaknya seperti melangkah biasa saja, akan tetapi anak buahnya terengah-engah mengikutinya dengan berlari cepat! Seorang yang cukup tangguh, pikir Aji sambil berlari agar dapat terus membayangi dari jarak dekat. Akhirnya, setelah cuaca mulai gelap, tibalah mereka di depan sebuah pondok kayu yang cukup besar di tepi sungai itu. Mereka berhenti di luar pintu dan pemimpin rombongan itu berseru dengan suara lantang. “Aki (Kakek) Mahesa Sura! Apakah andika berada di dalam pondok?” Aki Mahesa Sura yang sedang duduk bersila di atas dipan, menjaga Jatmika yang rebah di dipan yang lain, menyeringai lebar mendengar suara itu. “Heh-heh, kiranya Denmas Tumenggung Jaluwisa telah datang, kukira besok pagi baru tiba. Tunggu, kubukai pintu!” Aki Mahesa Sura memberi isyarat kepada Jatmika yang juga bangkit duduk untuk ikut dengannya keluar kamar. setibanya di luar kamar, kakek itu berkata kepada tiga orang muridnya, “Kalian bawa gadis itu keluar, ke ruangan depan.” ----------------------- Page 668----------------------- ----------------------- Page 669----------------------- http://zheraf.net melangkah memasuki ruangan depan yang terang itu dan duduk berhadapan dengan Aki Mahesa Sura, tiga orang muridnya, yaitu Munding Beureum, Monding Koneng, dan Munding Hejo yang mengapit dua orang tawanan yang terbelenggu itu. “Aki, siapakah mereka ini?” Tumenggung Jaluwisa menuding ke arah tiga murid dan dua tawanan itu. Sementara itu, Aji sudah menyelidiki dengan hati-hati dan kini dia mendekam di pojok luar ruangan depan itu dan mengintai dari sebuah lubang yang dibuat dengan tusukan telunjuknya pada dinding papan. Ketika dia melihat Eulis, jantungnya berdebar tegang, dia terbelalak dan hatinya diliputi rasa girang, heran dan terharu. “Nimas Sulastri ...... !!” Untung Aji dapat menguasai mulutnya yang hampir saja dilalui jerit hatinya itu. Hanya dalam hati dia menjerit memanggil nama gadis itu. sulastri masih hidup! Ini yang terpenting dan yang kedua, gadis itu tertawan dan harus dibebaskan. Akan tetapi dia kini sudah memiliki banyak pengalaman dan tidak mau bertindak sembrono. Dia hendak melihat keadaan dulu dan melihat perkembangannya. Maka, ketika Tumenggung Jaluwisa duduk lalu bertanya kepada kakek yang tadi disebut sebagai Aki mahesa Sura, Aji mengintai penuh [erhatian. “Perkenankan, denmas tumenggung. Yang tiga orang ini adalah murid-muridku. Munding Beureum, Munding Koneng dan Munding Hejo. Mereka inilah tiga dari panca Munding yang memimpin anak buah Munding Hideung di Gunung Careme. Heh, kalian bertiga, ketahuilah bahwa ini adalah Denmas Tumenggung Jaluwisa, senopati Sumedang.” Tiga murid itu merasa rendah diri dan mengangguk dengan ----------------------- Page 670----------------------- ----------------------- Page 671----------------------- http://zheraf.net adalah Jacques Lefebre akan tetapi selanjutnya akan disebut Mayor Jakuwes saja seperti yang dikenal oleh orang pribumi, baik yang menentang Kumpeni Belanda maupun yang menjadi antek bangsa asing itu. “O, begitukah? Lega hatiku mendengar keteranganmu, denmas. Jadi tidak ada perubahan dalam rencana semula, bukan?” “Sama sekali tidak ada perubahan, Aki. Akan tetapi bagaimana dengan tugasmu? Andika bertugas untuk menghubungi murid-murid andika untuk diajak membantu kami bersama anak buah mereka yang cukup banyak jumlahnya. Mengapa kini kami dapati Aki berada di sini berempat saja dengan tiga murid Aki, membawa dua orang tawanan? Siapakah nama dua orang tawanan muda ini, Aki?” “pemuda ini bernama Jatmika, dan gadis ini bernama Listyani. mereka memiliki ilmu tinggi, sakti mandraguna, denmas, maka terpaksa kami ikat kedua tangannya agar tidak memberontak.” Aji dalam pengintaiannya tersentak kaget dan heran bukan main. Kakek itu menyebut nama Sulastri sebagai Listyani! dan pemuda tampan itu ternyata adalah Jatmika, putera Ki Sudrajat! Teringatlah dia betapa Ki Sudrajat berpesan kepadanya sebelum mati agar kalau dia bertemu dengan Jatmika, dia suka membantunya. Dan sekarang dia bertemu dengan Jatmika yang menjadi tawanan bersama Sulastri. Akan tetapi mengapa Sulastri diperkenalkan sebagai Listyani? Biarpun hati Aji merasa penasaran sekali, akan tetapi dia tidak berani gegabah turun tangan. Orang-orang itu agaknya bukan orang sembarangan, terutama kakek yang disebut Aki Mahesa Sura itu. Dan tumenggung itupun bukan orang lemah, ditambah ----------------------- Page 672----------------------- ----------------------- Page 673----------------------- http://zheraf.net “Ah, begitukah? Bagus sekali kalau mereka mau bekerja sama dan kurasa tidak perlu lagi tangan mereka dibelenggu. Aku menerima mereka berdua sebagai pembantu- pembanruku. Lepaskan saja ikatan mereka, Aki Mahesa Sura!” “Akan tetapi, anakmas. mereka berbahaya sekali. Kalau belum ada kepastian mereka berdua mau benar-benar bekerja sama dengan kita, aku tidak berani melepaskan ikatan mereka.” “Huh, pengecut!” Eulis mencebirkan bibirnya. Aji yang mengintai menahan senyumnya. Itulah Sulastri. Tak salah lagi. Gadis itu boleh mengubah namanya, boleh mengubah apa saja, akan tetapi tak dapat mengubah sikapnya yang galak pemberani dan suaranya yang lantang tajam itu! “Kenapa takut, Aki? Nona ini bicara benar. Kita orang- orang gagah tidak sepatutnya bersikap pengecut. Andaikata mereka berdua setelah dilepaskan belenggunya lalu mengamuk, mereka dapat berbuat apa terhadap kita? Ada andika di sini, ada pula tiga orang muridmu dan ada aku pula! Lihat ini!” Tiba-tiba, begitu kedua tangan Tumenggung Jaluwisa bergerak, tahu-tahu dua pucuk pistol sudah berada di kedua tangannya. Gerakannya demikian cepat sehingga hampir tak tampak. “Andika melihat ini, Aki?” tumenggung itu menimang pistol di tangan kiri. “Pistol ini mempunyai peluru-peluru perak dan akan menembus semua aji kekebalan! Dan kalau mungkin gagal, masih ada pistol kedua ini. Andika lihat. Ini pistol berpeluru emas. Aji kekebalan mana mampu bertahan? dengan kedua pistol ini di tanganku, jagoan Mataram yang mana akan mampu dan berani melawan aku? Nah, kenapa andika takut melepaskan ikatan kedua orang muda yang mau bekerja sama ----------------------- Page 674----------------------- ----------------------- Page 675----------------------- http://zheraf.net matanya seperti mengisyaratkan agar gadis itu menurut saja kepadanya. “Nah, sekarang harap kalian beritahukan kepada kami, kerja sama bagaimana yang kalian maksudkan dan tugas apa yang harus kami lakukan,” katanya sambil memandang tajam kepada Aki Mahesa Sura dan Tumenggung Jaluwisa. Tumenggung Jaluwisa tertawa. “Ha-ha-ha, Jatmika, agaknya andika seorang pemuda yang jujur dan tidak mau banyak lika-liku, langsung saja ke persoalan. Bagus, aku suka sekali sikap seperti itu. Nah, dengarlah baik-baik. Kalau andika dapat melaksanakan tugas ini dengan baik bersama nona Listyani, kalian berdua akan mendapatkan kedudukan tinggi di Sumedang.” “Soal itu kita bicarakan belakangan saja, paman. Yang penting sekarang membicarakan apa yang akan kita lakukan terhadap Kadipaten Sumedang.” “Paman? Ah, benar juga. Andika masih muda, paling banyak dua puluh dua tahun usiamu, memang pantas kau sebut paman tumenggung, akan tetapi aku akan lebih suka kalau engkau dan Listyani ini menyebut kakangmas tumenggung padaku. Ha-ha, akan tetapi tidak mengapalah. Ucapanmu itu menunjukkan bahwa andika bukan seorang yang kemaruk (tamak) dan haus akan imbalan hadiah. Baik sekali. Nah, dengar baik-baik. Adipati Sumedang Mas Gede, adalah seorang yang tidak memiliki pendirian tegas. Dalam hatinya dia setuju dengan kami, tidak suka kepada Mataram dan condong membantu pihak Kumpeni Belanda yang hendak memakmurkan rakyat kami, akan tetapi pada lahirnya dia selalu mencari muka kepada Sultan Agung di Mataram. Dia seperti ular berkepala dua, siap mengkhianati kedua pihak ----------------------- Page 676----------------------- ----------------------- Page 677----------------------- http://zheraf.net andika akan kisah lama yang terjadi kurang lebih tiga ratus tahun yang lalu? Sang Maharaja Purana, raja Pajajaran dengan niat baik dan rendah hati mengantarkan puterinya untuk menjadi pemaisuri Sang Prabu Hayam Wuruk atau Rajasanegara. Akan tetapi apa yang dilakukan Raja Mataram itu? Raja Pasundan, Sang Maharaja Purana malah dihina, diharuskan mempersembahkan puteri beliau untuk menjadi seorang selir sebagai tanda menaklum! Pihak Pajajaran tentu saja menolak dan di Bubat itu terjadilah pertempuran yang berakhir dengan terbasminya pasukan Pajajaran. sang Maharaja Purana sekeluarga berikut semua perwira dan perajurit binasa! Hayo katakan, siapa yang tidak membenci Mataram? Aku adalah seorang keturunan Menak (bangsawan) Pajajaran, maka aku akan selalu memusuhi Mataram. Karena Adipati Sumedang Pangeran Mas Gede condong tunduk kepada Mataram, maka dia menjadi musuhku pula!” Jatmika menghela napas panjang. tentu saja dia sudah pernah mendengar kisah lama itu dari ayahnya, akan tetapi dengan warna atau pendapat yang lain. Menurut ayahnya, pada waktu itu Sang Prabu Hayam Wuruk atau Rajasanegara sama sekali tidak bermaksud menumpas Sang Maharaja Purana dari Pajajaran berikut semua pasukannya. Hal itu terjadi karena kesalah-pahaman antara Ki Patih Gajahmada dan para perwira Pajajaran, ditambah lagi usaha licik Raja Wengker untuk mengadu domba karena dia menghendaki Sang Prabu Hayam Wuruk agar menikah dengan seorang puterinya, bukan dengan puteri Pajajaran itu. Ternyata kemudian, setelah terjadi Perang Bubat yang menewaskan Sang Maharaja Purana berikut seluruh keluarganya, Sang Prabu Hayam Wuruk benar-benar menikah dengan puteri Raja Wengker! Akan tetapi peristiwa ----------------------- Page 678----------------------- ----------------------- Page 679----------------------- http://zheraf.net Sang tumenggung menatap wajah cantik itu dan tersenyum. Tadinya kami rencanakan agar aku sendiri atau Mahesa Sura yang melakukan pembunuhan. Akan tetapi kehadiran kalian ini sungguh menguntungkan sekali. Kalau aku atau Aki Mahesa Sura yang melaksanakan penyerangan untuk membunuhnya, tidaklah aman karena sang adipati telah mengenal baik aku dan Aki.” “Hemm, kenapa tidak menyuruh orang lain yang tidak dikenalnya? Bukankah andika mempunyai banyak anak buah?” “Wah, itu berbahaya. Sang Adipati bukan orang lemah. Dia cukup tangguh, Kita harus mengingat kemungkinan gagal, walaupun menurut perhitunganku, kemungkinan itu kecil sekali atau hampir tak mungkin. Akan tetapi andaikata kita gagal membunuhnya, kalau aku atau Aki yang melakukan, tentu kami akan ketahuan. Sebaliknya, kalau kalian yang melakukan, andaikata gagal sekalipun, dia tidak akan mengenal kalian. Kalau gagalpun, aku tetap aman dan dapat merencanakan penyerangan berikutnya. Mengertikah kalian sekarang?” Jatmika dan Eulis mengangguk setelah saling pandang sejenak. “Kami mengerti.” “Dan kalian besok siang sanggup melaksanakannya?” Kembali Eulis memandang Jatmika dan pemuda itu yang menjawab, “Kami sanggup!” “Nah, sekarang kita beristirahat. Kuharap kalian setelah dibebaskan dari ikatan, tidak bertindak macam-macam karena kami belum mendapatkan bukti kesetiaan kalian dan tidak akan ragu-ragu untuk menembak mati kalian kalau kalian hendak memberontak,” kata pula Tumenggung Jaluwisa. “Biar aku mengaso bersama Aki dan Jatmika. Andika boleh menempati ----------------------- Page 680----------------------- ----------------------- Page 681----------------------- http://zheraf.net pengkhianat dan anak buah Kumpeni Belanda? Dia teringat pula kepada kakak tirinya, Hasanudin. Kakak tirinya itupun sudah terseret ke lembah hina, menjadi antek Kumpeni Belanda. Kenapa orang-orang begitu mudah terpikat umpan kedudukan dan harta benda? Untung baginya malam itu langit cerah dan bulan muda memberikan penerangan cukup sehingga dia dapat melakukan perjalanan cepat sekali. Ketika fajar menyingsing, tibalah dia di luar sebuah dusun. Kebetulan dia melihat seorang petani setengah tua memanggul cangkul, agaknya petani yang amat rajin ini sudah hendak bekerja di sawah ladangnya sepagi itu. Aji menghadang di depan petani itu dan sebelum petani itu terkejut, Aji sudah mendahului dengan teguran yang ramah dan lembut. “Selamat pagi, paman. Rajin benar sepagi ini sudah hendak bekerja di ladang.” “Yah, kalau saya menanti sampai matahari terbit, jangan-jangan saya malah tidak sempat lagi menggarap ladang, denmas.” “Jangan sebut saya denmas, paman. Saya juga orang desa seperti paman. Akan tetapi kenapa kalau matahari terbit paman malah tidak sempat menggarap ladang?” “Wah, nakmas. Orang sedusun kami jadi repot sejak malam tadi. Kami harus melayani tamu agung, maka saya pagi- pagi sekali segera saja ke ladang agar terhindar dari kesibukan nanti.” “Tamu agung? Siapakah dia, paman?” “Wah, bukan blaen-blaen (main-main), anakmas. Tamu yang kini bermalam di rumah kepala dusun adalah Gusti Adipati Sumedang sendiri! Para pengawalnya, kurang lebih sertaus orang bersama perwira-perwiranya mondok di pendopo ----------------------- Page 682----------------------- ----------------------- Page 683----------------------- http://zheraf.net “Ki sanak, aku datang membawa berita penting sekali untuk Gusti Adipati.” kata Aji dengan sikap hormat dan suaranya lembut. Pnjaga itu menjadi semakin marah. Empat orang kawannya sudah datang pula menodongkan tombak mereka kepada Aji. “Apa kaubilang? Siapa sudi menjadi sanakmu? Hayo katakana, apa makasudmu datang malam-malam ke sini. Awas, jangan bohong dan bicara yang bukan-bukan atau tombakku akan menjebolkan isi perutmu!” “Tadi sudah kukatakan bahwa aku datang membawa berita penting sekali untuk Gusti Adipati.” Ujung tombak itu ditekan dan merapat di kulit dada Aji. “Petani kotor macam kamu mana mempunyai berita penting untuk Gusti Adipati? Paling-paling kalau bertemu kamu ingin mengajukan permohonan, minta ini itu! Hayo pergi atau tomabak ini akan kutusukkan di perutmu!” Bukan hanya tombak si pembicara yang menekan kulit Aji, juga empat batang tombak lain menekan kulit tubuhnya, dua di depan, satu di kiri, satu di kanan dan satu di punggungnya. Dia telah dikepung lima batang tombak yang siap menusuk. “Kalian penindas rakyat, sungguh keterlaluan!” Berkata demikian, dia menggerakkan kedua tangannya sambil memutar tubuhnya. Tombak-tombak itu ditusukkan karena para perajurit mengira dia melakukan perlawanan, akan tetapi senjata-senjata itu terpental dan ketika tangan Aji menampar lima kali, tombak-tombak itu patah-patah. Aji menggerakkan kakinya yang menyambar-nyambar dan lima orang itu berpelantingan dan jatuh terbanting keras. “Hei, apa yang terjadi di sini?” Terdengar bentakan nyaring dan dua orang dengan gerakan trengginas telah ----------------------- Page 684----------------------- ----------------------- Page 685----------------------- http://zheraf.net pengkhianatan yang mengancam nyawa adipati itu. Cepat Adipati Pangeran Mas Gede bertukar pakaian, mencuci muka dan tak lama kemudian dia sudah menerima Aji di ruangan belakang, ditemani oleh lima orang perwira, yaitu para pimpinan pasukan pengawal itu. Pada waktu itu, Sumedang memang dirongrong oleh gerakan-gerakan gerombolan yang tampaknya ada tanda-tanda hendak memberontak, maka dalam perjalanan berburu binatang ini Adipati Pangeran Mas Gede membawa seratus orang pengawal dipimpin lima orang perwira. Di depan sang adipati Sumedang, kembali Aji memperlihatkan keris pusaka Kyai Nagawelang sehingga sang adipati percaya kepadanya. “Andika bernama Lindu Aji? Nah, setelah kami merasa yakin bahwa andika memang utusan Gusti Sultan Agung, sekarang ceritakanlah dengan gamblang tentang apa yang andika sebut sebagai pengkhianatan yang mengancam keselamatan kami itu.” Dengan jelas Aji lalu menceritakan tentang percakapan antara Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura tentang pengkhianatan meraka, dan tentang rencana mereka untuk besok siang turun tangan membunuh sang adipati yang sedang melakukan perburuan binatang di Lembah Sungai Ci Lutung. Mendengar laporan ini, Adipati Pangeran Mas Gede menepuk pahanya sendiri dengan marah. “Keparat Jaluwisa! Kiranya dia merencanakan pengkhianatan dan pembunuhan keji! Akan tetapi kami mempunyai seratus orang pasukan pengawal!” “Gusti Adipati, harap diketahui bahwa Tumenggung Jaluwisa akan mempersiapkan orang-orangnya yang berjumlah ----------------------- Page 686----------------------- ----------------------- Page 687----------------------- http://zheraf.net malapetaka. Tumenggung Jaluwisa itu cukup sakti dan dia memang pandai menggunakan senjata api. Apalagi yang namanya Aki Mahesa Sura itu! Dia sakti mandraguna dan pandai sihir, bahkan kabarnya dia dapat mengubah dirinya menjadi harimau jadi-jadian!” “Harap Paduka jangan khawatir. Biar saya yang mengaturnya. Saya yang akan menggantikan paduka di dalam kereta, dan saya yang akan menghadapi Mahesa Sura. Sebaiknya sekarang juga kita berangkat, paman Adipati, agar kita dapat tempat yang cocok untuk melaksanakan rencana kita menjebak mereka. Kita dapat merundingkan teantang rencana jebakan itu dalam perjalanan.” Pangeran Mas Gede akhirnya menyetujui dan pagi-pagi sekali rombongan ini bergerak meninggalkan dusun dan setelah tiba di tepi sungai Ci Lutung, Aji mencari tempat yang baik untuk menjebak lawan. Ketika tiba di lembah sungai yang berhutan, Aji menghentikan rombongan itu. Dia lalu mengatur pasukan pengawal, membaginya menjadi tiga rombongan dan menyuruh mereka mempersiapkan gendewa dan anak panah sebanyaknya. Senjata bedil lawan akan dibalas dengan anak panah. Dia mengatur sedemikian rupa sehingga tiga rombongan pasukan itu bersembunyi dan mengepung tempay itu dari tiga jurusan. Mereka diperintahkan untuk tetap bersembunyi dan berlindung di balik batang-batang pohon dan batu-batuan besar. Aji lalu menggunakan tali untuk mengikat semak-semak belukar dan pohon-pohon kecil yang berada di tengah dan yang terkepung tiga rombongan itu. ----------------------- Page 688----------------------- ----------------------- Page 689----------------------- http://zheraf.net diikat tali. Tentu mereka akan mengira bahwa kita bersembunyi di situ dan mereka akan menghujani tempat- tempat itu dengan tembakan bedil-bedil mereka. Nah, kalau bedil-bedil mereka kosong dan mereka sibuk mengisi bedil mereka dengan peluru baru, aku akan memberi isyarat dengan teriakan burung alap-alap seperti ini.” Aji mengeluarkan suara mirip lengkingan burung alap-alap. “Setelah mendengar isyarat itu, barulah kalian menghujani mereka dengan anak panah itu jangan terlalu lama dan kalian harus cepat berpindah tempat berlindung yang sebelumnya harus sudah dipersiapkan agar kalau mereka memberondongkan peluru ke arah kalian tidak akan ada yang kena peluru. Kalian hanya menyerang begitu ada tanda dariku, menghujani anak panah lalu berpindah lagi. Mengerti?” Semua perajurit mengangguk dan merasa gembira. Pemuda senopati muda yang menjadi utusan Sultan Agung itu tampak demikian tenang dan tegas, agaknya sudah yakin akan kemenangan mereka, maka perajurit juga penuh semangat. Setelah semua orang bersembunyi di tempat masing- masing, Aji duduk pada tempat kusir kereta Adipati Sumedang yang dia sembunyikan agak jauh dari tempat yang terkepung itu, menanti dengan sikap tenang. Semua orang menanti di tempat persembunyian masing-masing, dengan hati tegang dan tidak bersuara, bahkan napaspun ditekan agar jangan bersuara keras. Matahari telah naik tinggi dan mendatangkan siang yang panas, akan tetapi mereka yang mengatur baris pendam di hutan itu mersa sejuk karena pohon-pohon besar dengan daunnya yang rimbun bagaikan payung-payung raksasa melindungi mereka dari sengatan sinar matahari. ----------------------- Page 690----------------------- ----------------------- Page 691----------------------- http://zheraf.net Pada saat itu mereka tiba di dekat kereta, sesosok bayangan berkelebat turun dari atas kereta dan terdengar suara bayangan itu. “Jatmika dan Sulastri, cepat lari bersembunyi ke belakang kereta!” Suara itu demikian kuat wibawa dan pengaruhnya sehingga Jatmika dan Eulis tanpa ragu lagi cepat berlompatan ke belakang kereta dan ikut mendekam di samping Aji. “Hei, kalian berdua pengkhianat rendah!” terdengar Tumenggung Jaluwisa berteriak marah ketika melihat dua orang muda yang tadinya diharapkan akan menyerang dan membunuh sang adipati yang berada di dalam kereta, kini malah berlompatan dan berlindung di belakang kereta. “Aki, kita bunuh mereka!” Tumenggung Jaluwisa mencabut dua buah pistolnya dan membidik ke arah kereta. “Dar!! Dar!!” Bidikannya ternyata memang tepat sekali. Terdengar suara kuda meringkik dan dua ekor kuda yang menarik kereta itupun roboh, berkelojotan sebentar lalu mati karena kepala mereka telah tertembus peluru pistol. Pistol itu masih meledak beberapa kali dan beberapa butir peluru menyambar ke arah kereta, tentu dimaksudkan untuk menyerang orang yang berada dalam kereta. Tentu saja peluru- peluru itu terbuang sia-sia karena dalam kereta itu tidak ada siapapun. “Kalian jangan bergerak dulu. Dua buah pistol itu berbahaya, terisi peluru perak dan emas, dapat menembus semua aji kekebalan. Aku akan berusaha untuk menyingkirkan dua buah pistol itu lebih dulu!” kata Aji dan diapun cepat berkelebat meninggalkan Jatmika dan Eulis. Pemuda dan gadis itu memandang dengan kagum dan heran. Jatmika tidak ----------------------- Page 692----------------------- ----------------------- Page 693----------------------- http://zheraf.net anak panah. Mereka yang masih belum terluka cepat menembakkan senapan mereka ke arah dari mana datangnya anak panah. dari teriakan yang terdengar dapat diketahui bahwa setidaknya tentu ada beberapa orang anak buah pasukan pengawal yang terkena tembakan. Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura menjadi marah sekali. Aki Mahesa Sura lalu menerjang ke arah semak belukar. Banyak anak panah menyerangnya. Akan tetapi kakek itu tidak memperdulikan serangan itu dan tetap maju dan memutar tongkat ularnya. banyak anak panah terpental oelh putaran tongkat ular itu dan beberapa batang anak panah mengenai pundak dan dadanya, akan tetapi anak-anak panah itu seperti mengenai batu karang saja dan runtuh tanpa meninggalkan bekas luka, kecuali merobek baju kakek itu. Pada saat itu, Jatmika yang sejak tadi bersembunyi di belakang kereta bersama Eulis, tak dapat menahan diri lagi untuk tidak keluar. Dia melompat keluar. “Kakangmas Jatmika, hati-hati ...... !” Eulis juga ikut melompat ke luar. Tumenggung Jaluwisa yang masih mencari bayangan Aji, cepat membalikkan tubuhnya dan mengangkat kedua tangannya. “Dar ...... ! Darr ...... !” Dua moncong pistolnya menyemburkan api dan asap. Jatmika dan Eulis yang sudah diperingatkan Aji tentang keampuhan pistol-pistol perak dan emas itu, cepat membuang diri ke atas tanah dan bergulingan ke belakang batu-batu besar sehingga mereka terhindar dari sasaran pistol. Kemarahan Tumenggung Jaluwisa memuncak melihat pemuda dan gadis tawanannya itu ternyata tidak membantunya. Dan kemarahannya semakin berkobar ketika dia melihat ----------------------- Page 694----------------------- ----------------------- Page 695----------------------- http://zheraf.net tubuh mereka berkelojotan dan bekas bagian tubuh yang terkena sambaran tongkat ular, kulitnya berubah menghitam yang makin lama menjadi semakin lebar, Ternyata senjata tongkat ular itu mengandung bisa yang amat ampuh! Dalam waktu beberapa menit saja, belasan orang perajurit pengawal berjatuhan dan berkelojotan dalam sekarat! Tiba-tiba ada angin menyambar dari samping. Kakek yang berpengalaman ini maklum bahwa ada serangan orang sakti. Dia melompat menghindar dan memutar tubuh. Kiranya yang menyerangnya dengan tamparan kuat itu hanyalah seorang pemuda tampan berpakaian sederhana, akan tetapi bukan Jatmika. Pemuda itu adalah Aji. “Munding Hideung dan Munding Bodas adalah orang- orang sesat, akan tetapi ternyata gurunya bahkan lebih jahat lagi. Aki Mahesa Sura, andika yang sudah tua renta kenapa tidak mencari jalan terang agar kelak kepulanganmu ke alam baka tidak akan tersesat ke neraka jahanam?” kata Aji sambil memandang dengan sinar mata mencorong. Melihat kakek itu menghadapi pemuda yang tadi memimpin mereka dan mengatur siasat, para perajurit pengawal timbul kembali keberanian mereka. Dua orang melompat dan menubruk dari belakang, menusukkan tombak mereka ke arah punggung Aki Mahesa Sura. “Asrrgghh ...... !” Kakek itu mengeluarkan gerangan seperti seekor binatang buas, tubuhnya membalik, tongkatnya menyambar dan dua batang tombak itu kini bertemu dengan dadanya dan kdua senjata itu patah! tongkat ular menyambar mengenai dua orang penyerangnya yang segera terpelanting roboh dan berkelojotan! ----------------------- Page 696----------------------- ----------------------- Page 697----------------------- http://zheraf.net “Senjata jahanam pemberian Belanda inikah yang kau cari, Tumenggung Jaluwisa?” setelah berkata demikian, Jatmika mengerahkan tenaga dan melontarkan dua buah pistol itu ke arah sungai yang berada di bawah tebing. “Keparat!” Tumenggung Jaluwisa marah bukan main melihat dua buah pistol kesayangan dan andalannya dibuang dan lenyap ke bawah tebing. Dia mencabut goloknya yang mengkilat saking tajamnya. “Kalian telah mengkhianatiku! Sekarang aku menyesal mengapa tidak dari kemarin kalian kubunuh. Akan tetapi aku belum terlambat. Bersiaplah kalian untuk mampus! Haaaiiittt ...... !!” Tumenggung itu melompat seperti seekor singa kelaparan, menerkam dan menerjang kedua orang muda itu dengan sambaran goloknya yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung. Namun, Jatmika dan Eulis sudah siap siaga. mereka melompat ke belakang sehingga sambaran golok itu luput. Melihat keris pusakanya Kyai Cubruk kini terselip di pinggang Tumenggung Jaluwisa, Jatmika berseru nyaring. “Manusia curang! Kalau engkau memang gagah perkasa, kembalikan keris pusakaku kepadaku, baru kita bertanding sampai seorang diantara kita mati!” Akan tetapi seruan Jatmika ini seperti mengingatkan tumenggung itu akan pusaka yang dirampasnya dan yang kini berada dipinggangnya. “Ha, kau menginginkan keris ini? Baik, siapkan dadamu dan keris ini akan kukembalikan padamu!” Tangan kirinya mencabut keris pusaka itu dan kini dengan buas dia menggerakkan golok dan keris untuk menyerang kalang kabut! Tadi Jatmika dan Eulis sudah memungut sepotong ranting kayu sebesar lengan mereka, sepanjang kurang lebih satu meter dan ----------------------- Page 698----------------------- ----------------------- Page 699----------------------- http://zheraf.net mata lawan itu dengan berani. Ya, biarpun kedua orang itu hanya berdiri saling pandang tanpa bergerak atau mengeluarkan kata-kata, namun sebenarnya mereka sedang mengadu kekuatan melalui sinar matanya! Sepasang mata seekor kucing Candramawa mampu menjatuhkan seekor cecak yang sedang merayap di atas dinding atau mampu membuat seekor tikus yang tengah berlari menjadi lumpuh hanya dengan pandang matanya, maka Aki Mahesa Sura inipun mampu menyerang dan melumpuhkan lawan hanya dengan kekuatan sinar matanya yang lebih dahsyat daripada sinar mata seekor kucing Candramawa! Begitu bertemu dan beradu pandang Aji sudah merasakan serangan dahsyat melalui sinar mata itu. Namun dia bersikap tenang saja dan memperkuat penyerahannya kepada kekuasaan Gusti Allah. Penyerahan total ini mendatangkan Kekuasaan Gusti Allah yang melindungi jiwanya dan menyebar ke seluruh tubuhnya sehingga sebuah kekuatan mujijat terbentuk. Aji hanya tinggal mengerahkan kekuatan ini melalui pandang matanya menyambut serangan sinar mata Aki Mahesa Sura. “Uuhhhh ...... !!” Kakek itu mengeluh dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk memperkuat serangan sinar matanya. Akan tetapi dia merasa seolah kekuatan sihir matanya itu bertemu dengan kekuatan yang maha dahsyat. Hal ini tidaklah aneh karena dia menentang sumber dari segala kekuatan yang telah menyusup ke dalam diri Lindu Aji, Kakek itu seperti kebanyakan orang sakti mandraguna yang lain, memperoleh kekuatan ajaibnya melalui segala cara, penyiksaan diri, penyembahan berhala, dan segala macam cara sesat lain lagi. Karena itu seperti kebanyakan orang, dia mendapatkan ----------------------- Page 700----------------------- ----------------------- Page 701----------------------- http://zheraf.net pengorbanan yang diberikan itu tidak sepadan dengan yang diterimanya. Pengorbanannya jauh lebih hebat dan mengerikan. Berbeda dengan kekuatan yang didapatkan manusia dengan penyerahan diri kepada Gusti Allah. Apa yang didapatkan ini merupakan anugerah, merupakan tuntunan, bimbingan, suatu anugerah karena manusia itu telah mencapai tingkat keimanan yang paling dalam yaitu penyerahan diri sepenuhnya, penyerahan dengan tawakal, ikhlas dan taat. Demikianlah, tidak mengherankan ketika Aki Mahesa Sura mengerahkan kekuatan ilmu hitamnya, dia merasa seolah sinar lampu bertemu sinar matahari, seperti air bertemu samudra. Dia tidak tahan lagi dan melangkah mundur sambil memejamkan matanya. Kekuatan sinar matanya yang dipergunakan untuk menyerang tadi terasa seperti membalik dan menghantam dirinya sendiri. Terpaksa Aki Mahesa Sura memejamkan kedua matanya dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Namun karena dia memang sakti dan kuat, dia dapat memulihkan keadaannya. Tidak, dia sama sekali tidak merasa kalah. Orang seperti kakek ini yang merasa telah memiliki kedigdayaan, mempunyai kemampuan tinggi dan merasa dirinya sakti mandraguna, tidak mengenal perasaan mengaku kalah atau mengaku salah. Dia merasa dirinya paling pintar! Ini merupakan kelemahan kebanyakan manusia, yakni merasa dirinya paling pintar. Pada hal, mengaku diri pintar adalah suatu kebodohan besar, karena pengakuan atau perasaan diri sendiri pintar ini menutup semua kemungkinan untuk mencapai pengertian lebih banyak. Seolah sebuah gelas yang sudah penuh, bagaimana dapat menampung air dari luar. Beruntunglah dia yang dengan tulus ikhlas mengaku dirinya masih bodoh, bagaikan gelas yang masih belum penuh ----------------------- Page 702----------------------- ----------------------- Page 703----------------------- http://zheraf.net memiliki siyung (taring) Sang Batara Kala. Maka, jauhilah dan jangan dilawan.” Dasar manusia yang sudah menjadi budak nafsu, Aki Mahesa Sura yang sombong dan merasa diri sendiri terpandai itu sama sekali tidak terpengaruh pesan gurunya itu. Dia tetap tidak sudi mengaku kalah terhadap seorang pemuda kencur! Sepandai-pandainya pemuda itu, bagaimana mungkin dapat mengalahkannya? Waktu yang dia pergunakan untuk berjerih payah mempelajari dan mengumpulkan semua ilmu itu, masih lebih banyak dari pada usia bocah di depannya itu! Karena itu dia merasa yakin bahwa dia pasti akan dapat menglahkan dan membunuh pemuda yang lancang berani menentangnya itu. “Lindu Aji, engkau lihat, apa yang kupegang ini?” bentaknya sambil mengangkat tongkat ularnya ke atas. Aji merasa betapa dalam suara kakek itu terkandung getaran yang amat kuat maka maklumlah dia bahwa kakek itu hendak “menyerang” melalui suaranya yang mengandung hawa sakti. Dia masih bersikap tenang ketika memandang tongkat itu dan berkata tanpa nada mengejek, “Aki Mahesa Sura, aku melihat engkau memegang sebuah bangkai ular kering yang kaujadikan tongkat.” “Uwah! sudah butakah matamu? Pusaka Sarpasakti ini memiliki kesaktian Kalabahnisanghara (penumpasan dengan api maut), siapa berani melawan akan dihancur binasakan! Karena itu aku perintahkan kamu, hei Lindu Aji : Berlututlah dan menyembahlah engkau agar terbebas dari kehancuran!” Dalam suara Aki Mahesa Sura, terutama sekali dalam kalimat terakhir, terkandung getaran yang teramat kuat, yang seolah mendatangkan tangan tak tampak yang menekan dan memaksa ----------------------- Page 704----------------------- ----------------------- Page 705----------------------- http://zheraf.net Maha Suci dalam arti kata, Kekuasaan Gusti Allah selalu manunggal (bersatu) dalam dirinya. Dan secara jasmani, dia harus selalu mempergunakan semua anugerah Gusti Allh berupa badan dan hati akal pikiran ini untuk berikhtiar, berusaha untuk keselamatan jasmaninya, untuk kesejahteraan hidupnya di dunia dan terutama sekali, untuk membantu pekerjaan Gusti Allah, yaitu membangun kehidupan manusia di dunia yang penuh kedamaian, penuh kesejahteraan, penuh kasih sayang antara manusia. Dalam keadaan seperti itulah Aji menghadapi serangan tongkat pusaka di tangan Aki Mahesa Sura. Didasari iman penyerahannya kepada Gusti Allah, Aji lalu menyambut sinar hijau itu dengan dorongan telapak tangan kirinya sambil mengerahkan Aji Surya Chandra. Sinar hijau yang keluar dari moncong ular kering menyambar dahsyat, bertemu dengan telapak tangan kiri Aji yang dikembangkan. Sinar itu seolah terpental membalik dan menyambar kepala ular kering itu sendiri. “Uhhh ...... !!” Kembali Aki Mahesa Sura terhuyung, terbawa oleh tongkatnya sendiri yang seperti terserang sinar hijau yang keluar dari moncongnya. Agaknya telapak tangan Aji tadi bekerja seperti sebuah cermin dan ketika sinar hijau menyambarnya, maka sinar itu seperti bertemu dengan cermin dan bayangannya terpantul membalik dan menyerang sumber sinar hijau itu sendiri. Aki Mahesa Sura menjadi semakin marah dan penasaran. Dua macam serangan mempergunakan kekuatan sihir melalui mata dan suaranya telah digagalkan, bahkan serangan ketiga melalui tongkat ular juga terpantul membalik. Namun dia belum juga jera. Dia telah bertahun-tahun ----------------------- Page 706----------------------- ----------------------- Page 707----------------------- http://zheraf.net Aki Mahesa Sura yang tentu jauh lebih dahsyat dan berbahaya dibandingkan dua orang muridnya! Timbul keinginan dalam hati Aji untuk menguji kemampuan dirinya sendiri melawan harimau jadi-jadian itu dengan ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari dari mendiang Ki Tejo Budi. Bagaimanapun juga, dia memiliki pegangan batin yang amat kuat, yaitu keyakinannya bahwa kepasrahannya kepada Gusti Allah. Kalau sudah begitu, apa yang perlu ditakuti lagi? Apapun yang terjadi dengan dirinya, sepenuhnya menurut kehendak Gusti Allah dan akan diterimanya dengan penuh rasa syukur karena apapun yang ditentukan Allah, betapa burukpun dalam pandangan manusia, sesungguhnya adalah yang terbaik baginya! Dalam menghadapi segala hal, dia harus berikhtiar berusaha sekuat tenaga untuk melindungi dirinya. Ikhtiar, usaha atau bekerja adalah wajib di samping iman penyerahan diri sepenuhnya yang merupakan keharusan manusia. Bekerja saja tanpa dilandasi adanya bimbingan Gusti Allah dapat menyesatkan, membuat kita lupa diri dan hanya mengejar hasil pekerjaan itu tanpa perduli apakah cara bekerja itu diridhoi Gusti Allah atau tidak. Sebaliknya, hanya bimbingan kepada jiwa kita saja oleh Gusti Allah tanpa mengerjakannya dengan jasmani kita, juga membuat kita tidak mungkin dapat hidup di dunia ini. Keduanya, olah kerja dan iman penyerahan haruslah sama-sama kuat. Dengan demikian, hidup akan menjadi seutuhnya sebagai seorang manusia. “Haunnggg ...... grrrrr ...... !!” Tiba-tiba harimau sebesar kerbau itu melompat dan menubruk, menerkam dengan dahsyatnya kepada Aji. Pemuda ini sudah siap dan waspada. Dia segera mengerahkan kelincahan berdasarkan Aji Bayu Sakti dan menggerakkan tubuhnya, bersilat dengan ilmu silat ----------------------- Page 708----------------------- ----------------------- Page 709----------------------- http://zheraf.net dengan miringkan tubuhnya, akan tetapi dengan cekatan cakar harimau itu dapat mengejar dan mengenai pundaknya. “Brettt ...... !” Baju di pundak Aji robek, akan tetapi kuku-kuku rincing itu hanya mendatangkan guratan pada kulit pundaknya, tidak melukainya sama sekali karena tubuh Aji terlindung oleh kekuatan mujijat yang membuatnya kebal. Sekali lagi harimau raksasa itu membuat lompatan menerjang dan menerkam. Namun Aji dapat mengelak dengan lebih cepat lagi. Harimau itu mengamuk, menerkam dengan kedua cakar depannya dan berulang-ulang memukul dengan ekornya. Namun semua serangan itu dapat dihindarkan Aji dengan elakan dan kalau perlu serangan itu dipatahkan dengan tangkisan lengannya. Pertarungan sengit terjadi. Beberapa kali Aji terkena hantaman ekor akan tetapi pukulan itu hanya membuat dia terguncang sedikit dan ekor yang memukul itupun terpental. Sebaliknya beberapa kali tamparan tangan Aji mengenai tubuh binatang jadi-jadian itu. Akan tetapi tubuh harimau itupun kuat dan kebal sekali. Harimau itu terkadang terpelanting oleh pukulan tangan Aji, akan tetapi seperti tidak merasakan nyeri, binatang itu sudah bangkit dan menyerang lagi. Setelah cukup lama berkelahi dan belum juga dapat mengalahkan pemuda itu, harimau jadi-jadian itu menjadi kesetanan. Matanya mencorong seperti berapi dan moncongnya mengeluarkan uap panas. dengan gerengan yang menggetarkan jantung kini harimau itu menerkam lagi dengan lompatan tinggi. “Wiiii ...... !” Aji cepat menyusup ke bawah perut mahluk jadi-jadian itu seperti ketika ia menyerang pertama kali. Secara tiba-tiba dia membalik ketika berada di belakang ----------------------- Page 710----------------------- ----------------------- Page 711----------------------- http://zheraf.net “Kena ...... !!” Tiba-tiba Jatmika membentak dan ujung ranting di tangannya, dengan telak sekali menusuk pergelangan tangan kiri tumenggung itu. Tumenggung Jaluwisa terkejut, walaupun pergelangan tangannya tidak terluka namun sedetik tangan itu seperti kaku dan lumpuh sehingga keris rampasan yang dipegangnya terlepas. Dengan gerakan cepat Jatmika menyambar keris pusakanya yang terjatuh di atas tanah itu. Eulis cepat memutar rantingnya ketika Tumenggung Jaluwisa hendak menghalangi Jatmika memungut keris pusakanya sehingga pemuda itu akhirnya berhasil mengambil Keris Kyai Cubruk. Kini dengan keris di tangan kanan dan ranting di tangan kiri, Jatmika menyerang dengan hebat, dibantu oleh Eulis yang tingkat kepandaiannya tidak terpaut banyak dibandingkan tingkat kepandaian Jatmika. Tadi saja tumenggung itu sudah terdesak. Apa lagi sekarang. Dia memutar-mutar goloknya sehingga senjatanya itu berubah menjadi gulungan sinar yang menjadi perisai melindungi dirinya. Namun, tetap saja dia terdesak dan kerepotan. Tumenggung itu berulang kali mengeluarkan teriakan sebagai isarat kepada para pembantunya. Tiba-tiba muncul tiga orang yang memegang golok dan serentak mereka menyerbu dan membantu sang tumenggung. Mereka itu bukan lain adalah Munding Beureum, Munding Koneng, dan Munding Hejo. Tadi, tiga orang ini memimpin anak buah melawan para perajurit pengawal dan dengan adanya mereka bertiga yang mengamuk, biarpun jumlah anak buah itu tidak banyak dibandingkan pasukan pengawal, mereka mampu mendesak. Akan tetapi tiga orang itu mendengar isarat tumenggung yang minta bantuan. Maka mereka meninggalkan anak buah mereka dan membantu Tumenggung Jaluwisa. ----------------------- Page 712----------------------- ----------------------- Page 713----------------------- http://zheraf.net Gerakannya memang cekatan sekali. Sambil bergulingan goloknya menyambar-nyambar secara bertubi ke arah kedua kaki Aji. Aji berloncatan menghindar, akan tetapi ketika golok itu menyambar berulang-ulang, dia menggunakan kaki kanannya untuk memapaki dan menendang sambil mengerahkan tenaga. “Dess ...... sing ...... !” Golok itu terlepas dari tangan Munding Beureum dan meluncur ke arah Eulis atau Sulastri. Gadis itu menyambar dengan tangan kirinya dan ia sudah berhasil menangkap golok itu pada gagangnya. Melihat tubuh Munding Beureum masih bergulingan dan mendekatinya, ia lalu meluncurkan tongkat ranting kayunya ke arah tubuh yang bergulingan itu, sambil mengerahkan tenaga. “Wirrr ...... capp!” ranting kayu itu menancap ke dada Munding Beureum sampai hampir tembus! Orang itu mengeluarkan teriakan parau dan tewas tak lama kemudian. Eulis atau Sulastri girang bukan main mendapatkan pertolongan walaupun ia terheran-heran mendengar pemuda itu menyebutnya Nimas Sulastri! Sebutan nama ini terasa akrab di telinganya, juga rasanya ia tidak asing dengan wajah dan suara pemuda itu. Akan tetapi ia lupa lagi di mana dan bilamana pernah berjumpa dengan pemuda itu. Ia tidak dapat banyak berpikir karena kini Munding Koneng yang melihat saudara seperguruannya tewas, menjadi marah dan menyerangnya dengan ganas sekali. Eulis menangkis dengan golok rampasannya. “Cringgg ...... !” Bunga api berpijar ketika dua batang golok bertemu. Namun kini Eulis memperlihatkan kehebatannya. Ia dahulu memang mahir dan sudah terbiasa bersilat pedang. Maka kini, memegang sebatang golok, ia dapat ----------------------- Page 714----------------------- ----------------------- Page 715----------------------- http://zheraf.net berpelantingan roboh dan tidak mampu bangkit lagi karena mereka semua tewas! Aji terkejut dan cepat menghampiri. Ternyata dia berhadapan dengan Aki Mahesa Sura yang berdiri memegang tongkat ularnya dengan pakaian basah kuyup. Agaknya ketika dia menjadi harimau jadi-jadian dan dilemparkan Aji tadi terjatuh ke sungai akan tetapi tidak terluka dan dia dapat keluar dari sungai dengan tubuh dan pakaian basah kuyup. Tadi melihat betapa seorang muridnya, Munding Hejo dibantai, dia menjadi marah dan sekali serang dia telah membunuh lima orang perajurit pengawal! Sementara itu, semua anak buah pemberontak telah dapat dirobohkan dan sebagian lagi melarikan diri. Para perajurit pengawal yang masih hidup kini hanya menjadi penonton bersama Adipati Pangeran Mas Gede, tidak berani mendekati pertempuran hebat antara Eulis atau Sulastri melawan Munding Koneng, Jatmika melawan Tumenggung Jaluwisa, dan Aji yang kini saling berhadapan dengan Aki Mahesa Sura. “Babo-babo, Lindu Aji! Penghinaan ini harus kautebus dengan nyawamu!’ Wajah kakek itu tampak bengis dan menyeramkan, seperti wajah iblis sendiri karena mengandung hawa amarah yang memuncak. Sinar matanya penuh ancaman maut, tongkat ular di tangan kanannya menggigitl saking kuatnya emosi menguasainya. Aji bersikap tenang. “Aki Mahesa Sura, cobalah renungkan lagi. Siapa yang menghina dan siapa yang menyulut api permusuhan dan pertempuran ini? Masih belum terlambat kalau andika menyadari kesalahan, bertaubat dan mengubah ----------------------- Page 716----------------------- ----------------------- Page 717----------------------- http://zheraf.net Namun, biar kakek itu sudah tua renta, semangatnya menggebu-gebu, dia tidak mau kalah dan merasa kuat. Apalagi dia sedang marah dan penasaran. Semangatnya ini yang membuat dia tiba-tiba dapat menguasai dirinya kembali dan kini dia mengeluarkan pekik menyeramkan. “Auuurrrggghhh ...... !” Tubuhnya menerjang ke depan, tongkat ularnya diputar cepat sehingga berubah menjadi gulungan sinar hitam dan kini dia menggunakan ilmu silat yang cepat dan kuat untuk menyerang Aji. Menghadapi serangan cepat dan kuat yang amat berbahaya ini, Aji juga cepat bergerak lincah dan cekatan bagaikan seekor kera. Dan memainkan ilmu silat yang disebut Aji Wanara Sakti, mengelak dengan cepat dan balas menyerang. Terjadilah pertandingan adu ilmu silat yang seru, cepat dan mengeluarkan angin berdesir desir. Tubuh mereka lenyap bentuknya, berubah menjadi bayang-bayang yang berkelebatan di antara gulungan sinar hitam tongkat itu. Dan ternyata ilmu silat yang dimainkan Aki Mahesa Sura itu memang hebat bukan main sehingga Aji sendiri kewalahan menghadapi sinar bergulung-gulung dan berkelebatan menyambar-nyambar seperti kilat itu. Hanya dengan kelincahan Aji Wanara Sakti saja dia masih mampu berkelebatan mengelak dan menghindarkan diri dari sambaran tongkat maut. Sementara itu, pertandingan antara Jatmika melawan Tumenggung Jaluwisa juga berlangsung dengan hebat dan seru. Tumenggung itu adalah senapati Sumedang, bahkan tangan kanan Pangeran Mas Gede, maka ilmu silatnya juga amat dahsyat. Denngan golok besarnya, dia berusaha keras untuk merobohkan Jatmika yang melawan golok itu dengan ----------------------- Page 718----------------------- ----------------------- Page 719----------------------- http://zheraf.net dipergunakan oleh Eulis untuk memukul dengan tangan kirinya. “Syuuuttt ...... plakk!” dada Munding Koneng terkena pukulan Margopati tangan kiri Eulis. “Aduhhhh ......!” Tubuh laki-laki itu terjengkang dan dia terbanting keras, tak dapat bangun lagi karena pukulan ampuh dan dahsyat itu telah merusak isi rongga dadanya. Eulis menoleh, memandang ke arah Jatmika yang masih bertanding dengan seru dan berimbang melawan Tumenggung Jaluwisa. Tanpa ragu-ragu lagi Eulis melompat dan langsung menyerang senopati Sumedang itu dengan goloknya. “Wirrrr ...... !” Jaluwisa terkejut dan cepat melompat ke samping mengelak. Akan tetapi Jatmika sudah menyerangnya dan Eulis juga sudah menerjang lagi. Tumenggung Jaluwisa dikeroyok dua dan sekarang keadaan berubah. Senopati Sumedang yang memberontak itu mulai kewalahan dan dia hanya dapat mengelak dan menangkis dihujani serangan golok dan keris. Pertandingan berat sebelah ini tidak berlangsung lama. Setelah bersusah payah mempertahankan diri, Jaluwisa menjadi nekad. Dia ingin mengadu nyawa. Biar dia roboh asal dapat merobohkan pula Jatmika. Setelah didesak terus, akhirnya dia membalas, menyerang dahsyat sekali ke arah Jatmika, membacokkan goloknya ke arah leher pemuda itu dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Jatmika terkejut dan cepat menangkis dengan kerisnya. “Trangggg ...... !!” Jatmika tergetar dan terhuyung, akan tetapi pada saat itu, sinar golok di tangan Eulis menyambar tepat mengenai lambung Jaluwisa yang tak terlindung. “Cratttt ...... !” Darah muncrat dan Jaluwisa terhuyung, tangan kiri mendekap lambungnya yang terluka parah. Jatmika ----------------------- Page 720----------------------- ----------------------- Page 721----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ Melihat serangan ini, Aji cepat mendorongkan tangannya untuk menyambut sambil mengerahkan tenaga sakti dari Aji Suryo Candra. “Trangg-trangg ...... !” Jatmika dan Eulis tergetar dan terhuyung oleh tangkisan tongkat Aki Mahesa Sura dan kakek itu hanya bergoyang tanda bahwa pertemuan senjata itupun menggoyahkannya. Pada saat itu, dua tenaga sakti bertemu di udara, antara dorongan tangan kakek itu yang bertemu dengan dorongan tangan Aji. “Wuuuttt ...... desss ...... !” Sebetulnya kakek itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali. akan tetapi pada saat itu, tenaganya terbagi. Sebagian tadi untuk menangkis golok Eulis dan keris Jatmika, dan sebagian lagi untuk menyerang Aji. Tangkisan terhadap dua senjata itu sudah membuat kakek itu tergetar dan sisa tenaganya yang dipakai untuk menyerang Aji yang menggunakan Aji Surya Chandra. Aki Mahesa Sura terkejut dan dari mulutnya keluar keluhan panjang, tubuhnya terhuyung ke belakang seperti terbawa angin. Melihat keadaan kakek ini, Jatmika dan Eulis tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Mereka berdua menerjang ke depan. Keris pusaka Kyai Cubruk di tangan Jatmika dan golok di tangan Eulis berkelebat. “Cratt-cratt!” kakek itu tidak sempat melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan karena dia sudah terguncang oleh pertemuan tenaga saktinya dengan sambutan Aji tadi. Perutnya terobek pedang dan ulu hatinya tertikam keris! Dia roboh, akan tetapi dapat bangkit kembali dan dengan wajah menyeramkan, dia lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Jatmika dan Eulis. Asap hitam mengepul dari kedua ----------------------- Page 722----------------------- ----------------------- Page 723----------------------- http://zheraf.net “Sesungguhnya yang menyelamatkan paduka adalah Gusti Allah, sedangkan kami bertiga ini hanya melaksanakan tugas kami saja.” kata Aji dengan rendah hati. “Andika sungguh seorang muda yang bijak, anakmas Aji. Dan siapakah pemuda dan dara ini? Kami juga harus mengucapkan terima kasih kepada meraka.” kata pangeran Mas Gede. “Mereka ini adalah saudara-saudara seperguruan saya, bernama Jatmika dan Sulastri.” Aji memperkenalkan. “Bukan, aku bukan Sulastri. Namaku Listyani dan biasa disebut Eulis!” kata Eulis smbil mengerutkan alisnya dan memandang heran kepada Aji. Pangeran Mas Gede tersenyum. “Siapapun juga namamu, nini, andika tetap merupakan seorang dara yang telah menolong kami. Nah, sekarang kami mengundang andika bertiga ke Kadipaten Sumedang sebagai tiga orang tamu kehormatan kami. Kami ingin menjamu andika bertiga untuk menyatakan syukur dan terima kasih kami.” Aji terkejut dan heran bukan main ketika tadi mendengar bantahan Sulastri yang tidak mengakui namanya, bahkan mengatakan bahwa namanya Listyani atau Eulis. Saking herannya dia hanya berdiri memandang gadis itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ketika mendengar ucapan sang adipati yang mengundang mereka bertiga untuk ikut ke Kadipaten Sumedang, Aji cepat berkata dengan sikap hormat. “Harap paduka maafkan bahwa kami terpaksa tidak dapat memenuhi undangan paduka karena kami masih mempunyai urusan penting sekali yang harus kami selesaikan. ----------------------- Page 724----------------------- ----------------------- Page 725----------------------- http://zheraf.net Eulis menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya sambil menatap wajah Aji dengan senar mata penuh keheranan. “aku tidak mengenal andika dan namaku memang Listyani dan biasa disebut Eulis. Tanya saja kepada Kakangmas Jatmika ini. Bukankah begitu, kakangmas?” Eulis menoleh kepada Jatmika. Aji memandang kepada Jatmika dan pemuda ini mengangguk, lalu berkata kepada Aji. “Ki sanak, kami berdua mengucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu sehingga menyelamatkan kami berdua dan juga sang adipati. Gadis ini memang bernama Listyani atau Eulis, kenapa andika menyebutnya Sulastri? Apakah andika mengenalnya?” “Mengenalnya?” Aji mengerutkan alisnya. “Tentu saja aku mengenalnya dengan baik, bahkan aku juga mengenal namamu dengan baik, Kakang Jatmika. Andika putera Paman Sudrajat, bukan?” Jatmika menatap tajam wajah Aji, “Benar! Bagaimana andika tahu? Apakah andika mengenal ayahku?” “Sebelum aku menjawab pertanyaan ini, aku ingin engkau lebih dulu menjelaskan. Kalau engkau memang Kakangmas Jatmika putera Paman Sudrajat, kenapa engkau tidak mengenal Nimas Sulastri dan menyebutnya Listyani ayau Eulis? Hal ini aneh sekali. Sebagai putera Paman Sudrajat berarti engkau adalah cucu Eyang Ki Ageng Pasisiran atau Eyang Ki Tejo Langit. mustahil kalau engkau tidak mengenal Nimas Sulastri karena ia adalah murid Eyang Ki Tejo Langit.” Jatmika terbelalak menatap wajah Aji, lalu menoleh dan memandang Sulastri. “Duh Gusti ...... ! Jadi ...... ia ini Sulastri murid eyang? Bapa pernah bercerita tentang ia ...... dan memang kami belum pernah saling berjumpa ...... !” Jatmika lalu menghampiri Sulastri dan memegang kedua pundak gadis ----------------------- Page 726----------------------- ----------------------- Page 727----------------------- http://zheraf.net Ki Tejo Budi, hanya anak angkat Ki Tejo Langit. Berat rasa hati dan mulutnya untuk menceritakan tentang kemtian orang- orang yang begitu dekat dengan Jatmika, akan tetapi bagaimanapun juga, dia harus menceritakan yang sebenarna, menceritakan semuanya. “Maafkan aku, kakang Jatmika. Aku terpaksa menceritakan kenyataan yang tidak membahagiakan hatimu. Eyang Guru Tejo Budi sudah meninggal dunia kurang lebih satu setengah tahun yang lalu.” “Ohhh ...... !” Jatmika jatuh terduduk di atas batu, tubuhnya terasa lemas. Kakek kandungnya yang begitu dirindukannya ternyata telah meninggal dunia sebelum dia dapat bertemu. “Maaf, kakang. Aku membuatmu menjadi berduka.” kata Aji. Jatmika dapat menguasai dirinya dan menjadi tenang kembali. Dia menatap wajah Aji dan berkata. “Tolonglah, Adi Aji, ceritakan kepadaku tentang beliau, tentang Eyang Tejo Budi, di mana dia tinggal, bagaimana engkau dapat bertemu dengan beliau dan bahaimana beliau meninggal. Aku ingin sekali mengetahui segalanya tentang beliau. apakah beliau meninggalkan isteri ...... atau anak ...... ?” “Tidak, Kakang Jatmika. Semenjak berpisah dari Paman Sudrajat, eyang Guru Tejo Budi tidak pernah menikah lagi. Beliau hidup seorang diri, bahkan terlunta-lunta sampai pada suatu hari beliau tiba di dusun Gampingan dekat pantai Laut Kidul di mana aku tinggal bersama ibuku. Kemudian eyang guru tinggal bersama kami dan menjadi guruku sampai pada suatu hari beliau meninggal dunia karena sakit dan tua.” “Ah, kalau ayahku tahu ...... “ kata Jatmika terharu. ----------------------- Page 728----------------------- ----------------------- Page 729----------------------- http://zheraf.net untuk meloloskan diri dan kebetulan engkau muncul dan membantu kami, Dimas Aji. Sekarang ceritakanlah apa yang kauketahui tentang Nimas Sulastri?” Sulastri mengangkat mukanya memandang kepada Aji. Ia masih belum ingat apa-apa dan pemuda itu bagaikan orang asing baginya. “Ya ...... ceritakanlah tentang diriku kalau benar aku ini Sulastri, aku ingin mendapatkan kembali ingatanku tentang diriku yang sebenarnya, semua terasa seperti mimpi dan aku benar-benar tidak ingat apa-apa lagi. Tidak ingat akan masa laluku, tidak ingat akan orang tuaku. Ahhh ...... !” Sulastri memegangi kepalanya lagi. Aji memandang Sulastri dengan hati penuh iba, kemudian dia menatap wajah Jatmika dan berkata. “Aku melakukan perjalanan bersama nimas Sulastri sejak sebulan yang lalu. Kami menghadap Adipati Cirebon dan mendapat tugas untuk membasmi gerombolan Munding Hideung yang mengacau di Pegunungan Careme. Kami berdua berhasil temukan Munding Hideung dan Munding Bodas dengan anak buah mereka. Kami berhasil mengalahkan mereka, akan tetapi Nimas Sulastri terkena anak panah dan terjatuh ke bawah tebing yang amat curam. setelah merobohkan semua gerombolan, aku menuruni tebing dan mencari-cari. Akan tetapi aku tidak dapat menemukan Nimas Sulastri yang hilang tanpa meninggalkan jejak! Sudah kucari dengan bantuan anak buah Munding Hideung selama dua hari, namun sia-sia. Nimas Sulastri lenyap.” Sulastri mengangkat mukanya memandang Aji dengan alis berkerut. Melihat ini, Aji bertanya penuh harapan. “Nimas, apakah ceritaku tadi mendatangkan kembali ingatanmu?” ----------------------- Page 730----------------------- ----------------------- Page 731----------------------- http://zheraf.net Aji sengaja melewati kisah pertemuannya dengan Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, dan dia langsung menceritakan bantuannya kepada Jatmika. “Secara kebetulan saja aku melihat rombongan Tumenggung Jaluwisa dan aku merasa curiga lalu aku membayangi mereka. Setelah mereka tiba di pondok Aki Mahesa Sura aku melihat Nimas Sulastri dan engkau yang belum kukenal, Kakang Jatmika. Aku mendengarkan perundingan mereka dan cepat-cepat aku pergi menemui Adipati Sumedang. Kuceritakan semuanya dan kami membuat rencana siasat untuk menghadapi serbuan yang diatur Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura. Ketika aku yang menggantikan sang adipati dan berada dalam kereta melihat kalian berdua membalik dan melawan para pemberontak, aku merasa girang sekali. Setelah aku mendengar namamu disebut, maka tahulah aku siapa engkau, Kakang Jatmika, aku sudah mendengar tentang engkau dari ......” Tiba-tiba Aji teringat bahwa ia tidak ingin bercerita tentang Ki Sudrajat dan Ki Tejo Langit, maka dia terdiam seketika. “Ya, engkau tentu mendengar tentang aku dari ayah dan kakek. Bagaimana engkau dapat bertemu dengan mereka, dimas?” Tanya Jatmika. Berdebar rasa jantung dalam dada Aji. Beberapa kali dia menelan ludah. Akhirnya dia dapat menguasai ketegangan hatinya dan berkata dengan hati-hati. “mulanya begini, kakangmas. Aku sedang mencari orang yang bernama Raden banuseta yang enam tahun tujuh tahun yang lalu telah membunuh ayah kandungku di dusun Gampingan. ketika aku berkunjung kepada Paman Subali menceritakan tentang lenyapnya Nimas sulastri, aku mendapat keterangan darinya bahwa Raden banuseta adalah Ketua perkumpulan Dadali sakti ----------------------- Page 732----------------------- ----------------------- Page 733----------------------- http://zheraf.net Guru Tejo Budi dan dengan Nimas Sulastri. Akan tetapi tiba- tiba Banuseta dan anak buahnya datang menyerang. Dia berteriak menantangku. Aku mohon Paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit tidak mencampuri karena permusuhan dengan Banuseta adalah urusan pribadiku. Aku keluar menerima tantangan Banuseta. Dia menyerangku akan tetapi aku dapat mengalahkan dia. Tiba-tiba ada seorang temannya yang membelanya dan menandingi aku. Aku terkejut melihat ilmunya sama dengan ilmu Nimas Sulastri. Pada saat kami bertanding, Eyang Tejo Langit keluar dari pintu dan ketika menyebut nama lawanku, aku terkejut karena ternyata dia bernama Hasanudin atau panggilannya Udin!” ”Ahhh ...... ? Kakang Hasanudin ...... ?” Jatmika berseru kaget. “Benar, dia Hasanudin...... kakak tiriku yang sedang kucari-cari ...... “ kata Aji. “Kakak tirimu?” Jatmika mengulang, kaget dan heran.Galuh dan meninggalkan seorang putera. Hasanudin itulah puteranya dan ketika ayah meninggalkannya, dia masih kecil. Ayah sebelum meninggal dunia, berpesan kepadaku agar aku mencari kakak tiriku itu. Siapa tahu begitu bertemu, dia malah membantu Banuseta pembunuh ayah kami, membantu Banuseta yang menjadi antek Kumpeni Belanda.” “Antek Kumpeni Belanda?” “Ya, Banuseta itu antek Kumpeni Belanda. Pada saat Eyang Tejo Langit muncul di luar pintu, dari kanan kiri terdengar letusan-letusan senapan dan Eyang Tejo Langit roboh tertembak anak buah Banuseta yang ternyata merupakan pasukan yang menggunakan senjata api.” ----------------------- Page 734----------------------- ----------------------- Page 735----------------------- http://zheraf.net “Kakangmas Jatmika ...... !” Sulastri menjerit dan menubruk tubuh pemuda yang pingsan itu, mengguncang pundaknya dan menangis. :Aduh, kakangmas Jatmika, kasihan sekali engkau ...... !” tangisnya. Aji melihat betapa gadis itu menangis dengan sedihnya, air matanya bercucuran dan mengalir disepanjang kedua pipinya. Melihat gadis itu memeluki Jatmika sambil menangis, diam-diam ada rasa pedih dan perih di hati Aji. Betapa gadis ini amat menyayang Jatmika dan agaknya sama sekali tidak ingat lagi kepadanya! Ada rasa cemburu mengusik hatinya, akan tetapi dilawannya perasaan yang dia tahu tidak benar ini. Harus diakuinya bahwa ada rasa sayang besar sekali dalam hatinya terhadap dara ini. Mengapa dia harus cemburu? Dia tahu bahwa rasa cemburu didorong oleh nafsu daya rendah dan cinta yang yang disertai cemburu itu bukanlah cinta yang setulusnya, melainkan cinta yang mengandung nafsu untuk memiliki, nafsu untuk menyenangkan diri sendiri. Kalau memang Sulastri yang disayangnya itu ternyata mencinta pria lain, dan akan hidup berbahagia dengan pria lain, mengapa hatinya tidak rela? Kalau dia benar-benar menyayang Sulastri, tentu dia mementingkan kebahagiaan gadis itu dan hatinya akan turut berbahagia kalau gadis yang disayanginya itu berbahagia. “Minggirlah, nimas. Biar aku yang menyadarkannya.” katanya lirih dan Sulastri minggir, memberi keleluasaan kepada Aji untuk menolong pemuda yang pingsan itu. Aji maklum bahwa hati Jatmika tertekan penuh ketegangan. Maka, sebelum menyadarkannya, lebih dulu Aji menggunakan jari-jari tangannya untuk memijit, menekan dan mengurut tengkuk dan kedua pundak Jatmika, kemudian tiga kali dia mengurut pelipis di atas kedua telinga. Setelah itu ----------------------- Page 736----------------------- ----------------------- Page 737----------------------- http://zheraf.net “Ah, nimas Eulis, sekali lagi terima kasih. engkau begini baik kepadaku ...... “ “Engkau yang begini baik sekali kepadaku, kakangmas. Aku berjanji akan membantumu mencari musuh-musuh besar yang telah membunuh ayah dan kakekmu.” “Sudah semestinya, nimas, karena kakekku itu juga eyang gurumu sehingga sebenarnya kita masih saudara seperguruan.” “Sayang aku tidak ingat lagi siapa eyang guruku itu.” kata Sulastri dengan wajah sedih. “Dimas Aji, aku berterima kasih sekali kepadamu karena selain engkau telah menolong kami, engkau juga menerangkan juga tentang keadaan diri Nimas Eulis yang sebenarnya, juga aku menjadi tahu akan tewasnya bapa dan eyang. Lanjutkan ceritamu tadi, Dimas Aji.” Aji menghela napas panjang. Betapapun pedih hatinya melihat Sulastri lupa kepadanya dan kini gadis itu jells berhubungan akrab dengan Jatmika, namun di dasar hatinya dia merasa berbahagia melihat kenyataan bahwa gadis itu masih hidup. “Setelah Paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit tertembak, Hasanudin melarikan diri. Tanpa bantuannya, agaknya Banuseta merasa jerih dan diapun melarikan diri bersama anak buahnya. Aku lalu merawat dan masih sempat mendengar pesan terakhir Paman Sudrajat yang minta agar kalau aku bertemu dengan puteranya yang bernama Jatmika agar aku suka membantunya. kemudian Paman Sudrajat tewas dan aku mengubur kedua jenazah itu dibelakang pondok. Demikianlah, Kakangmas Jatmika.” ----------------------- Page 738----------------------- ----------------------- Page 739----------------------- http://zheraf.net Sulastri menyambar tangan Jatmika dan berkata. “Aku ikut denganmu, kakangmas. Aku akan membantumu menghadapi dua orang jahat itu!” “Kakangmas Jatmika, aku kira yang betanggung jawab atas kematian Paman Sudrajat dan Eyang tejo langit hanyalah banuseta seorang. Hasanudin tidak turun tangan terhadap mereka. Hasanudin hanya membantu Banuseta untuk melawan aku dan agaknya diapun menyesal ketika melihat Paman Sudrajat dan Eyang Tejo Langit roboh oleh tembakan sehingga dia melarikan diri.” “Hemm, betapapun juga, melihat Eyang Tejo Langit yang menjadi gurunya tewas ditembak orang, sepatutnya dia harus membela.” “Kakangmas Jatmika, menurut pendapatku, sebaiknya kalau engkau mengantarkan Nimas Eulis lebih dulu ke Dermayu, ke rumah orang tuanya. Siapa tahu, kalau dia bertemu dengan Paman Subali dan isterinya, ia akan mendapatkan kembali ingatannya. Apakah engkau tidak merasa bahwa menolong Nimas Eulis jauh lebih penting dari pada mencari Banuseta?” kata Aji. “Tentu saja!” jawab Jatmika cepat. “Engkau benar, Dimas Aji, aku akan lebih dulu membawa Nimas Eulis ke rumah Paman Subali di Dermayu. Mari, nimas, nita berangkat!” “Akan tetapi, kakangmas, aku sudah lupa lagi siapa orang tuaku, siapa nama mereka dan di mana tempat tinggal mereka!” Kata Sulastri. “Tidak mengapa, nimas. Ikutlah saja denganku dan kita sama lihat nati, mudah-mudahan pertemuanmu dengan orang tuamu akan mengembalikan ingatanmu yang hilang.” Jatmika ----------------------- Page 740----------------------- ----------------------- Page 741----------------------- http://zheraf.net kanan dan kepercayaan Adipati Sumedang, memberontak terhadap Adipati Pangeran Mas Gede. Kadipaten Sumedang merupakan tempat yang amat penting bagi pasukan Mataram apabila nanti balabantuan Mataram menyerang ke Batavia. Selain balabantuan diharapkan dari Kadipaten Sumedang, juga tempat ini bisa dijadikan tempat peristirahatan dan menyusun kekuatan, juga sebagai sumber ransum. Kadipaten itu perlu diselidiki, pikirnya dan dia lalu mengambil keputusan untuk pergi ke Sumedang. Malam mulai tiba ketika Aji memasuki Kadipaten Sumedang. Bulan yang cukup besar, walaupun belum purnama, telah muncul dan membuat suasana malam itu tampak meriah dan gembira. Orang-orang memenuhi halaman rumah dan jalan-jalan. Langit bersih dan bulan cerah hawa udara di Kadipaten Sumedang sejuk dari biasanya. Tadi sebelum memasuki pintu gapura kadipaten itu, dari jauh Aji sudah mendengar suara gamelan. Gamelan Sunda masih agak asing dalam pendengaran Aji, akan tetapi setelah beberapa kali mendengarnya sejak dia memasuki daerah pasundan, dia mulai dapat menikmati iramanya. Berbeda dengan gamelan Jawa yang lembut, gamelan Sunda terdengar gagah, dengan bunyi suling yang mendayu-dayu dan kendangnya yang demikian menghentak-hentak penuh semangat. Kalau gamelan Jawa pada umumnya mengandung kelembutan dan keluwesan seperti gerak-gerik satria Harjuna, maka gamelan Sunda mengandung keperkasaan seperti gerak gerik satria Gatotkaca. Hentakan kendangnya seperti merangsang kaki tangan untuk ikut bergerak! Setelah memasuki gapura, Aji melihat banyak orang, terutama laki-laki muda, berbondong menuju ke tengah kota ----------------------- Page 742----------------------- ----------------------- Page 743----------------------- http://zheraf.net malam hari begitu. Dia harus menanti sampai besok pagi dan dia tidak tahun di mana dia akan melewatkan mala mini. lebih baik nonton keramaian yang akan berlangsung semalam suntuk. Dia lalu mempercepat langkahnya mengikuti orang- orang itu. Pesta itu diadakan di depan pendopo sebuah rumah besar. Di pekarangan rumah itu dibangun sebuah panggung yang tingginya satu setengah meter, panggung yang luas dan terbuat dari papan yang kokoh. Banyak lampu besar membuat tempat itu terang benderang dan suasananya meriah sekali. Di pendopo yang menyambung panggung itu penuh dengan kursi yang sudah diduduki para tamu undangan. Karena yang mengadakan pesta adalah seorang senopati, maka para tamunya tentu saja orang-orang penting di Sumedang. Hanya Sang Adipati Pangeran Mas Gede yang tidak hadir walaupun pesta itu diadakan untuk merayakan keselamatannya, karena sang adipati merasa lelah dan membutuhkan istirahat. Di dalam pekarangan yang luas itu, di bawah panggung, penuh dengan orang-orang yang datang menonton. Di belakang panggung terdapat para penabuh gamelan yang sejak tadi sudah mulai menabuh gamelan sehingga suasana meriah walaupun sang waranggana yang ditunggu-tunggu itu masih duduk di antara penabuh gamelan dan belum menari, hanya kadang-kadang saja melengkapi suara gamelan dengan lengkingan suaranya yang merdu mendayu-dayu. Hampir semua mata ditujukan kepadanya. Karena ia duduk bersimpuh di tengah-tengah para penabuh gamelan, maka yang tampak hanya mukanya yang memang cantik sekali, cantik dan segar bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar, dengan kulit yang putih kuning seperti tampak pada lehernya yang panjang dan indah. Rambut ----------------------- Page 744----------------------- ----------------------- Page 745----------------------- http://zheraf.net Aji memperhatikan dua orang yang duduk di kanan kiri sang tumenggung itu. Di sebelah kanan tumenggung itu duduk seorang kakek yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun. Ketika bicara, kakek itu mengeluarkan suaranya yang lemah lembut. Kepalanya kecil dan botak, rambut yang tumbuh disekeliling kepalanya keriting dan sudah berwarna dua. Wajahnya masih tampak muda, bahkan bersih dan tampan tanpa kumis atau jenggot. Hidungnya pesek dan mulutnya kecil, akan tetapi bentuk mukanya tampan. Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar hitam dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular kobra. Dari penampilannya saja, Aji dapat menduga bahwa kakek itu tentu seorang yang sakti mandraguna. Hal ini jelas tampak pada sinar matanya yang terkadang mencorong seperti mata harimau. Orang kedua yang duduk di sebelah kiri tumenggung juga menarik perhatian Aji. Orang itu masih muda, berusia sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus namun karena cara duduknya, sikap dan tongkrongannya seperti jagoan, dia tampak tegap dan kokoh. Wajahnya cukup tampan walaupun kulitnya hitam gelap. Sikapnya membayangkan kesombongan, apa lagi karena di punggungnya tergantung sebatang pedang yang warangkanya terukir indah. Pemuda ini memandang ke sekeliling dengan mulut tersenyum mengejek, agaknya memandang rendah semua yang berada di situ. Akan tetapi kalau pandang matanya berhenti pada wajah sang waranggana, Neneng Salmah, Aji melihat betapa mata itu bersinar penuh gairah, seperti mata seekor kucing kelaparan melihat tikus. Aji juga melihat betapa tuan rumah bersikap amat hormat kepada dua orang itu dan ketika dia mengerahkan pendengarannya, dia dapat menangkap betapa logat bicara tuan ----------------------- Page 746----------------------- ----------------------- Page 747----------------------- http://zheraf.net Aji yang merasa lapar itu melihat betapa di luar pekarangan, di tepi jalan, banyak orang berjualan makanan dan minuman dengan memasang obor. Dia segera menyelinap di antara penonton, keluar dan segera membeli makanan dan minuman teh. Sejak pagi tadi dia belum makan dan perutnya terasa lapar sekali. Karena itu, biarpun membeli makanan sederhana terdiri dari nasi dan sayur gudang (sayur dengan sambal kelapa) dan minum air teh cair, Aji merasa nikmat dan puas. Sementara itu, perebutan untuk tampil berjoget dilayani dua orang penari itupun sudah dimulai. Pertama-tama seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun melompat ke atas panggung dan langsung saja dia berjoget bersama seorang penari yang berselendang biru. Penari kedua berselendang merah segera mengundurkan diri untuk memberi kesempatan kepada si selendang biru melayani laki-laki itu berjoget. Orang-orang bertepuk tangan ketika laki-laki itu dengan beraninya, memutar-mutar tubuh dan menggoyang pinggul dekat sekali dengan tubuh si penari sehingga beberapa kali tangannya menyentuh dan mencolek tubuh penari itu. Yang dicolek hanya tersenyum genit dan dengan lincahnya mengelak dan menghindar. Tarian itu menjadi seperti sepasang kupu- kupu yang saling berkejaran. Aji melihat bahwa tidak ada tamu yang duduk di pendopo yang bangkit untuk memperebutkan penari itu. Agaknya dua orang penari itu kurang layak diperebutkan para tamu yang terhormat itu, melainkan menjadi sajian bagi para penonton yang berdiri di bawah panggung, yaitu para penonton yang tak diundang atau rakyat jelata. ----------------------- Page 748----------------------- ----------------------- Page 749----------------------- http://zheraf.net “Ciattt ...... !” Pemuda tinggi besar menerjang dengan tonjokan kuat sekali ke arah dada. Lawannya dengan sigapnya menangkis, akan tetapi agaknya pukulan itu terlalu kuat baginya sehingga dia terhuyung ke belakang. Pemuda itu cepat maju dan kakinya menyerampang. “Bresss ...... !” Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh lawannya terpelanting roboh dan pada saat itu, pemuda tinggi besar menendang dengan kaki kirinya. “Pak-dupak-pak ...... jerr ...... !” Tubuh laki-laki pertama kena tendang perutnya dan dia terguling-guling sampai keluar dari panggung dan jatuh ke bawah! Tepuk tangan menyambut kemenangan pemuda tinggi besar itu yang kini menari-nari dengan gagahnya menghampiri penari berselendang biru tadi seperti lagak Raden Gatotkaca menghampiri Dyah Pergiwa! Penari itupun tersenyum manis dan ketika pemuda itu menjulurkan tangan iapun menyambutnya, membiarkan tangannya dituntun dan ia bangkit berdiri. Mereka lalu menari bersama dan laki-laki itu merapatkan tubuhnya sampai mukanya hampir merapat dengan muka si penari dan hidungnya menyentuh pipi yang halus itu. Para penonton bersorak gembira menyambut kemenangan pemuda yang mendapat “hadiah” dari penari itu. Ketika mereka berdua menari dengan astiknya, diseling senggakan para penabuh gamelan dengan bunyi “serr! serr!” sehingga suasana menjadi semakin meriah dan merangsang, tiba-tiba tampak seorang laki-laki yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun lebih. Akan tetapi laki-laki ini tidak meloncat ke atas panggung yang tingginya satu setengah meter, melainkan memanjat melalui tihang di sudut panggung! ----------------------- Page 750----------------------- ----------------------- Page 751----------------------- http://zheraf.net dengan menekuk kedua lututnya. Akan tetapi pemuda itu sudah menyerang lagi dengan tendangan kaki yang kuat sekali. “Syuuuuttt ...... ambrol dadamu!” Dia membentak dan kaki kanannya mencuat, menyambar ke arah dada lawan. “Hossshhh!” Kakek itu menggerakkan kedua lengannya untuk menangkis tendangan daru samping. “Plakk!” Dua lengannya berhasil menangkis tendangan kaki, namun tangkisan ini membuat dia terhuyung. Kembali pemuda itu menyerang semakin cepat dan kakek itu segera terdesak hebat, hanya mampu menangkis dan mengelak saja. Gerakannya kacau dan lucu sehingga terdengar suara tawa geli di sana sini. Akan tetapi Aji yang menonton pertandingan itu mempunyai pendapat lain. Dia tahu bahwa kakek itu kalah besar tenaganya, juga kalah dalam hal ketangkasan, namun harus diakui bahwa kakek itu bergerak mengelak dengan cerdik sekali dan yang menguntungkan adalah bahwa dia memiliki tubuh yang ringan dan lincah sehingga sampai sebegitu lama semua serangan lawan dapat dia hindarkan. Tiba-tiba pemuda itu menyerangnya dengan pukulan beruntun sambil berseru nyaring, “Mampus kau!” Tiba-tiba tubuh kakek itu rebah dan bergulingan. gerakannya sedemikian cepatnya sehingga ketika dia bangkit, dia berada di samping pemuda itu. Tangan kanannya menyambar ke arah pinggang lawan, lalu menarik dan ...... “bret ...... !” tali celana pemuda itu putus sehingga celananya melorot! Pemuda itu terkejut dan cepat menggunakan kedua tangan untuk menahan dan memegangi celana yang kedodoran. Tentu saja pemandangan ini disambut ledakan suara tawa para penonton. Semua orang tak dapat menahan tawa karena geli melihat kejadian yang lucu itu. Apalagi sekarang kakek itu ----------------------- Page 752----------------------- ----------------------- Page 753----------------------- http://zheraf.net kendang dengan gencar dan sengaja mengacaukan bunyi kendang sehingga terkadang cocok dengan gerakan si kakek, akan tetapi terkadang berlawanan sehingga kakek itu bergerak gerak bingung dalam usahanya mengikuti irama kendang! Tentu saja para penonton menjadi semakin geli disuguhi adegan seperti badut ini. Tiba- tiba tampak seorang wanita berusia empat puluh tahun, bertubuh gendut sekali sehingga tampak bulat, dengan susah payah memanjat ke atas panggung melalui tihang bambu. Tangan kanannya memegang sebatang sapu bergagang kayu dan dengan bantuan sapu itu yang ditekankan pada tanah, akhirnya ia dapat juga naik ke atas panggung. Semua orang terheran- heran, akan tetapi segera mereka semua tertawa terbahak-bahak melihat adegan yang lebih lucu lagi. Wanita gendut itu segera saja menyerang kakek yang sedang berjoget dengan gagang sapunya, menyerang dan memukuli kalang kabut, sambil memaki-maki. ----------------------- Page 754----------------------- ----------------------- Page 755----------------------- http://zheraf.net betapa akan nikmat dan menggembirakan kalau dapat berjoget bersama penari itu! Akan tetapi karena sekali ini, pertunjukan tarian itu juga merupakan pertunjukan adu kedigdayaan, tentu saja jarang ada yang berani naik ke panggung dengan resiko patah tulang dan memar-memar, terbanting jatuh ke bawah panggung dan mendapatkan malu! Penari berselendang merah itu mulai menari dan semua orang menahan napas. Ternyata penari ini memiliki keistimewaan dalam gerak tariannya, yaitu pinggulnya dapat berputar secara menggairahkan dan lentur. Terdengar tepuk tangan dan teriakan-teriakan para pria yang seperti mabok karena terangsang oleh tarian itu. Tiba-tiba dari tempat duduk para tamu di pendopo, bangkit seorang laki-laki dan dengan langkah lebar dia menuju panggung. Ketika para penonton melihat laki-laki itu, mereka bersorak dan bertepuk tangan menyambut. Laki-laki itupun segera berjoget dan gerakannya menari cukup gagah. Aji melayangkan pandangannya ke atas panggung. Laki-laki itu memang gagah. Ikat kepala dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang yang kaya. Tubuhnya tinggi besar dengan kulit agak kehitaman. Sepasang matanya bundar dan lebar, sinarnya galak dan angkuh. Hidung dan mulutnya juga besar dan ketika dia berhadapan dengan penari selendang merah, dia menyeringai memperlihatkan giginya yang agak tongos dan besar-besar. Begitu mulai berjoget, laki-laki itu mengambil beberapa butir uang reyal dan dengan bangga dia memasukkan uang itu ke celah-celah antara sepasang bukit dada penari itu. Si penari tersenyum girang karena hadiah itu merupakan jumlah yang cukup besar. Mereka berdua mulai berjoget dan penari itu ----------------------- Page 756----------------------- ----------------------- Page 757----------------------- http://zheraf.net Beberapa kali dia mengajukan pertanyaan ini kepada para penonton di bawah, namun jawaban mereka hanya menyeringai saja. Badrun melanjukan jogetnya. Akhirnya dia menjadi bosen juga. Dia lebih ingin menonjolkan diri melalui pertarungan dan merobohkan orang-orang yang berani menyainginya. Dia tidak begitu suka berjoget. Kalau dia menginginkan seorang wanita, dia dapat langsung membawanya, dengan halus maupun kasar. “Heh, apakah semua penonton di sini pengecut? Hayo saingilah aku Si Maung Badrun, kita main-main sebentar untuk memeriahkan pesta perayaan Gusti Tumenggung Jayasiran mala mini!” Terdengar banyak orang saling berbisik-bisik. Si Maung Badrun itu sekali ini sudah keterlaluan sombongnya. Di tempat umum berani mengatakan semua penonton pengecut! Pada hal semua orang tahu bahwa di antara penduduk Sumedang terdapat banyak pendekar, hanya mereka tidak mau naik panggung karena mereka sungkan untuk membuat keributan hanya untuk dapat berjoget dengan penari selendang merah itu. Apa lagi yang mengadakan pesta adalah seorang senopati Sumedang. Kalau mereka tidak mengacuhkan dan tidak meladeni sesumbar dan tantangan Maung Badrun, bukan karena mereka takut kepada sang senopati. Akan tetapi sekiranya Neneng Salmah yang menari, tentu akan banyak orang yang akan mencoba merebutnya dari tangan Badrun. Bahkan mereka yang duduk di pendopo sebagai tamu undangan juga banyak yang tergila-gila kepada Neneng Salmah. Baru mendengar suara tembang Neneng Salmah saja yang amat merdu, lirikan matanya yang tajam memikat dan senyumnaya yang seolah menantang dan menjanjikan seribu ----------------------- Page 758----------------------- ----------------------- Page 759----------------------- http://zheraf.net Kyai Sidhi Kawasa yang duduk di sebelahnya berkata, “Ah, Raden, untuk apa memperhatikan orang macam itu? Tidak ada harganya.” Akan tetapi Jaka Bintara masih merasa penasaran dan bertanya kepada sang senopati Sumedang. “Paman tumenggung, siapa sih monyet sombong itu?” Tumenggung Jayasiran memandang ke arah panggung di mana Badrun masih berjoget dengan penari berselendang merah dengan penuh gaya. Karena tidak ada yang berani menyambut tantangannya, Badrun menjadi semakin berlagak, bahkan kini dia berani menari sambil menggerayangi tubuh penari itu secara kurang ajar sekali. Apalagi setelah para penonton yang terdiri dari laki-laki muda tertawa gembira menyambut kekurang-ajaran itu. Penari berselendang merah itu menjadi merah sekali wajahnya dan matanya menunjukkan bahwa ia merasa malu sekali dan hampir menangis. “Oh itu! Dia seorang kaya di Sumedang, hubungannya dengan para pamong praja cukup baik maka diapun terkenal memiliki kedigdayaan dan setiap ada perayaan yang diramaikan dengan pertunjukan penari yang diperebutkan, dia selalu tampil sebagai bintang.” kata Tumenggung Jayasiran. “Paman, saya tak senang denagn lagaknya. saya ingin menyambut tantangannya!” kata Jaka Bintara. “Raden, untuk apa melayani dia? Tentu saja dia bukan lawan andika!” kata Tumenggung Jayasiran yang sudah mengenal kesaktian murid Kyai Sidhi Kawasa itu. “Orang itu perlu dihajar!” Jaka Bintara berkata dan dia lalu bangkit berdiri dan dengan langkah lebar dia menuju ke panggung di mana Badrun masih berjoget bersama si selendang merah. Kekurangajaran Badrun mencapai puncaknya. Ketika ----------------------- Page 760----------------------- ----------------------- Page 761----------------------- http://zheraf.net Jaka Bintara tersenyum mengejek. “Kalau tadi aku menyerangmu engkau tentu sudah mampus! Aku hanya ingin menghentikan perbuatanmu tak tahu malu.” Mendengar logat bicara pemuda jangkung itu asing, Badrun yang dijuluki Maung (Harimau) Sumedang itu menjadi marah. “Hemm, ki sanak, Andika tentu bukan orang Sumedang dan tidak mengenal aku, maka berani bertindak lancang. Heh, ki sanak, karena andika seorang asing biarlah aku memaafkan perbuatanmu dan mundurlah sebelum aku bertindak kasar.” “Hemm, aku tidak pernah takut menghadapimu. Biarlah ada sepuluh orang macammu, aku tidak akan mundur.” Marahlah Badrun. “Babo-babo, keparat! Katakan siapa namamu, aku Si Maung Badrun tidak suka merobohkan lawan yang tidak bernama.” “Namaku Raden Jaka Bintara dari Banten. Nah, bersiaplah engkau untuk menggelundung keluar dari panggung!” kata Jaka Bintara dan dia sudah memberi isyarat kepada para penabuh gamelan. Tumenggung Jayasiran yang ingin pula memamerkan kesaktian tamunya yang bersala dari daerahnya, segera memberi isyarat pula kepada para penabuh gamelan. Segera terdengar bunyi gamelan dipukul dengan gencarnya, memainkan lagu perng yang tepat untuk mengiringi sebuah pertandingan silat. Badrun yang amat percaya akan kemampuan sendiri, sudah cepat menari dan membuka pasangan kuda-kuda yang gagah. Tidak percuma dia memakai julukan harimau karena memang dia mengandalkan pencak silat yang di namakan Aji Sardula Bhairawa (Harimau Dahsyat), sebuah ilmu silat yang mendasarkan gerakannya pada gerakan seekor harimau! Ilmu ----------------------- Page 762----------------------- ----------------------- Page 763----------------------- http://zheraf.net Marahlah Badrun. Tadinya dia memang bersikap dengan hati-hati setelah mendengar bahwa lawannya datang dari Banten dan dia tahu bahwa daerah itu memiliki banyak jagoan. Kini kemarahannya membuat dia tidak sabar lagi. Tiba0tiba dioa membuat gerakan menerjang ke depan, kedia lengannya bergerak cepat dan kedua tangan itu telah menyambar dengan cengkeraman ke arah muka dan dada Jaka Bintara dan dari mulutnya terdengar bentakan nyaring. “Haaarrrggghhh ...... !” Namun dengan gerakan yang cepat dan indah, Jaka Bintara sudah menggerakkan tubuh ke belakang, kakinya melangkah ke kanan dan tangan kirinya menampar dari kanan ke arah lambung lawan. “Hyaaattt ......!” Sambaran tangan itu mendatangkan angin yang dahsyat dan Badrun terkejut bukan main. Cepat dia memutar tubuh dan menggunakan tangan kiri memotong tangan lawan dengan tangkisannya. “Wuuuuttt ...... dukkk !” Dua lengan bertemu dan mengeluarkan suara nyaring bagaikan dua potong besi bertemu. Bukan main kagetnya hati Badrun ketika merasa betapa lengannya nyeri bagaikan mau patah dan dia terdorong mundur sampai tiga langkah! Padahal dia terkenal bertenaga besar akan tetapi sekali ini, pertemuan kedua lengan itu membuat tulang lengannya terasa hendak patah. Akan tetapi dasar orang yang tak tahu diri, menganggap orang lain rendah dan dirinya sendiri paling hebat, dia tidak menyadari bahwa ilmunya kalah jauh bahkan dia menjadi penasaran dan marah. Kembali Badrun mengeluarkan gerengan menyeramkan, lalu dia menubruk dengan loncatan ke depan, gayanya seperti seekor harimau yang menerkam kelinci. Akan ----------------------- Page 764----------------------- ----------------------- Page 765----------------------- http://zheraf.net sambil menari dan mulutnya tersenyum senang karena ia terbebas dari gangguan Badrun yang kurang ajar tadi. Akan tetapi, Jaka Bintara mengeluarkan sepotong uang reyal dari kantungnya dan sekali lempar, sekeping uang perak itu berputaran di udara lalu melayang turun dan meluncur ke atas dada ledek berselendang merah dan dengan tepat uang itu memasuki celah antara sepasang payudara ledek itu. Tentu saja perbuatan ini memancing sambutan tepuk tangan para penonton. Aji yang menonton sejak tadi juga kagum. Jaka Bintara ini ternyata seorang yang sakti dan telah mampu mengendalikan tenaga saktinya secara hebat. Akan tetapi, Aji melihat bahwa pemuda jangkung itu memiliki watak yang kejam bukan main. Pada hal, melihat tingkatnya, dengan mudah saja dia akan dapat mengalahkan Badrun tanpa membuatnya cidera sedemikian rupa. Biarpun dia juga tak senang melihat kesombongan Badrun dan sudah sepatutnya orang sesombong itu mendapatkan hajaran keras, akan tetapi tidak sampai mematahkan kedua pergelangan tangan dan tulang-tulang rusuknya! Mendapatkan hadiah satu real secara luar biasa itu, ledek selendang merah juga merasa ngeri. Bayangkan saja, sekeping uang perak itu seperti hidup saja, dapat menyusup ke dadanya! Akan tetapi ledek ini lalu menyembah dan menekuk sedikit kedua lututnya dengan gerakan lemah gemulai sambil berkata lembut, “Terima kasih, raden!” Raden Jaka Bintara melambaikan tangannya kepada penari itu dan berkata, “Sudahlah, engkau mengasolah dan suruh Neneng Salmah menggantikanmu. Aku ingin berjoget dengannya!” ----------------------- Page 766----------------------- ----------------------- Page 767----------------------- http://zheraf.net Akan tetapi. berbeda pula dengan para rekannya, Neneng Salmah terkenal sebagai penari dan penyanyi yang sopan dan pandai menjaga kehormatannya. Bahkan dalam usia sembilan belas tahun itu masih disandangnya julukan perawan dalam arti yang seluasnya. Ia memang ramah, manis budi, pandai dan murah hati memberikan senyum manis dan kerling tajam memikat kepada setiap laki-laki, akan tetapi hanya itulah yang diberikan dengan rela hati. Ia tidak mau menyerahkan tubuhnya, untuk disentuhnyapun ia tolak, apalagi diciumi seperti ledek-ledek lain, sama sekali ia tidak mau. Banyak orang hartawan atau bangsawan yang menawarkan uang yang banyak sekali untuk membeli dirinya, namun semua itu ditolaknya dengan halus. Sikap ini mendapat dukungan kuat dari ayahnya, Ki Salmun yang sudah menjadi duda dan bekerja sebagai tukang kendang dalam rombongan anaknya. Ayah yang bijaksana dan tidak gila harta ini sama sekali tidak mau menyerahkan puterinya untuk dibeli kehormatannya dengan harta betapapun banyaknya. Dia memberi kebebasan kepada Neneng Salmah untuk memilih sendiri siapa yang kelak akan menjadi suaminya. Akan tetapi selama ini, belum ada seorangpun pria yang berhasil mendapatkan cinta kasihnya. Mungkin Neneng Salmah terlalu mencintai pekerjaannya sebagai penari dan penyanyi sehingga kadang ia merasa ragu dan khawatir bahwa kalau ia menjadi istri orang, ia akan kehilangan jati dirinya sebagai seorang seniwati. Bukan pria biasa saja yang gandrung=gandrung (tergila-gila) kepadanya, bahkan secara diam-diam karena merasa malu kalau ketahuan orang, Pangeran Mas Gede sendiri, Adipati Sumedang, pernah mengirim utusan membujuk Neneng Salmah agar menjadi seorang selir, atau setidaknya melayani hasrat kerinduan dan ----------------------- Page 768----------------------- ----------------------- Page 769----------------------- http://zheraf.net seni tariannya dan ketika bertembang tadi, suaranya juga merdu sekali. Bahkan sikap yang manis tapi penuh susila ini juga dapat dirasakan Jaka Bintara sehingga pemuda bangsawan Banten ini juga menari dan berupaya untuk dapat menari sebaik dan segagah mungkin. Dia merasa bahwa kalau tangannya usil, menowel, mencubit atau menggerayangi maka hal itu akan tampak janggal sekali dan melenyapkan keindahan gerak tari mereka. Dari pandang mata yang jeli indah itu saja Jaka Bintara merasa bahwa sedikitpun tidak ada niat merayu atau memikat dalam hati ledek luar biasa ini. Akan tetapi hal ini membuat dia merasa kecewa. sejak tadi sebelum Neneng Salmah menari, dia sudah tergila-gila kepada ledek ini, sudah timbul gairahnya, dan tadi dia ingin sekali berdekatan, berjoget bersama, bahkan menyentuhnya, merangkulnya dan bercumbu dengannya. Akan tetapi kenyataannya sekarang, biarpun sudah berjoget bersama, dia sama sekali tidak berani menyalurkan semua gairahnya itu! Dia merasa jengkel dan untuk melampiaskan kejengkelannya, dia lalu memutar tubuh menghadapi para penonton, bahkan juga kearah para tamu undangan lalu menantang. “Heh, para penonton dan para tamu semua. Kini Neneng Salmah sudah berjoget dengan aku. Siapa di antara kalian yang ingin berjoget bersamanya? Siapa yang ingin mencoba-coba untuk merebutnya dari tanganku? Kalau ada yang berani, ke sinilah, kita main-main sebentar. Sebaliknya kalau tidak ada yang berani, terpaksa kelak akan kuceritakan kepada para jawara (pendekar) di Banten bahwa di Sumedang tidak ada pendekarnya. Dan kalau tidak ada yang maju berarti Neneng Salmah menjadi milikku!” ----------------------- Page 770----------------------- ----------------------- Page 771----------------------- http://zheraf.net membuat Sudarman semakin rindu kepada ledek itu dan sekarang dia hendak mempergunakan kesempatan untuk mencoba agar dapat berjoget dengan perawan yang digandrunginya itu. Biarpun tidak dapat menjadi suami Neneng Salmah, akan tetapi kalau dapat berjoget bersama, tentu sudah merupakan hiburan yang menyenangkan. Begitu melihat Sudarman melompat naik ke panggung, Neneng Salmah mengenal pemuda yang pernah meminangnya itu. Ia menjadi malu-malu tersenyum dan melirik kepada pemuda itu, lalu mengundurkan diri duduk bersimpuh di pinggiran seperti biasa dilakukan ledek yang sedang diperebutkan, membiarkan dua orang laki-laki itu berhadapan dan bertanding. Gamelanpun untuk sementara dihentikan agar para penonton dapat mendengar apa yang akan dikatakan kedua orang jagoan yang sudah saling berhadapan itu. Jaka Bintara yang bertubuh kurus, akan tetapi bertulang besar dan tidak kelihatan kerempeng. Ketika melihat bahwa yang melompat naik ke atas panggung adalah seorang pemuda yang kerempeng, dia tersenyum mengejek. Matanya mengamati Sudarman dari kepala sampai ke kaki penuh selidik. “Orang muda.” kata Jaka bintara dengan logat bicaranya yang terdengar asing dan kaku, “andika berani menyambut tantanganku untuk memperebutkan Neneng Salmah? Hemm, katakanlah dulu siapa nama andika. Kalau andika belum mengetahuinya, aku adalah Raden Jaka Bintara dari Banten.” Sudarman tadi sudah mendengar nama pemuda bangsawan Banten itu. Dia tersenyum dan melirik ke arah Neneng Salmah yang kebetulan juga sedang memandang ----------------------- Page 772----------------------- ----------------------- Page 773----------------------- http://zheraf.net berani, kalahkan dulu aku dalam pertandingan baru andika berhak joget dengan Neneng Salmah. Kalau andika tidak berani, hayo cepat turun dan jangan mengganggu aku yang sedang asyik berjoget!” Wajah Sudarman menjadi pucat, lalu merah. Apa lagi mendengar suara beberapa orang mentertawakannya. Seorang laki-laki boleh saja mengalah seperti yang diperlihatkan dari sikapnya tadi, akan tetapi tidak ada laki-laki jantanh yang membiarkan dirinya diperhina. Kalau perlu dia siap untuk mempertahankan kehormatannya dengan taruhan nyawa. Sudarman membusungkan dadanya yang tipis, matanya bersinar-sinar karena marah dan dia menatap wajah Jaka Bintara dengan tajam. “Jaka Bintara, andika telah mematahkan pusakaku. Ini berarti andika telah menghinaku dan mau tidak mau terpaksa aku harus menyambut tantanganmu untuk bertanding!” Pada saat itu, Sudarman bertemu pandang mata dengan Neneng Salmah dan wanita muda itu merasa khawatir akan nasib pemuda itu menggeleng kepalanya. “Akang Darman, harap jangan berkelahi ...... “ Sudarman memandang ledek itu dan mengerutkan alisnya. Kalau dia mundur hanya karena Neneng Salmah yang memang sudah dikenalnya itu mencegahnya, dia tentu disangka takut dan akan menjadi bahan tertawaan semua penduduk Sumedang. Dia juga tahu bahwa gadis itu mencegah perkelahian bukan karena cinta kepadanya, melainkan hanya takut akan terjadinya keributan karena penghinaan itu tentu memancing perkelahian, bukan sekedar bertanding mengadu kepandaian untuk dapat keluar sebagai pemenang dan berjoget dengan Neneng Salmah. ----------------------- Page 774----------------------- ----------------------- Page 775----------------------- http://zheraf.net elakan yang gesit, kemudian cepat membalas dengan pukulan dari samping yang mengarah lambung lawan. “Dukkk!” Jaka Bintara menangkis dan tangkisan itu membuat Sudarman terhuyung. Jelas sekali bagi Aji bahwa biarpun Sudarman memiliki gerakan ringan dan cepat, namun dalam hal tenaga sakti dia kalah jauh. Pertandingan itu tidak akan berlangsung lama, pikirnya dan hatinya merasa bingung. Dalam hati dia ingin melindungi Sudarman yang terancam bahaya, akan tetapi bagaimana dia dapat melakukannya? Perbuatannya itu tentu akan menimbulakan keributan dan celaan karena bukankah meraka bertanding dengan adil di atas panggung? Kalah menang dalam sebuah pertandingan pencak silat adalah hal yang wajar dan mencampurinya merupakan pelanggaran yang tidak pantas. karena itu, dengan hati berdebar tegang Aji mengikuti jalannya pertandingan. Seperti telah diketahui Aji sebelumnya, pertandingan itu ternyata berat sebelah. Jaka Bintara terus mendesak lawannya yang kini tidak dapat membalas lagi dan hanya main elak mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatannya, bahkan menangkispun dia tidak berani karena tadi pernah Sudarman menangkis sebuah pukulan dan akibatnya, lengan kirinya terasa patah tulangnya dan nyerinya bukan main. Tiba-tiba Jaka Bintara menghentikan desakan dan serangannya, bahkan mundur tiga langkah. Kesempatan ini dipergunakan Sudarman untuk menyerang karena sejak tadi dia diserang terus dan sudah kewalahan. Aji bergerak hendak mencegah pemuda itu menyerang, akan tetapi dia teringat lagi dan menahan diri. Apa lagi karena tendangan kaki kanan Sudarman telah dilakukan. Kaki kanan itu mencuat dan cepat sekali menyambar ke arah dada Jaka Bintara. Ini memang yang ----------------------- Page 776----------------------- ----------------------- Page 777----------------------- http://zheraf.net perayaan dan pesta, mengapa engkau begitu kejam terhadap lawan yang sudah kalah?” Jaka Bintara memandang wajah kakek dan tersenyum mengejek. “Aki tua, siapakah engkau?” tanyanya dengan nada suara memandang rendah. “Jaka Bintara, aku adalah Ki Bajra, guru Sudarman.” “Ha-ha, bagus! Jadi engkau hendak membela muridmu yang tolol itu? Majulah!” Biarpun mulutnya menantang begitu, akan tetapi sebelum Ki Bajra menyerang maju, Jaka Bintara sudah mendahuluinya dengan serangan kilat. Ini menunjukkan betapa liciknya pemuda bangsawan Banten ini. Licik dan juga sakti. “Iyaaahhh ...... !” Kekek itu mengelak dengan mudah dan ternyata dia memiliki gerakan yang lincah sekali. Aji mengangguk-angguk. Ternyata kakek tua itu seorang yang ahli dalam aji meringankan tubuh sehingga gerakannya amat cepat seperti seekor burung srikatan. Pantas saja tadi Sudarman juga bergerak amat cepatnya. Kakek ini ternyata lebih cepat lagi gerakannya dan sambil mengelak diapun dapat mengirim serangan balasan kilat. Agaknya tadi ketika muridnya menghadapi Jaka Bintara, Ki Bajra sudah mempelajari gerakan pemuda bangsawan Banten itu dan maklum bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Karena itu dia tahu bahwa untuk mengatasi lawan, dia hanya daoat mengandalkan kecepatan gerakan dan tidak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk dapat memukulnya. Siasatnya ini memang tepat. Jaka Bintara terkejut dan juga penasaran sekali karena semua serangannya dapat dielakkan lawan dengan mudah dan gerakan kakek ini ternyata lebih cepat daripada gerakan ----------------------- Page 778----------------------- ----------------------- Page 779----------------------- http://zheraf.net menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan ...... sang tumenggung terbelalak kagum melihat asap mulai mengepul dari antara kedua tangan itu! Aji juga melihat hal ini dan dia terkejut sekali. Itulah semacam aji yang amat hebat dan dahsyat, mungkin semacam aji pukulan yang mengandung hawa panas atau api! Ki Bajra juga maklum akan hal ini dan dia sudah siap untuk menjaga jarak agar dapat menhindarkan diri dari serangan lawan. Jaka Bintara lalu menerjang maju, kedua tangannya melakukan pukulan mendorong ke depan dan ke manapun tubuh lawan berkelebat, selalu disusulnya dengan pukulan jarak jauh yang amat ampuh itu. Itulah aji pukulan Hastanala (Tangan Berapi) yang dahsyat sekali. Beberapa kali Ki Bajra masih mampu menghindar, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan yang mengandung hawa berapi itu menerpanya. “Auhhhh ...... !” Dia memekik dan tubuhnya terdorong lalu jatuh ke bawah panggung dengan baju dan kulit dada hangus seperti dibakar! Kakek itu pingsan dan seperti halnya ----------------------- Page 780----------------------- ----------------------- Page 781----------------------- http://zheraf.net bajunya dan mengeluarkan sepuluh potong uang reyal dan melemparkan uang itu ke atas papan panggung, di depan gadis penari itu. “Engkau ingin uang? Nah, ini, simpanlah dulu, nanti kutambah lebih banyak lagi kalau engkau memuaskan hatiku!” katanya sambil tersenyum lebar dengan bangga. Jarang ada pria yang berani mengeluarkan sepuluh reyal sebagai “uang muka”. Akan tetapi alangkah heran dan juga malunya ketika dia melihat Neneng Salmah tetap menggeleng kepla bahkan kini Neneng Salmah bangkit berdiri dan hendak lari kembali ke tempat dua orang rekannya duduk. Akan tetapi tiba-tiba Jaka Bintara membentaknya. “Berhenti!” Neneng Salmah terkejut dan berhenti sambil memutar tubuh menghadapi Jaka Bintara. “Berani engkau membikin malu padaku? Akupun dapat membikin malu padamu di depan semua orang dengan menelanjangimu!” Tiba-tiba tangannya bergerak ke arah gadis itu. Jarak antara mereka sekitar dua depa, akan tetapi ada angin menyambar dan tiba-tiba saja kemben yang melingkari pinggang ramping itu terlepas dan kain yang membungkus tubuh Neneng Salmah bergerak melorot. Neneng Salmah menjerit dan cepat menggunakan kedua tangannya untuk menahan kainnya sehingga ia tidak sampai telanjang di depan umum! Pada saat itu, sesosok nayangan orang berkelebat dan tahu-tahu Aji telah berdiri di depan Jaka Bintara dan dengan suara lembut namun penuh teguran Aji berkata. “Jaka Bintara, sebagai seorang yang memiliki aji kedigdayaan dan bersusila, sungguh tidak patut dan ----------------------- Page 782----------------------- ----------------------- Page 783----------------------- http://zheraf.net “Jaka Bintara, memang selalu mudah menemukan cacat orang walau sekecil semut sekalipun, akan tetapi menemukan cacat sendiri, biar sebesar gajah, amatlah sulit. Engkau mengatakan aku sombong dan sama sekali tidak menyadari bahwa yang sombong setengah mati adalah engkau sendiri. Sadarlah bahwa engkau telah melakukan kejahatan. Sebagai seorang tamu yang datang dari Banten tidak sepatutnya engkau menyiderai orang-orang seperti yang kau lakukan tadi, ditambah lagi hendak memaksa dan menghina seorang penari.” “Keparat jangan banyak mulut! Bersiaplah menerima hajaran dariku!” Bentak Jaka Bintara dan karena dia sudah marah sekali, hendak merobohkan orang yang berani menentang dan mencelanya sedemikian rupa di atas panggung, merobohkannya secepat mungkin dengan pukulan yang diandalkan, yaitu dengan Aji Hastanala. Kedua telapak tangan yang saling digosokkan itu mengepulkan asap, kini lebih tebal daripada tadi ketika dia merobohkan Ki Bajra sehingga semua orang memandang dengan hati tegang, pemuda yang bernama Lindu Aji itu tentu akan roboh dan tewas! Bagaimanapun juga, sebagian penonton mulai timbul perasaan tidak suka kepada Jaka Bintara karena kesombongannya, tidak memandang kepada orang-orang Sumedang. Juga mereka merasa marah melihat perlakuan Jaka Bintara terhadap Neneng Salmah yang amat menghina. Maka kini sebagian besar dari mereka condong untuk memihak Lindu Aji, walaupun mereka belum mengenal siapa pemuda itu dan sampai di mana kemampuannya. Mampukah pemuda asing ini menandingi pemuda bangsawan dari Banten itu yang sedemikian sakti mandraguna? ----------------------- Page 784----------------------- ----------------------- Page 785----------------------- http://zheraf.net Ki Salmun, ayah Neneng Salmah yang menjadi tukang kendangnya dan tentu saja berpihak kepada Aji yang membela puterinya, memainkan kendangnya dengan indah sekali, disesuaikan dengan gerak-gerik Aji yang mirip tarian kera itu menjadi “hidup”. Makin lama, Jaka Bintara menjadi semakin penasaran. agak pening juga dia harus berputar-putar mengejar tubuh Aji yang seolah berubah menjadi bayangan yang gesit sekali. Dia lalu hendak menggunakan siasat ketika tadi merobohkan Sudarman, yaitu dengan memancing agar lawan menyerangnya sehingga dia dapat merobohkannya dengan pukulan mautnya. Maka, dia lalu berseru lantang. “Heh, keparat! Kalau andika bukan pengecut, hayo balas seranganku, jangan hanya mengelak seperti seekor munyuk monyet!” Semua orang yang mendengar ini, diam-diam ikut mengharapkan agar Aji membalas karena mereka ingin melihat jagoan Banten itu terkena pukulan. “Hemm, begitukah kehendakmu? Nah, rasakan ini!” Tiba-tiba tubuh Aji berkelebat. Sebelum Jaka Bintara dapat berbuat sesuatu, tangan kiri Aji ditamparkan ke arah tengkuk lawan. Gerakannya cepat, namun Aji tidak ingin mencelakai orang, hanya sekedar hendak memberi pelajaran maka dia tidak mengerahkan tenaga sakti terlalu kuat. “Plakkk!” Tamparan itu tepat mengenai tengkuk dan tubuh Jaka Bintara terputar, akan tetapi dia dapat bertahan, masih berdiri sambil menggunakan kedua tangan memegangi kepalanya yang terasa berpusing, kedua matanya dipejamkan! Tepat ketika tamparan Aji itu mengenai tengkuk, dengan cermat sekali Ki Salmun si tukang kendang memukul ----------------------- Page 786----------------------- ----------------------- Page 787----------------------- http://zheraf.net seperti tadi, Aji hanya mengelak dan cepat sekali tangannya menyambar, menangkap tumit kaki yang menendang dan sekali mengerahkan tenaga, dia melontarkan tubuh lawan dengan mendorong ke atas. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Jaka Bintara terlempar ke atas, namun dia dapat berjungkir balik mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tidak terbanting jatuh, dapat turun ke atas papan panggung dengan kedua kaki lebih dulu. Namun tetap saja dia terhuyung-huyung. Kembali terdengar sorak-sorai, kini lebih genpita daripada tadi. Orang-orang mulai merasa lega, senang dan gembiara, maklum bahwa pemuda asing itu benar-benar mampu mengatasi jagoan Banten itu. Jaka Bintara merasa seolah kulit mukanya ditoreh. Dia merasa malu dan karenanya lalu menjadi marah yang membuat kedua matanya seolah berubah merah dan mulutnya seperti berbusa. Dia memandang Aji yang berdiri santai di depannya dengan sinar mata seolah hendak membakarnya dengan sinar matanya. “Keparat rasakan pembalasanku!” Dia merangkap kedua tangan dalam bentuk sembah, mulutnya berkemak kemik membaca mantera, kemudian menggosok-gosok lagi kedua tangannya dan sekali ini bukan asap hitam saja yang tampak di antara kedua tangannya, melainkan nyala api! Lalu dia menekuk kedua lututnya, mendorongkan kedua tangan yang sudah bernyala ke arah Aji. “Aji Analabanu ...... !!” Nyala api yang bersianr-sinar menerpa ke arah Aji. Akan tetapi sejak tadi Aji sudah siap siaga, maklum bahwa lawan menggunakan aji pukulan yang ampuh. Maka diapun ----------------------- Page 788----------------------- ----------------------- Page 789----------------------- http://zheraf.net “Ah. kiranya eyang adalah Kyai Sidhi Kawasa yang terkenal sakti mandraguna itu. Saya tidak mempunyai persoalan dengan eyang, mengapa eyang menantang saya?” “Tidak mempunyai persoalan? Andika telah merobohkan muridku Raden Jaka Bintara. Sudah sepatutnya aku sebagai gurunya membelanya dan menebus kekalahannya.” “Maaf, eyang. Saya yakin bahwa eyang adalah seorang yang bijaksana sehingga mengetahui bahwa murid eyang telah melakukan kekejaman. Semestinya eyang sendiri yang turun tangan memberi ingat dan memberi hukuman kepadanya agar nama besar eyang tidak terseret ke dalam kecemaran. Saya hanya membela mereka yang diperlakukan sewenang-wenang oleh Jaka Bintara, harap eyang dapat memakluminya.” Ucapan yang halus dan merendah dari Aji ini oleh Kyai Sidhi Kawasa dianggap sebagai tanda rasa takut. Dia mengedikkan kepalanya yang kecil dan botak, lalu berkata lantang. “Heh, Lindu Aji, kalau engkau merasa bersalah, berlututlah dan mohon ampun kepadaku.” Aji berkata dengan tenang. “Maaf, eyang. Saya tidak dapat minta ampun karena saya tidak merasa bersalah.” “Hemm, kalau begitu tidak ada jalan lain. Andika harus nertanding dengan aku untuk menentukan siapa yang lebih sakti!” “Saya tidak bermusuhan dengan eyang, akan tetapi kalau eyang memaksa saya bertanding, apa boleh buat. Akan saya layani.” “Bagus, bersiaplah andika, Lindu Aji!” kata kakek itu. ----------------------- Page 790----------------------- ----------------------- Page 791----------------------- http://zheraf.net wenang. Sesungguhnya saya merasa heran sekali mengapa paman membiarkan penyiksaan dan penghinaan itu terjadi?” Tumenggung Jayasiran tersenyum rikuh. “Ah, maafkan anakmas. Tadipun saya kira mereka itu hanya bertanding seperti biasa saja, tidak tahunya menjadi sungguh-sungguh. Saya merasa menyesal sekali dan akan menghentikan petandingan ini. Cukup dengan berjoget saja, secara bergiliran, tanpa pertandingan. Silakan masuk, anakmas.” Aji menggeleng kepalanya. “Terima kasih, paman tumenggung. Saya akan pergi untuk mencari tempat penginapan.” “Ah, kalau ingin menginap, kenapa harus mencari tempat lain? Menginaplah saja di sini, anakmas! Andika adalah penyelamat gusti adipati, sudah sepantasnya kalau kami menyambutmu dengan segala senang hati dan kehormatan. Kami ikut berterima kasih atas pertolonganmu itu.” “Terima kasih, paman. Saya mencari penginapan di luar saja. selamat malam!” Aji memandang ke arah wajah Kyai Sidhi Kawasa dan melihat betapa sinar mata kekek itu ditujukan kepadanya dengan penuh rasa dendam. Dia maklum bahwa selanjutnya dia harus berhati-hati karena dendam seorang seperti kakek ini amatlah berbahaya. setelah memberi hormat kepada tumenggung itu, diapun melompat turun dari panggung dan meninggalkan tempat itu. Selagi Aji berjalan untuk mencari tempat penginapan, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua menghadangnya dan bertanya dengan suara lembut dan ramah. “Apakah denmas mencari tempat penginapan?” Aji mengangkat muka memandang. Sinar lampu gantung di depan sebuah rumah tak jauh dari situ cukup ----------------------- Page 792----------------------- ----------------------- Page 793----------------------- http://zheraf.net “Marilah kita pulang, anakmas dan andika dapat melihat sendiri keadaannya. Menurut ahli pengobatan yang memeriksanya, dia mengalami patah tulang kaki tangan, akan tetapi dia akan sembuh. Yang lebih parah keadaannya adalah Ki Bajra. Dia juga berada di rumah kami, sedang dirawat ahli pengobatan itu.” Aji mengerti. Dia tadi melihat betapa Sudarman hanya patah tulang tangan dan kakinya, akan tetapi gurunya, Ki Bajra, terkena pukulan berhawa panas yang ampuh sekali. Aji mengikuti mang Engkos ke rumah keluarga itu yang berada dipinggir kota, di bagian yang sunyi karena rumah itu agak terpencil. Sebuah rumah yang cukup besar walaupun sederhana. Ternyata di rumah itu hanya tinggal Mang Engkos yang sudah menduda dan putera tunggalnya, yaitu Sudarman dan beberapa orang keponakan laki-laki yang suka datang untuk membantu pekerjaan Mang Engkos di sawah ladang. Para keponakan inipun menjadi murid Ki Bajra yang sudah beberapa tahun tinggal di rumah Mang Engkos karena kakek ini seorang perantau yang tidak mempunyai keluarga. Aji memeriksa keadaan Sudarman yang rebah di dalam sebuah kamar di atas tempat tidur kayu. Pemuda itu tersenyum ketika diperkenalkan kepada Aji. Dia sudah mendengar dari saudara-saudara seperguruannya betapa Aji telah menghajar keras jagoan dari banten itu dan menyelamatkan Neneng Salmah dari penghinaan. “Andika hebat sekali dapat mengalahkan Jaka Bintara yang digdaya itu!” kata Sudarman sambil memandang dengan sinar mata kagum. Kaki dan tangannya dibalut kuat-kuat dan biarpun dia menderita nyeri yang cukup hebat, namun wajahnya tersenyum dan sedikitpun tidak tampak menderita! ----------------------- Page 794----------------------- ----------------------- Page 795----------------------- http://zheraf.net orangnya tidak tahu lagi apakah yang dirasakan itu nyeri ataukah nikmat.” “Eh? Bagaimana ini? aku menjadi tambah tidak mengerti!” kata Mang Engkos. “sudahlah, bapa. hal itu tidak akan dimengerti oleh yang belum menguasai ilmu itu. Pokoknya, kita terima tanpa perlawanan, tanpa keluhan, menerimanya tidak sebagai kenyerian, melainkan sebagai sesuatu yang wajar. Eh, ki sanak, aku tadi mendengar tentang pertandingan melawan Jaka Bintara. hebat sekali! Siapakah namamu tadi?” “Namaku Lindu Aji.” “Andika masih muda sekali namun sudah sakti mandraguna, Akimas Aji. Sekarang aku minta agar andika tidak kepalang tanggung menolong dan menyelamatkan orang.” Aji memandang pemuda yang rebah telentang di atas pembaringan itu dengan sinar mata bertanya. “Menolong dan menyelamatkan siapakah, Kakangmas Sudarman?” “Siapa lagi kalau bukan Neneng Salmah? Tolong selamatkan ia, dimas. Ia seorang gadis yang baik sekali, walaupun bekerja sebagai seorang ledek.” “Akan tetapi ...... ia kenapa?” tanya Aji. “Ah, setelah peristiwa tadi, aku merasa gelisah sekali, dimas. Aku sendiri dan bapa guru sudah tidak berdaya, dan Neneng Salmah tidak mempunyai pelindung. Pada hal peristiwa tadi ...... ah, aku yakin bahwa ia berada dalam bahaya besar.” “Bahaya besar? Bahaya apa dan siapa yang akan mengganggunya?” ----------------------- Page 796----------------------- ----------------------- Page 797----------------------- http://zheraf.net JILID XXIII ji mengerutkan alisnya. Benar juga apa yang dikatakan pemuda yang bijaksana ini. Biarpun orang Asedunia menuduhnya, kalau memang kenyataannya dia tidak melakukan apa yang dituduhkan orang, megapa dia mesti pusing? Gurunya juga selalu mengajarkan bahwa yang penting bagi seseorang adalah eling lan waspodo (ingat dan waspada), yaitu ingat setiap saat dan menyerah kepada Gusti Allah dan waspada terhadap pikiran, kata, dan perbuatan sendiri. Kalau kita waspada dan sadar bahwa kita bersalah, inilah yang penting dan harus kita ubah. Sebaliknya kalau kita tidak bersalah, mengapa harus memusingkan gunjinagn orang? dan kalau benar besok terjadi sesuatu yang mencelakakan Neneng Salmah pada hal dia menolak bermalam di sana, tentu saja dia akan merasa menyesal bukan main. “Apa yang dikatakan Darman itu benar, anakmas Lindu Aji. mari kuantar andika berkunjung ke sana.” Aji mengangguk dan berangkatlah mereka berdua ke rumah Neneng Salmah yang berada di sebelah utara tepi kota kadipaten Sumedang. Akan tetapi, begitu tiba di rumah Ki Salmun, mereka menemukan Ki Salmun menangis kebingungan. Mang Engkos segera bertanya apa yang telah terjadi sedangkan Aji mendengarkan dengan alis berkerut. Ketika Ki salmon melihat Aji dan mengenalnya sebagai pemuda perkasa yang tadi telah menghajar Jaka Bintara dia lalu berlutut menyembah-nyembah. “Raden ...... tolonglah anak saya ...... tolonglah Neneng Salmah.” ----------------------- Page 798----------------------- ----------------------- Page 799----------------------- http://zheraf.net Tiba-tiba dia mendengar jerit wanita, akan tetapi segera jerit itu terdiam seolah mulut yang menjerit itu dibungkam. Jeritan pendek itu cukup bagi Aji yang memberi petunjuk ke mana dia harus mencari. Cepat dia melompat ke bagian belakang gedung. Dia melihat sinar lampu menyorot keluar dari celah-celah jendela sebuah kamar dan terdengar napas orang terengah engah dari dalam kamar itu. Aji lalu mendorong daun jendela kamar dan jendela itupun jebol. Di bawah sinar lampu gantung di kamar itu, dia melihat Neneng Salmah mempertahankan diri, bergumul di atas pembaringan dengan seorang pria yang berusaha merenggut lepas pakaiannya. Gadis itu melawan dengan gigih, mempertahankan pakaiannya dengan cakaran, gigitan dan pukulan. Mulutnya tak mampu mengeluarkan suara karena didekap tangan kiri penyerangnya yang bukan lain adalah Raden Jaka Bintara! Ternyata Jaka Bintara inilah yang karena merasa penasaran, minta kepada Tumenggung Jayasiran agar dia dapat menguasai Neneng Salmah yang digandrunginya. Tumenggung itu merasa sungkan untuk menolak, apa lagi tadi dia tidak dapat mencegah pangeran Banten yang dikalahkan dan dipermalukan di depan umum. Untuk menghibur hati pangeran itu, Tumenggung Jayasiran memenuhi permintaannya dan memerintahkan pasukan memanggil Neneng Salmah dan memaksa gadis itu datang ke gedungnya dan menyerahkannya kepada Jaka Bintara. Pemuda bangsawan Banten itu menjadi girang sekali dan setelah dia memasuki kamar di mana Neneng Salmah dikeram, dia menerkam gadis itu bagaikan seekor binatang buas! Namun gadis itu melawan dengan sekuat tenaga bahkan sempat mengeluarkan jeritan ----------------------- Page 800----------------------- ----------------------- Page 801----------------------- http://zheraf.net Aji cepat membalik dan melihat Kyai Sidhi Kawasa sudah berdiri di ambang pintu. Di belakangnya berdiri Jaka Bintara yang berlindung di belakang gurunya. Agaknya Kyai Sidhi Kawasa sudah marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah mendorongkan kedua tangannya dengan Aji Analabanu. Sinar api berkobar menyambar dari kedua telapak tangannya ke arah Aji. Akan tetapi pemuda itu dengan tenangnya namun dengan pengerahan tenaga sakti sepenuhnya menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula. Karena maklum bahwa tenaga kakek ini tentu jauh lebih kuat daripada tenaga Jaka Bintara, maka Aji juga menggunakan Aji Guruh Bumi. Begitu dia mengerahkan tenaga untuk menyambut, kamar itu seolah tergetar hebat, seolah ada gempa bumi. Demikain hebatnya Aji Guruh Bumi itu. “Wuuuttt ...... blarrrr ...... !” Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu dan akibatnya, tubuh Kyai Sidhi Kawasa tergetar, sehingga dia melangkah mundur tiga kali. Aji tidak terpengaruh benturan tenaga itu dan dia cepat memondong tubuh Neneng Salmah dan membawanya melompat keluar jendela. Gadis itu memejamkan mata ketika merasa betapa pinggangnya dirangkul dan tubuhnya dibawa “terbang”, demikain rasanya karena cepat sekali Aji yang memondongnya itu membawanya lari dan melompati pagar tembok sehingga mereka tiba di luar gedung itu. Barulah Aji menurunkan tubuh Neneng Salmah dari pondongannya. barulah wajah Aji menjadi kemerahan dan jantungnya berdebar. “Ah ...... nimas, maafkan aku. Terpaksa aku tadi memondongmu agar dapat lari dengan cepat.” kata Aji. Neneng Salmah menjadi semakin kagum. Tadi, ketika melihat pemuda ini menghajar Jaka Bintara, ia sudah merasa ----------------------- Page 802----------------------- ----------------------- Page 803----------------------- http://zheraf.net “Aduh, raden ...... akulah yang sepatutnya mohon maaf kepadamu. Raden sama sekali tidak mengenalku, akan tetapi andika telah menyelamatkan aku dari bencana, telah menolongku dengan mempertaruhkan keselamatan diri raden sendiri. Akulah yang sepatutnya mohon maaf dan menghaturkan terima kasih. Sampai mati aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu yang berlipah itu, raden.” “Hemm, jangan sebut aku raden, Nimas Neneng Salmah. Aku bukan bangsawan seperti Raden Jaka Bintara itu. Aku seorang dusun biasa, namaku Lindu Aji. engkau cukup memanggilku Mas Aji saja.” “Baiklah, Mas Aji. Bertambah lagi nilai andika di dalam pandanganku. Ternyata andika seorang pemuda yang rendah hati, pula. Akan tetapi dalam pandanganku, andika jauh lebih bijaksana, lebih berharga dari pada sekalian laki-laki bangsawan yang pernah kujumpai dan aku berterima kasih sekali kepadamu.” “Sudahlah, kalau hendak berterima kasih, berterima kasih dan bersukurlah kepada Gusti Allah karena hanya Gusti Allah yang dapat menolong manusia. Aku hanya menjadi alat, menjadi sarana. Mari kuantar engkau pulang ke rumah Ki Salmun yang menunggumu dengan hati gelisah.” “Bapa ...... ah bapa ...... kasihan dia.” Mereka lalu bergegas menuju rumah Ki Salmun. Sementara itu, Kyai Sidhi Kawasa dan Jaka Bintara yang merasa penasaran hendak melakukan mengejaran dan akan minta bantuan pasukan. Akan tetapi Tumenggung Jayasiran muncul dan mencegah mereka. ----------------------- Page 804----------------------- ----------------------- Page 805----------------------- http://zheraf.net “Salmah, anakku ...... !” Ki Salmun merangkul anaknya dan keduanya berangkulan sambil menangis. Mang Engkos yang berada di situ menemui Ki Salmun berkata kepada Ki Salmun. “Sudahlah, kita harus bersukur bahwa Neneng Salmah dapat pulang dengan selamat berkat pertolongan Anakmas Lindu Aji.” Ki Salmun seperti diingatkan. Dia melepaskan anaknya lalu membungkuk dan menyembah kepada Lindu Aji. “Anakmas, banyak terima kasih atas pertolongan andika. Budi kebaikan terhadap kami sekeluarga sungguh tak ternilai besarnya.” “Sudahlah, paman. Mari kita mengucap sukur dan menghaturkan terima kasih kepada Gusti Allah. Sekarang, yang penting adalah paman dan Nimas Neneng Salmah harus pergi meninggalkan Sumedang untuk mencegah terjadinya hal- hal yang lebih buruk lagi.” Ayah dan anak itu saling pandang dengan mata terbelalak dan Neneng Salmah memutar tubuh menghadapi Aji dengan wajah pucat. “mas Aji ...... kami ...... kami harus pergi meninggalkan rumah sekarang juga, malam-malam begini? Akan tetapi kemana, mas ...... ?” “Benar, nimas. terpaksa engkau dan ayahmu harus pergi sekarang juga, kalau tidak, tentu akan muncul gangguan- gangguan baru yang lebih buruk lagi karena sudah jelas bahwa Tumenggung Jayasiran berpihak kepada orang Banten itu. Besok aku akan melaporkan kepada Paman Adipati Sumedang, minta keadilan. Akan tetapi engkau dan ayahmu harus pergi ----------------------- Page 806----------------------- ----------------------- Page 807----------------------- http://zheraf.net Kembali Ki Salmun terbelalak heran. “Menghadap Gusti Adipati Cirebon? Saya ...... saya ...... tidak berani, anakmas!” “Jangan takut, paman. Aku akan membuatkan sepucuk surat dan paman hanya tinggal menghadap dan menyerahkan surat itu saja. Gusti Adipati Pangeran Ratu tentu akan menyambut paman dan Nimas Neneng Salmah dengan baik. Kemudian baru andika berdua pergi ke Dermayu, menemui Paman Subali dan menyerahkan pula suratku kepadanya.” “Taapi ...... !” Orang tua itu tampak bingung dan memandang ke sekeliling dalam rumahnya. “lalu bagaimana dengan rumah dan semua milik kami ini?” “Jangan khawatir, paman. Kukira paman ...... eh, Mang Engkos akan mau menjaganya dan kelak kalau perlu atas namamu menjual semua ini dan uangnya dapat paman pergunakan untuk membeli rumah dan sawah ladang di Dermayu, kalau segalanya sudah tenang kembali. Atau ada kemungkinan juga andika berdua kembali kesini, yaitu ...... kalau keadaan sudah aman dan nimas Neneng Salmah sudah mempunyai seorang suami yang dapat melindunginya.” “Tentu saja aku mau mengurus rumah seisinya ini untuk Adi Salmun. Jangan khawatir akan hal itu!” kata Mang Engkos dengan serius. “Nah, sekarang aku akan membuat surat untuk Paman Adipati Cirebon dan untuk Paman Subali di Dermayu. Andika berdua dapat berkemas, membawa apa yang sekiranya perlu. dan Paman ...... eh, Mang Engkos, harap suka mencarikan sebuah kereta dengan kuda-kuda yang dapat disewa untuk mengantar Paman Salmun dan Nimas Salmah ke Cirebon.” ----------------------- Page 808----------------------- ----------------------- Page 809----------------------- http://zheraf.net Juga Ki Salmun merasa lega dan dapat tersenyum. “Hanya sampai besok pagi, nimas. Besok pagi aku harus kembali ke sini karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Aku akan menghadap Paman Adipati Sumedang, melaporkan semua kejadian ini agar beliau dapat turun tangan dan mengusir orang-orang Banten yang agaknya didukung Tumenggung Jayasiran itu.” “Nanti dulu, aku ingin bicara dan mengajukan saran. maafkan kalau aku bicara salah, anakmas Aji.” kata Mang Engkos. “Tentu saja boleh. Saran siapapun akan membantu dan amat penting, Mang Engkos. Mungkin saranmu lebih baik daripada apa yang hendak kulakukan.” kata Aji. “Begini, Anakmas Aji dan kalian juga, adi Salmun dan Neneng Salmah. Kukira, kepergian adi Salmun dan anaknya tidak perlu begini tergesa-gesa. Aku mendengar bahwa anakmas Aji telah menyelamatkan Gusti Adipati dari serangan Tumenggung Jaluwisa yang memberontak. Dengan demikian, tentu anakmas dipercaya oleh Gusti Adipati. Kalau anakmas ----------------------- Page 810----------------------- ----------------------- Page 811----------------------- http://zheraf.net ke dapur untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka semua. Setelah minum-minum sejenak, mang Engkos lalu berpamit pulang karena dia harus merawat Sudarman dan Ki Bajra yang terluka. Aji dipersilahkan beristirahat dalam sebuah kamar di mana pemuda ini duduk bersila, mengaso akan tetapi tetap waspada melakukan penjagaan. sementara itu, Neneng Salmah berada di kamar ayahnya. Ayah dan anak itu bicara berbisik-bisik, tampaknya serius sekali. “Sudah kaupertimbangkan baik-baik, Salmah?” Tanya Ki Salmun berbisik. “Sudah, bapa. Kalau hati sudah merasa, perlukah pikiran mempertimbangkannya lagi? Selama hidupku, belum pernah aku bertemu seorang laki-laki seperti dia. Aku jatuh cinta, bapa, aku merasa berbahagia kalau dapat hidup didekatnya, biar hanya menjadi pelayannya, abdinya. Tolonglah, bapa, sampaikan keinginanku kepadanya, bicarakanlah urusan perjodohan ini.” Ki Salmun menghela napas panjang. “Hemm, memang sebetulnya sudah matang waktunya bagimu untuk menjadi isteri orang, Salmah. Semenjak tiga tahun terakhir ini, entah berapa banyaknya pinangan pria yang terpaksa kutolak karena engkau masih belum ingin menjadi isteri orang. Bahkan pinangan Sudarman putera Mang Engkos yang begitu baik, terpaksa kutolak. Padahal engkau juga tahu bahwa Sudarman adalah seorang pemuda yang baik sekali, bahkan tadipun dia berusaha untuk membelamu dari orang Banten itu. Akan tetapi engkau menolak juga dan sekarang ...... tiba-tiba engkau ingin menjadi isteri anakmas Aji.” ----------------------- Page 812----------------------- ----------------------- Page 813----------------------- http://zheraf.net pemuda itu sampai ke depan rumah. Setelah Aji pergi, mereka bergegas memasuki rumah dan menutup daun pintu. Kereta yang disewa masih berada di pekarangan dan kusirnya yang dengan setia menanti juga sudah mendapat kiriman sarapan oleh Neneng Salmah. Ketika tiba di pekarangan gedung kadipaten yang luas, aji disambut oleh para perajurit pengawal dengan penuh kehormatan setelah mereka mengetahui bahwa pemuda itu yang kemarin telah menyelamatkan Sang Adipati. mereka tahu bahwa pemuda itu adalah seorang senopati mataram dan seorang yang sakti mandraguna. seorang dari pengawal segera melapor ke dalam dan tak lama kemudian Aji diantar seorang perwira pasukan pengawal memasuki gedung kadipaten menuju ke ruangan tamu yang luas. Akan tetapi ketika dia memasuki ruangan tamu di mana Adipati Sumedang, Pangeran Mas Gede, menantinya, Aji merasa terkejut bukan main melihat Kyai Sidhi Kawasa telah duduk berhadapan dengan sang adipati, agaknya menjadi tamu agung yang dihormati! Akan tetapi dia tidak memperlihatkan keterkejutan hatinya dan dengan tenang dia melangkah maju menghampiri lalu melakukan penghormatan dengan sembah sambil berdiri kepada sang adipati. Pangeran Mas Gede bangkit berdiri dan menyambut Aji dengan senyum ramah. “Ah, akhirnya andika muncul juga, Anakmas Lindu Aji. Silakan duduk, memang sejak tadi kami menanti kedatanganmu. Mari, kami perkenalkan. Anakmas, ini adalah Bapa Kyai Sidhi Kawasa, tokoh besar dari Banten yang juga menjadi penasihat Adipati di Banten. Bapa Kyai, ini adalah Anakmas Lindu Aji, senopati muda Mataram yang telah ----------------------- Page 814----------------------- ----------------------- Page 815----------------------- http://zheraf.net membela yang lemah tertindas. Kalau andika memaksakan kekerasan di manapun andika berada, kalau bertemu dengan aku, sudah pasti aku akan menentangmu!” “Babo-babo, apa kaukira aku takut kepadamu?” Kyai Sidhi Kawasa bangkit berdiri. Kini dia memegang sebuah tongkat ular cobra yang tampak mengerikan. Aji juga bangkit berdiri. “Akupun tidak takut kepadamu!” Dua orang itu saling berhadapan, siap untuk saling serang. Adipati Sumedang cepat bangkit dari kursi dan berdiri di antara mereka, melerai. “Cukup, kalau ada permusuhan pribadi, harap jangan dipertengkarkan di sini! Apakah andika berdua sama sekali tidak menaruh hormat kepada kami?” “Maafkan, Anakmas Adipati.” kata Kyai Sidhi Kawasa sambil duduk kembali. Akan tetapi Aji menghadapi sang adipati dan berkata dengan hormat. “Paman Adipati, orang Banten ini dan muridnya telah berlaku sewenang-wenang di kadipaten ini, mengandalkan kesaktian melukai orang-orang, bahkan semalam mereka menculik Neneng Salmah. Tindakan mereka didukung Tumenggung Jayasiran, dan baru saja kakek ini bahkan menghina Mataram. Apakah Paman Adipati akan mendiamkan saja sikap dan perbuatannya?” “Anakmas Lindu Aji, tenang dan bersabarlah. Bagaimanapun juga Paman Kyai Sidhi Kawasa ini adalah tamu kehormatan kami, dia adalah utusan kerajaan Banten. Bahkan muridnya, Raden Jaka Bintara, adalah seorang Pangeran Banten. Karena itu, semua urusan harus diselesaikan dengan jalan damai, bukan dengan permusuhan.” ----------------------- Page 816----------------------- ----------------------- Page 817----------------------- http://zheraf.net ledek. Dia berjanji pada diri sendiri akan merawat rumah itu dan isinya dengan baik-baik. Kereta meluncur laju keluar dari kota Sumedang melalui pintu gerbang sebelah utara. Tidak ada halangan sesuatu dalam perjalanan. Setelah matahari naik tinggi dan mereka tidak menemui gangguan, beberapa kali Neneng Salmah memberi isarat dengan pandang matanya kepada ayahnya, sedangkan Aji memejamkan kedua matanya seperti orang bersamadhi. Sebetulnya dia melakukan hal itu agar tidak usah bertemu pandang terlalu sering dengan Neneng Salmah. Tadi, ketika beberapa kali dia beradu pandang, dia terkejut melihat betapa sinar mata gadis itu mengandung pandang yang aneh! Seperti orang terharu, orang memohon, dan ada kemesraan yang terasa benar olehnya dalam pandang mata yang indah itu. Melihat ayahnya masih belum juga tanggap, Neneng Salmah bahkan menjulurkan kaki dan menyentuh kaki Ki Salmun yang duduk di depannya. Ki Salmun terkejut memandang puterinya dan kembali Neneng Salmah memberi isyarat dengan kedipan matanya ke arah Aji. Barulah Ki Salmun mengerti apa yang dimaksud puterinya. Sesungguhnya, sejak tadipun dia sudah memikirkan janjinya semalam kepada puterinya, hanya dia merasa rikuh dan sukar untuk mengeluarkan kata-kata menyampaikan keinginan hati anaknya itu. Dia menoleh kepada Aji yang duduk di sebelah kanannya. Melihat Aji duduk dengan punggung lurus dan kedua mata terpejam dia ragu-ragu dan meoleh kepada anaknya. Neneng Salmah kembali memberi isyarat seolah mendorongnya untuk segera bicara, maka Ki Salmun lalu ----------------------- Page 818----------------------- ----------------------- Page 819----------------------- http://zheraf.net menyampaikan kepada anakmas tentang apa yang telah menjadi keputusan kami itu. Anak saya ini sudah mengambil keputusan untuk ...... suwita (menghambakan diri) kepada andika, Anakmas Lindu Aji. Sudah tentu saja kalau anakmas belum beristeri dan sudi menerimanya sebagai isteri.” Aji terbelalak. Sama sekali tidak disangkanya akan mendengar pernyataan seperti itu! Mendadak saja dia teringat kepada Sulastri yang telah kehilangan ingatan dan kini menjadi Listyani atau Eulis. Sejenak dia tidak mampu bicara, hanya memandang kepada Neneng Salmah dan di melihat betapa kini gadis itu semakin menundukkan mukanya sehingga dagunya menempel pada dadanya. Bibir yang merah mungil itu seperti hendak tersenyum, namun gemetar dan tampak giginya rapi dan putih menggigit bibir bawahnya seperti hendak menahan gejolak hati yang membuat bibir itu tergetar. Alangkah ayu manisnya gadis ini! Akan tetapi selain teringat kepada Sulastri, Ajipun teringat akan tugasnya. Memang dia telah bertemu dengan keluarga mendiang gurunya, bahkan telah bertemu dengan putera gurunya dan cucu gurunya yang ternyata adalah orang-orang bijaksana dan baik. Akan tetapi, biarpun dia telah bertemu dengan kakak tirinya seperti yang dipesankan mendiang ayahnya, namun pertemuan itu tidak melegakan hatinya karena dia mendapat kenyataan bahwa kakak tirinya itu terpikat oleh para kaki tangan Kumpeni Belanda. Hal ini haruslah ditentangnya. Dia harus menyadarkan kakak tirinya bahwa kakak tirinya itu diperalat oleh Banuseta, pada hal justru Banuseta itu yang menjadi musuh besar mereka berdua! Tugas ini harus diselesaikannya dan tugas besar lain, membantu usaha Sultan Agung Mataram untuk menyerang Batavia juga harus dia laksanakan dengan baik. Setelah semua itu terlaksana, ----------------------- Page 820----------------------- ----------------------- Page 821----------------------- http://zheraf.net ayahmu. Melainkan karena aku masih memiliki tugas yang banyak dan penting dan sama sekali aku belum mempunyai pikiran dan keinginan untuk menikah. Maafkan aku, nimas.” Akan tetapi Neneg Salmah tiba-tiba menjatuhkan lagi dirinya, berlutut sambil merangkul kedua kaki Aji. Ia menangis. “Mas Aji ...... aku sudah mengambil keputusan untuk menghambakan diriku kepadamu, mas ...... aku mau menjadi apa saja, menjadi abdimu, menjadi hambamu, mencucikan pakaianmu, melakukan semua pekerjaan untuk melayanimu asal andika sudi menerimaku, asal aku diperbolehkan ikut denganmu ...... “ Aji tersenyum dan menghela napas, lalu menggeleng kepalanya, rasa haru memenuhi hatinya. Terasa benar olehnya betapa gadis itu amat mencintainya, begitu pasrah, bahkan mau menjadi budaknya, menjadi abdinya! “Nimas Neneng Salmah, jangan menuruti perasaanmu, akan tetapi pergunakanlah akal budimu. Bangkitlah dan mari kita bicara secara baik-baik.” Suara Aji terdengar begitu penuh wibawa sehingga seolah menyeret Neneng Salmah dari keadaan yang dipenuhi perasaan haru dan duka itu, dan iapun bangkit perlahan-lahan sambil berusaha menghentikan isaknya. Mereka berdiri berhadapan, Aji, Neneng Salmah dan Ki Salmun. “Nimas, pikirkanlah baik-baik. Kuulangi sekali lagi. Penolakan ini sama sekali bukan berarti bahwa aku benci atau tidak suka padamu. Aku masih mempunyai banyak sekali tugas penting yang harus kuselesaikan dan pada saat ini aku sama sekali belum berniat menikah. Dan bagaimana mungkin andika ikut denganku, nimas? Dalam menunaikan tugas ini, hidupku ----------------------- Page 822----------------------- ----------------------- Page 823----------------------- http://zheraf.net dengan petunjuknya”. Dia menggandeng lengan anaknya dan mengajaknya memasuki kereta kembali, Kereta lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Dermayu lewat Cirebon. Setelah tiba di Cirebon, tanpa banyak kesulitan Salmun dan puterinya diperkenankan menghadap Adipati Pangeran Ratu, penguasa Cirebon setelah dia melapor kepada perwira pengawal bahwa dia datang menghadap sebagai utusan Lindu Aji. Apa lagi wajah Neneng Salmah juga dikenal oleh perwira itu karena ledek dari Sumedang yang amat terkenal itu pernah pula ditanggap di kadipaten Cirebon. Setelah Adipati Cirebon menerima surat Aji, membaca laporan pemuda itu bahwa Adipati Sumedang bersikap bersahabat, bahkan memanjakan dan membela pangeran dari Banten yang jahat, dia menjadi marah. Pada hari itu juga Adipati Cirebon mengirim utusan ke Mataram untuk menyerahkan pelaporannya kepada Sulatan Agung. Peristiwa ini menyebabkan kemarahan Sultan Agung dan beberapa bulan kemudian Sultan Agung di Mataram memutuskan untuk memecat Pangeran Mas Gede. Sebagai gantinya diangkat Adipati Ukur yang mewakili Mataram dan menjadi penguasa di Sumedang dan bahkan seluruh Priangan. Salmun dan Neneng Salmah tidak lama berada di Cirebon. mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka ke Dermayu. begitu memasuki Dermayu mereka langsung mencari Ki Subali. *** Belasan hari yang lalu, Ki Subali dan isterinya mengalami peristiwa yang menggembirakan, namun sekaligus juga mengejutkan dan mengkhawatirkan. ----------------------- Page 824----------------------- ----------------------- Page 825----------------------- http://zheraf.net Ki Subali menghela napas panjang. “Akupun menyesal kalau memikirkan hal itu. Engkau tahu sendiri bahwa aku seorang yang tidak suka akan kekerasan. Akan tetapi anak kita itu berhati keras dan ialah yang dahulu itu nekat untuk mempelajari aji kanuragan. Akan tetapi semua itu telah terjadi dan tidak ada gunanya disesali lagi. Sekarang kita hanya dapat berdoa dan mohon kepada Gusti Allah semoga anak kita selamat dan pada suatu hari akan pulang ke sini.” Tiba-tiba Nyi Subali menjulurkan tangannya di atas meja dan mencengkeram lengan tangan suaminya, matanya terbelalak memandang ke luar rumah. “Ada apa, bune ...... ?” Ki Subali berseru kaget melihat isterinya memandang keluar rumah., diapun menoleh dan memandang ke pekarangan. Mereka berdua melihat dua orang memasuki pekarangan. seorang gadis yang bukan lain adalah Sulastri! “Ia ...... ia ...... Sulastri anakku ...... !” Nyi Subali lalu bangkit dan berlari keluara diikuti suaminya. Gadis itu tertegun melihat suami istri itu berlari keluar, yang wanita lari sambil menangis. Apa lagi ketika wanita yang wajah dan bentuk tubuhnya tidak asing baginya akan tetapi yang tidak dikenalnya siapa itu langsung merangkulnya sambil menangis. Eulis hanya bengong, membiarkan dirinya dirangkul dan diciumi sehingga mukanya basah oleh air mata yang membanjir keluar dari mata wanita itu. “Sulastri ...... anakku ...... !” Nyi Subali berkata dalam tangisnya, akan tetapi ibu ini dapat merasakan juga dengan penuh kekagetan dan keheranan betapa gadis itu sama sekali tidak menanggapinya, tidak membalas rangkulan dan ciumannya, melainkan hanya berdiri seperti patung! Maka ----------------------- Page 826----------------------- ----------------------- Page 827----------------------- http://zheraf.net Jatmika mengangkat kedua tangannya ke atas, menyabarkan hati orang tua itu. “Harap paman dan bibi tenang dan bersabar. Saya mengerti kegelisahan andika berdua. Saya dapat menceritakan keadaan Nimas Eulis dengan jelas. Apakah tidak sebaiknya kalau kita bicarakan masalah ini di dalam saja?” Barulah Ki Subali teringat bahwa tadi dia bersikap kurang bijaksana terhadap pemuda ini, sebelumnya telah menyangka yang bukan-bukan. “Maafkan kami ..... kami bingung tadi ...... silakan anakmas, silakan masuk. Bune, ajaklah Sulastri masuk.” Nyi Subali merangkul gadis itu. “Lastri, mari masuk rumah, nak.” “Bibi, nama saya Listyani, panggil saja Eulis.” bantah Eulis dengan suara lembut karena ia merasa hormat dan suka kepada wanita itu. “Baiklah. ...... Eulis ...... mari kita masuk dan bicara di dalam ...... “ kata ibu itu dengan hati tersayat keharuan. Eulis menurut saja ketika ia dirangkul dan diajak masuk. Mereka berempat lalu masuk ke ruangan dalam dan mengambil tempat duduk. Nyi Subali duduk di dekat Eulis dan tak pernah melepaskan gadis itu dari rangkulannya, “Begini paman dan bibi. Sebelum saya bercerita tentang Nimas Eulis, saya ingin memperkenalkan diri lebih dulu. Nama saya Jatmika dan saya adalah cucu dari Eyang Ki Ageng Pasisiran yang tentu paman telah mengenalnya.” “Ah, maksudmu, guru Sulastri di pantai itu?” “Benar, paman. menurut cerita yang kudengar dari Adimas Lindu Aji, mula-mula Nimas Eulis yang tadinya ----------------------- Page 828----------------------- ----------------------- Page 829----------------------- http://zheraf.net tidak tahu siapa dirinya dan apa yang terjadi dengan dirinya sebelumnya, karena itu, saya memilihkan nama Listyani atau disingkat Eulis kepadanya.” “Itu memang namaku! Aku suka disebut Eulis!” kata pula gadis itu. Setelah mendengar keterangan Jatmika bahwa puterinya memang kehilangan ingatannya, dengan penuh pengertian Nyi Subali merangkul leher Eulis dan mencium pipinya. “Baiklah, anakku, mulai sekarang aku akan menyebutmu Eulis, kalau engkau menyukai nama itu.” katanya lembut. “Kemudian bagaimana, Anakmas Jatmika? Tanya Ki Subali. “Kami berdua tertawan orang-orang jahat yang bersekutu dengan seorang senopati Sumedang yang hendak memberontak terhadap Adipati Sumedang. mereka memaksa kami untuk membantu mereka memberontak terhadap Pangeran Mas Gede, adipati sumedang. Untung sekali kami bertemu dengan Adimas Lindu aji yang melindungi sang adipati membasmi para pemberontak. Adimas Aji yang menganjurkan agar kami berdua datang kesini, paman. Siapa tahu, di sini Nimas Eulis akan dapat memulihkan ingatannya.” Eulis yang sejak tadi mendengarkan, menatap wajah Ki Subali dan Nyi Subali bergantian. Dua wajah yang menimbulkan rasa suka di hatinya, dua wajah yang tidak terasa asing baginya, akan tetapi dua wajah yang sama sekali tidak diingat siapa mereka. “Kami akan berusaha mencarikan usaha pengobatan untuk memulihkan ingatannya, anakmas.” kata ki Subali. ----------------------- Page 830----------------------- ----------------------- Page 831----------------------- http://zheraf.net mereka dan membalas kematian ayah dan kakek saya. Nah, saya mohon diri, paman dan bibi. engkau juga, nimas, aku pergi sekarang.” Jatmika cepat keluar dari rumah itu. Setelah dia tiba di luar, Eulis bangkit dan berlari keluar, “Kakangmas Jatmika, tunggu ...... !” Nyi Subali bergerak hendak mengejar, akan tetapi suaminya memegang pundaknya dan mencegahnya. “Sstt ...... jangan kejar, biarkan saja mereka berdua bicara di luar. Tidakkah engkau melihat bahwa ada hubungan batin yang lebih akrab di antara mereka?” kata Ki Subali lirih dan isterinya mengangguk, lalu menjatuhkan dirinya terduduk kembali. Ia masih merasa terpukul melihat anak tunggal yang dikasihinya itu kini tidak mengenalnya sebagai ibu lagi! Sementara itu, mendengar seruan Eulis, Jatmika berhenti dan memutar tubuhnya. Dia melihat Eulis mengejarnya keluar rumah dan mereka berdua berdiri berhadapan di pekarangan rumah itu. “Nimas Eulis, ada apakah?” tanyanya sambil tersenyum. Betapa cantiknya gadis ini, pikirnya dan hatinya dipenuhi rasa sayang. “Kakangmas Jatmika, kenapa engkau tidak mengajak aku?” Eulis bertanya dan dalam suaranya terkandung teguran. “Nimas, apakah engkau ingat bahwa Eyang Tejo langit atau Ki Ageng Pasisiran itu gurumu?” Eulis menggeleng kepala dengan sedih. “Aku tidak ingat sama sekali, aku tidak tahu siapa guruku ...... “ “Nah, apakah engkau tidak ingin menemukan kembali ingatanmu yang hilang itu? Tinggallah di sini, di rumahmu sendiri, di rumah ayah ibumu yang telah kaulupakan agar ----------------------- Page 832----------------------- ----------------------- Page 833----------------------- http://zheraf.net Eulis masih berdiri memandang sampai bayangan pemuda itu menghilang di sebuah tikungan. Ia masih tertegun mendengar ucapan pemuda itu dalam kalimat terakhir. Menjadi isterinya? Menjadi isteri Jatmika? Hal ni sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. Memang dengan terang harus ia akui bahwa ia kagum dan suka kepada Jatmika yang selalu sopan, lembut dan halus budi. Apa lagi pemuda itu selalu menolongnya, bahkan untuk membelanya pemuda itu rela mempertaruhkan keselamatan nyawanya? Sama sekali belum pernah terpikirkan dan pernyataan Jatmika tadi bagaikan halilintar menyambar dan membuarnya sadar sepenuhnya bahwa pemuda itu mencintanya! “Eulis ...... !” *** JILID XXIV Eulis menoleh dan ia melihat Nyi Subali menghampirinya perlahan-lahan. Eulis tersenyum. Ia merasa suka sekali kepada wanita ini. Pandang matanya yang demikian lembut dan mengandung kasih sayang yang terasa sekali olehnya, wajahnya yang baginya tampak cantik sekali. “Bibi ...... !” katanya dan balas merangkul ketika Nyi Subali merangkulnya. “Bocah nakal!” kata Nyi Subali sambil mencium pipi gadis itu. “Kenapa masih memanggilku bibi? Bukankah engkau kini telah menjadi anakku? Anakku yang tersayang? Engkau ----------------------- Page 834----------------------- ----------------------- Page 835----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ keterangan pemuda yang bernama Lindu Aji itu, seperti juga diceritakan Jatmika kepada Ki Subali dan isterinya, ia telah terjatuh dari tebing yang tinggi. Kenyataannya ia tidak mati, akan tetapi kehilangan ingatannya. Hal ini membuat ia menduga bahwa tentu kejatuhan dari tebing yang tinggi itulah yang telah membuat ia kehilangan ingatan! Samar-samar ia dapat ingat bahwa ia terjatuh ke tangan gerombolan penjahat, melawan mereka yang dibantu Jatmika. Itulah saat-saat ia dapat ingat dan sebelum itu, ia tidak ingat apa-apa. Kini ia percaya bahwa ia adalah Sulastri, anak tunggal Ki Subali dan isterinya. Akan tetapi, semua itu hanya dugaan yang muncul dari penalaran. Ingatannya belum kembali dan ia belum dapat ingat akan gurunya, Ki Ageng Pasisiran. Untung bahwa semua ilmu yang pernah ia pelajari telah mendarah daging, telah menyatu dengan dirinya sehingga walaupun ia tidak ingat akan teorinya, ia masih dapat memainkannya dengan baik. Ki Subali dan Nyi Subali maklum akan keadaan diri puteri mereka itu. Suami isteri ini adalah orang-orang bijaksana dan amat mengasihi anak tunggal mereka. Mereka juga dapat menduga bahwa anak mereka itu tentu mengalami cidera ketika terjatuh dari tebing curam sehingga kehilangan ingatannya. Dengan sabar dan telaten mereka menuntun ingatan Eulis untuk kembali ke masa lalu. Mereka menceritakan keadaan gadis itu ketika masih kecil, kenakalan-kenakalannya sampai ia tumbuh dewasa dan menjadi murid Ki Ageng Pasisiran. Eulis kini mulai hafal akan cerita tentang pengalaman- pengalamannya sejak kecil, akan tetapi hal ini tidak memulihkan ingatannya. Ia hanya tahu akan keadaan dirinya sendiri dari cerita kedua orang tua itu. ----------------------- Page 836----------------------- ----------------------- Page 837----------------------- http://zheraf.net Kucing ini memiliki wibawa seperti harimau. Kalau ia lapar, dengan mengarahkan pandang matanya yang hijau mencorong itu ke arah seekor cecak yang sedang merayap di atas dinding, cecak itu akan jatuh dan menjadi mangsanya. Demikian pula, kalau ia mengejar tikus, tikus itu akan demikian ketakutan sehingga tidak mampu lari lagi, tinggal tubruk saja! Eulis tidak ingat lagi akan semua itu, akan tetapi cerita ibunya membuat ia merasa sayang kepada kucing itu. Suara derap kaki kuda dan roda kereta membuat Eulis mengangkat muka memandang ke arah jalan di depan rumahnya. Ia melihat sebuah kereta berhenti di tepi jalan raya di depan pekarangan. Dua orang turun dari atas kereta, seorang laki-laki setangah tua dan seorang wanita muda. Wanita itu cantik manis dengan tubuh yang luwes dan ramping. Kedua orang itu lalu memasuki pekarangan. Eulis memandang penuh perhatian. Ia tidak merasa kenal kepada dua orang itu, akan tetapi karena mereka itu agaknya hendak berkunjung dan bertamu, Eulis lalu bangkit berdiri menyambut setelah melepaskan kucingnya ke atas lantai. “Puuuunten ...... !” kata laki-laki itu dan gadis manis itupun memberi hormat dengan membungkuk. “Maaaangga!” jawab Eulis mempersilakan. “Maafkan kami, nona. Kami ingin bertanya, apakah benar di sini rumah Ki Subali?” tnya laki-laki itu yang bukan lain adalah Ki Salmun bersama anaknya Neneng Salmah. Eulis mengangguk. “Benar, paman.” Wajah Ki salmun tampak gembira. akhirnya sampai juga dia ke tempat tujuan. “Dapatkah saya bertemu dan bicara dengan dia, nona? Kami datang dari Sumedang, dan menjadi utusan Anakmas Lindu Aji.” ----------------------- Page 838----------------------- ----------------------- Page 839----------------------- http://zheraf.net Ki subali menerima surat itu, lalu berkata dengan ramah. “Silakan duduk, ki sanak. Hemm, puterimu ini bernama Neneng Salmah? Bukankah ia waranggana yang terkenal dari Sumedang itu?” Ki Salmun dan Neneng Salmah duduk kembali, berhadapan dengan Ki Subali dan anak isterinya. Mendengar pertanyaan itu, Ki Salmun menghela napas panjang. “Benar, dan justeru karena ia menjadi waranggana itulah yang kini mendatangkan bencana atas diri kami!” Kembali Ki Salmun menghela napas panjang. “Untunglah bagi kami bahwa pada saat berbahaya muncul Anakmas Lindu Aji menyelamatkan anak saya.” “Hemm, apakah yang telah terjadi, paman?” Tiba-tiba Eulis bertanya. “Nanti dulu, Eulis. Biar kubaca dulu surat dari Anakmas Aji ini, mungkin dia memberi penjelasan akan apa yang telah terjadi.” kata Ki Subali dan Eulis lalu berdiam diri, memandang ketika ayahnya membuka surat dan membacanya. Setelah membaca surat itu dengan saksama, Ki Subali mengangkat muka memandang kepada Ki Salmun dan berkata, “Ki sanak, dalam suratnya ini anakmas Lindu Aji hanya memberitahu bahwa andika dan puteri andika terancam bahaya besar dan harus meninggalkan Sumedang dan untuk sementara waktu menyingkir jauh dari Sumedang. Selain itu, dia minta kepada kami agar kami dapat menerima andika berdua tinggal di sini untuk sementara waktu.” “Sesungguhnya, ki sanak, kami tidak mempunyai keluarga di luar Sumedang dan kami tidak tahu harus melarikan diri ke mana. Kami hanya menaati pesan Anakmas ----------------------- Page 840----------------------- ----------------------- Page 841----------------------- http://zheraf.net mereka sudah keluar membawa minuman air teh. Sementra itu Ki Salmun benar saja tidak menceritakan tentang malapetaka yang menimpa dia dan puterinya, hanya menceritakan tentang keadaannya, bahwa dia seorang duda bahwa pekerjaannya adalah sebagi tukang kendang dan selalu menemani puterinya kalau ditanggap. Kini Neneng Salmah ditarik oleh Eulis dan duduk disebelahnya, keduanya tampak akrab sekali. Tadi ketika menyiapkan minuman di dapur, keduanya saling bicara dan kini mereka mengetahui akan keahlian masing-masing yang membuat mereka saling merasa kagum. Ki Salmun lalu bercerita, dimulai dari ditanggapnya rombongan keseniannya di rumah Tumenggung Jayasiran. Ia menceritakan tentang keributan yang terjadi karena adanya pertandingan rebutan ledek sampai munculnya Raden Jaka Bintara dari Banten yang bengis, kejam dan sombong itu. Kemudian muncul Lindu Aji yang mengalahkan Jaka Bintara sehingga melegakan hati para penduduk Sumedang yang merasa tersinggung oleh ulah pemuda Banten yang sombong itu. “Kami tidak menyangka bahwa peristiwa itu berekor panjang dan mendatangkan malapetaka bagi kami. Malamnya, datang pasukan pengawal Tumenggung Jayasiran yang memaksa Neneng Salmah untuk berkunjung ke tumenggungan. Karena yang memanggil sang tumenggung, kami tidak berani membangkang dan Neneng Salmah dibawa ke sana.” “Hemm, engkau dibawa dengan paksa ke rumah Tumenggung Jayasiran itu, Neneng? Lalu apa yang terjadi denganmu? Ceritakanlah kepadaku!” kata Eulis tak sabar. ----------------------- Page 842----------------------- ----------------------- Page 843----------------------- http://zheraf.net “Bapa, aku ingin agar Neneng Salmah tinggal bersama kita di sini. Aki ingin mempelajari tarian dan nyanyian darinya.” tiba-tiba Eulis berkata kepada ayahnya. ia merangkul pundak Neneng Salmah. “Dan akupun ingin sekali belajar aji kanuragan dari Eulis, Bapa.” kata Neneng Salmah kepada ayahnya. Ki Subali tertawa dan menoleh kepada isterinya, “Bune, bagaimana pendapatmu?” Nyi Subali adalah seorang wanita yang berwatak lembut dan mendengar peristiwa yang menimpa diri Neneng Salmah, ia sudah menaruh hati iba sekali. Apa lagi melihat waranggana, yang cantik manis itu begitu akrab dengan puterinya. “Aku sih tidak keberatan menampung mereka, kalau saja Neneng Salmah dan ayahnya sudi tinggal di rumah kita yang buruk ini.” “Nah, kalian mendengar sendiri, Adi Salmun. sebaiknya aku memanggilmu adi saja karena bagaimanapun juga aku tentu lebih tua daripada andika. Anak kami Eulis sudah setuju, ibunya juga sudah setuju dan aku akan senang sekali kalau andika berdua tinggal di sini. Kebetulan sekali aku sendiri senang akan kesenian. Dengan keahlianmu menguasai semua permainan gamelan, dan puterimu yang ahli tembang dan tari, kita dapat membentuk sebuah kelompok seni kerawitan di Dermayu ini.” “Ah, terima kasih banyak, Kakang Subali. Terima kasih, Mbakyu!” Ki Salmun memberi hormat dengan sembah yang dibalas oleh suami isteri itu. Sedangkan Eulis menjadi girang sekali dan ia saling berpelukan dengan Neneng Salmah. Mereka semua lalu mengatur tempat untuk Neneng Salmah dan ayahnya. Neneng Salmah tentu saja tinggal ----------------------- Page 844----------------------- ----------------------- Page 845----------------------- http://zheraf.net melakukan perjalanan bersama dan bersama-sama pula menghadapi para penjahat, sampai aku terjatuh dari tebing yang curam. Akan tetapi semua itu sama sekali tidak kuingat lagi. Padahal menurut penuturannya, antara kami masih ada ikatan tali persaudaraan seperguruan. Entahlah, aku sudah lupa sama sekali. Bagaimana dengan engkau, Neneng? Bagaimana hubunganmu dengan Kakangmas Lindu Aji itu?” Wajah Neneng Salmah menjadi merah dan sejenak ia menundukkan mukanya. Mereka berdua sedang mencuci pakaian di anak sungai yang mengalir tak jauh dari rumah mereka, sekalian mandi pagi. “Ah, bagaimana, ya? Dia adalah penyelamatku, penolong kami ...... “ “Aih, engkau tidak dapat menyembunyikan kedua pipimu yang kemerahan, senyummu yang malu-malu dan kedua matamu yang bersinar-sinar kalau kita bicara tentang dia, Neneng1 Hayo, mengaku sajalah!” Eulis menggunakan tangan memercikkan air ke arah muka Neneng Salmah sambil tertawa. Neneng Salmah membalas dan memercikkan air ke arah muka Eulis. “Hayo, mengaku saja! Engkau mencinta Kakangmas Aji, bukan?” Eulis mendesak, memercikkan air makin gencar sehingga Neneng Salmah gelagapan. “Baiklah, baiklah, aku mengaku. memang. aku memujanya, aku ...... aku ...... “ Neneng Salmah tergagap karena malu. “Aku apa? Hayo mengaku saja kamu! Engkau mencinta Kakangmas Lindu Aji, bukan? Kalau tidak mau mengaku, akan kusirami air lagi!” Sambil tertawa Eulis mendesak. ----------------------- Page 846----------------------- ----------------------- Page 847----------------------- http://zheraf.net “Eulis, aku mau berterus terang saja kepadamu karena aku merasa dekat dan akrab sekali denganmu, seolah engkau merupakan saudaraku sendiri.” “Kita memang telah menjadi saudara, Neneng dan aku berbahagia sekali mempunyai seorang saudara seperti engkau.” “Terima kasih, Eulis. mengenai perasaanku terhadap Kakangmas Lindu Aji aku merasa seperti pungguk merindukan bulan.” “Engkau seekor pungguk? Pungguk itu semacam burung hantu itu, bukan? Aeh, engkau bukan burung hantu, engkau sepatutnya adalah seekor burung merak yang indah, Neneng.” “Bagaimana mungkin aku dapat disejajarkan dengan Kakangmas Lindu Aji? Dia terlampau tinggi bagi orang seperti aku. Dengarkan, Eulis!” Neneng menghentikan Eulis yang hendak membantah. “Siapa Kakangmas Lindu Aji? Dia seorang pendekar, seorang pahlawan yang gagah perkasa dan berbudi tinggi mulia! Dan aku, siapakah aku ini? Anak seorang penabuh gamelan, dan aku sendiri hanya seorang ledek yang dipandang hina dan rendah oleh semua orang, dianggap sebagai perusak pagar ayu! Bagaimana mungkin seorang seperti aku ini mengharapkan balasan cinta kasih seorang yang begitu tinggi martabatnya seperi Kakangmas Lindu Aji?” “Wah-wah, engkau menyeret dirimu sendiri serendah- rengahnya, Neneng! Kalau engkau menjadi waranggana, itu menandakan bahwa engkau seorang seniwati ahli bertembang dan menari. kepandaian itu amat tinggi nilainya! Sekarang begini, coba kau jawab pertanyaanku, sejujurnya kalau memang engkau menganggap aku seperti saudara sendiri. Nah, aku bertanya kepadamu, apakah selama ini engkau pernah ----------------------- Page 848----------------------- ----------------------- Page 849----------------------- http://zheraf.net Kalau banyak laki-laki tergila-gila kepada seorang wanita, mengapa wanitanya yang disalahkan? Kenapa bukan si laki- laki yang memangnya mata keranjang? Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita secantik engkau? Kalau ada laki-laki tidak suka melihat seorang gadis sebaik dan secantik engkau, maka hal itu berarti dia tidak waras atau pandang matanya sudah kurang awas!” “Akan tetapi Mas Aji tidak cinta kepadaku!” kata Neneng Salmah memelas. Eulis tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Neneng, aku berani bertaruh apapun juga bahwa biar Kakangmas Lindu Aji sekalipun, dia pasti suka sekali kepadamu. Engkau seorang gadis ayu merak ati, baik budi pula, tidak ada alasan untuk tidak menyukaimu. Akan tetapi, neneng, kurasa suka itu belum tentu berarti cinta. Rasa cinta itu ...... “ Eulis bingung sendiri. “Ah, bagaimana, ya? Akupun tidak dapat mengatakan bedanya, akan tetapi aku yakin ada bedanya!” Kini Neneng Salmah yang tersenyum dan timbul kembali kegembiraannya. Ia memercikkan air ke muka Eulis. “Lagaknya seperti ahli, tak tahunya diri sendiri juga tidak tahu! Atau, agaknya engkau sudah memiliki banyak pengalaman tentang hal ini, ya?” “Mengalami cinta? Ah, belum pernah! Kalau mengalami suka sih sudah.” katanya singkat. “Akan tetapi, siapa tahu engkau pernah jatuh cinta sebelum engkau melupakan masa lalumu?” “Entahlah. Semua sudah tidak teringat lagi. Rasanya sih belum pernah.” jawab Eulis sambil mengerutkan alisnya. “Hemm, kalau begitu, aku juga berani bertaruh bahwa saat ini tentu ada seorang pria yang kau ...... sukai. Benarkah? ----------------------- Page 850----------------------- ----------------------- Page 851----------------------- http://zheraf.net “Dan engkau tentu amat mencintainya seperti dia juga amat mencintaimu, bukan?” Eulis menghela napas, wajahnya yang biasa cerah penuh senyum itu menjadi serius. “Itulah, Neneng, seperti kukatakan tadi, aku tentu saja amat kagum dan suka kepadanya. Segalanya yang terbaik dari seorang pria berada dalam dirinya. Akan tetapi, ketika dia menyatakan cintanya ...... “ “Nah, kelepasan nih! Ketahuan, ya bahwa dia mencintaimu?” “Memang benar. Dia cinta padaku dan dia menyatakan hal itu kepadaku.” “Wah, kalau sudah begitu apa lagi persoalannya?” “Persoalannya, aku tidak tahu apakah aku mencintanya, Neneng. Aku suka kepadanya, akan tetapi aku tidak suka apakah aku mencintanya. Aku sering kali pusing memikirkan hal ini.” Melihat Eulis kini sudah kehilangan tawanya, Neneng Salmah teringat akan keadaan diri sendiri dan memang pada dasarnya ia seorang yang tidak selincah Eulis, iapun menghela napas panjang. “Keadaanmu sungguh merupakan kebalikan dari keadaanku, Eulis. Dia mencintamu dan engkau masih belum dapat menjawab cintanya. Sebaliknya, aku mencintanya akan tetapi dia masih belum menerimanya.” Kini kembali suaranya mengandung kesedihan sehingga Eulis melupakan persoalannya sendiri dan merasa iba kepada Neneng Salmah. Ia mendekat dan merangkul leher yang berkulit mulus itu. “Neneng, jangan putus harapan. Aku yakin bahwa Kakangmas Lindu Aji pasti suka kepadamu, kalau tidak, tentu ----------------------- Page 852----------------------- ----------------------- Page 853----------------------- http://zheraf.net mengikat persahabatan dengan orang yang disukai. Itulah jawabannya!” Neneng Salmah termenung. Eulis juga termenung. Kedua orang gadis itu seperti lupa bahwa mereka sedang mandi. mereka duduk di atas batu sambil termenung. Mereka tenggelam dalam lamunan masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara wanita, “Aeh, kalian berdua ini mencuci pakaian atau berjemur diri?” Dua orang gadis itu sadar dari lamunan dan ternyata Nyi Subali telah berdiri di belakang mereka. Mereka berdua tertawa dan baru ingat bahwa sejak tadi mereka hanya duduk melamun, tidak sadar bahwa matahari mulai naik tinggi. “Wah, Neneng kita keenakan melamun di sini. Bukankah hari ini engkau sudah berjanji akan mengajarkan sebuah tarian kepadaku?” “Benar, Eulis. dan sore nanti engkau akan mengajarkan aku gerakan silat agar aku dapat membela diri dari tangan- tangan usil.” Keduanya lalu membawa keranjang pakaian yang sudah dicuci dan bersama Nyi Subali mereka kembali ke rumah. Demikianlah kedua orang gadis itu bergaul akrab sekali. Eulis mulai belajar bertembang dan menari, akan tetapi karena pada dasarnya ia seorang yang sejak kecil mempelajari ilmu silat, tubuhnya sudah terbiasa dengan gerakan tangkas, maka akhirnya ia pandai menari dengan tarian yang berubah sifatnya menjadi tangkas. Keindahan gerak tari yang mengandung ketangkasan dan kegagahan. Sebaliknya, Neneg Salmah yang sudah terbiasa dengan gerakan tari yang lembut dan indah, mulai dapat menguasai ilmu pencak silat yang ----------------------- Page 854----------------------- ----------------------- Page 855----------------------- http://zheraf.net Belanda dan menjadi barang dagangan yang mendatangkan keuntungan besar baginya. Karena maklum bahwa dia berada di daerah musuh yang menjadi pusat kekuatan Belanda dan dapat menduga pula bahwa di situ terdapat banyak mata-mata Belanda, Aji bersikap waspada dan hati-hati sekali. Dia menyembunyikan keris Kyai Nagawelang pemberian Sultan Agung karena banyak orang mengetahui bahwa keris ini merupakan hadiah dari Sultan agung kepada para senopati yang dipercayainya. Pakaiannya yang sederhana membuat dia tampak seperti seorang pemuda petani dusun yang baru saja menjual hasil buminya dan sedang melihat-lihat keindahan kota itu. Seperti diceritakan di bagian depan, tadinya Aji berniat pergi melakukan penyelidikan tentang Raden Banuseta pembunuh ayahnya dan tentang putera ayahnya, atau kakak tirinya yang bernama Hasanudin. Kedua orang ini telah dijumpainya dalam perjalanannya. Juga tadinya dia hendak pergi ke Banten untuk mencari putera kandung Ki Tejobudi yang bernama Sudrajat, dan orang inipun sudah dijumpainya, bahkan Ki Sudrajat meninggal dunia dalam rangkulannya. Sekarang, tugas pribadinya hanyalah menemukan Raden Banuseta, pembunuh ayahnya yang juga pembunuh Ki Sudrajat. Bahkan menjadi kaki tangan Kumpeni Belanda. Raden Banuseta orang jahat dan pengkhianat bangsa yang harus ditentangnya. Selain itu, dia juga harus menemukan kakak tirinya, Hasanudin, yang agaknya terkena bujukn Raden Banuseta sehingga ikut-ikutan menjadi antek Belanda, sama sekali tidak tahu bahwa justeru Raden Banuseta yang telah membunuh ayah kandungnya. Dia harus dapat menyadarkan Hasanudin, selain agar tahu bahwa Banuseta adalah musuh ----------------------- Page 856----------------------- ----------------------- Page 857----------------------- http://zheraf.net Belanda. Sebetulnya Aji merasa tidak setuju dengan tindakan yang dia anggap curang ini, akan tetapi karena dia seorang pendatang baru, diapun merasa sungkan untuk mencela. Kini melihat ada orang yang membunuh kusir kereta yang agaknya merupakan sebuah kereta bangsawan, dia menganggap hal itu wajar saja. Akan tetapi mendengar jerit wanita tadi, dia mengeritkan alisnya. Hatinya yang selalu condong untuk menolong siapa saja yang terancam bahaya dan menentang siapa saja yang melakukan kekerasan, terutama terhadap wanita yang lemah membuat Aji tidak dapat menahan kedua kakinya untuk tidak membayangi kereta yang melarikan cepat menuju ke arah timur. Ketika kereta tiba di dalam sebuah hutan, terdengar seruan dari dalam kereta yang tertutup. “Bang Sikun, berhenti dulu!” Kusir yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan yang berkumis panjang itu menahan kendali dua ekor kuda yang menarik kereta, Dua ekor kuda berhenti dan kusir itu melompat turun. Pintu kereta terbuka dan seorang laki-laki gendut pendek keluar dari kereta itu. “Bagaimana dengan noni (nona) itu? Kau apakan dia? Mengapa tidak ada suaranya?” tanya si muka panjang yang bernama Sikun itu kepada si gendut pendek. “Ah, tidak kuapa-apakan. Tadi menjerit, maka kuikat kedua tangannya dan kuikatkan saputangannya di depan mulutnya agar ia tidak berteriak lagi. Tanpa persetujuanmu, mana aku berani berbuat yang tidak-tidak!” kata si gendut sambil menyeringai. “Awas, Mang Kosim, kalau engkau ganggu gadis Belanda itu, akan kulaporkan dan engkau akan dihajar.” kata ----------------------- Page 858----------------------- ----------------------- Page 859----------------------- http://zheraf.net terpaksa terseret keluar dan hampir jatuh ketika ia turun dari kereta. Sikun merenggut lepas saputangan yang menutupi mukanya. “Jangan ...... jangan ganggu aku ...... !” Gadis Belanda itu meratap dan Aji merasa heran karena gadis itu dapat berbahasa daerah dengan jelas dan baik. “Jangan banyak bicara kalau engkau tidak ingin aku menggunakan kekerasan.” kata Sikun dan sekali dorong, Gadis Belanda itu terjengkang dan jatuh telentang ke atas rumput. Akan tetapi ia cepat bangkit duduk dengan sukar karena kedua tangannya masih terbelenggu. “Dengar, ki sanak. Biarpun aku puteri Kapten De Vos, akan tetapi aku selalu menentang sikap ayahku. Aku tidak setuju dengan politik Kumpeni Belanda. Aku membela bangsa ibuku. Aku bukan musuh kalian.” “Ha-ha-ha, Abang Sikun, siapa dapat percaya omongan gadis bule itu? Hayo cepat lakukan dan jangan dengarkan ocehannya!” kata si gendut Kosim. Sikun menghampiri gadis itu yang menjadi semakin ketakutan. “Jangan ...... demi Tuhan, jangan ...... “ ia mengeluh dan air matanya mulai mengalir disepanjang kedua pipinya yang menjadi pucat. Akan tetapi Sikun menyeringai. Dia seperti sudah kemasukan iblis sehingga makin ketakutan gadis calon korbannya itu, semakin senang dan bangga rasa hatinya. Perlahan-lahan dia menghampiri dan hendak merenggut pakaian gadis itu. Pada saat itu, Aji tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia melompat keluar dan membentak, “Ki sanak, apa yang kau lakukan ini adalah perbuatan yang amat keji dan jahat!” ----------------------- Page 860----------------------- ----------------------- Page 861----------------------- http://zheraf.net “Keparat! Siapa engkau berani mengganggu kami orang-orang Mataram?” bentaknya, menggunakan nama Mataram untuk menggertak. “Kami adalah pejuang-pejuang Mataram, tahukah engkau?” Aji tersenyum. “Pejuang-pejuang Mataram tidak akan sudi melakukan perbuatan seperti yang hendak kaulakukan itu!” Tiba-tiba gadis Belanda yang kedua tangannya masih terikat itu dan yang sejak tadi mendengarkan sambil duduk bersimpuh di atas rumput berkata, “Tepat sekali apa yang kaukatakan itu, sobat. Ibuku juga selalu bilang bahwa pejuang Mataram adalah ksatria yang gagah perkasa dan berbudi luhur!” Sikun marah sekali dan bertolak pinggang sambil memandang kepada Aji. “Manusia lancang! Apakah engkau hendak membela seorang gadis Belanda, musuh besar bangsa kita? Kalau engkau tidak memusuhinya, bahkan hendak membelanya, maka itu hanya berarti bahwa engkau adalah seorang antek Belanda!” “Hemm, manusia yang sudah buta oleh nafsu! Musuh kita memang Kumpeni Belanda yang hendak mencengkeram tanah air kita, dan dalam perang kita harus membunuh setiap orang serdadu Belanda. Akan tetapi semua itu kita lakukan demi mempertahankan tanah air dan membela bangsa. Kalau engkau diperintah atasanmu untuk menculik puteri perwira Belanda demi kepentingan perjuangan Mataram melawan Belanda, hal itu masih dapat dimengerti dan diterima. Akan tetapi engkau menodai tugasmu sebagai pejuang dengan perbuatan hina! Engkau hendak memperkosa gadis ini dan itu sama sekali bukan tugas seorang pejuang, melainkan perbuatan ----------------------- Page 862----------------------- ----------------------- Page 863----------------------- http://zheraf.net bangsa apapun juga merupakan perbuatan biadab yang pantang dilakukan para ksatria juga bertindak kejam dan merampok hak milik orang lain. Kalau pantangan ini dilanggar, maka perjuangan takkan diridhoi dan diberkahi Gusti Allah dan dapat menjadi gagal. Gusti Sultan Agung sendiri pasti tidak suka melihat pebuatan jahat seperti itu dan kalau perbuatan kalian ini diketahui, kalian pasti akan dihukum berat!” “Ampunkan kami ...... “ “Sudah, pergilah dan laporkan kepada atasanmu bahwa aku tidak setuju dengan tindakannya menculik wanita. Hal ini hanya akan membuat kumpeni menjadi marah dan mereka akan lebih siap siaga sehingga akibatnya malah merugikan kita sendiri.” “Baik, kami menaati perintah. Akan tetapi nona ini ....“ “Akan kuantarkan ia kembali ke rumahnya.” kata Aji. Dua orang itu saling pandang dengan bingung, akan tetapi mereka tidak berani membantah. Aji merasa bahwa kalau dia dan gadis Belanda itu naik kereta, pasti akan menarik perhatian para petugas Kumpeni, maka dia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Kepada dua orang itu dia berkata. “kalian boleh membawa kereta dan kudanya, serahkan kepada atasan kalian agar dapat dimanfaatkan.” Dua orang itu tampak kegirangan sekali. Mereka membungkuk-bungkuk dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Akan tetapi sebelum mereka menghampiri kereta, Aji berkata kepada mereka dengan suara membentak. “Lihat ini.” Dua orang itu terkejut dan menoleh, memandang kepada Aji yang menghampiri sebatang pohon cemara yang besarnya sama dengan pinggang orang dewasa. Dia mengayun tangan kanannya ke arah batang pohon itu. ----------------------- Page 864----------------------- ----------------------- Page 865----------------------- http://zheraf.net Melihat Aji benar-benar tidak mengganggunya dan bersikap sopan, gadis Balanda itu mulai percaya. Apalagi dia tadi melihat sendiri betapa pemuda itu mengalahkan dan mengusir dua orang penculik yang tadi akan memperkosanya. “Sobat, kalau engkau benar hendak mengantar aku pulang, kenapa engkau memberikan kereta itu kepada mereka?” tanya gadis itu dengan hati-hati. “Mereka itu jahat sekali, kenapa malah diberi hadiah kereta?” “Nona, ketahuilah bahwa memang perbuatan dua orang tadi sungguh jahat. Akan tetapi bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang yang berjuang untuk membela tanah air dan bangsa.” Biarpun merasa rikuh mengingat akan perbuatan dua orang tadi, Aji tetap membela mereka terhadap gadis Belanda ini. “Aku sengaja menyerahkan kereta dan kuda agar dapat dipergunakan untuk keperluan perjuangan. Pula, aku hanya dapat mengantarmu pulang ke Jayakarta kalau kita berjalan kaki. Kalau kita naik kereta, tentu akan ditangkap oleh pasukan Belanda.” “Sobat, benarkah engkau seorang utusan Mataram? Engkau seorang panglima Mataram?” Gadis itu kini memandang penuh perhatian, sepasang mata yang kebiruan itu memancarkan kekaguman. “Aku hanya seorang pejuang biasa saja.” “Akan tetapi, kenapa engkau menolongku? Engkau seorang Mataram, dan aku adalah puteri seorang panglima Kumpeni Belanda. Bukankah aku musuh yang harus kaubunuh?” Aji tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Kalau engkau seorang perwira atau perajurit Kumpeni Belanda, mungkin aku akan membantu mereka untuk menangkapmu. ----------------------- Page 866----------------------- ----------------------- Page 867----------------------- http://zheraf.net “Baiklah, Karen. Ibumu benar. Kami para pejuang membela Mataram berarti membela bangsa dan tanah air dengan taruhan nyawa. Bagaimanapun juga, kami adalah manusia-manusia biasa yang tidak luput daripada cacat. Oleh karena itu, kalau ada satu sua orang yang menyeleweng daripada jalan yang benar seperti dua orang tadi, harap dimaklumi.” “Tentu saja, aku sudah melupakan hal itu. dengan adanya seorang ksatria seperti engkau yang telah menolongku, maka mudah saja aku memaafkan dua orang tadi. aku percaya bahwa mereka melakukan hal itu hanya karena aku seorang gadis puteri panglima Belanda. mereka menganggap bahwa berbuat keji terhadap anak musuh buka perbuatan jahat.” “Ah, engkau memang seorang gadis yang bijaksana, Karen. Engkau tadi mengatakan bahwa engkau tinggal di Cirebon bersama orang tuamu. Kenapa sekarang berada di Jayakarta?” “Tadinya ayah bertugas di Cirebon, akan tetapi sekarang dia dipanggil oleh Gubernur Jenderal untuk bertugas di Batavia, mungkin dengan adanya berita bahwa Mataram hendak menyerang Batavia lagi. Kau tahu, ayahku adalah panglima yang mengepalai para telik sandi yang disebar kumpeni di seluruh Nusa Jawa.” “Aku sudah tahu ...... “ Aji menahan kata-katanya yang sudah terlanjur keluar. “Ah, engkau telah mengenal ayahku. Aji?” Gadis itu menatapnya tajam dengan matanya yang kebiruan. Karena sudah terlanjur bicara, terpaksa Aji mengaku. Gadis ini telah bersikap jujur, menceritakan keadaan yang sebenarnya. Juga sudah tahu bahwa dia seorang pembantu ----------------------- Page 868----------------------- ----------------------- Page 869----------------------- http://zheraf.net seperti kuceritakan tadi, kami berdua ditawan oleh gerombolan kaki tangan Kumpeni.” “berapa usianya?” kembali Karen memotong dengan penuh keinginan tahu, dan agaknya sama sekali tidak memperhatikan yang lain. “Usia Sulastri atau usia siapa?” “Naturlijk (tentu saja) usia Sulastri itu!” kata Karen tidak sabar. Aji merasa heran mengapa gadis Belanda ini memperhatikan Sulastri? “Usianya? Hemm, kalau tak salah kurang lebih delapan belas tahun.” “Sebaya denganku kalau begitu, hanya selisih sedikit. Bagaimana wajahnya?” “Wajahnya? Bagaimana, ya? Kalau tidak salah bulat ...... eh, bulat telur mungkin, ahh ...... aku tidak dapat menggambarkan wajah orang.” “Ben je zo dom, Aji? (begitu bodohkah kamu, Aji?)” saking jengkelnya, Karen sampai lupa dan berkata dalam bahasa Belanda. “Hee, apa ...... apa yang kau katakan itu, Karen?” “Oh, anu, Aji. Aku tidak minta engkau menggambarkan bagaimana wajah Sulastri. Aku hanya ingin tahu apakah ia cantik?” “O, begitu? Kalau tentang cantik, ya, memang ia gadis yang cantik sekali.” kata Aji terus terang karena memang dia menganggap bahwa Sulastri adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia baginya. “O, ya? Coba engkau pandang aku, Aji dan katakan, siapa yang lebih cantik antara aku dan Sulastri?” ----------------------- Page 870----------------------- ----------------------- Page 871----------------------- http://zheraf.net “Mudah saja, Aji. Engkau membelanya mati-matian. Ketika ia ditawan, engkau lalu menyerahkan diri kepada musuh hanya untuk mencegah Sulastri dibunuh. Itu berarti engkau amat mencintainya dan siap membelanya dengan taruhan nyawa!” Aji menghela napas panjang. “Sudah menjadi kewajiban seorang untuk membela dan menolong siapa saja, Karen. Bukankah tadi aku juga membelamu?” “Kalau begitu, engkau ...... engkau tidak cinta padanya?” Gadis itu mendesak, matanya berbinar-binar. “Sulastri adalah sahabat baikku, Karen, bahkan ia masih terhitung saudara seperguruanku. Aku tentu saja amat suka kepadanya, akan tetapi tentang cinta ...... aku tidak tahu.” Karen tersenyum, tampaknya girang sekali. “Sudahlah, sekarang lanjutkan ceritamu, bagaimana engkau dapat bertemu dengan Kapten De Vos, ayahku.” “Setelah aku dan Sulastri tertawan oleh gerombolan mata-mata Kumpeni itu, kami dibawa ke ruah Ki Warga yang agaknya menjadi seorang pemimpin mata-mata Kumpeni ...... “ “Warga? Si keparat itu! Ibu dan aku benci sekali kepada pengkhianat bangsanya itu! Dia memang membantu ayahku. lalu bagaimana?” “Kami lalu dibawa ke sebuah kapal yang berlabuh di pantai tegal dan di sana kami bertemu dengan Kapten De Vos.” “Ah, aku benci melihat pekerjaan ayahku! Kalau dia menjadi soldat (serdadu) di Belanda dan membela Negeri Belanda dari ancaman musuh, aku bangga. Akan tetapi di sini dia membantu Kumpeni yang hendak menguasai tanah air bangsa lain! Bangsa ibuku. Bangsaku juga! Aku benci!” ----------------------- Page 872----------------------- ----------------------- Page 873----------------------- http://zheraf.net “Ini ...... ini tidak baik dan tidak wajar ...... “ “Kenapa tidak baik? Aku berterima kasih kepadamu, Aji dan aku ...... aku suka sekali kepadamu, kagum padamu, bahkan sekiranya aku diberi kesempatan, aku akan mudah jatuh cinta kepadamu.” “Sudahlah, Karen, engkau membikin aku bingung. Mari kuantar engkau pulang.” Karen memegang tangan Aji dan dengan bergandeng tangan mereka lalu berjalan menuju Batavia. Aji membiarkan saja tangan kirinya digandeng. Dia maklum bahwa gadis ini bermaksud baik, walaupun kebaikan itu diujudkan dengan cara yang terlalu mesra dan terlalu janggal baginya. Tangan gadis itu begitu lembut, begitu hangat dan disepanjang perjalanan, Aji merasa jantungnya berdebar. Dia membayangkan betapa akan bahagia rasa hatinya kalau yang menggandengnya itu Sulastri! Dan tiba-tiba saja sadarlah dia sekarang bahwa sesungguhnya dia memang mencinta Sulastri, seperti yang dikatakan Karen tadi. Mereka berjalan tanpa berkata-kata, akan tetapi Aji merasa betapa telapak tangan Karen kadang-kadang memegang tangannya dengan erat dan terasa getaran keluar dari telapak tangan itu. Tanpa kata, namun semua itu, tekanan tangan, getaran telapak tangan, lalu pandang mata yang mengerling tajam kepadanya, senyum itu, semua itu menjadi isyarat yang jelas sekali bagi Aji. Gadis Belanda ini tidak berpura-pura ketika mengatakan bahwa ia amat suka, kagum dan mungkin mencinta kepadanya. Dan agaknya Karen juga berjalan lambat, enggan bercepat-cepat seolah hendak memperpanjang waktu berdua bersama Aji. ----------------------- Page 874----------------------- ----------------------- Page 875----------------------- http://zheraf.net “Terima kasih atas keteranganmu, Karen. Akan tetapi, beritahukanlah kepadaku di mana adanya gudang ransum Kumpeni. Kalau kami dapat menguasai gudang ransum itu, tentu keadaan mereka menjadi lemah kehabisan ransum.” “Setahuku, ransum untuk pasukan berada dalam tiga buah gudang ransum yang berada di benteng. Akan tetapi, aku mendengar bahwa mereka juga mempunyai persediaan ransum yang mereka simpan di dalam kapal-kapal perang.” Aji mendapatkan sebuah pikiran yang dianggapnya baik sekali. Kalau saja dia dapat membakar gudang-gudang ransum itu! Setidaknya tentu akan mengacaukan dan melemahkan pertahanan mereka, pikirnya. “Karen, engkau sudah tahu siapa aku. Aku adalah seorang telik sandi Mataram dan aku adalah utusan Sultan Agung untuk menentang Kumpeni. Maukah engkau menunjukkan kepadaku di mana adanya tiga buah gudang ransum itu berada?” “Aji! Mau apa engkau menanyakan gudang-gudang itu?” “aku ingin membakarnya, untuk melemahkan pertahanan Kumpeni.” kata Aji terus terang. “Ohhh ......!!” “engkau tidak mau, Karen?” “Bukan, bukan tidak mau. Akan tetapi hal itu berbahaya sekali, Aji. Kalau engkau ketahuan, biar aku sendiripun kiranya tidak akan mampu membela dan melindungimu dari hukuman mati!” “Aku akan hati-hati dan berusaha agar jangan sampai ketahuan atau tertangkap. Asal engkau dapat membawaku masuk ke dalam benteng.” ----------------------- Page 876----------------------- ----------------------- Page 877----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ “Tetapi, orang ini ...... ?” “Jangan khawatir. Dia ini yang menolong aku ketika keretaku dirampok. Aku akan membawa dia menghadap ayah. Minggir dan jangan ganggu dia!” “Siap, nona!” Dua orang serdadu itu memberi jalan dan berdiri tegak, memberi hormat kepada puteri kapten itu. Karen lalu mengajak Aji memasuki pintu gerbang dan Aji melihat betapa benteng itu luas sekali. Banyak bangunan terdapat dalam benteng yang dikelilingi tembok tinggi. Di atas tembok yang tinggi dan lebar itu terdapat serdadu-serdadu yang berjaga dan tampak berjajar-jajar. Dia sudah diberitahu oleh Karen bahwa tiga buah gudang ransum itu berada di ujung barat benteng. Mereka lalu berjalan dan Karen mengajak Aji ke bawah sebuah pohon rindang sehingga mereka tertelan kegelapan bayangan pohon. “Di sana kita berpisah. Gudang itu berada di sana. Engkau dapat mencapainya dengan jalan menyusup antara pohon-pohon itu.” Karen menunjuk. “Baik, aku dapat mencarinya. Kita berpisah di sini, Karen dan sekali lagi terima kasih.” Aji hendak melangkah, akan tetapi Karen memegang tangannya. “Aji ...... !” “Ya ...... ?” “Hati-hatilah, Aji. aku tidak ingin kehilangan engkau ...... “ “Aku akan berhati-hati ...... “ “Aji ...... “ Karen merangkul leher Aji, menariknya dan ia mencium dengan mesra, tidak perduli akan muka pemuda itu yang kotor karena dilumuri tanah. ----------------------- Page 878----------------------- ----------------------- Page 879----------------------- http://zheraf.net menjadi murid Ki Somad, datuk yang condong memusuhi Mataram itu. Memang akhirnya, empat tahun yang lalu, dia betemu Ki Tejo Langit dan menjadi muridnya sehingga selain ilmu kanuragan, diapun menerima penggemblengan batin yang membuat dia kembali ke jalan benar, meninggalkan kejahatan. Namun pertahanan hati nuraninya masih lemah. Banuseta mengambil cara yang cerdik. Maklum akan kelemahan Hasanudin, dia sengaja memperkenalkan Hasanudin kepada Karen, gadis jelita puteri Kapten Van De Vos. Begitu diperkenalkan Hasanudin tergila-gila kepada dara itu dan tanpa banyak pikir lagi dia menerima ajakan Banuseta untuk membantu Kumpeni dan mendapat upah besar. Demikianlah, dia membantu Banuseta, bahkan dia menyaksikan betapa Banuseta dan pasukan Kumpeni membunuh Ki Sudrajat dan Ki Tejo Langit. Biarpun dalam hatinya dia tidak setuju menyaksikan pembunuhan atas diri dua orang itu, namun hal itu tidak membuat dia mundur dari pengabdiannya terhadap kumpeni. Semua ini karena dia sudah tergila-gila kepada Karen dan juga karena dia menerima upah besar dan janji-janji muluk dari Banuseta yang dianggapnya sebagai seorang sahabat baik sejak dia masih tinggal di Dermayu. Ketika Kapten Van De Vos mendengan ucapan Karen yang manja, dia terkejut dan cepat bertanya. “Apa yang telah terjadi?” “Ayah, ketika keretaku tiba di tepi kota yang sunyi, tiba-tiba kusir kereta terjungkal keluar kereta dan keretaku sudah dikuasai dua orang, lalu dilarikan keluar kota. Aku tidak mampu berteriak karena mulutku ditutup kain.” “God verdoome! Siapa mereka itu?” bentak kapten Van De Vos marah sekali. ----------------------- Page 880----------------------- ----------------------- Page 881----------------------- http://zheraf.net “Baik, tuan.” kata Raden Banuseta dan bersama Hasanudin dia lalu keluar dari gedung itu. “Kita berpencar.”kata Banuseta setelah mereka keluar dari gedung tempat tinggal Kapten Van De Vos. “Aku akan mengunjungi para anak buah penyelidik dan menyebarluaskan keterangan tentang Kosim dan Sikun itu, dan engkau coba selidiki penolong yang mengantar Nona Karen pulang. Mungkin ada yang melihat mereka memasuki kota tadi.” Hasanudin mengangguk dan mereka berpencar. Kalau Raden Banuseta pergi mencari para penyelidik yang disebar Kumpeni di kota Batavia untuk menjaga keamanan kota dari para telik sandi Mataram, Hasanudin langsung pergi ke pintu gerbang benteng. Dua orang serdadu yang berjaga di situ mengenalnya sebagai pembantu Kapten Van De Vos. dengan Bahasa Belanda sepatah-sepatah bercampur bahasa daerah, Hasanudin bertanya kepada mereka. Dua orang serdadu itu mengangkat pundak lalu menggeleng kepala. dengan bahasa campuran pula seorang di antara mereka menjawab. “Kami tidak melihatnya. Kami baru saja menggantikan tugas jaga di sini, baru beberapa menit.” “Siapakah yang bertugas jaga, sebelum kalian?” tanya Hasanudin. “Karel dan Jansen.” jawab dua orang serdadu itu. Setelah mendapatkan jawaban ini, Udin atau Hasanudin segera pergi ke tempat penampungan para serdadu. Setelah bertemu dengan Karel, karena Jansen masi tidur, dia segera bertanya apakah Karel melihat Karen memasuki pintu gerbang benteng. “Ya, aku melihat ia pulang.” ----------------------- Page 882----------------------- ----------------------- Page 883----------------------- http://zheraf.net dua batang senapan menggeletak di situ, akan tetapi dua orang serdadunya tidak ada. Dia lalu mencari ke belakang dan setelah tiba di pinggir gudang, dia melihat dua orang serdadu itu telah menggeletak di bawah pohon yang gelap. Dia terkejut sekali dan pada saat itu ada angin menyambar dari samping. Aji telah berhasil merobohkan dua orang penjaga gudang dan menyeret tubuh mereka ke samping gudang. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan seorang laki-laki di depan gudang, bahkan laki-laki itu mencari ke samping gudang dan menemukan tubuh dua orang penjaga. Melihat ini, Aji terkejut dan kebetulan sekali laki-laki itu berdiri di bawah lampu yang tergantung di samping gedung. Dia makin kaget mengenal wajah laki-laki itu, Hasanudin! Udin kakak tirinya, orang yang dicari-carinya, yang telah membantu Banuseta ketika jahanam itu menyerbu tempat tinggal Ki Tejo Langit di pantai Dermayu! Dia tahu bahwa Hasanudin ini membenci ayah kandungnya, ayah kandung mereka dan kalau dia hanya membujuk dan mengingatkannya begitu saja, tidak mungkin kakak tirinya itu mau mendengarnya. Bahkan kalau Hasanudin tahu bahwa dia putera Harun Hambali, mungkin dia akan dimusuhinya pula. Karena itu, jalan satu-satunya hanyalah merobohkannya lebih dulu, baru membujuknya. Setelah berpikir demikian, Aji lalu menyerang dengan cepat. Akan tetapi, Hasanudin bukan seorang yang lemah. Dia adalah murid Aki Somad yang kemudian memperdalam ilmunya kepada Ki Tejo Langit. Begitu ada angin pukulan dahsyat menyambar dari samping, Udin atau Hasanudin melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan tamparan Aji itupun luput. Udin cepat melompat berdiri dan begitu melihat Aji, walaupun muka pemuda itu berlumpur, dia masih ----------------------- Page 884----------------------- ----------------------- Page 885----------------------- http://zheraf.net lahirlah aku. Namaku Lindu Aji dan ayah kita telah tewas terbunuh oleh orang jahat.” “Hemm, dia sendiri juga jahat, tidak bertanggung jawab, meninggalkan aku begitu saja. Pantas kalau dia terbunuh orang pula!” “Nanti dulu, kakang. Tahukah engkau mengapa ayah kita meninggalkanmu ketika engkau masih kecil dan menitipkanmu kepada Paman Ujang Karim?” “Karena dia membunuh seorang menak dan pengecut itu melarikan diri ketakutan, tidak memperdulikan lagi padaku.” “Dan tahukah engkau mengapa ayah kita itu membunuh menak yang bernama Anom Bahrudin itu?” “Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu!” “Kakang Udin, engkau pasti tidak tahu mengapa ibu kandungmu meninggal dunia?” “Apa ...... ?” Udin menengok untuk memandang wajah Aji, matanya terbelalak. “Aku ...... aku tidak tahu. Kata paman Ujang, ibu meninggal karena sakit ...... “ “Paman Ujang Karim bohong karena dia ketakutan. Ibumu meninggal dunia karena gantung diri setelah ia diculik dan diperkosa oleh seorang menak, Yaitu Aom Bahrudin! Karena itulah, Bapa harun hambali membunuh Aom Bahrudin itu. Karena dia khawatir akan keselamatanmu maka dia menitipkan engkau kepada Paman Ujang Karim dan dia sendiri lalu melarikan diri ke daerah Mataram.” Mata itu terbelalak dan muka itu menjadi merah, “Be ...... benarkah itu ...... ?” Aji melepaskan ringkusannya dan memulihkan kembali tenaga Hasanudin sehingga orang itu mampu bangkit berdiri. ----------------------- Page 886----------------------- ----------------------- Page 887----------------------- http://zheraf.net Setelah mendengar cerita Aji bahwa ibu kandungnya mati membunuh diri setelah diculik dan diperkosa Aom Bhrudin dan ayah kandungnya dibunuh Banuseta putera Aom Bahrudin, Hasanudin marah bukan main. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Banuseta yang disangkanya seorang sahabat baik itu ternyata musuh besarnya. Apa lagi kalau dia ingat betapa Banuseta juga sudah membunuh Ki Tejo Langit dan Ki Sudrajat, kemarahannya memuncak. Bagaikan seorang yang telah dimasuki iblis, dia lari, tidak memperdulikan apa saja untuk mencari Banuseta. Kebetulan sekali Banuseta juga sudah kembali dan sedang menghadap Kapten Van De Vos di ruangan tamu. Banuseta mendapat kabar bahwa Karen terlihat muncul di kota bersama seorang laki-laki, maka dia segera kembali untuk melapor atasannya. “Betulkah laporanmu ini, Banuseta?” tanya Kapten van De Vos marah. :Benar, tuan. Sudah beberapa orang mengatakan bahwa mereka melihat Nona Karen memasuki kota bersama seorang laki-laki pribumi dan mereka berdua memasuki benteng melalui pintu gerbang ...... “ Pada saat itu Hasanudin melompat masuk ke dalam ruangan tamu itu dan segera menghampiri Banuseta. Sikapnya menyeramkan, wajahnya beringas dan tidak memperdulikan sopan santun sehingga mengejutkan dan mengherankan hati sang kapten dan Banuseta. “Banuseta, benarkah engkau telah membunuh seorang bernama Harun Hambali?” Hasanudin bertanya dan berdiri di depan Banuseta. bangsawan muda itu merasa heran, akan tetapi dia bangkit berdiri juga dan menjawab. ----------------------- Page 888----------------------- ----------------------- Page 889----------------------- http://zheraf.net memperdulikan teriakan ini, bahkan memperhebat serangannya dan gerakan kedua orang yang berkelahi itu sedemikian cepatnya, berputar-putar sehingga sulitlah bagi Kapten Van De Vos untuk menentukan sasarannya. Tentu saja dalam hatinya dia membela Raden Banuseta yang telah lama menjadi kaki tangannya, sedangkan Hasanudin adalah orang baru. Akan tetapi sukarlah untuk membidikkan pistolnya ke arah tubuh Hasanudin yang bergerak cepat itu. Jangan-jangan malah salah sasaran! Hasanudin bernafsu sekali untuk membunuh musuh besarnya itu. dia sadar betul bahwa dirinya telah terseret ke dalam tindakan yang sesat tanpa diketahui bahwa “sahabat baik” itu justeru musuh besarnya. Dan sesungguhnya Raden Banuseta juga sama sekali tidak tahu bahwa Udin adalah putera kandung Harun, musuh besarnya, Kalau dia mengetahui, tentu dia sudah turun tangan lebih dulu untuk membunuh putera musuhnya itu. “Aji Tapak Geni! Aarrgghhhh ...... !!” Hasanudin mengeluarkan aji yang dipelajarinya dari Aki Somad itu. Kedua tangannya yang digosok-gosokkan itu ditiup menyala dan ketika dipukulkan ke depan, ada api menyambar ke arah Banuseta. Orang ini terkejut sekali dan mencoba menghindar, namun terlambat. Pukulan berapi itu mengenai dadanya dan diapun terjengkang roboh. Hasanudin, bagaikan seekor harimau, menerkam dan mencengkeram dan mencekik lehernya. Banuseta mengeluarkan suara mengerikan dan matanya melotot, lidahnya keluar dan batang lehernya patah! Pada saat itu terdengan teriakan-teriakan dari luar gedung. “Kebakaran! Kebakaran!!” dan terdengar banyak orang berlari-larian. ----------------------- Page 890----------------------- ----------------------- Page 891----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ bahwa sebentar lagi tentu banyak serdadu datang ke tempat itu, apalagi sudah terdengar teriakan ada kebakaran. Dia menjadi agak bingung juga, tidak tahu ke mana harus melarikan diri. Dia menyelinap menjauhi gudang yang terbakar, bersembunyi di tempat gelap. “Sssttt ...... Aji ...... !” Tiba-tiba terdengar bisikan. “Karen ...... !” Aji berbisik kembali, segera mengenal suara itu dengan gembira karena dia merasa yakin bahwa kemunculan gadis itu pasti membawa kebaikan bagi dirinya. “Sttt ...... Aji kau dalam bahaya. cepat pakai ini, hayo cepat!” Karen muncul dan masuk ke dalam bayangan gelap di mana Aji bersembunyi. Gadis itu dengan cekatan membantu Aji memakai gaun besar di luar pakaiannya, juga mengenakan syaal (kain penutup pundak dan leher) lebar dan menutupi kepala Aji dengan kain putih yang diikatkan di bawah dagu. Jadilah Aji seperti seorang nenek tua yang biasa memakai gaun! “Hayo cepat, ikut aku!” bisik Karen dan ia mengait lengan Aji dan dibawanya berlari menuju ke bagian gelap benteng itu. Mereka melihat para serdadu berlarian sibuk memadamkan api. Setelah tiba di pintu gerbang benteng, lima orang serdadu memberi hormat kepada Karen dan tidak memperdulikan “nenek” itu. Dengan leluasa Karen menyeret Aji keluar benteng. di tempat gelap Karen berbisik. “Cepat pergi keluar kota. Cepat, Aji ...... !” Kini Aji merasa begitu gembira dan berterima kasih kepada gadis itu sehingga kini dia yang merangkul dan mencium bibir Karen untuk menyatakan terima kasihnya. “Cepat ...... selamat jalan, Aji ...... Semoga Tuhan melindungimu, Aji ...... !” Karen mendorong tubuh Aji dan ----------------------- Page 892----------------------- ----------------------- Page 893----------------------- http://zheraf.net “Tari Srimpi? Wah, sukar benar gerakannya.” “Tidak sukar, hanya engkau kurang sabar, Eulis. cobalah.” desak Neneng Salmah. “Boleh, aku akan berlatih berjoget dan bertembang, akan tetapi sesudah itu engkau harus berlatih silat dengan Aji Sonya Hasta seperti yang kuajarkan.” “Baik, nah, mulailah!” Eulis lalu bertembang. tembang Kinanti dan suaranya memang benar merdu dan lantang. Kedua orang dara jelita ini sama sekali tidak tahu bahwa tak jauh dari situ, bersembunyi di balik batu besar, dua pasang mata manusia sejak tadi mengintai dan dua pasang telinga mendengarkan. Dua orang manusia itu memang telah berada di situ sebelum Eulis dan Neneng Salmah datang, maka Eulis yang peka itupun tidak tahu akan keadaan mereka. Ketika disebutnya Aji Sonya Hasta, seorang dari mereka, seorang laki-laki terbelalak heran dan semakin memperhatikan. Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya sedang dan wajahnya tampan dan berwibawa. Matanya lembuat namun bersinar tajam dan hidungnya mancung, wajahnya cerah karena mulutnya selalu tersenyum. Kumis tipis membuat dia tampak gagah. Adapun orang kedua adalah seorang wanita berusia kurang lebih dua puluh delapan tahun, cantik jelita dan wajahnya lembut. Wajahnya bulat dengan dagu meruncing. Sepasang alisnya hitam dan sepasang matanya berbinar-binar seperti bintang kejora, bulu matanya lentik, hidung kecil mancung dan mulutnya menggairahkan. Sungguh merupakan sepasang manusia yang serasi, yang pria tampan gagah dan yang wanita cantik anggun. ----------------------- Page 894----------------------- ----------------------- Page 895----------------------- http://zheraf.net tetapi juga geli. Sikap dan kata-kata kedua orang gadis itu lucu dan juga menyenangkan. Dari ucapan mereka berdua, dua orang pengintai itu maklum bahwa dua orang gadis itu adalah orang-orang yang berwatak periang dan baik. “Tentu saja! Coro itu binatang yang tidak ada dosanya, akan tetapi banyak manusia di dunia ini yang amat keji dan jauh lebih jahat dibandingkan coro atau binatang apapun juga!” kata Eulis. Neneng Salmah menghela napas panjang. “Engkau benar, Eulis. Kalau aku teringat akan pengalamanku yang lalu, sebagian besar laki-laki yang ikut berjoget itu tidak sopan, pandang mata, senyuman dan kata-kata mereka kurang ajar. apa lagi kalau ingat pangeran dari Banten itu, iihh, dia jahat sekali melebihi seekor harimau yang buas!” Eulis tertawa. “Heh-heh, apa kaukira harimau itu buas?” “Tentu saja. Harimau merobek-robek tubuh korbannya dengan kejam dan makan dagingnya, minum darahnya!” kata Neneng Salmah. “Habis, bagaimana? Apa engkau menyuruh harimau itu makan rumput dan daun-daunan? Atau menyuruh harimau itu menyembelih dulu korbannya lalu memasaknya dan makan masakan daging korbannya seperti kita? Sudah kodratnya begitu, harimau tidak doyan sayur, tidak pandai memasak daging, maka tentu saja dia makan binatang yang lebih lemah. Kalau tidak, dia akan mati kelaparan. Sama sekali dia tidak dapat dikatakan buas!” Setelah mengeluarkan kata-kata itu, Eulis teringat dan melamun. Dari mana ia mengerti semua itu? Siapa yang mengajarnya? Ia dapat merasakan betul bahwa ia pernah ----------------------- Page 896----------------------- ----------------------- Page 897----------------------- http://zheraf.net Parmadi dengan tersenyum merangkap kedua tangan memberi salam penghormatan lalu berkata, “maafkanlah kami, adik-adik yang manis. sesungguhnya kami berdua tidak berniat mengintai. Kami telah lama berada di sini sebelum andika berdua tiba. ketika melihat andika berua bertembang, menari lalu bermain pencak silat, kami merasa tertarik sekali sehingga kami berdiam diri untuk menyaksikan. Saya bernama Parmadi dan ini isteriku, Muryani.” Wanita cantik itupun berkata, menyambung ucapan Parmadi. “Suamiku berkata benar, adik-adik yang baik. Kami tidak bermaksud buruk, hanya teramat heran dan tertarik melihat adik ini tadi bermain silat yang katanya belajar darimu.” Eulis mengerutkan alisnya, “Apapun alasannya, perbuatan kalian berdua mengintai kami patut dicurigai! Hayo katakan apa maumu?” Pada dasarnya Eulis memang memiliki watak keras. Apalagi telah beberapa kali ia bertemu dengan orang-orang yang jahat, seperti Mahesa Sura, Kolo Srenggi dan kelima Mahesa yang menjadi murid mereka, yang telah dibasminya bersama Jatmika dan Lindu Aji. Tentu saja ia merasa curiga. Parmadi bertukar pandang dengan isterinya dan dia memberi isyarat dengan kedipan matanya, lalu dia menghadapi Eulis yang tampak galak menantang, sedangkan Neneng Salmah hanya menonton saja dengan hati tegang. “Kalau andika curiga kepada kami, akupun curiga kepadamu. dari mana engkau mempelajari Aji Sonya Hasta?” Ditanya demikian, Eulis menjadi marah. Ia sendiri memang tidak ingat lagi dari siapa ia mempelajari ilmu itu, walaupun ia masih ingat akan nama dan cara menggunakannya. ----------------------- Page 898----------------------- ----------------------- Page 899----------------------- http://zheraf.net “Nah, tampak sekarang belangnya!” bentak Eulis. “Engkau pasti berniat buruk. Mari kita sama lihat, siapa yang mencuri dan mempunyai aji yang palsu!” “Eulis, jangan berkelahi!” bujuk Neneng Salmah. “Mundurlah, Neneng. Biar aku menghajar orang kurang ajar ini.” kata Eulis sambil mendorong mundur Neneng Salmah yang terpaksa mundur dan menonton dengan hati gelisah. Muryani juga mundur sambil tersenyum. Ia maklum bahwa suaminya hanya ingin melihat apakah gadis bernama Eulis itu benar-benar menguasai Aji Sonya Hasta yang aseli. Maka ia menonton dengan tenang saja. Eulis lalu membuat gerakan pembukaan. Kedua tangannya melakukan sembah di atas kepalanya, kemudian kedua lutut ditekuk dan kedua tangan diturunkan dan menjadi sembah di depan dada, kemudian kedua lengan dikembangkan ke kanan kiri, terbuka dengan kedua telapak tangan menghadap ke depan. Pembukaan itu benar-benar menandakan kekosongan, bahkan keadaan dirinya tebuka sama sekali. “Mulailah!” bentak Eulis, matanya mencorong dan biarpun pembukaan itu tampak lemah sekali dan mudah dimasuki serangan lawan, namun sesungguhnya semua urat syarafnya sudah siap siaga dan menjadi peka sekali. Parmadi tertegun. gerakan pembukaan itu nyaris sempurna! Diapun membuat gerakan yang sama sehingga diam-diam Eulis juga kaget, akan tetapi ia bersikap tida acuh. “Andika yang mulai, adik manis.” kata Parmadi ramah. Eulis menganggap sebutan itu seperti ejekan yang kurang ajar, maka iapun tidak sungkan lagi. “Sambut ini ...... !” Tangannya dari samping bergerak, kedua tangan membuat gerak yang arahnya berlawanan dan ----------------------- Page 900----------------------- ----------------------- Page 901----------------------- http://zheraf.net mengerahkan tenaga sakti lebih besar lagi lalu kembali ia menyerang dengan aji pukulan Margopati yang amat dahsyat itu. Parmadi terpaksa memperlihatkan kesaktiannya. Kedua tangannya didorong kedepan menyambut pukulan dahsyat itu, namun dia membatasi tenaganya karena tidak ingin melukai gadis yang pandai mempergunakan Aji Sonya Hasta dan Aji Margopati itu. “Wuuuttt ...... wessss!” Eulis terkejut bukan main karena tenaga pukulannya itu seolah bertemu dengan air. Tenaganya seperti tenggelam dan kehilangan daya serangnya. Ia seorang gadis yang keras hati namun cerdik. Ia kini mengetahui benar bahwa ia berhadapan dengan seorang yang sakti mandraguna, yang jauh melampaui tingkat kepandaiannya sendiri, akan tetapi orang itu sama sekali tidak mempunyai niat jahat sehingga tidak mempergunakan kesaktiannya untuk mencelakai dirinya. Hal ini terasa sekali dalam tangkisan orang itu yang sama sekali tidak melawan, melainkan membuat tenaga aji pukulan Margopati seperti punah dan lumpuh!” Ia melompat mundur sampai dekat Neneng Salmah dan dengan mata terbelalak ia memandang kepada Parmadi sambil berkata gagap. “Andika ...... andika sebetulnya siapakah ......?” Parmadi dan Muryani melangkah maju menghampiri dua orang gadis itu. Parmadi tersenyum dan berkata lembut, “Sudah kami katakan tadi bahwa kami bukanlah musuh, kami tidak mempunyai niat buruk hanya kami tertarik melihat Aji Sonya Hasta tadi. Sekarang aku melihat bahwa Aji Sonya Hasta yang andika mainkan itu benar-benar aseli sehingga aku yakin bahwa di antara kita masih terdapat tali persaudaraan seperguruan! Seperti sudah kuperkenalkan diri tadi, namaku ----------------------- Page 902----------------------- ----------------------- Page 903----------------------- http://zheraf.net masih agak penasaran karena ia tidak mampu menandingi Parmadi. Parmadi dan Muryani saling pandang, kemudian Parmadi berkata kepada Neneng Salmah. “Baiklah, Nimas Neneng Salmah, kami akan menemui Paman Subali. Aku kasihan kepada Nimas Eulis yang tidak salah lagi tentu masih saudara seperguruanku sendiri. Mari kita pergi.” Suami isteri itu lalu mengikuti Neneng Salmah menuju ke rumah Ki Subali yang berada tidak begitu jauh dari situ. Setelah ditinggal pergi. Eulis termenung seorang diri. Bagaimanapun juga, jantungnya berdebar tegang. Benarkah orang yang bernama Parmadi itu mampu menyembuhkannya dan mengembalikan ingatannya tentang masa lalu yang hilang? Ia duduk melamun dan mencoba untuk mengerahkan ingatannya. Namun selalu terbentur dan berhenti. Yang diingatnya hanyalah saat ia bertemu dengan Jatmika, dari saat itu sampai sekarang. Bahkan ia tidak ingat akan masa lalunya bersama ibunya yang dianggap orang-orang yang baru dijumpainya dan dikenalnya sekarang. Ia termangu-mangu dan jantungnya berdebar tegang. Apa saja yang akan dapat diingatnya kalau ia benar dapat disembuhkan? *** Ki Subali dan isterinya merasa heran melihat Neneng Salmah pulang bersama seorang pria dan seorang wanita yang tidak mereka kenal. Ki Salmun yang baru muncul dari samping rumah sambil memanggul pacul juga merasa heran dan dia menegur anaknya. “Neneng, kenapa engkau pulang sendiri? Di mana Eulis?” ----------------------- Page 904----------------------- ----------------------- Page 905----------------------- http://zheraf.net Ki Subali menghela napas panjang. “Anak kami itu sebetulnya bernama Sulastri. Di waktu remaja ia berguru kepada seorang pertapa yang bernama Ki Ageng Pasisiran yang tinggal dalam sebuah pondok di pantai laut utara daerah Dermayu ini.” “Ki Ageng Pasisiran ...... ?” Parmadi dan Muryani mengulang nama itu sambil mengerutkan alis karena mereka tidak mengenal nama ini. “Tadinya saya mengira ia murid Ki Tejo Budi, atau Ki Tejo Langit, atau bahkan Eyang Ki Tejo Wening!” kata Parmadi heran. “Sesungguhnyalah! akhirnya kami mendengar bahwa Ki Ageng Pasisiran itu datang dari Banten dan dahulu bernama Ki Tejo Langit, anakmas.” “Nah, benar, dan tepat dugaanku! Kiranya ia murid Paman Guru Ki Tejo Langit! Ketahuilah, paman, saya adalah murid Eyang Resi Tejo Wening yaitu kakak seperguruan Paman guru Tejo Langit. Jadi, puteri paman itu adalah adik seperguruan saya sendiri seperti yang kuduga! Akan tetapi, bagaimana ceritanya sampai Nimas Eulis kehilangan ingatannya tentang masa lalunya? Dan mengapa pula namanya dari Sulastri berganti menjadi Eulis?” Ki Subali menghela napas panjang. “Kami juga belum lama mendengar tentang anak kami itu. mula-mula datang Anakmas Lindu Aji yang menceritakan bahwa ketika dia dan Sulastri menghadapi gerombolan penjahat, Sulastri terguling jatuh ke dalam tebing yang curam. Akan tetapi Anakmas Lindu Aji tidak menemukan jenazahnya maka menduga bahwa ia masih hidup. Lama kami menunggu Anakmas Aji yang katanya hendak mencari Sulastri. Tiba-tiba pada suatu hari, Sulastri muncul bersama Anakmas jatmika dalam keadaan ----------------------- Page 906----------------------- ----------------------- Page 907----------------------- http://zheraf.net sendiri, Kalau saja orang yang sakti mandraguna itu benar- benar dapat menyembuhkan Eulis, betapa akan bahagianya mereka semua! *** JILID XXVI etelah Neneng Salmah pergi, Ki Subali melanjutkan ceritanya tentang anaknya. “Menurut keterangan S Anakmas Jatmika, dia bertemu dengan Sulastri yang sedang dikeroyok orang-orang jahat. Anakmas Jatmika membantunya dan berhasil mengalahkan para pengeroyok. Ketika berkenalan, Sulastri sudah tidak ingat lagi akan nama dan masa lalunya. Agar tidak membingungkannya, Anakmas Jatmika lalu memberi nama Listyani dengan panggilan Eulis kepadanya. Ajkan tetapi kemudian, mereka berdua bertemu dengan Anakmas Aji yang memberitahu Anakmas Jatmika agar mengantarkan Sulastri pulang ke sini. Nah, demikianlah, Anakmas, sampai sekarang Sulastri berada di sini, akan tetapi belum juga ia dapat mengingat masa lalunya.” “Dan siapa Neneng Salmah itu, Paman?” Tanya Muryani. “Ah, ia bersama ayahnya datang dari Sumedang dan sekarang tinggal bersama kami di sini. Ia akrab dengan Sulastri. Mereka seperti kakak beradik saja. Neneng Salmah itu dahulu menjadi waranggana yang amat terkenal di Sumedang.” Suami isteri itu mengangguk-angguk. “Paman, sebagai kakak seperguruan Sulastri saya merasa prihatin sekali melihat keadaannya. Oleh karena itu, kalau paman mengijinkan, saya ----------------------- Page 908----------------------- ----------------------- Page 909----------------------- http://zheraf.net “Eulis, Kakangmas Parmadi sanggup untuk mengobatimu. Mari kita cepat pulang! Siapa tahu dia benar- benar dapat mengembalikan ingatanmu masa lalu itu. Alangkah akan senangnya!” “Jangan tergesa-gesa! Nanti dhangkalmu (debu yang menempel di kulit) tidak bersih!” Eulis menggoda. “Ihh! Memangnya dhangkalku berapa tebalnya sih?” mereka tertawa-tawa sambil menyiramkan air. Dua orang gadis itu memang akrab dan rukun sekali, saling menyayang. Setelah mandi, mereka lalu berganti pakaian kering dan pulang. Setibanya di serambi rumah, Ki Subali segera menyambut anaknya dengan berkata. “Eulis, cepat memberi hormat kepada kakak seperguruanmu Anakmas Parmadi dan isterinya!” Biarpun tidak ingat siapa gurunya, namun dari keterangan Lindu Aji, Jatmika, dan kini Parmadi yang sudah ia ketahui kesaktiannya yang jelas menguasai Aji Sonya Hasta dan Margopati, Eulis percaya bahwa kenyataan kalau Parmadi adalah kakak seperguruannya agaknya tidak dapat dibantah lagi. Maka dengan senyum malu-malu mengingat akan sikapnya yang keras tadi, iapun menghampiri Parmadi dan Muryani, menyembah dengan merangkap kedua tangan di depan dada, agak membungkuk dan berkata dengan suara lirih. “Kakangmas Parmadi, Mbakayu Muryani, maafkan sikapku tadi.” Muryani segera menghampiri dan merangkulnya. “Aih, tidak perlu minta maaf. kesalah pahaman tadi sudah wajar karena kita tidak saling mengenal.” Melihat keramahan Muryani, Eulis merasakan ini dan ia menjadi gembira sekali. ----------------------- Page 910----------------------- ----------------------- Page 911----------------------- http://zheraf.net Neneng Salmah yang juga pernah mempelajari cara mengosongkan diri dengan penyerahan mutlak, harus berada di dalam ruangan tertutup.” Lalu Parmadi menoleh kepada Ki Subali. “Paman, apakah dapat disediakan sebuah kamar di mana kami berempat dapat berdiam tanpa gangguan dari luar?” “Oh, ada. anak mas. Eulis, pergunakan kamarmu sendiri. Bukankah kamar kalian berdua cukup luas?” kata Ki Subali. “Baik, ayah. Mari, Kakang Parmadi, Mbakayu Muryani, dan neneng. Kita ke kamar!” Mereka berempat lalu memasuki kamar di mana biasanya Eulis dan Neneng Salmah tidur. Sebuah kamar yang cukup luas. Sebelum menutup daun pintu kamar, Parmadi memesan kepada Ki Subali agar jangan ada yang mengganggu mereka yang berada dalam kamar itu dan jangan heran dan kaget kalau Ki Subali dan isterinya mendengar suara alunan seruling dari dalam kamar. Setelah menutup daun pintu, Parmadi dan Muryani duduk bersila di atas sebuah amben (dipan) kayu yang biasa ditiduri Eulis. Parmadi minta kepada mereka untuk menenangkan diri, melepaskan semua ketegangan, membuat diri lahir batin menjadi kosong dan menanti apa yang akan terjadi tanpa penolakan. “Adi Sulastri, apa saja yang kauterima, rasakan dan terima saja sebagai kekuasaan Gusti Allah dan apapun yang terjadi para dirimu, serahkan sepenuhnya kepadaNya. “Baik, Kakangmas Parmadi.” Mereka berempat duduk dengan tenang dan santai. Setelah merasakan getaran memenuhi dirinya, dengan gerakan perlahan, matanya terpejam, Parmadi lalu mengambil seruling ----------------------- Page 912----------------------- ----------------------- Page 913----------------------- http://zheraf.net terbuka keras oleh tenaga dari luar, berbareng dengan terdengarnya jerit Nyi Subali. Karena itu, maka Parmadi terpaksa menghentikan tiupan sulingnya sebelum dapat menyembuhkan Sulastri dengan tuntas. Dia dan Muryani maklum bahwa terjadi sesuatu yang tidak baik. Karena mengira ada bahaya mengancam Ki Subali dan isterinya, apalagi daun pintu terbuka secara kasar dari luar, mereka berdua segera berkelebat cepat sekali keluar dari kamar itu. Mereka melihat Ki Subali dan isterinya berlari masuk ke dalam rumah dan Ki Subali berkata gugup. “Di luar ...... ada tiga orang ...... “ Parmadi dan Muryani tidak menunggu keterangan lebih lanjut dan mereka berdua cepat melompat ke luar rumah. Sementara itu, Ki Subali dan Nyi Subali memasuki kamar anaknya. Mereka melihat Sulastri terkulai dan dirangkul oleh Neneng Salmah yang mengguncang-guncang pundak Sulastri dan mencoba menyadarkannya dengan memanggil- manggil namanya. “Eulis ......! Eulis ...... ! Sadarlah, bangunlah ...... !” Nyi Subali merangkul puterinya dan menangis. “Anakku ...... ! Eulis ...... engkau kenapa, nak?” Neneng Salmah bertanya kepada Ki Subali setelah menyerahkan Eulis dalam rangkulan Nyi Subali. “Paman. apa yang telah terjadi?” “Di luar, ada tiga orang yang dengan kasar minta agar aku menyerahkan engkau kepada mereka, Neneng.” kata Ki Subali. “Mereka tadi yang menyebabkan pintu-pintu dalam rumah ini terbuka semua, mungkin dengan ilmu sihir mereka!” Mendengar ini, Neneng Salmah terkejut. “Dan di mana Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryani?” ----------------------- Page 914----------------------- ----------------------- Page 915----------------------- http://zheraf.net berkepala botak itu adalah Kyai Sidhi Kawasa, datuk dari Banten. Adapun kakek kedua yang bermuka kuda itu adalah Aki Somad, pertapa dari Nusakambangan. Kedua orang ini dikenal suami isteri itu sebagai tokoh-tokoh yang beberapa tahun lalu membantu Madura dan Surabaya. Setelah Madura, Surabaya dan Giri ditundukkan Mataram, mereka berhasil lolos. Parmadi tahu benar bahwa dua orang datuk ini adalah orang-orang yang membenci Mataram. Akan tetapi suami isteri itu tidak mengenal orang muda berpakaian bangsawan itu. “Hemm. kiranya Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad yang datang! Apakah yang andika berdua kehendaki datang berkunjung ke rumah orang tanpa sopan santun?” Parmadi menegur, walaupun suaranya lembut. Dua orang datuk itu juga merasa terkejut bukan main ketika mereka mengenal Parmadi dan Muryani, dua orang yang beberapa tahun yang lalu membantu Mataram dalam perang melawan Madura, Surabaya dan Giri. mereka juga maklum bahwa Parmadi merupakan seorang yang sakti mandraguna dan Muryani, walaupun tidak setinggi suaminya kepandaiannya, namun merupakan lawan yang cukup berbahaya. Akan tetapi karena mereka datang berdua, bahkan masih ditemani pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran Banten, Raden Jaka Bintara yang juga murid Kyai Sidhi Kawasa, maka berbesar hati dan tidak menjadi gentar. “Oho!” kata Kyai Sidhi Kawasa dan berkata dengan suaranya yang lembut. “Adi Somad, tentu andika masih mengenal orang-orang Mataram ini, bukan?” “Heh-heh, tentu saja, Kakang Sidhi Kawasa. mereka adalah musuh kita. Kalau tidak salah ingat, namanya Parmadi dan yang perempuan ini ...... eh ...... siapa lagi namanya ...... “ ----------------------- Page 916----------------------- ----------------------- Page 917----------------------- http://zheraf.net bahwa gadis itu telah melarikan diri dengan kereta dikawal oleh Lindu Aji. Mereka mencari kusir kereta dan memaksa dia mengaku ke mana gadis ledek yang membuat pangeran dari Sumedang itu tergila-gila pergi. Si kusir takut akan ancaman dan mengaku bahwa Neneng Salmah bersama ayahnya kini tinggal di rumah Ki Subali di Dermayu. Jaka Bintara yang sudah tergila-gila dan merasa penasaran kalau belum mendapatkan diri Neneng Salmah, membujuk gurunya untuk menyusul ke Dermayu. Namun Kyai Sidhi Kawasa agak gentar menghadapi Lindu Aji yang diperkirakan melindungi gadis itu, maka dia lalu mencari Aki Somad untuk diajak menemani mereka. Demikianlah, tiga orang itu akhirnya tiba di rumah Ki Subali, sama sekali tidak mengira bahwa mereka akan bertemu dengan Parmadi dan Muryani, musuh lama mereka. Mendengar teriakan Neneng, Raden Jaka Bintara memandang. Begitu melihat gadis yang denok ayu itu, dia girang sekali dan segera dia menghampiri dengan langkah lebar sambil tersenyum. “Aduh, jantung hatiku, betapa rinduku kepadamu! Marilah ikut denganku, kuboyong engkau ke Banten dan hidup bahagia denganku di sana, cah ayu!” Setelah berkata demikian, dia menubruk hendak merangkul. “Ehh??” Jaka Bintara terkejut karena dengan lincahnya Neneng Salmah mengelak dan sudah terhindar dari tubrukannya. Dia cepat menubruk lagi ke kanan, kini bergerak cepat agar gadis itu tidak dapat meloloskan diri. Akan tetapi kembali dia kecelik karena gadis itu sekali lagi dapat mengelak dengan gerakan lincah dan ringan. Gerakannya indah seperti kalau sedang menari, namun lincah sekali, bahkan ketika Jaka Bintara menubruk untuk ketiga kalinya, Neneng Salmah tidak ----------------------- Page 918----------------------- ----------------------- Page 919----------------------- http://zheraf.net munculnya tiga orang yang menyerang ke dalam membuka pintu-pintu membuat tiupan seruling gading terhenti dan gadis itu jatuh pingsan. Kini, agaknya tetesan air mata ibunya ditambah seruan suara ibunya memanggil-manggilnya, agaknya menyadarkan Eulis dari pingsannya. Ia membuka kedua matanya dan seperti orang terkejut ia bangkit duduk. Nyi Subali dan Ki Subali menjadi girang. “Eulis ...... !” Nyi Subali merangkul. “Eulis, bagaimana perasaanmu? baik-baik saja, bukan?” Tanya si ayah. “Eulis ...... ?” Gadis itu berkata heran. “Oh ...... ya benar, belakangan ini aku diberi nama Eulis ..... oleh kakangmas Jatmika ...... ahh ...... aku ingat semua sekarang ...... bapa ...... ibu ...... aku ingat semua sekarang!” ia memandang ke kanan kiri. “Eh, di mana Kakangmas Parmadi, Mbakayu muryani dan Neneng?” Tiba-tiba ia mendengar berdencingnya senjata beradu di luar rumah. “Apa itu? Siapa yang berkelahi?” Nyi Subali merasa girang bukan main. “Sulastri ...... ! Akhirnya engkau mendapatkan kembali ingatanmu!” “Lastri, Anakmas Parmadi bersama isterinya dan Neneng Salmah berada di luar menghadapi tiga orang yang aneh dan kelihatannya tidak berniat baik terhadap Neneng .....“ “Apa?” Sulastri yang sudah mendapatkan kembali ingatannya itu melompat turun dari atas pembaringan dan cepat ia mengambil pedang pusakanya, yaitu Pedang Naga Wilis yang dulu oleh Lindu Aji dikembalikan kepada Ki Subali dan ketika Sulastri pulang, Ki Subali menyerahkan pedang pusaka itu kepada anaknya. Sulastri senang memilikinya dan merasa cocok walaupun ia tidak ingat lagi akan pedang pusakanya itu. Dengan pedang pusaka Naga Wilis terhunus di tangan, Sulastri ----------------------- Page 920----------------------- ----------------------- Page 921----------------------- http://zheraf.net sekali. Ketika dia melompat bangun dia sudah berhadapan dengan seorang gadis yang cantik jelita, akan tetapi sepasang matanya mencorong marah dan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang bersinar kehijauan! Melihat bahwa penyerangnya hanya seorang gadis cantik, watak Jaka Bintara yang congkak itu muncul lagi. Dia tersenyum dan memandang dengan mata nakal. “Aih, manis, apakah engkau hendak menemani Neneng Salmah ikut bersenang-senang dengan aku ke Banten? Mari- mari ...... !” “Eulis, inilah jahanam pangeran dari Banten itu!” Neneng Salmah berseru. “Neneng, aku sekarang bernama Sulastri, aku sudah ingat semuanya. Jangan khawatir, aku yang akan membasmi jahanam busuk ini!” Setelah berkata demikian, Sulastri sudah menerjang dengan cepat sekali. Tampak gulungan sinar hijau mnyambar-nyambar ke arah tubuh Raden Jaka Bintara, pangeran dari Banten itu. Jaka Bintara terkejut bukan main. Akan tetapi dia masih memandang ringan. Sambil mengelak ke sana-sini diam-diam dia mengerahkan Aji Hastanala dan sambil melompat ke samping untuk mengelak sambaran sinar hijau, dia mendorong dengan tangan kanan, menggunakan Aji Hastanala (Tangan Api) yang ampuh dan mengeluarkan hawa panas itu. Akan tetapi Sulastri menyambut serangan itu dengan dorongan tangan kirinya menggunakan Aji Margopati (Jalan Maut). “Wuuuutttt ...... dessss ...... !!” Jaka Bintara terdorong ke belakang. Keduanya maklum akan ketangguhan lawan. Jaka Bintara kini tidak berani memandang ringan lagi dan dia sudah mencabut pedangnya. Begitu dia memutar pedang itu, tampak ----------------------- Page 922----------------------- ----------------------- Page 923----------------------- http://zheraf.net Namun Muryani tidak menjadi gentar. Ia memiliki aji yang serupa ia menyambut serangan lawan itu dengan teriakan nyaring. “Aji Brama Latu!” “Wuuuutttt ...... blaaaarrrrr ...... !” Dua tenaga yang sama-sama mengandung hawa panas itu bertemu di udara dan akibatnya, baik Aki Somad maupun Muryani terdorong ke belakang dan menahan pernapasan untuk mengerahkan tenaga menguasai tubuhnya yang terasa panas seperti dibakar. Namun keduanya tidak terluka. Aki Somad menjadi penasaran dan marah, lalu menggerakkan ular kering yang menjadi senjata tongkat untuk menyerang. Muryani memang tidak suka mempergunakan senjata, namun dari mendiang Nyi Rukma Petak ia memperoleh ilmu-ilmu yang hebat. Aji Wiso Sarpo membuat dua telapak tangannya mengandung bisa ular yang amat berbahaya, dan pukulan jarak jauh dengan Aji Gelap Sewu juga dahsyat sekali. Ilmu-ilmu pukulan ini bahkan lebih berbahaya dari senjata apapun, dan kedua tangannya juga tidak takut menangkis tongkat ular kering yang beracun itu. Dua orang datuk itu mulai khawatir, apalagi melihat betapa Pangeran Jaka Bintara agaknya juga kewalahan menghadapi sepak terjang Sulastri yang mengamuk dengan pedang pusaka Naga Wilis. “Kyai Sidhi Kawasa, bantu aku ...... !” Aki Somad berkata kepada kawannya sambil melompat ke belakang. Kemudian, dibantu oleh Kyai Sidhi Kawasa yang juga mengerahkan ilmu sihirnya, Aki Somad mengerahkan Aji Gineng Soka Weda. Tiba-tiba udara menjadi gelap diliputi halimun tebal. Jaka Bintara yang sudah terdesak menggunakan ----------------------- Page 924----------------------- ----------------------- Page 925----------------------- http://zheraf.net Nyi Subali menghampiri Sulastri dan merangkul anaknya. “Sulastri, engkau sudah waras, ingatanmu sudah pulih sekarang! Terima kasih kepada Gusti Allah!” Sulastri balas merangkul ibunya dan merasa berbahagia sekali, lalu menoleh kepada Parmadi dan berkata. ”Ibu, kita harus berterima kasih kepada Kakangmas Parmadi dan Mbakayu Muryati, Kakangmas Parmadi yang telah memulihkan ingatanku dengan seruling gadingnya!” “Engkau keliru, Adi Sulastri dan ibumulah yang benar. Kita harus berterima kasih kepada Gusti Allah karena sesungguhnya, sang Maha Penyembuh itu hanya Gusti Allah! Gusti Allah yang menyembuhkanmu, dengan peantaraan aku dan serulingku.” kata Parmadi. “Akan tetapi kalau aku harus berterima kasih kepadamu, Kakangmas Parmadi, Mbakayu muryani dan eulis ...... eh, Sulastri. Karena kalau tidak ada andika bertiga yang mengusir tiga orang jahat tadi, entah bagaimana dengan nasibku. Aku pasti telah mereka tawan dan bawa pergi.” kata Neneng Salmah dengan terharu. “Sama saja, Neneng.” kata Muryani. “Engkaupun wajib bersyukur dan berterima kasih kepada Gusti Allah yang sudah mengatur sedemikian rupa sehingga ketika hal itu terjadi, kebetulan sekali kami berdua berada di sini dan Sulastri sudah sembuh.” Pada saat itu, Ki Salmun datang berlarian. ketika dia sedang bekerja di ladang, dia mendengar dari seorang tetangga bahwa di pekarangan rumah Ki Subali terjadi perkelahian. Dia cepat pulang dan mendapatkan Ki Subali sekeluarga dan dua orang tamunya sedang bercakap-cakap di serambi rumah. Dia segera mendengar semua yang telah terjadi dari Neneng ----------------------- Page 926----------------------- ----------------------- Page 927----------------------- http://zheraf.net aku memasak air, mengupas terong dan memotong sayur dan menyiapkan bumbu!” Dua orang gadis itu segera sibuk bekerja. akan tetapi diam-diam perasaan Sulastri mengalami goncangan hebat. Seolah ia teringat akan semua masa lalunya, banyak hal yang membuat ia merasa risau, gelisah, duka, dan bingung. Pertama tentu saja kedukaan teringat bahwa Ki Ageng Pasisiran, kakek yang menjadi gurunya dan amat ia hormati dan kasihi itu, telah tewas terbunuh orang. Tadinya sebelum ia teringat, mendengar hal itu ia hanya merasa kasihan saja. Akan tetapi sekarang ia ingat akan keadaan gurunya, wajahnya, wejangan- wejangannya, dan hubungan akrab antara mereka sebagai guru dan murid, sehingga ia merasa berduka dan juga marah sekali kepada Hasanudin seorang murid pula dari Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit, yang baru satu kali pernah dijumpainya, dan kepada Raden Banuseta yang katanya dia yang membawa pasukan Kumpeni dan melakukan penyerbuan ke rumah Ki Ageng Pasisiran dan menyebabkan tewasnya Ki Ageng Pasisiran dan puteranya Ki Sudrajat. Dia juga teringat kepada Jatmika, putera Ki Sudrajat, yang menyatakan cinta kepadanya. Teringat kepada pemuda ini, ia menjadi bingung.Lalu ia teringat kepada Lindu Aji! Jantungnya berdebar ketika teringat kepada pemuda yang sejak remaja menjadi sahabat yang dekat dengannya, teringat betapa kini pemuda itu telah menjadi seorang yang sakti mandraguna dan masih ada ikatan saudara seperguruan dengannya karena Lindu Aji menjadi murid Ki Tejo Budi yang menjadi adik seperguruan Ki Tejo Langit. Namun begitu ia teringat akan pengakuan Neneng Salmah betapa gadis yang disayangnya seperti saudara sendiri itu jatuh cinta kepada Lindu Aji! Ia menjadi gelisah, duka, penasaran, ----------------------- Page 928----------------------- ----------------------- Page 929----------------------- http://zheraf.net Parmadi menghela napas. “Kami sebetulnya tidak sengaja ke dermayu. Akan tetapi ternyata beginilah jadinya dan ini sudah diatur oleh kekuasaan Gusti allah sehingga kami dapat bertemu denganmu, Adi Sulastri. Kami tinggal di kadipaten Pasuruan dan kami berdua mendengar bahwa Gusti sultan Agung sudah mengadakan persiapan untuk mengirim bala tentara, hendak menyerang Kumpeni Belanda di Jayakarta lagi sebagai penyerangan kedua. Karena penyerangan kedua inipun agaknya menghadapi pertahanan Belanda yang amat kuat, maka kami berdua mengambil keputusan untuk membantu Mataram. Akan tetapi kami tidak masuk menjadi perajurit dan ingin membantu secara sukarela, maka kami mendahului pasukan Mataram. Kami menuju ke Jayakarta atau Batavia dan hari ini kebetulan sekali kami lewat di dermayu ini dan bertemu dengan Adi Sulastri.” “Jadi Anakmas Parmadi sekarang hendak pergi ke Batavia untuk ikut berjuang melawan Kumpeni?” Tanya Ki Subali. “Hemm, aku ingat sekarang! Aki Somad tadi, kakek bungkuk berpunuk yang ikut datang menyerang ke sini, adalah seorang antek Kumpeni Belanda pula! Ketika melakukan perjalanan bersama Mas Aji ...... eh, maksudku Lindu Aji, aku biasa menyebutnya Mas Aji. Ketika itu Aki Somad bersama Ki Harya Baka Wulung, Nyi Maya Dewi dan juga Banuseta yang ternyata telah membunuh Eyang Guru Tejo Langit!” Muryani berkata marah. “Mereka itu memang orang- orang jahat yang menjadi antek Kumpeni Belanda dan yang pantas kita basmi!” Parmadi menyambung ucapan isterinya. “Setelah mendengar akan kematian Paman Guru Ki Tejolangit dan ----------------------- Page 930----------------------- ----------------------- Page 931----------------------- http://zheraf.net Sulastri. “Lastri, di mana ya kira-kira sekarang ini Kakangmas Lindu Aji?” Mereka berdua sudah rebah di tempat tidur masing- masing yang berjajar di kamar itu. mendengar pertanyaan ini, Sulastri lalu miringkan tubuhnya menghadap ke arah Neneng. “Ah, maksudmu Mas Aji? Agaknya engkau sudah rindu sekali padanya, ya?” Neneng tersipu. Ia tersenyum dengan kedua pipi berubah kemerahan. Sulastri harus mengaku dalam hatinya betapa ayu manis bekas waranggana dari Sumedang ini. Tidaklah mengherankan kalau Mas Aji jatuh cinta padanya, pikirnya. “Ah, Lastri ...... aku hanya teringat kepadanya. Sudah agak lama kami saling berpisah ......“ Sulastri bangkit lalu duduk bersila, menghadap ke arah Neneng. “Neng, akuilah terus terang. Kita sudah seperti saudara, bukan? Ingat, aku mengenal baik Mas Aji, ...... sudah ...... seperti saudara sendiri, bahkan dia adalah masih saudara seperguruanku. Katakanlah engkau benar-benar mencinta Mas Aji?” Neneng Salmah juga bangkit dan duduk menghadapi Sulastri. Matanya yang indah kini menatap wajah Sulastri dan biarpun tampak malu-malu, namun wajahnya berseri dan sinar matanya cerah. “Lastri, aku pernah mengaku kepadamu bahwa aku sungguh amat mencinta Kakangmas Lindu Aji. Aku mencintanya, aku memujanya, aku mengaguminya. Kalau saja dia sudi menerima, aku mau menjadi hambanya, menjadi budaknya, untuk mencucikan pakaiannya, memasakkan makanannya. Aku ...... aku memujanya, Lastri, aku ingin selalu ----------------------- Page 932----------------------- ----------------------- Page 933----------------------- http://zheraf.net Neneng Salmah menghela napas panjang. “Mudah- mudahan apa yang kaukatakan itu benar, Lastri.” Neneng lalu merebahkan diri kembali dan kini ialah yang melamun, melamunkan betapa akan bahagianya kalau pendapat Sulastri itu kelak menjadi kenyataan. Kini Sulastri juga merebahkan diri telentang dan melamun lagi. Kini ia melamunkan kenangannya ketika melakukan perjalanan bersama Lindu Aji. Pengalaman dan bahaya yang mereka hadapi bersama. Betapa pemuda itu membela dan melindunginya mati-matian. Juga kalau kini ia kenang kembali, ia dapat menangkap gerak-gerik pemuda itu, pandang matanya, senyumnya, kelembutan kata-katanya, semua itu membayangkan bahwa pemuda itu menyayanginya, mencintainya! Dan ia sendiri ...... ia harus mengaku dalam hatinya bahwa ia juga amat tertarik, kagum dan sayang kepada pemuda itu. Ia tahu bahwa ia jatuh cinta kepda Lindu Aji. Mereka saling mencinta, walaupun tidak pernah terucapkan dalam kata-kata. semakin perih rasa hatinya kalau ia mengingat akan hal ini dan cepat-cepat ia mengalihkan perhatiannya dan lamunannya untuk mengenang Jatmika. Jatmika sudah jelas mencintanya, bahkan pemuda itu yang juga masih terhitung saudara sepeguruannya itu terang- terangan menyatakan cintanya dan hendak melamarnya kalau tugasnya sudah selesai! Jatmika juga seperti Lindu Aji, membela dan melindunginya dengan taruhan nyawa! Akan tetapi ketika ia mengamati hati sendiri, ia hanya mempunyai perasaan kagum dan suka kepada Jatmika. Ia tidak yakin apakah ia juga mencinta Jatmika. Neneng Salmah sudah tidur pulas. Hal ini diketahui Sulastri dari pernapasannya yang teratur dan panjang. Ia ----------------------- Page 934----------------------- ----------------------- Page 935----------------------- http://zheraf.net “Aku harus pergi menyusul mereka, harus membantu Mataram. Harus ...... !” Ia berbisik dan mengepal tinju membulatkan tekadnya. Akan tetapi, tiba-tiba ia tampak lesu dan kepalan tangannya terbuka lagi. Ia menghela napas panjang berulang kali. Ia teringat kepada ibunya. Ibunya sudah pasti keberatan dan tidak akan mengijinkan kalau berpamit untuk pergi membantu Mataram. Baru saja pulih ingatannya. Baru saja ibunya seolah menemukan ia kembali dan baru beberapa hari saja ia sudah berpamit hendak pergi. Pasti ibunya akan melarangnya dan ia merasa tidak tega kalau membantah ibunya. Sulastri menjadi bimbang. Akan tetapi tiba-tiba ia memandang kepada Neneng Salmah yang masih tidur pulas dan senyum mengembang di bibirnya, matanya bersinar kembali dan wajahnya menjadi cerah. Ah, di sini ada Neneng, pikirnya dan ia tahu, Neneng adalah seorang gadis yang amat baik dan menyayang ibunya, juga disayang ibunya. Kalau ia pergi, setidaknya di situ ada Neneng yang menemani ibunya! Sulastri mulai berkemas dengan gerakan perlahan agar jangan sampai menggugah Neneng Salmah. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, pada saat terdengar keruyuk jago (ayam jantan) menyambut munculnya sinar fajar, seperti biasa Neneng Salmah terbangun dari tidurnya. Ia bangkit duduk, menggeliat, menguap dan mengusir sisa kantuknya, lalu ia bangkit berdiri. Ia menoleh dan melihat pembaringan Sulastri kosong. Ah, rajin benar, sepagi ini sudah keluar kamar, pikirnya sambil tersenyum. Kasihan sibuk sendiri, mungkin sedang memasak air di dapur, harus kubantu! Neneng bergegas menuju dapur. Akan tetapi tidak ada Sulastri di situ, bahkan belum ada nyala api untuk memasak ----------------------- Page 936----------------------- ----------------------- Page 937----------------------- http://zheraf.net berada di situ! Ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Sulastri telah pergi. Neneng Salmah mencari-cari dengan pandang matanya dan ia melihat sebuah corat-coret di atas meja. Tadi ketika ia menyalakan lampu, ia tidak melihat ini. Ia menghampiri meja dan di situ jelas terdapat coretan-coretan pendek. “Aku pergi berjuang. Mintakan maaf kepada ibu!” Neneng Salmah terbelalak. Tak dapat diragukan lagi. Sulastri tentu telah pergi mengejar Parmadi dan Muryani, yaitu untuk mencari pembunuh gurunya dan juga untuk membantu Mataram menghadapi Kumpeni! Ia berlari ke kamar Ki Subali dan mengetuk daun pintu kamar itu. “Tok-tok-tok! Paman ...... ! Bibi ...... ! Bangunlah ...... !” Ia mengetuk lagi dan Nyi Subali yang membukakan daun pintu. “Siapa itu? Ah, Neneng, ada apakah?” Ki Subali juga menhampiri pintu. “Paman, bibi, maafkan kalau saya mengganggu. saya ...... saya ...... “ “Neneng, ada apakah? Kenapa engkau begini gugup? Apa yang terjadi?” tanya Nyi Subali sambil memegang lengan gadis itu. “Bibi, sulastri ...... ia ...... ia pergi malam tadi ketika aku tidur ...... “ “Pergi? Ke mana?” tanya Ki Subali. ----------------------- Page 938----------------------- ----------------------- Page 939----------------------- http://zheraf.net “Bibi, harap bibi jangan khawatir. Sulastri tentu pergi menyusul Kakangmas Permadi dan Mbakayu muryani, juga ia tentu akan bertemu dengan Kakangmas lindu aji dan Kakangmas Jatmika dan bersama mereka berjuang membantu Mataram menghadapi Kumpeni. Sulastri adalah seorang yang sakti mandraguna, bibi, harap bibi tenangkan hati.” Neneng Salmah menghibur. “Apa yang dikatakan Neneng itu benar, bune. Sudahlah, jangan menangis. Anak kita melakukan tugas yang suci, membela Negara dan bangsa, Kita patut merasa bangga dan mari kita doakan saja agar Gusti Allah selalu melindunginya.“ kata Ki Subali. Setelah dihibur oleh suaminya dan terutama oleh Neneng Salmah yang sudah dianggap seperti anak sendiri, Nyi Subali lambat laun dapat merelakan kepergian Sulastri. Beberapa hari kemudian ia telah tenang dan pulih kembali. *** Sultan Agung di mataram memang merasa penasaran sekali setelah setahun yang lalu serangan pertamanya ke Batavia gagal dan dia kehilangan banyak perajurit dan senopati. Karena itu, setahun lebih kemudian setelah kekalahan itu, dia menyusun lagi kekuatan yang lebih besar untuk mengirim bala tentara ke Batavia dan menyerang pertahanan Kumpeni Belanda. Sesungguhnya, Belanda inilah yang menjadi sasaran utamanya untuk dimusuhi karena dia mengerti bahwa Kumpeni merupakan ancaman besar bagi negara dan bangsanya. Belanda memiliki kapal-kapal perang yang besar, lengkap dengan meriam-meriam besarnya, dan walaupun pasukannya tidak berapa besar namun pasukan itu diperkuat ----------------------- Page 940----------------------- ----------------------- Page 941----------------------- http://zheraf.net Adipati Pubaya memimpin pasukan khusus datang menyerang dari arah timur, dibantu beberapa orang Senopati. Diantara para panglima yang membantunya terdapat Dipati Ukur, adipati yang diangkat oleh Sultan Agung untuk menjadi wakilnya di Jawa Barat.. Pasukan-pasukan dari daerah banyak yang memperkuat barisan Mataram, diantaranya dari Surabaya, Pasuruan, Kediri, Wonosobo, Ponorogo, Madiun, Sampang dan bahkan juga Dipati Ukur sudah siap membantu dengan pasukannya dari Sumedang yang sudah menanti di daerah itu untuk bergabung kalau Mataram lewat. Mataram mengerahkan tenaganya. meriam-meriam yang dulu didapatkan melalui perdagangan hasil bumi dari orang-orang Portugis dan juga dari Belanda sendiri, diangkut untuk memperkuat pasukan Mataram. Banyak pula perajurit yang membawa bedil, walaupun senjata-senjata api itu model kuna dan jauh ketinggalan jaman kalau dibandingkan dengan persenjataan Kumpeni Belanda. Semangat para perajurit menggebu-gebu, terutama sekali karena kali ini yang memimpin mereka adalah tiga orang keluarga dekat Sultan Agung sendiri! Akan tetapi di jaman apapun, dalam suatu perjuangan selain bermunculan para pendekar, pahlawan patriot bangsa, sebagai bandingannya muncul pula pengkhianat bangsa yang rela menjadi antek musuh. Belanda amat pandai membujuk orang-orang pandai yang jiwanya lemah untuk menjadi telik sandi mereka, Bahkan banyak yang rela membantu mereka melawan Mataram. Juga Belanda pandai menggunakan taktik mengadu domba, memecah belah, dengan omongan manis dan ----------------------- Page 942----------------------- ----------------------- Page 943----------------------- http://zheraf.net lebar dan memandang ke dalam gudang di mana ratusan karung beras dan beberapa gunungan padi bertumpuk-tumpuk. Setelah gudang itu penuh dengan ransum yang ditumpuk selama kurang lebih sebulan itu semua pekerja keluar dan daun pintu ditutup. Ada lima orang tetap menjaga di pintu gudang. Laki-laki tinggi besar itu menemui seorang diantara pekerja dan bertanya perlahan. “Sudah penuhkah?” “Sudah.” Jawab pekerja yang bertubuh pendek gendut itu. “Penjaganya hanya lima orang itu?” “Ya.” Tanya jawab singkat ini dilakukan sambil berjalan berdampingan dengan suara berbisik. “Tengah malam nanti.” kata laki-laki tinggi besar itu ketika mereka hendak berpisah. Dua orang itu sama sekali tidak menyadari bahwa sejak tadi gerak gerik si tinggi besar, dari mulai dia mondar mandir di depan gudang, sampai dia bertemu dan bicara dengan pekerja gemuk pendek itu, selalu dibayangi, diawasi dan didengarkan oleh seorang pemuda. Pemuda itu adalah Jatmika. *** JILID XXVII eperti telah diceritakan di bagian depan, Jatmika mengantar Eulis atau Sulastri ke rumah orang tuanya di S Dermayu, lalu dia pergi meninggalkan Dermayu untuk mencari para pembunuh ayah dan kakeknya. Disamping itu dia juga ingin membantu Mataram yang dia dengar hendak ----------------------- Page 944----------------------- ----------------------- Page 945----------------------- http://zheraf.net laki-laki tinggi besar sehingga mata-mata ini sudah mengetahui bahwa dia dibayangi orang! Di dalam rumah, laki-laki itu disambut oleh Ki Harya Baka Wulung, Nyi Maya Dewi dan seorang raksasa kulit putih yang bukan lain adalah Hendrik De Haan, jagoan anak buah Kapten De Vos! Mereka lalu berbisik-bisik mengatur siasat ketika laki-laki tinggi besar itu menceritakan tentang gudang ransum yang sudah penuh dan tentang orang yang membayanginya. “Hemm, biar aku yang membereskan orang itu. Tentu dia telik sandi Mataram. Engkau, Nyi Maya Dewi, dan tuan Hendrik De Haan, lanjutkan rencana kita. Malam ini juga gudang itu harus dibakar habis. Wira, kau pancing telik sandi Mataram itu keluar kota sebelah selatan. Aku yang akan membunuhnya!” Mereka mengatur siasat. Maya Dewi dan Hendrik bersiap-siap. Mata-mata tinggi besar yang bernama Wira itu lalu keluar dari rumah dan berjalan menuju ke selatan. Jatmika yang mengintai tak melihat petemuan tadi karena mereka melakukannya di ruangan tertutup. Ketika Jatmika melihat orang yang dibayangi itu keluar rumah itu, diapun segera membayangi. Orang itu ternyata keluar kota menuju ke selatan. Malam itu bulan yang hampir bulat terang sekali sehingga dengan mudah Jatmika dapat membayangi Wira. Akan tetapi setelah tiba di jalan yang sunyi, Wira berhenti, memutar tubuh dan berseru galak. ----------------------- Page 946----------------------- ----------------------- Page 947----------------------- http://zheraf.net kiri untuk memijit-mijit lengan kanan dan kaki kiri bergantian yang dirasa amat nyeri. Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan menyeramkan, seperti suara binatang buas atau setan. “Aurrgghh !!” Angin pukulan dahsyat menyambar dari belakang. Jatmika terkejut, mengenal aji pukulan ampuh sekali. Dia cepat memutar tubuhnya dan tangan kanannya membuat gerakan berputar untuk menangkis pukulan dahsyat itu. “Wuuuttt ...... blarrr !” Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu dan tanah sekitar tempat itu seperti tergetar! Ki Harya Baka Wulung terkejut bukan main. Tak disangkanya sama sekali kalau orang yang dicurigai sebagai telik sandi Mataram ini demikian kuatnya sehingga mampu menangkis pukulan mautnya! Di lain pihak, Jatmika juga terkejut. Ternyata penyerangnya, seorang kakek seperti raksasa brewok dan kuat bukan main sehingga ketika tangan mereka saling bertemu, tubuhnya tergetar hebat. Dua orang itu kini berdiri saling berhadapan dengan sikap hati-hati. “Siapa engkau?” tanya Harya Baka Wulung. “Namaku jatmika. dan andika siapa? Mengapa menyerangku?” “Engkau tentu telik sandi mataram!” “Dan andika tentu mata-mata Kumpeni Belanda! Tak tahu malu menjadi antek musuh Negara dan bangsa!” “Babo-babo, keparat Jatmika! Aku sejak dulu adalah musuh besar Mataram!” Setelah berkata demikian tiba-tiba kakek itu membuat gerakan berjongkok lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Jatmika, dari perutnya yang gendut, melalui mulut, mengeluarkan suara berkokok seperti bunyi katak budug yang besar. ----------------------- Page 948----------------------- ----------------------- Page 949----------------------- http://zheraf.net Masih untung baginya bahwa Ki Harya Baka Wulung kini sudah tua, usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun, gerakannya kurang gesit sehingga Jatmika yang lebih gesit dapat menghindarkan diri dari desakan kakek itu. namun tetap saja dia terdesak terus karena dia masih kalah kuat dalam hal tenaga sakti. “Haaaiiitt !!” Kembali keris kakek itu menyambar disusul pukulan berasap hitam. Jatmika yang sudah terdesak terpaksa menyambut pukulan itu dengan Aji margopati. “Wuuuttt ...... dess !!“ Tubuh Jatmika terjengkang ke belakang akan tetapi pemuda itu dapat bergulingan sehingga tidak sampai terbanting. Tiba-tiba ada tangan menangkap lengannya. “Kakangmas Jatmika, engkau tidak terluka?” Tanya seorang wanita. Jatmika melompat berdiri. “Eulis ...... !” “Namaku Sulastri, kakang!” Kata Sulastri lalu menuding ke arah kakek yang memandang kepada mereka dengan marah. “Dia itu adalah Ki Harya Baka Wulung yang dulu pernah kulawan bersama Mas Aji. Hayo kita basmi antek Belanda ini! Kita persatukan Aji Margopati!” Sementara, melihat Sulastri, Ki Harya Baka Wulung teringat dan dia menjadi marah akan tetapi juga terkejut sekali karena dia ingat betapa gadis itu dahulu mempunyai kawan, yaitu Lindu Aji yang amat sakti mandraguna sehingga dia sendiri kewalahan melawannya, jangan-jangan Lindu Aji juga ikut datang! Maka, dalam usahanya menyelamatkan diri, dia mendahului dan sambil berteriak keras dia menerjang ke arah dua orang muda itu dengan keris dan pukulan mautnya! ----------------------- Page 950----------------------- ----------------------- Page 951----------------------- http://zheraf.net “Mari cepat. Agaknya gudang ransum Mataram dibakar!” Mereka mengguakan ilmu berlari cepat seperti terbang menuju ke kota. Setelah mereka tiba di depan gedung ransum itu, benar saja dugaan Jatmika. Yang terbakar adalah gudang ransum itu. Api bernyala di dalam gudang, besar sekali sampai tinggi. Melihat keadaannya Jatmika maklum bahwa tak mungkin gudang dan isinya itu diselamatkan lagi. “Kakangmas Jatmika, hayo kita cari mereka!” “Eh, siapa? Di mana?’ “Iblis-iblis mata-mata Kumpeni itu. Aku tahu di mana sarang mereka! Hayo!” Sulastri berlari diikuti oleh Jatmika dan gadis itu menuju ke rumah Ki Warga di mana ia dan Lindu Aji dahulu pernah menjadi tawanan para mata-mata Belanda dan bermalam di situ. Sulastri memberi isyarat dan mereka berindap indap mengintai ke dalam rumah itu. Ada suara orang terdengar di ruangan belakang dari mana tampak sinar penerangan sedangkan ruangan lain gelap saja. Mereka berhasil mengintai dari luar jendela ke dalam ruangan yang luas. Dua buah lampu gantung besar menerangi ruangan itu. Di dalam ruangan itu duduk tiga orang menghadapi sebuah meja yang penuh makanan dan botol-botol minuman. Di meja lain yang lebih besar duduk pula belasan terdiri dari tiga orang kulit putih dan empat orang pribumi. Tampaknya mereka itu seperti perajurit dan tukang-tukang pukul. Sulastri segera mengenal tiga orang itu. Mereka adalah Ki Warga, Nyi Maya Dewi dan Hendrik De Haan! Melihat mereka, panas rasa hati Sulastri. Akan tetapi ia masih menahan kemarahannya dan mendengarkan percakapan mereka. Agaknya karena mereka ----------------------- Page 952----------------------- ----------------------- Page 953----------------------- http://zheraf.net yang dia sandarkan di dekatnya. Akan tetapi sinar hijau dari pedang Naga Wilis menyambar dan serdadu itu berteriak dan roboh mandi darah. Dua orang serdadu lainnya mencabut pistol mereka dan membidik ke arah Sulastri dan Jatmika. Akan tetapi secepat kilat dua orang pendekar itu telah menangkap dua orang tukang pukul. “Dar-dar ...... !!” Dua orang yang ditangkap Sulastri dan Jatmika yang dijadikan perisai nenerima peluru-peluru itu dan mereka tersentak dan tewas seketika. Sulastri dan Jatmika melemparkan mayat-mayat itu ke arah dua orang serdadu tang menembak. Dua orang serdadu tertumbuk dan terjengkang dan sebelum mereka dapat bangkit kembali, pedang Naga wilis dan keris Kyai Cubruk sudah meluncur dan dua orang serdadu Belanda tewas seketika. Dua orang tukang pukul menjadi ketakutan melihat betapa dalam waktu cepatnya tiga orang serdadu Belanda yang bersenjata api telah terbunuh, demikian pula dua orang rekan mereka! Sementara itu, Maya Dewi dan Hendrik De Haan juga sudah mengenal Sulastri, maka mereka terkejut tapi marah sekali melihat betapa dua orang muda itu telah menewaskan lima orang anak buah mereka. juga Ki Warga terkejut bukan main. Maya Dewi dan Hendrik De Haan cepat melompat dari kursi mereka sedangkan Ki Warga diam-diam berlari keluar dari ruangan, Maya Dewi melolos sabuk Cinde Kencono sedangkan Hendrik De Haan sudah mencabut pistolnya. Raksasa bule ini cepat menembakkan pistolnya ke arah Jatmika. “Dar-dar ...... !” Akan tetapi Jatmika melempar tubuh ke samping lalu bergulingan dan sambil bergulingan dia ----------------------- Page 954----------------------- ----------------------- Page 955----------------------- http://zheraf.net namun sesungguhnya dia sudah terluka dalam, tenaganya mulai berkurang. Ketika Hendrik menyerang dengan kedua tangan, hendak menangkap lawan, Jatmika mengelak. Dia tahu bahwa kalau sampai dia tertangkap dua buah tangan yang panjang besar dan amat kuat itu, dia terancam bahaya maut. Akan tetapi ternyata serangan dahsyat tadi hanya berupa gertakan saja karena tiba-tiba Hendrik sudah berlari ke sudut ruangan dimana menggeletak pistolnya yang tadi terlempar ke sana. Akan tetapi cepat sekali tubuh Jatmika sudah melesat bagaikan kilat mengejarnya dan pemuda perkasa ini sudah lebih dulu mengambil pistol itu. Selama hidupnya Jatmika belum pernah memegang pistol, apa lagi menembak. Akan tetapi dia pernah mendengar tentang senjata api itu dan dapat mengira-ngira bagaimana menarik pelatuknya untuk menembak. Dia membidik ke arah Hendrik yang masih bergerak untuk merampas pistol dan menarik pelatuknya dengan jari telunjuk. “Darr ...... !!” Pistol itu menendang sehingga jatmika terkejut dan melemparkannya ke arah Hendrik. Akan tetapi dia melihat Hendrik terjengkang sambil mendekap dadanya dan roboh tak bergerak lagi. Jatmika lalu mengambil kerisnya Kyai Cubruk menggeletak tak jauh dari situ. Kemudian dia melompat dan membantu Sulastri yang terdesak oleh sabuk Cinde Kencono Nyi Maya Dewi yang meledak-ledak itu. “Hyaahh !!” Jatmika menyerang dengan pukulan margopati yang dilakukan dengan tangan kirinya. “Haaiitt !!” Sulastri yang tadinya terdesak, bahkan pundaknya sudah terkena lecutan ujung sabuk lawan dan terluka, kini berbesar hati dan ia juga menyerang dengan Aji Margopati. ----------------------- Page 956----------------------- ----------------------- Page 957----------------------- http://zheraf.net “Sayang kita tidak berhasil membunuh wanita iblis itu!” Sulastri berkata kecewa. “Ya, lebih menyesal lagi kita tak berhasil mencegah mereka membakar gudang ransum itu!” kata Jatmika. “Akan tetapi, bagaimana engkau tiba-tiba muncul membantuku dan benarkah engkau telah sembuh dan dapat mengingat kembali masa lalumu, Eulis?” “Panjang ceritanya, Kakangmas Jatmika. Dan karena aku sekarang sudah ingat kembali bahwa namaku adalah Sulastri, maka nama Listyani atau Eulis itu kita lupakan saja dan harap engkau memanggil aku Sulastri.” “Baiklah, Sulastri, walaupun di dalam hatiku engkau tetap Eulis yang geulis (cantik). Nah, ceritakanlah pengalamanmu semenjak kita berpisah.” Sulastri lalu bercerita tentang pertemuannya dengan Parmadi dan Muryani di sungai ketika ia bersama Neneng Salmah hendak mencuci pakaian dan mandi. “Nanti dulu, siapa itu Neneng Salmah?” Jatmika bertanya. “Oh, ya! Engkau belum mengenalnya!” Ia lalu bercerita tentang gadi waranggana dari Sumedang itu datang bersama Ki Salmun, ayahnya, datang mengungsi dari sumedang je dermayu atas nasehat Lindu Aji. Setelah mendengar keterangan panjang lebar tentang neneng Salmah, Jatmika bertanya lagi. “Dan siapa itu Parmadi dan Muryani?” “engkau tidak dapat menduga siapa Kakangmas Paemadi. Dia masih kakak seperguruan kita!” “Eh? Bagaimana mungkin? Kenapa aku tidak mengenalnya?” ----------------------- Page 958----------------------- ----------------------- Page 959----------------------- http://zheraf.net Muryani dan ia sendiri yang sudah sembuh berhasil mengusir mereka. “Setelah Kakangmas Parmadi dan Mbakyu Muryani pergi untuk mencari pembunuh Eyang Guru Tejo Langit, aku yang sudah pulih ingatanku, menjadi gelisah, Mas Aji mencari pembunuh itu dan berjuang membela Mataram, engkau dan Kakng Parmadi juga begitu. aku merasa tidak enak untuk duduk diam di rumah saja, maka aku lalu nekat meninggalkan rumah.” “Dan bagaimana engkau dapat berada di sini?” Tanya Jatmika. “Aku teringat kepada Raden Banuseta yang dulu ikut melawan aku dan Mas Aji, maka aku lalu pergi ke Tegal hendak mencarinya. Malam tadi aku tiba di mana engkau sedang bertanding melawan Harya Baka Wulung.” “Ah, agaknya memang Gusti Allah yang menuntunmu sehingga engkau dapat membantuku dan aku dapat menyekamatkan diri dari kakek yang sakti mandraguna itu.” “Akan tetapi, Kakangmas Jatmika, kenapa Mataram menumpuk demikian banyak ransum di Tegal? Dan kenapa pula antek-antek Kumpeni itu membakar gudang?” “Lastri, engkau tentu sudah mendengar bahwa bala tentara Mataram akan melakukan penyerbuan ke Jayakarta dan untuk keperluan pasukan itulah maka ransum itu ditumpuk untuk persediaan. Dan para mata-mata Kumpeni keparat itu tentu melaksanakan perintah atasan mereka. Siasat yang amat keji dan curang!” “Kakang Jatmika, kalau begitu mari kita cepat pergi ke Jayakarta untuk membantu pasukan Mataram. Kukira jahanam ----------------------- Page 960----------------------- ----------------------- Page 961----------------------- http://zheraf.net Di pintu gerbang gedung Kadipaten pemuda itu dihadang lima orang perajurit penjaga. “Berhenti!!” bentak empat orang dari mereka. Akan tetapi yang seorang lagi sudah setengah tua dan agaknya dia yang menjadi kepala jaga, berseru dengan girang dan hormat. “Denmas Lindu Aji Alap-alap Laut Kidul!” “Bagus kalau andika mengenalku, paman. Aku mohon menghadap Paman Adipati Pangeran Ratu. Maukah andika melaporkan kunjunganku ini?” “Tentu, denmas, tentu! Mari silakan!” Lindu aji mengikuti perajurit itu. Empat orang kawannya saling pandang dengan heran, lalu seorang di antara mereka berkata, “Ah, dia itu Alap-alap Laut Kidul? Aku pernah mendengar bahwa dialah yang menghancurkan gerombolan Munding Hideung di Gunung Careme!” “Wah, itukah orangnya? Kelihatannya masih begitu muda dan sederhana!” “Hemm, kau tahu apa? Dia itu seorang utusan Kanjeng Gusti Sultan Agung di Mataram yang berpangkat senopati muda!” Lindu Aji mendengar percakapan ini akan tetapi dia tidak perduli dan mengikuti penjaga itu ke beranda. Di situ perajurit itu disambut seorang perajurit pengawal istana dan dia mengoper Aji kepada perajurit pengawal itu sambil berkata. “Lapor, Tamu ini adalah Alap-alap Laut Kidul bernama Lindu Aji yang mohon menghadap Gusti Adipati.’ Perajurit pengawal itupun mengenal nama ini dan setelah mempersilakan Aji duduk di ruang tunggu, dia segera melapor ke dalam. Tak lama kemudian pengawal itu sudah kembali ke ruang tunggu mengatakan bagwa Sang Adipati ----------------------- Page 962----------------------- ----------------------- Page 963----------------------- http://zheraf.net dengan berterang, Kumpeni tentu akan memusuhi dan menyerang kami. Pada hal, penyerangan Belanda melalui kapal-kapal perang berbahaya sekali.” Lindu Aji mengerutkan alisnya, akan tetapi dalam hatinya dia harus mengakui kebenaran sang adipati ini. Bagaimanapun juga, Kadipaten Cirebon tentu saja harus menjaga keselamatannya sendiri. Yang terpenting asal Kadipaten Cirebon tidak membantu Belanda, hal itu sudah cukup baik. Bahkan dia juga mendengar bahwa biasanya, sang adipati ini menjadi perantara yang dapat dipercaya apabila Mataram hendak mengadakan hubungan atau perundingan dengan pihak Banten dan para kadipaten lain di Jawa Barat, juga dapat menjadi perantara kalau hendak mengadakan hubungan dan perundingan dengan pihak Kumpeni Belanda sekalipun. “Akan tetapi, Paman Adipati, apakah di Kadipaten Cirebon juga diadakan gudang ransum untuk pasukan Mataram?” “Memang ada, dua gudang besar, yang pertama berisi beras dan yang kedua berisi gunungan padi. Kami sudah mengutus seregu perajurut menjaga kedua gudang itu.” “Hanya seregu, Paman Adipati? Apakah cukup?” Tanya lindu Aji. “Kami kira sudah cukup. Kumpeni Belanda tidak akan berani mengganggu gudang ransum yang berada di wilayah kami, tentu merasa sungkan kepada kami.” “Mudah-mudahan saja begitu, paman adipati.” Tiba-tiba seorang perajurit pengawal bergegas masuk, menjatuhkan diri berlutut dan sebelum Adipati Cirebon yang menjadi marah dan mengerutkan alis itu sempat bertanya, dia ----------------------- Page 964----------------------- ----------------------- Page 965----------------------- http://zheraf.net bertubuh tinggi besar dan dua orang lain yang bersenjata golok. Ketika memandang dengan teliti, Aji terkejut, marah dan juga girang mengenal bahwa gadis itu bukan lain adalah Sulastri, pemuda itu Jatmika. Adapun kakek yang mejadi lawan mereka adalah Ki Harya Baka Wulung yang dibantu dua orang bersenjata golok. Menghadapi Ki Harya Baka Wulung saja, Jatmika dan Sulastri sudah bertemu dengan lawan berat. Apalagi kakek yang selalu memusuhi Mataram itu dibantu dua orang yang lumayan tangguh, maka sepasang orang muda itu tampak terdesak hebat. Aji dapat menduga bahwa tentu Ki Harya Baka Wulung itu yang berada di balik layar terjadinya kebakaran-kebakaran terhadap gudang ransum Mataram. “Hemm, jahanam busuk!” bentaknya dan tubuh Aji sudah menerjang ke depan dengan cepat sekali. Dengan kecepatan gerakan Aji Bayu Sakti, dia seperti terbang dan sudah menyerang Ki Harya Baka Wulung dengan tamparan tangannya ke arah kepala raksasa itu dengan pengerahan tenaga dari Aji Surya Chandra. “Wuuuutttt ...... plakkkk !!” Ki Harya Baka Wulung terkejut sekali ketika merasakan datangnya serangan yang amat dahsyat dari tubuh pemuda yang terbang meluncur itu. Dia cepat menangkis dan ketika kedua lengan bertemu, Ki Harya Baka Wulung terhuyung ke belakang. Sementara itu, Jatmika dan terutama Sulastri girang bukan main melihat datangnya Lindu Aji yang membantu mereka. Sulastri hampir menangis saking harunya. Sekarang ia ingat benar kepada Aji dan merasa betapa jantungnya berdebar penuh rindu dan bahagia. Akan tetapi iapun tidak menyia- ----------------------- Page 966----------------------- ----------------------- Page 967----------------------- http://zheraf.net Wulung lalu berpencar dari Kyai Sidhi Kawasa dan Aki Somad seperti yang sudah mereka rencanakan. Akan tetapi baru saja dia hendak melarikan diri ke belakang gudang, tiba-tiba muncul Sulastri dan Jatmika yang segera mengenalnya dan sepasang orang muda ini tentu saja segera mengetahui bahwa tentu datuk besar dari Madura ini yang mendalangi kebakaran gudang ransum, maka mereka lalu menyerangnya. Akan tetapi Ki Harya Baka Wulung melawan, bahkan dengan bantuan dua orang anggota gerombolan dia mendesak Jatmika dan Sulastri dan nyaris merobohkan menewaskan sepasang orang muda itu. Akan tetapi alangkah kaget dan kecewanya ketika tiba-tiba muncul Lindu Aji! Apa lagi melihat dua orang anak buahnya itu roboh. Dia menjadi jerih dan cepat membanting dua bahan peledak yang mengeluarkan suara keras dan asap tebal. Lindu Aji, Sulastri dan Jatmika cepat melompat ke belakang. Melihat kakek raksasa itu melarikan diri ke barat, Aji berkata kepada mereka, “Kakang Jatmika dan Nimas Eulis, ----------------------- Page 968----------------------- ----------------------- Page 969----------------------- http://zheraf.net di mana beberapa orang anak buah gerombolan berhasil melarikan diri menggunakan perahu. Melihat lima orang anak buah gerombolan naik perahu yang didayung ke arah laut, Sulastri membanting-banting kaki kanannya dan berseru. “keparat jahanam kalian antek-antek Kumpeni!” Tiba-tiba seorang laki-laki gagah berusia kurang lebih empat puluh tahun bersama seorang wanita cantik berusia tiga puluh enam tahun berdiri tidak jauh darisitu segera mendekat ke laut sampai air laut merendam kaki mereka sampai ke beis. Laki-laki iru ketika tadi mendengar Sulastri memaki para anak buah gerombolan sebagai antek-antek kumpeni, segera melontarkan batu besar ke arah perhau yang sedang diusahakan melawan ombak itu. “Syuuutttt ...... brakkk ...... byuurrrr !” Perahu itu tertimpa batu dan pecah, lima orang anak buah gerombolan itu terjatuh ke dalam laut. Mereka terpaksa berenang ke tepi. Jatmika dan Sulastri sudah siap menyambut mereka. Sulastri amat benci mereka mengingat akan kebakaran dua buah gudang ransum itu, menyambut dengan pedang Naga Wilis di tangan. Lima orang anak buah gerombolan yang menjadi antek Kumpeni Belanda itu mati-matian untuk mencoba melawan. Dua orang di antara mereka mncabut pistol, akan tetapi sebelum mereka sempat mempergunakan pistol itu, dua buah batu karang sebesar kepalan tangan menyambar pelipis mereka dan dua orang itupun roboh tak mampu bangkit kembali. Suami isteri perkasa yang menyambitkan batu karang itu lalu menghampiri dan menendang dua buah pistol itu jatuh ke dalam air laut. ----------------------- Page 970----------------------- ----------------------- Page 971----------------------- http://zheraf.net “Hei! Kalian ini siapa? Dan kenapa tiada huan tiada angin tiba-tiba menyerangku?” bentak Sulastri dngan pandang mata melotot dan mulut yang manis itu cem,erut. Wanita cantik itu menjawab. “Aku menyerang untuk melihat apakah pedang di tanganmu itu Pusaka Naga Wilis aseli?” Sulastri mengerutkan alisnya yang hitam dan memandang ke arah pedang di tangannya. “Tentu saja pedangku ini Naga Wilis aseli, dan pedangmu itu palsu!” Ia memandang ke arah pedang yang telah patah menjadi dua potong itu, pedang yang sama benar rupanya dengan pedang di tangannya. “Nah, itulah sebabnya kami tertarik sekali ketika melihat pedangmu, anak manis.” kata wanita cantik itu. Biarpun tadi sudah terbukti bahwa pria dan wanita itu membantu mereka menghadapi para antek Kumpeni Belanda, namun melihat wanita cantik itu, Jatmika dan Sulastri teringat akan Nyi Maya Dewi yang juga cantik jelita dan jahat, maka mereka berdua menjadi curiga. Pria yang tampan dan gagah itu melangkah maju. “Anak yang baik, coba aku pinjam sebentar pedangmu, hendak kami teliti.” Sulastri tentu saja tidak mau memberikan pedangnya, bahkan ia melangkah mundur dan menyarungkan pedang Naga Wilis. Jatmika melangkah maju dan berkata penuh teguran kepada pria itu. “Jangan ganggu dia!” Sambil berkata demikian, Jatmika mendorongkan tangan kanannya ke arah pria itu untuk memaksa pria itu mundur. Karena tadi dia melihat bahwa pria itu seorang yang digdaya, maka dia mengerahkan tenaga ----------------------- Page 972----------------------- ----------------------- Page 973----------------------- http://zheraf.net Jatmika terkejut mendengar nama itu dan dia kini memandang ke arah sebuah pecut yang gagangnya terselip di ikat pinggang Sutejo dan pecutnya sendiri melilit pinggang. “Apakah andika yang disebut orang Pecut Bajrakirana?” Dia pernah mendengar nama ini dari mendiang ayahnya dan dia mendengar bahwa Sutejo yang diberi julukan Si Pecut Bajrakirana ini adalah seorang pendekar sakti mandraguna yang setia kepada Mataram. Sutejo tersenyum dan mengangguk. sejak tadipun dia sudah melihat betapa pemuda dan gadis itu bukan orang-orang sembarangan, maka dia mencegah isterinya betanding dengan gadis itu. Jatmika menoleh kepada Sulastri. “Nimas Sulastri, paman dan bibi ini adalah pendekar-pendekar ternama yang setia kepada Mataram. Maafkan kami, Paman Sutejo dan bibi. Saya bernama Jatmika dan ini adalah Sulastri.” “Akan tetapi kalau paman dan bibi tidak mempunyai niat buruk, kenapa bibi Retno Susilo tadi menyerangku?” tanya Sulastri, masih penasaran. Kini Retno Susilo yang menghampiri Sulastri. “Anak manis, maafkan aku. Seperti kukatakan tadi, aku menyerangmu untuk menguji apakah pedangmu itu benar Pedang Naga Wilis yang aseli. Sebelum kuterangkan kesemuanya ini, aku ingin bertanya dulu kepadamu. Akan tetapi, tidak enak bicara sambil berdiri di sini. Marilah kita mencari tempat di mana kita dapat bicara dengan enak.” “Mari kita ke sana.” kata Sutejo,menunjuk ke arah beberapa batang pohon yang tumbuh agak ke darat. mereka berempat lalu meinggalkan lima orang anggauta gerombolan yang menggeletak di atas pasir. Dua orang di antara mereka ----------------------- Page 974----------------------- ----------------------- Page 975----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ “Baiklah, Sulastri. Nah, dengarlah baik-baik.” Wanita itu menoleh kepada suaminya dan ia menghela napas panjang, tiba-tiba tampak sedih sekali. Setelah menghela napas beberapa kali, ia melanjutkan. “Peristiwa menyedihkan itu terjadi kurang lebih delapan tahun yang lalu. Ketika itu, pedang Pusaka Naga Wilis yang sekarang menjadi milikmu itu adalah pusakaku. Aku menerimanya dari mendiang guruku yang berjuluk Nyi Rukmo Petak. Selain Pedang Naga Wilis itu, pada saat itu anak tunggal kami yang benama Bagus Sajiwo berusia enam tahun dan pada suatu hari ...... “ suara Retno Susilo melemah dan terdengar kedukaan menggetarkan suaranya, “...... pada suatu hari ...... anak kami Bagus Sajiwo itu ...... dan pedang pusaka Naga Wilis ...... hilang dari dalam kamar ketika kami berdua sedang berada di ladang. Pedang pusaka dan puteraku itu hilang diculik orang dan bertahun-tahun kami mencari, berkelana ke mana saja, sambil membantu Mataram dalam menghadapi lawan-lawannya ...... akan tetapi sama sekali tidak ada hasilnya. Sudah delapan tahun lebih kami mencari tanpa hasil, dan hari ini ...... aku melihat Naga Wilis berada di tanganmu. Dapat kalian bayangkan betapa kaget dan juga girang rasa hatiku melihat pedang itu. Mungkin ...... mungkin ditemukannya pedang itu akan dapat membuat kami menemukan putera kami pula!” “Sulastri, apakah engkau melihat putera kami Bagus Sajiwo? Usianya kini tentu sudah empat belas tahun!” kata pula Sutejo dengan suara mengandung penuh harapan. Sulastri dan Jatmika merasa terharu mendengar cerita itu. Kini mereka mengerti tadi Retno Susilo bersikap seperti itu ketika melihat Pedang Naga Wilis. Sulastri menggeleng kepala dan berkata dengan suara terharu. Ia keras hati, namun juga ----------------------- Page 976----------------------- ----------------------- Page 977----------------------- http://zheraf.net Sulastri menggeleng kepala. “Guruku sudah meninggal dunia, tewas dibunuh antek Kumpeni Balanda. Kami sedang hendak mencari pembunuh itu!” “Ahh ...... !” Retno Susilo mendesah kecewa sekali. “Apakah dia tidak pernah bercerita tenang asal usul pedang ini?” “Ya dia pernah menceritakan sedikit padaku dan agaknya cerita ini akan dapat menjadi petunjuk untuk menemukan putera kalian, bibi.” “Bagaimana ceritanya?” Sutejo dan Retno Susilo bertanya dengan suara hampir berbareng. Mata Retno susilo yang masih basah memandang Sulastri penuh selidik. “Ketika eyang guru memberikan pedang ini kepadaku, aku bertanya tentang asal usul pedang ini. Eyang guru berkata bahwa dia sendiri juga tidak tahu akan asal usul pedang ini, hanya menceritakan bahwa dia merampas pedang Naga Wilis ini dari tangan seorang datuk dari Banten yang bernama Kyai Sidhi Kawasa. Eyang guru memang dimusuhi oleh datuk itu. Kata eyang guru, mereka bertanding sampai setengah hari dan akhirnya eyang guru dapat merampas pedang ini, sedangkan Kyai Sidhi Kawasa melarikan diri dengan menderita luka. Nah, hanya itu yang kudengar dari mendiang eyang guruku.” “Kyai Sidhi Kawasa ...... ??” Suami isteri itu saling pandang dan merasa heran. Mereka merasa tidak pernah bermusuhan dengan datuk dari Banten itu. Kenapa datuk itu mencuri Pedang Naga Wilis dan menculik putera mereka? “Siapa dia dan di mana kami dapat menemuinya?” Tanya Sutejo. ----------------------- Page 978----------------------- ----------------------- Page 979----------------------- http://zheraf.net membantu andika berdua. Kalau bertemu dengan Sidhi Kawasa, tentu saya akan memaksa dia mengaku di mana adanya adik Bagus Sajiwo.” “Aku juga akan membantu andika. Akan kupaksa kakek dari Banten itu menunjukkan di mana kini Bagus Sajiwo berada!” kata pula Sulastri penuh semangat. “Terima kasih. Kalian baik sekali dan kami sungguh beruntung dapat bertemu dengan kalian sehingga kini bernyala kembali api pengharapan di hati kami.” kata Sutejo. Tiba-tiba Sulastri melepaskan tali sarung pedang yang diikat di punggungnya dan menyerahkan Pedang Naga Wilis dengan sarungnya kepada Retno susilo. “Ini pedangmu, Bibi Retno Susilo. Engkau pemilik pedang ini yang berhak memilikinya, maka kukembalikan kepadamu.” Retno Susilo terkejut. Tak disangkanya gadis berkepala baja seperti yang dikatakan suaminya itu dapat begitu lembut hati, rela mengalah dan menyerahkan pedang pusaka yang amat langka itu! “Tidak Sulastri. Terima kasih banyak. Pedang itu telah dicuri orang dan mendiang gurumu yang merampas kembali dan menemukan pedang itu. Engkau memilikinya dengan sah. Aku rela pedang naga wilis ini menjadi milikmu. Keteranganmu tentang Kyai Sidhi Kawasa itu sudah cukup berharga. keselamatan anak tunggalku itu jauh lebih berharga dan penting bagiku daripada pedang ini. Nah, mulai detik ini aku menyatakan bahwa Pedang Naga Wilis adalah milik sah dari Sulastri!” “Terima kasih, Bibi Retno susilo.” *** ----------------------- Page 980----------------------- ----------------------- Page 981----------------------- http://zheraf.net “Mas Aji mengejar Ki Harya Baka Wulung dan kami berdua dia minta untuk membantu usaha pemadaman kebakaran dua buah gudang ransum itu. Akan tetapi terlambat. Dua buah gudang itu telah menjadi lautan api. Kami lalu menghajar gerombolan yang menjadi antek Belanda. Yang melarikan diri kami kejar dan lima orang tadi adalah sebagian dari mereka. Demikianlah apa yang kami alami, paman dan bibi.” Sutejo menghela napas panjang. “Sayang sekali bahwa bangsa kita banyak yang terpikat oleh kekayaan bangsa Belanda sehingga suka menjadi pengkhianat bangsa, mudah diadu domba oleh belanda. Kalau begini keadaannya, maka akan sukarlah mengusir Kumpeni Belanda dari tanah air.” “Bagaimanapun juga, masih ada para pendekar yang setia kepada Mataram dan suka membela bangsa dan Negara dengan taruhan nyawa, paman.” kata Jatmika. Sutejo mengangguk-angguk. “Benar, mungkin diantara mereka itu adalah orang-orang seperti kita ini. Akan tetapi betapa banyaknya orang-orang pandai yang sakti, seperti para datuk itu, yang sudi menjadi antek Belanda pula! Sungguh sayang.” Sutejo menghela napas, lalu melanjutkan.”Kami mendengar bahwa balatentara Mataram sudah mulai bergerak. Karena itu, sebaiknya kita berpencar, membantu Mataram membersihkan jalan dari para antek Belanda dan kelak kita bertemu di Batavia.” “Baik, paman.” kata Jatmika. “Dengan berpencar kita dapat lebih mudah mencari datuk jahat Kyai Sidhi Kawasa itu, bibi.” kata pula Sulastri kepada Retno Susilo. Gadis ini mulai merasa suka dan kagum ----------------------- Page 982----------------------- ----------------------- Page 983----------------------- http://zheraf.net keringatnya membasahi seluruh tubuhnya. Larinya menjadi semakin lambat dan ketika dia tiba di jalan pendakian bukit, tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Lindu Aji telah melewatinya dan membalik, berdiri sambil bertolak pinggang menghadapinya. Terpaksa Ki Harya Baka Wulung berhenti melangkah dan dia berdiri terengah engah mengatur pernapasan. Biarpun hatinya merasa gentar menghadapi pemuda yang sakti mandraguna ini, namun Ki Harya Baka Wulung yang merasa dirinya sebagai datuk terbesar di Madura dan sudah terlanjur menganggap diri sendiri yang paling hebat, memperlihatkan sikapnya yang angkuh. Dengan tangan kanan bertolak pinggang yang menyembunyikan tanda kekalahan pernapasan yang memburu, kakek itu menudingkan telunjuknya kepada Lindu Aji. Suaranya terdengar parau ketika dia berkata dengan penuh wibawa. “Heh, Lindu Aji! Engkau ini bocah cilik (anak kecil) mau apa menghadang perjalanan seorang kakek seperti aku?” Aji tersenyum walau matanya mencorong karena marah mengingat akan semua perbuatan kakek yang kini berdiri di depannya itu. “Ki Harya Baka Wulung, andika masih berpura- pura tanya lagi mengapa aku menghadangmu?” “Hemm, Lindu Aji, engkau ini seorang bocah yang kaduk wani kurang dugo (terlalu berani kurang perhitungan)! Engkau ini seperti seorang cucu berhadapan dengan eyangnya! Mengapa bersikap begini kurang ajar? Begitukah tata-susila yang kamu pelajari?” “Ki Harya Baka Wulung, memang aku masih muda dan andika sudah tua sekali seperti seorang cucu dengan akeknya. Akan tetapi andika ini tidak menabung amal kebajikan untuk ----------------------- Page 984----------------------- ----------------------- Page 985----------------------- http://zheraf.net di Nusantara untuk bangkit melawan Kumpeni Belanda yang merupakan ancaman besar bagi nusa dan bangsa. Dalam keadaan tanah air terancam, sepatutnya andika mengesampingkan dulu semua dendam pribadi, lalu bersatu untuk melawan Belanda. Sebaliknya, andika malah membantu belanda hendak menyengsarakan rakyat!” “Keparat jahanam! Mampuslah kau!” bentak Ki Harya Baka Wulung yang sudah marah sekali dan sejak tadi diam- diam telah menghimpun tenaga saktinya, siap untuk menyerang sambil melepaskan lelah. Tiba-tiba dia sudah mengeluarkan satu pukulan jarak jauh Cantuka Sakti. Kedua kakinya ditekuk hampir berjongkok dan kedua tangannya mendorong ke depan, mulutnya mengeluarkan bunyi yang keluar dari perutnya, seperti seekor katak raksasa, “Kok-kok-kok ...... !!” Dari kedua telapak tangan yang didorongkan itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat sekali ke arah Aji. Namun Lindu aji sudah mengenal pukulan yang dahsyat ini. Dengan gerakan rinagan dari aji bayu sakti, tubuh pemuda itu sedah berkelebat, mengelak dengan loncatan kilat ke kiri, sejauh empat meter. “Wuuuussss ...... kraakkkk ...... brukkkk !” Hawa pukulan dahsyat yang luput mengenai tubuh Aji itu menghantam sebatang pohon jati yang berada di belakang di mana Aji tadi berdiri dan pohon sebesar tubuh orang itupun patah dan tumbang! Ki Harya Baka Wulung menjadi semakin marah dan penasaran. Dalam kemarahannya itu, dia menjadi nekat dan lupa bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang benar-benar merupakan lawan tangguh. Apa lagi pada saat itu, persediaan bahan peledak yang dia dapatkan dari Belanda telah habis ----------------------- Page 986----------------------- ----------------------- Page 987----------------------- http://zheraf.net “Aji Kukus Langking ...... aaaggghhhh ...... !” Ki Harya Baka Wulung mendorongkan kedua telapak tangannya dan asap hitam tebal menyambar ke arah Lindu Aji. Aji berdiri tegak, kedua lengannya bersedakap, kedua matanya terpejam. Dia seolah menyerah dan menerima saja serangan asap hitam bergulung- gulung itu. Asap hitam menyelimuti dirinya, akan tetapi hanya menggerakkan rambut dan pakaiannya saja dan lewat seakan tidak berpengaruh sedikitpun! Padahal biasanya aji itu dapat menghanguskan tubuh lawan! Melihat serangan Aji kukus Langking itu lewat saja dan sama sekali tidak mempengaruhi lawannya, Ki Harya Baka Wulung terkejut dan menjadi semakin penasaran. Dia menghunus senjatanya, sebatang keris besar panjang ber-luk sembilan. “Haaaagghhhh ...... !” Dia menggereng lalu melompat ke depan, meyerang dengan kerisnya, ditusukkan ke arah perut Aji yang masih berdiri bersedakap. Akan tetapi ketika ujung keris sudah mendekati tubuh Aji , pemuda itu mencelat dengan ----------------------- Page 988----------------------- ----------------------- Page 989----------------------- http://zheraf.net lagi dengan aji pukulan yang ganas dan dahsyat itu. Dia tidak lagi menghindar, melainkan mengerahkan tenaga Surya Chandra lalu menyambut dengan dorongan kedua kakinya ke atas tanah. Itulah Aji Guruh Bumi dan seketika tanah rasanya tergetar dan ada kekuatan amat dahsyat keluar dari kedua telapak tangannya menyambut pukulan jarak jauh yang dilontarkan Ki Harya Baka Wulung. “Syuuuutttt ...... blarrrr ...... !!” Tubuh Lindu Aji terdorong mundur sampai lima langkah dan agak terhuyung. Akan tetapi tubuh Ki Harya Baka Wulung terlempar ke belakang seperti daun kering tertup angin dan dia terbanting jatuh ke atas tanah. Akan tetapi dengan cepat dia dapat bangkit duduk bersila, mukanya pucat seperti kapur dan kedua lengannya bersedakap, kedua matanya terpejam. Lindu Aji juga duduk bersila, mengatur pernapasannya dan memulihkan keadaan dirinya yang terguncang hebat. Setelah tubuhnya segar kembali, Aji membuka mata dan melihat Ki Harya Baka Wulung masih duduk bersila dalam jarak kurang lebih sepuluh meter darinya, dia lalu bangkit berdiri dan menghadapi serangan tiba-tiba dari kakek yang digdaya dan licik itu. Setelah berdiri dalam jarak tiga meter, dia melihat kakek itu tetap tak bergerak. Mukanya pucat seperti kapur dan matanya terpejam. Sedetikpun tidak tampak gerakan, bahkan Aji melihat tidak adanya gerakan dada dan perut yang sedang bernapas. Aji lalu menghampirinya dan dengan hati-hati dan perlahan dia menyentuh dan mendorong pundak kakek itu. Tubuh kakek itu roboh terjengkang dalam keadaan kaki masih bersila dan tangan masih bersedakap! ----------------------- Page 990----------------------- ----------------------- Page 991----------------------- http://zheraf.net manusia, sesama hidupnya di dunia ini. Setelah mengubur jenazah itu baik-baik, dia lalu mengangkat sebuah batu besar dan ditaruh di depan makam sebagai pengganti nisan atau tanda bahwa di tempat itu terletak kuburan jenazah Ki Harya Baka Wulung. Setelah selesai, barulah dia teringat kepada Sulastri. Jantungnya berdegup. Perasaan haru, girang bercampur dengan keraguan dan kebimbangan. Sulastri telah mendapatkan kembali ingatannya yang hilang! Gadis itu telah ingat lagi, tentu ingat pula akan hubungan batin yang terdapat di antara mereka ketika dahulu mereka bertemu dan berkenalan. Ataukah dia yang salah duga? Apakah dia sendiri yang jatuh cinta kepada Sulastri dan sebetulnya gadis itu tidak mencintainya? Sulastri telah akrab dengan Jatmika! Baik ketika ingatannya hilang maupun sekarang setelah ia mendapatkan kembali ingatannya. Lindu Aji menghela napas panjang dan dia teringat akan Neneng Salmah yang terang-terangan jatuh cinta kepadanya. Ah, betapa cinta asmara mempermainkan mereka semua! Dia mencinta Sulastri, akan tetapi Sulastri agaknya mencinta Jatmika. Di lain pihak Neneng Salmah mencintanya, namun ruang hatinya telah ditempati bayangan Sulastri! Akhirnya dia dapat mengusir keruwetan pikiran itu dan teringat akan kebakaran yang terjadi di Cirebon. Dia harus cepat pergi mencari Jatmika dan Sulastri. Mungkin mereka itu membutuhkan bantuannya. Dengan cepat dia lalu meninggalkan tempat itu dan berlari menuju ke Kadipaten Cirebon. Akan tetapi dia tidak menemukan Jatmika dan Sulastri. Dua buah gudang itu ternyata terbakar habis dan kini tinggal ----------------------- Page 992----------------------- ----------------------- Page 993----------------------- http://zheraf.net itu, perjalanan itu amat sukar, melalui gunung-gunung, hutan lebat dan rawa. Untuk menggerakkan balatentara yang besar jumlahnya itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut catatan sejarah, baru setelah melakukan perjalanan selama hampir tiga bulan lamanya, barulah pasukan mataram tiba di Jayakarta,. pengepungan dimulai sambil menanti datangnya pasukan yang bergerak dengan perahu-perahu mellui laut. Pasukan pelopor yang pertama tiba segera mempersiapkan perkemahan untuk mengepung benteng kumpeni Belanda. Setelah balatentara tiba di situ, mereka membuat perkemahan di barat, selatan dan timur perbentengan Belanda. Yang berkemah di barat adalah pasukan yang dipimpin Kyai Adipati Jumina, yang di selatan dipimpin kyai Adipati Puger dan dari timur datang pasukan yang dipimpin Adipati Purbaya. Akan tetapi para senopati Mataram itu sudah mendengar betapa persediaan ransum bagi pasukan mereka banyak yang dihancurkan dan dibakar oleh Belanda, juga banyak ransum yang diangkut dengan perahu diserang kapal Belanda dan dihancurkan. Tentu saja hal ini merupakan pukulan hebat bagi Mataram. Namun, para senopati itu melanjutkan gerakan mereka dengan gigih dan penuh semangat. Pasukan Mataram sengaja membuat perkemahan yang cukup jauh, di luar jangkauan peluru meriam sehingga Belanda tidak dapat menyerang perkemahan mereka dengan meriam. Di antara para pendekar yang membantu pasukan Mataram sebagai pasukan sukarela tedapat pula Lindu Aji yang bergabung dengan pasukan yang berada di timur pimpinan Adipati Purbaya. Biarpun dia dianugerahi kedudukan senopati muda dan diberi keris pusaka Nagawelang oleh Sultan Agung, ----------------------- Page 994----------------------- ----------------------- Page 995----------------------- http://zheraf.net besar dan serdadu-serdadu yang siap siaga melakukan penjagaan siang malam secara bergantian dengan meriam dan senapan-senapan aiap menahan setiap penyerbuan. Pada hari kedua, suatu senja, terdengar bunyi tembakan-tembakan dari atas benteng. Peristiwa ini terjadi di bagian timur benteng Kumpeni. Adipati Purbaya dan para pembantunya, juga para pendekar termasuk Lindu Aji, berdiri di luar perkemahan dan memandang ke arah benteng dari mana samar-samar terdengar bunyi tembakan-tembakan itu. Tak lama kemudian tampak dua sosok bayangan berlari cepat menjauhi benteng dan ketika sudah dekat dengan perkemahan pasukan Mataram, Aji segera mengenal mereka yang bukan lain adalah Jatmika dan Sulastri! Aji merasa gembira sekali melihat Sulastri dan diapun cepat menyongsongnya. “Ah, kiranya kalian yang ditembak dari benteng itu? Apa saja yang lakukan di sana?” Sulastri tersenyum dan mendekati Lindu Aji. “mas Aji, kami sengaja mendekati benteng untuk menyelidiki pertahanan mereka, akan tetapi kami ketahuan dan ditembaki. Untung luput!” Gadis ini masih bersikap lincah gembira seperti biasa. “Dimas Lindu Aji, girang sekali hati kami dapat bertemu dengan andika di sini. Bagaimana hasil pengejaranmu terhadap Ki Harya Baka Wulung?” “Nanti saja kita bicara, Kakangmas Jatmika dan Nimas Sulastri. Mari kuperkenalkan dulu dengan Paman Adipati Purbaya dan para senopati lainnya.” kata Aji. Jatmika dan Sulastri lalu menghadap Sang Adipati Purbaya dan para pembantunya. Setelah mendengar tentang sepak terjang kedua orang muda itu, Adipati Purbaya tertawa senang. “Ha-ha-ha! Andika berdua adalah orang-orang muda ----------------------- Page 996----------------------- ----------------------- Page 997----------------------- http://zheraf.net Kemudian datang Neneng Salmah dan ayahnya, membawa surat darimu, Mas Aji. Aku juga sudah lupa sama sekali padamu. Akan tetapi kehadiran Neneng Salmah amat membahagiakan aku dan kami menjadi seperti saudara sendiri. Aku mengajarkan gerakan silat kepadanya dan ia mengajar menembang dan menari kepadaku.” Aji mengangguk-angguk senang. “Bagus sekali kalau engkau dapat hidup bahagia dengan Neneng Salmah, nimas. Aku tahu bahwa ia dan ayahnya adalah orang-orang yang baik hati.” Sulastri merasa hatinya tak enak, akan tetapi ditahannya. Ia mengangguk. “Ya, Neneng Salmah memang seorang gadis yang amat baik hati dan amat ...... cantik jelita, Kas Aji. Ia selalu memuji-mujimu, mengagumi, dan selalu mengharapkan kedatanganmu ...... “ ia menambahkan sambil memandang kepada Aji dengan sinar mata penuh selidik. Mendengar nada suara yang agaknya mengandung sindiran ini, hati Aji menjadi tidak enak sekali. timbul dugaan dalam hatinya bahwa agaknya pergaulan antara Neneng dan Sulastri sudah demikian akrabnya sehingga Neneng boleh jadi mengaku akan cintanya kepadanya. hal ini sungguh tidak mengenakkan hatinya. maka cepat dia mengalihkan percakapan. “Lalu, bagaimana engaku dapat sembuh kembali dan dapat mengingat kembali semua masa lalumu, nimas?” “Pada suatu hari muncul Kakangmas Parmadi dan istrinya, Mbakayu Muryani di tepi sungai di mana aku dan Neneng sedang mencuci pakaian. Kakangmas Parmadi melihat aku melatih Aji Sonya Hasta kepada Neneng dan dia tertarik sekali karena tentu saja sebagai murid keponakan guruku, ----------------------- Page 998----------------------- ----------------------- Page 999----------------------- http://zheraf.net “Kita tidak perlu gentar menghadapi persenjataan mereka.” kata Sulastri. “Hal itu benar, adimas Aji, kita harus ikut menyerbu karena aku harus menemukan pembunuh bapa dan eyangku. Aku harus membalas dendam kepada Hasanudin yang berkhianat dan kepada Raden Banuseta.” kata Jatmika sambil mengepal tinjunya. “Hal itu tidak dapat andika lakukan, kakangmas Jatmika.” kata Aji tenang. “Eh, Kenapa?” tanya Jatmika penasaran. “Ya, kenapa, Mas Aji? Aku harus membalas kematian Eyang Guru!” tanya Sulastri penasaran. “Karena kedua orang yang kalian maksudkan itu sudah tewas.” “Wah! Siapa yang membunuh mereka?” tanya Jatmika. “Apakah engkau yang membunuh mereka, Mas Aji?” tanya Sulastri. Lindu Aji menggeleng kepalanya.“Begini kejadiannya. Sebenarnya, Hasanudin itu adalah kakak tiriku, seayah berlainan ibu. Aku berhasil menyadarkannya bahwa dia diperalat oleh Raden Banuseta yang sesungguhnya merupakan musuh kami berdua, pembunuh ayah kami. Setelah aku dapat menyadarkan Akang Udin dari kekeliruannya, dia menjadi marah lalu mencari Banuseta dan dibunuhnya. Dia sendiri tertembak oleh Kapten De Vos akan tetapi dapat membunuh kapten Belanda itu sebelum dia sendiri tewas. Jadi, sebelum mati Akang Udin telah sadar bahwa dia diperalat oleh Banuseta sehingga mau menjadi antek Kumpeni Belanda. Dia telah sadar dan dia tewas bukan sebagai pengkhianat, maka harap kalian berdua suka memaafkannya.” ----------------------- Page 1000----------------------- ----------------------- Page 1001----------------------- http://zheraf.net Agaknya di antara mereka sejak dahulu sudah ada hubungan batin ini! Pantas saja setelah Sulastri pulih ingatannya, sikapnya kepadanya menjadi agak dingin. Tentu Sulastri sudah ingat kembali kepada Aji yang dicintanya! Diam-diam hatinya digerogoti perasaan cemburu itu yang amat menyiksa karena hati nuraninya membisikkan bahwa perasaan cemburu itu sama sekali tidak benar. Kalau memang sejak dulu diantara Sulastri dan Aji ada hubungan kasih, mau apa dia? Kalau pernah Sulastri sebagai Eulis tampak mencintanya, hal itu dilakukan di luar kesadarannya karena ketika itu Sulastri kehilangan ingatan, dan tidak ingat lagi kepada Aji yang dicintanya. Sekarang setelah ingatannya kembali, tentu saja perasaan cinta itu datang kembali. Hanya ada sedikit titik terang yang menimbulkan harapan. Bukankah Sulastri menyatakan terus terang bahwa Neneng Salmah amat mencinta dan selalu mengharapkan datangnya Lindu Aji? Kalau Aji sampai menjadi suami Neneng Salmah, berarti Sulastri menjadi bebas dan ada harapan baginya! Akan tetapi, tetap saja hatinya digoda cemburu yang membuat dia gelisah dan tidak dapat tidur. Keadaan Lindu Aji tidak lebih baik dari Sulastri dan Jatmika. Pemuda ini duduk bersila di atas pembaringannya dan termenung. Dia menghadapi keadaan yang serba sulit. Dia harus mengakui bahwa hanya Sulastri yang benar-benar dicintanya dan diharapkannya menjadi teman hidup selamanya. Gadis yang telah merampas hatinya sejak pertemuan pertama kali dahulu. Dia mencinta Sulastri, hal ini tidak dapat dipungkiri lagi. Akan tetapi, dalam keadaan lupa ingatan dan menganggap dirinya adalah Listyani, Sulastri akrab dengan Jatmika. Dia dapat melihat dari sikap dan pandang mata ----------------------- Page 1002----------------------- ----------------------- Page 1003----------------------- TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/ isteri, timbul perpecahan dan kebencian sehingga mengakibatkan perceraian! Ini bukti cinta nafsu. selama masih dapat menikmati kesenangan dari orang yang katanya dicinta, maka sikapnya mesra. Akan tetapi setelah orang yang katanya dicinta itu tidak lagi memberi kesenangan kepadanya, bahkan mendatangkan kesusahan, sikapnya berubah, dari cinta menjadi benci! Lebih sering pula cinta nafsu seperti ini menyelinap ke dalam rasa cinta seseorang terhadap sahabatnya. Seribu kali sahabat itu mendatangkan kesenangan, maka dicintanya. Akan tetapi sekali saja mendatangkan kesusahan, cintanya berubah menjadi benci dan seribu kali kebaikannya itu sudah terlupakan, yang diingat hanya satu kali keburukannya itu saja! Biarpun kata orang cinta antara oang tua dan anak itu murni, namun tidak jarang pula dikotori oleh cinta nafsu ini. Selama anak penurut. maka dicinta orang tuanya. Kalau pembangkang, apa lagi durhaka, akan dibenci oang tuanya karena tidak mendatangkan kesenangan dan hanya mendatangkan kerugian lahir batin atau kesusahan. demikian pula sebaliknya, kalau orang tua dianggap baik dan menguntungkan, maka si anak akan tetap mencinta dan berbakti. Akan tetapi tidak jarang terjadi, kalau orang tua menentang kehendak si anak dan dianggap merugikan dan menyusahkan, maka cinta dan kebaktian si anakpun berubah menjadi kemarahan, bahkan mungkin kebencian. Cinta kasih sejati tidak akan ada apabila orang mementingkan diri sendiri. Cinta sejati berarti memberi, berarti berani berkorban, berarti tidak adanya si aku atau nafsu yang hendak menguasai. Cinta sejati bagaikan lilin yang memberi penerangan dengan rela mengorbankan dan menghabiskan diri ----------------------- Page 1004----------------------- ----------------------- Page 1005----------------------- http://zheraf.net penyerangan itu. Juga ribuan anak panah dipergunakan dan beberapa ratus buah senapan. Pasukan Mataram berperang secara gerilya. Karena dikepung dari tiga jurusan, pihak Kumpeni menjadi kalang kabut. Mereka mengeluarkan pasukan dari benteng sehingga terjadi pertempuran di luar benteng. Pertempuran mati-matian. Karena pihak Kumpeni memiliki lebih banyak senjata api yang lebih baik, maka banyak perajurit Mataram yang gugur walaupun juga tidak sedikit sedadu Kumpeni yang tewas. Pertempuran hebat terjadi dan beberapa benteng Belanda yang diberi nama Benteng Holandia, Benteng Bommel dan lain-lain diserbu. Belanda mempertahankan mati-matian. Bahkan Benteng Bommel hampir bobol. Beberapa orang perajurit Mataram sudah berhasil memanjat tembok, akan tetapi karena persenjataan api mereka kalah, maka penyerangan itu dapat dipukul mundur. Baru setelah malam tiba, pertempuran dihentikan dan masing- masing menyusun pasukan, merawat yang luka. Biarpun tejatuh banyak korban, namun pasukan Mataram terus berusaha menyerbu dengan gigih dan penuh semangat. Berhari-hari terjadi pertempuan terus menerus. Pihak Belanda menjadi panik, balabantuan didatangkan dari kapal-kapal laut mereka. Pada suatu hari, pasukan Belanda mengadakan penyerbuan keluar benteng secara besar-besaran dan diantara mereka terdapat seorang kakek yang mengamuk. Tembakan bedil dari pasukan Mataram tidak melukainya dan dia bahkan mengeluarkan ilmu sihir, membuat dirinya dan pasukan Belanda yang mengiringkannya diselubungi kabut hitam. Kakek ini bukan lain adalah Ki Somad. ----------------------- Page 1006----------------------- ----------------------- Page 1007----------------------- http://zheraf.net Selama ini dia sudah berlatih mempergunakan pistol pemberian Belanda itu dan kini dia membidikkan pistolnya ke arah Parmadi dan menarik pelatuknya sampai tiga kali. “Dar-dar-darr ...... !!” Asap putih mengepul, akan tetapi dia tidak melihat Parmadi yang ternyata sudah cepat membuang diri ke atas tanah lalu bergulingan dengan cepat sekali. Pada saat itu, Muryani sudah mempergunakan Aji Kluwung Sakti, tubuhnya mencelat bagaikan tatit (kilat) dan tahu-tahu ia sudah menyerang ke arah kakek itu dengan cengkeraman tangannya yang mengandung racun ular amat berbahaya, Itulah Aji Wiso Sarpo yang dahsyat. Aki Somad mengenal pukulan ampuh. Dia cepat melompat ke belakang dan sekali lagi dia menggerakkan tangan, kini pistolnya diarahkan kepada Muryani dan pelatuk ditariknya. “Dar-darrr ......!” bidikannya meleset karena pada saat itu, lengan kanannya terpukul seruling gading. Pistol itu terlepas dari pegangannya dan ditendang oleh Parmadi ke arah belakangnya sehingga dipungut oleh perwira Mataram. Aki Somad marah sekali. Kedua telapak tangannya lalu ditiupnya sehingga bernyala. Itulah Aji Tapak Geni dan dia lalu memukul ke arah Parmadi dengan mendorongkan kedua telapak tangan yang bernyala itu. Nyala api yang panas menyambar ke depan, ke arah Parmadi. Pendekar inipun mengerahkan kesaktiannya, menyambut dengan kedua telapak tangannya dengan Aji Sonya Hasta. “Wuuutttt ...... blarrrr ...... !!” Tubuh Parmadi terdorong ke belakang dan terhuyung, akan tetapi tubuh Aki Somad terjengkang dan terbanting jatuh. Kepalanya menjadi pening dan napasnya sesak. Dia mencoba untuk bangkit kembali akan ----------------------- Page 1008----------------------- ----------------------- Page 1009----------------------- http://zheraf.net bahkan dipimpin oleh Kyai Adipati Jumina sendiri yang dibantu oleh Patih Tumenggung Singaranu, Raden Arya Wira Natapada, dan yang lain-lain. Juga di antara para pejuang suka rela, para pendekar terdapat pula Sutejo si Pecut Sakti Bajrakirana dan isterinya, Retno Susilo. Setelah suami isteri ini berpisah dari Jatmika dan Sulastri, mereka pergi ke Batavia dan menggabungkan diri dengan pasukan Mataram yang mengurung dari barat, di bawah pimpinan Kyai Adipati Jumina. Mereka sengaja menggabungkan diri dengan pasukan yang mengepung benteng di barat ini setelah mendengar dari para penyelidik Mataram bahwa Kyai Sidhi Kawasa, datuk Banten itu membantu Kumpeni Belanda di bagian barat. Ketika pasukan serdadu Kumpeni menyerbu keluar benteng, terjadilah perang campuh. tembakan-tembakan terdengar gencar diseling gemerincingnya pedang bertemu keris. Tiba-tiba para perajurit Mataram menjadi gempar ketika muncul seorang kakek yang sepak terjangnya amat menggiriskan. Kakek itu bukan lain adalah Kyai Sidhi Kawasa yang mengamuk dengan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang tongkat ular kobra kering yang amat berbisa. Banyak perajurit mataram tewas, bahkan dua orang perwira yang cukup digdaya tidak dapat bertahan lama menandingi Kyai Sidhi Kawasa. Sutejo yang berada di bagian lain, ketika mendengar akan amukan Kyai Sidhi Kawasa, bersama Retno Susilo cepat berlari ke tempat itu. “Tar-tar-tar ...... trakk !” Tongkat ular kobra itu ditahan oleh sebatang pecut di tangan Sutejo dan datuk Banten itu terkejut bukan main ketika merasa betapa tangannya yang memegang tongkat ular kobra tergetar hebat sampai terasa ke ----------------------- Page 1010----------------------- ----------------------- Page 1011----------------------- http://zheraf.net yang lalu di gunung Kawi. Andika menyerbu rumah kami dan selagi kami tidak berada di rumah, dengan cara yang curang andika telah menculik putera kami Bagus Sajiwo dan mencuri Pedang Naga Wilis isteriku. Perbuatan seperti itu apakah bukan perbuatan yang pengecut dan tidak tahu malu?” “Heh-heh-heh, aku memang melakukan itu walaupun hanya sebagai pembantu. Habis, andika mau apa sekarang?” Kakek itu terkekeh dan menantang. “Jahanam keparat ...... !” Retno Susilo memaki dan hendak menyerang, akan tetapi ditahan suaminya. sutejo lalu berkata kepada kakek itu dengan sabar. “Kyai Sidhi Kawasa, kalau putera kami dalam keadaan selamat dan andika mau mengatakan di mana dia kini berada, kami akan memaafkan andika asal andika dapat membawa kami sehingga kami dapat menemukan kembali anak kami dalam keadaan selamat. “Akan tetapi kalau sampai terjadi apa-apa dengan anakku, aku akan menghancurkan kepalamu, mencabut keluar hatimu dan mencabik-cabik seluruh tubuhmu!” Retno susilo berteriak seperti gila saking marah dan juga gelisah membayangkan puteranya mengalami malapetaka. Hati kakek itu menjadi kecut juga mendengar ancaman yang amat mengerikan itu, akan tetapi dia menenangkan hatinya dan berkata dengan nada suara rendah. “Hemm, kalian tidak dapat memaksa aku untuk berbuat sekehendak kalian sendiri.” “Kyai Sidhi Kawasa! Kami harap andika dapat bersikap sebagai seorang datuk besar yang patut dihormati, yaitu berani berbuat juga berani bertanggung jawab. Setelah andika menculik anak kami dan mencuri pedang, apakah andika ----------------------- Page 1012----------------------- ----------------------- Page 1013----------------------- http://zheraf.net luput dan sebaliknya dia terancam ujung cambuk yang menyambar-nyambar dengan ledakan nyaring. Akan tetapi datuk dari Banten ini sudah memutar tongkatnya dan dapat menangkis sambaran cambuk, walaupun tangannya tergetar ketika tongkat ular kobra itu bertemu pecut pusaka itu. Terjadilah perkelahian yang amat seru. Retno Susilo hanya menonton dan ia merasa yakin bahwa suaminya akan mampu mengatasi lawan. Hanya ia merasa cemas kalau-kalau kakek itu tewas sebelum memberitahukan bagaimana keadaan dan di mana adanya Bagus Sajiwo. Kalau ada perajurit yang mendekat, ia memberi isyarat agar perajurit itu tidak mencampuri perkelahian antara suaminya dan kakek itu. Iapun waspada melindungi suaminya dari serangan gelap para serdadu yang sibuk bertempur melawan pasukan perajurit Mataram. Sepak terjang Sutejo yang memainkan pecutnya dengan ilmu silat pecut yang khas, yaitu Aji Pecut Bajrakirana, amat dahsyatnya, Pecut itu meledak-ledak, membentuk gulungan sinar yang lebar dan dari gulungan sinar itu, ujung pecut mematuk-matuk. Kyai Sidhi kawasa menjadi kewalahan juga dan kini dia hanya mampu menangkis, hampir tidak ada kesempatan baginya untuk balas menyerang. “Hyaaat ...... !” Sutejo membentak nyaring dan cambuknya menyambar dari atas ke arah kepala lawan. Kyai Sidhi Kawasa cepat menggerakkan tongkat ular kobranya menangkis sambil mengerahkan tenaganya. “Darrrr ...... krekkkk ...... !” Kyai Sidhi Kawasa terhuyung ke belakang dan matanya terbelalak memandang ke arah tongkatnya yang tinggal sepotong pendek. Tongkat itu ternyata patah ketika bertemu dengan hebatnya melawan ----------------------- Page 1014----------------------- ----------------------- Page 1015----------------------- http://zheraf.net pengikut saja. Yang hendak membalas dendam kepadamu adalah Wiku Menak Koncar karena dia hendak membalas kematian dua orang saudara seperguruannya yaitu Ki Klabangkolo dan Resi Wisangkolo. Dia mengajak aku mendatangi rumahmu di Gunung Kawi. Akan tetapi engkau dan isterimu tidak ada, maka kami menculik puteramu dan mengambil Pedang Nogo Wilis.” “Di mana anakku sekarang? di mana Bagus Sajiwo?” teriak Retno Susilo tak sabar. “Wiku Menak Koncar yang menculik dan membawanya pergi. Aku hanya membawa Pedang Nogo Wilis, akan tetapi di tengah jalan pedang itu dirampas oleh musuh besarku, Ki Tejo Langit. Aku sama sekali tidak tahu ke mana Wiku Menak Koncar membawa anak itu.” *** JILID XXIX iku Menak Koncar sudah tewas oleh Gusti Puteri WWandansari! Engkau pasti tahu di mana anak kami! Hayo katakan atau ...... aku akan menyiksamu!” teriak Retno Susilo marah dan khawatir sekali. “Heh-heh, sudah kubilang aku tidak tahu dan engkau tidak mungkin dapat menyiksaku.” kata Kyai Sidhi Kawasa sambil menggerakkan tangan kanannya ke arah ubun-ubun kepalanya. Sutejo hendak mencegahnya namun terlambat karena tadinya dia tidak mengira Kyai Sidhi kawasa akan senekat itu. Tubuh itu terkulai roboh dan tewas seketika karena ubun-ubun kepalanya dia pukul sendiri! ----------------------- Page 1016----------------------- ----------------------- Page 1017----------------------- http://zheraf.net Muryani ikut bertempur dan mereka berdua ini yang menandingi para antek Kumpeni yang memiliki kesaktian sehingga semangat pasukan Mataram menjadi semakin tinggi. Pada suatu malam yang gelap, Lindu Aji bercakap- cakap dengan Jatmika dan Sulastri di luar perkemahan. “Mas Aji, jangan lanjutkan niatmu ini!” kata Sulastri dengan suara mengandung penuh permohonan dan ia memegang lengan Aji. “Jangan halangi aku, Lastri. Mungkin usahaku ini akan dapat membantu pasukan Mataram mengalahkan Kumpeni.” jawab Aji tenang dan dengan lembut dia melepaskan lengannya dari pegangan gadis itu karena dia merasa tidak enak kepada Jatmika. “Dimas Lindu Aji, ucapan Nimas Sulastri itu benar. Batalkan niatmu menyelinap ke dalam benteng itu. Amat berbahaya, dimas. Kalau ketahuan, mana mungkin andika melawan banyak serdadu yang bersenjata lengakap dengan bedil dan pistol itu?” “Aku akan berhati-hati, Kakangmas Jatmika. Kalau aku berhasil membunuhi para perwira Kumpeni, hal itu tentu akan mengacaukan dan melemahkan pasukan mereka. Andaikata aku tertangkap, yah, mati hidup berada di tangan Gusti Allah dan aku akan merasa bangga dapat menyumbangkan nyawaku demi Negara dan bangsa.” “Sudah bulatkah tekadmu itu, Mas Aji?” tanya Sulastri. Aji mengangguk. “Sudah, Lastri, doakan saja aku berhasil.” “Kalau begitu, aku ikut! Aku ingin membantumu seperti dulu ketika kita ditawan para antek Kumpeni di kapal!” kata Lastri penuh semangat. Aji sambil lalu melirik ke arah ----------------------- Page 1018----------------------- ----------------------- Page 1019----------------------- http://zheraf.net hilir mudik itu tidak pernah mendekati bagian sudut tembok itu dan hanya jarang sekali berjalan sampai ke sudut, dia lalu melontarkan tali bersimpul itu ke arah besi pagar yang tampak remang-remang dari bawah tersorot sinar lampu yang tergantung di bagian tengah. Bidikannya tepat san tenaga yang dia kerahkan untuk melontarkan tali itu amat kuat. Tali meluncur ke atas dan tepat mengait pada ujung besi pagar tanpa mengeluarkan suara. Aji menanti sebentar, merasa lega bahwa lemparan talinya itu tidak menimbulkan reaksi di atas, pertanda bahwa hal itu tidak dilihat orang lain. Dia menanti sampai para penjaga itu berjalan ke arah sudut yang berlawanan, lalu dia merayap naik melalui tali itu. Cepat sekali dia sudah tiba di atas, melompati pagar dan melepaskan tali sehingga jatuh ke bawah. Untuk turun dari tembok benteng, dia tidak akan membutuhkan tali. Ketika seorang serdadu berjalan ke arah sudut di mana dia berada. Aji cepat mendekam di balik belokan dinding. Dia tidak ingin merobohkan para serdadu yang berjaga di atas benteng ini karena kalau hal itu dilakukan dan kemudian diketahui penjaga lain yang baru datang, maka kehadirannya tentu akan diketahui dan ini berarti usahanya gagal. Dia menyelinap dan setelah serdadu itu membalikkan tubuh, dia lalu bergerak cepat melewati pintu tembusan yang membawanya ke bawah tembok benteng bagian dalam. Semua pemusatan pergantian para pasukan serdadu tertuju untuk menjaga tembok benteng bagian timur, selatan dan barat. Masih terdengar sesekali dentuman meriam yang ditembakkan ke arah kubu pertahanan pasukan Mataram.. Akan tetapi tidak ada tembakan senapan terdengar karena jaraknya terlampau jauh. Para serdadu itu hanya menanti ----------------------- Page 1020----------------------- ----------------------- Page 1021----------------------- http://zheraf.net dapat mengharapkan dia untuk menerima cintanya sehingga gadis waranggana yang baik itu dapat berjodoh dengan laki- laki lain. Dengan demikian baik berhasil maupun tidak, usahanya itu ada manfaatnya bagi orang lain. Kalau untuk itu dia harus berkorban nyawa, maka hal itu sudah menjadi kehendak Gusti Allah dan tiada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mengubahnya! Untung bagi Aji, bangunan yang cukup besar itu yidak terjaga oleh serdadu. Mungkin karena bangunan itu dirasakan aman karena berada ditengah benteng, maka tidak terjaga. Dengan mudah Aji dapat menyelinap ke tengan di naba terdapat penerangan yang cukup. Dia mengintai dan jantungnya berdebar tegang. betapa tidak. apa yang dicari- carinya berkumpul disitu semua! Kiranya para perwira tinggi Kumpeni sedang mengadakan rapay di sebuah ruangan yang diterangi empat buah lampu gantung yang besar. Dai pakaian mereka, Aji dapat menduga bahwa laki-laki Belanda setengah tua yang berjenggot meuncing dan duduk di kepala meja itu tentulah yang harus dijadikan sasaran utama untuk dibunuhnya. aji sama sekali tidak mengira bahwa dugaannya itu memang tepat sekali karena laki-laki Belanda itu bukan lain adalah Jan Pieters Zoon Coen sendiri yang memimpin rapat, merundingkan tentang pertempuran melawan pasukan Mataram yang telah berlangsung beberapa hari lamanya. Aji membuat perhitungan dengan teliti. Kalau dia menyerang, tentu hanya dapat merobohkan dua tiga orang saja dan para perwira yang lain tentu serentak akan menyerangnya dengan pistol mereka. Terdapat bahaya bahwa di antara mereka ada yang mempergunakan peluru emas dan sukar baginya untuk mengelak karena ruangan itu demikian terang dan ----------------------- Page 1022----------------------- ----------------------- Page 1023----------------------- http://zheraf.net benteng terdekat, dia harus lari ke arah beberapa bangunan terdekat dan melalui bangunan-bangunan itu dia menyelinap lari sambil bersembunyi sampai tiba di tembok benteng, naik dan melompat ke luar. Kini dia mengerahkan seluruh tenaganya, mencabut keris pusaka Nagawelang, kemudian bangkit berdiri dan setelah memperhatikan dengan seksama, diapun melompat ke dalam melalui jendela yang terbuka. Begitu dia tiba di dalam tanpa mengeluarkan suara, dia lalu mempergunakan Aji Bayu Sakti, tubuhnya melayang ke atas meja di depan panglima Kumpeni itu dan kerisnya menghunjam ke arah panglima itu. Akan tetapi, di antara para opsir yang berteriak kaget itu, seorang pengawal pribadi panglima itu yang tadinya duduk di belakang sang panglima, sudah melompat pula ke atas meja menghadang serangan Aji. “Wuuuutttt ...... capppp ...... !!” Tak dapat dihindarkan lagi, keris pusaka Kyai Nagawelang itu menancap ke dalam dada pengawal pribadi itu. Opsir Belanda yang masih muda itu terjengkang dari atas meja dan menimpa si panglima sehingga Aji tidak melihat kesempatan lagi untuk menyerang panglima itu. Selagi para opsir masih tercengang, dia sudah melompat ke atas, keris dan tangan kirinya bergerak dua kali. Terdengar ledakan dua kali dan dua buah lampu gantung itu pecah dan padam. Dia melompat lagi dan kembali terdengar ledakan dua kali ketika dua buah lampu yang lain pecah dan padam. Ruangan itu menjadi gelap gulita seperti yang telah diperhitungkan! Aji lalu bergerak ke arah pintu. Tiap kali bertabrakan dengan orang, dia lalu menampar atau kerisnya menusuk. ----------------------- Page 1024----------------------- ----------------------- Page 1025----------------------- http://zheraf.net “Kau ...... ?” katanya dengan kagum karena ternyata di sana berdiri Karen Van De Vos dengan sebuah pistol yang masih berasap di tangannya. “Cepat ...... lucuti pakaiannya dan pakai!” perintah Karen Van De Vos. Aji mengerti maksudnya. Dia menghampiri serdadu yang dia robohkan dengan tamparan di kepala, melucuti celana dan bajunya lalu memakaianya. Pakaian itu tentu saja terlalu besar baginya, akan tetapi karena menutupi pakaiannya sendiri, maka dia kini berubah menjadi seorang serdadu Kumpeni, walaupun rambut kepalanya hitam dan kakinya tidak bersepatu. Namun dalam keremangan cuaca, takkan ada yang melihat pebedaan ini. “Sekarang larilah, lewat sini ...... !” Karen berkata lagi. Aji merasa terharu dan cepat dia merangkul dan mencium bibir gadis Belanda Indo yang batinnya ternyata berpihak kepada bangsa ibunya itu. “Terima kasih, Karen ...... “ bisiknya sambil melepaskan rangkulannya. “Aku cinta padamu, Lindu Aji ...... “ kata pula Karen. Aji melompat dan lari ke arah tembok benteng yang tidak jauh lagi dari situ. Terdengar tembakan gencar, Itu adalah tembakan para opsir yang sudah mengejar sampai ke situ. Dengan nekat Karen lalu melepaskan tembakan gencar dengan pistolnya. Melihat ada tembakan menyambut mereka, para opsir terkejut dan mengira bahwa musuh yang berhasil menyusup ke dalam benteng itu memiliki senjata api. Mereka berlindung dan karenanya pengejaran terhadap Aji terhalang. Mereka membalas dengan tembakan mereka ke arah dari mana datangnya tembakan pistol itu dan melihat sesosok bayangan ----------------------- Page 1026----------------------- ----------------------- Page 1027----------------------- http://zheraf.net serangan aji. Pada saat itu memang kesehatannya agak terganggu. serangan mendadak Alap-alap Laut Kidul yang mengakibatkan pengawalnya tewas dan roboh menimpanya itu amat mengejutkan dan mengerikan hatinya. Mungkin saja dia meninggal karena kaget dan mempengaruhi jantungnya dan lemah. Akan tetapi pihak Kumpeni Belanda mengabarkan bahwa Jan Pieters Zoon Coen meninggal dunia karena penyakit kolera! Pertempuran itu berlangsung dengan seru. Hampir setiap hari pasukan Mataram mencoba untuk membobolkan benteng-benteng pertahanan Kumpeni Belanda. Beberapa kali pasukan yang bersemangat dan berani itu menyerbu dan berusaha untuk memasuki benteng. Akan tetapi persenjataan Belanda jauh lebih baik dan lebih lengkap. Dalam penyerbuan ini banyak pendekar yang gugur secara menyedihkan. Beberapa orang pahlawan yang gagah perkasa berhasil memasuki benteng, mengamuk dan membunuh banyak serdadu akan tetapi dia sendiri terjebak dan tidak dapat keluar. Setelah peluru mengenai tubuhnya, di antaranya peluru emas atau perak, baru dia roboh dan tewas. Sampai sebulan lamanya pasukan Mataram mengepung benteng Kumpeni Belanda. Akan tetapi akhirnya musuh lain yang lebih kuat daripada pasukan Kumpeni menyerang mereka. Musuh-musuh baru ini adalah penyakit kolera dan malaria, dan juga kelaparan karena kurangnya ransum. Penyerangan dan pemusnahan yang dilakukan Belanda sebelumnya, yang membakar banyak persediaan ransum, kini memperlihatkan hasilnya. Pasukan Mataram kekurangan makanan. Hal ini ditambah dengan amukan penyakit menular itu. Mulailah pasukan Mataram menjadi lemah. ----------------------- Page 1028----------------------- ----------------------- Page 1029----------------------- http://zheraf.net Tumenggung Singaranu tidak langsung pergi menghadap Sultan Agung, melainkan membawa pasukannya ke tanah perdikannya. Setibanya di rumah, dia lalu mengumpulkan isteri, selir-selir dan ank-anaknya untuk pergi menghadap Sultan Agung dan mintakan ampun atas kegagalannya dalam penyerbuan ke Batavia. Selain mengirim semua anggauta keluarga untuk menghadap dan memohon pengampunan kepada Sultan Agung, diapun mengirim semua senjata pusakanya ke istana sebagai tanda bahwa dia menakluk dan tidak berniat melawan atau menentang sang raja. Selain ini, juga puterinya yang menjadi selir Sultan Agung mintakan ampun untuk ayahnya. Sultan Agung memang merasa kecewa dan marah sekali mendengar akan kegagalan pasukan Mataram dalam penyerangan yang kedua kalinya terhadap Kumpeni Belanda itu. Akan tetapi ketika selirnya mintakan ampun untuk Tumenggung Sinaranu, ditambah keluarga tumenggung yang sudah diangkat menjadi patih itu datang menghadap dan minta ampun dengan ratap tangis, melihat betapa semua pusaka sang tumenggung diserahkan kepadanya, menjadi terharu dan kemarahannya mencair. Dia mengampuni Tumenggung Singaranu, bahkan juga mengampuni para senopati lainnya. Berbeda dengan akibat kekalahan pada penyerangan pertama, penyerangan kedua ini tidak mengakibatkan hukuman berat bagi para senopati yang gagal. Para penasihat dan senopati membujuk Sultan agung agar menghentikan usahanya menyerang Batavia karena selain hal itu mendatangkan kerugian besar kepada Mataram, juga mereka mengatakan bahwa Belanda hanya ingin berdagang di Nusantara. Hati Sultan Agung menjadi agak lunak terhadap ----------------------- Page 1030----------------------- ----------------------- Page 1031----------------------- http://zheraf.net maka kehidupan akan menjadi hampa dan semua perlengkapan tubuh tidak dapat bekerja dengan sempurna. Namun, iblis yang selalu mengintai dan sudah sejak semula bersumpah untuk menggoda manusia dan menyeret manusia ke dalam perbuatan dosa, justeru memanfaatkan kenikmatan hidup di dunia dengan membonceng pada nafsu manusia sendiri. Dengan demikian, maka keadaannya menjadi terbalik. Kalau semula manusia dengan jiwanya yang bersih menguasai nafsunya sendiri, menjadi nafsu yang menguasai manusia dan akibatnya, manusia selalu mengejar-ngejar kenikmatan dan kesenangan dunia, menjadi budak dari nafsunya sendiri. Inginnya hanya enak-enak dan yang menyenangkan untuk diri sendiri sehingga untuk mendapatkan yang diinginkan dan dikejarnya itu, manusia menjadi lupa diri dan mempergunakan segala cara. Segala perbuatan jahat di dunia ini bersumber kepada nafsu ingin menyenangkan diri sendiri itulah. Kebanyakan manusia menyadari akan kuatnya nafsu menguasai dirinya. Ada yang berusaha untuk menundukkan dan mengalahkan nafsunya sendiri. Namun kebanyakan usaha manusia itu tidak berhasil. Mengapa demikian? Karena yang berusaha mengalahkan nafsu adalah hati akal pikiran padahal di dalam hati akal pikiran itulah sang nafsu bersarang. Di situlah iblis berkuasa. Semua usaha dari pikiran untuk mengalahkan nafsu itu berarti mengalahkan diri sendiri dan usaha itupun bersumber dari nafsu itu sendiri! Lalu bagaimana? Siapa yang dapat menundukkan nafsu sehingga nafsu kembali ke tempatnya semula, yaitu menjadi peserta, menjadi alat dan menjadi pembantu yang setia, tidak lagi menjadi majikan yang menyeret manusia ke dalam dosa? ----------------------- Page 1032----------------------- ----------------------- Page 1033----------------------- http://zheraf.net yang membingungkan. Dia ingin membereskan keadaan yang kacau ini dengan jalan mengundurkan diri dan mengalah seperti yang telah dia putuskan dalam lamunannya malam itu. Juga dia hendak memberi ketegasan kepada Neneng Salmah agar gadis waranggana yang baik hati itu tidak lagi mengharapkan dia dan menjadi tersia-sia hidupnya kelak. Ki Subali dan isterinya mnyambut pulangnya Sulastri dengan gembira sekali. Demikian pula Neneng Salmah, bahkan gadis ini semakin berbahagia melihat Lindu Aji juga datang bersama Sulastri dan Jatmika. Setelah mereka semua beramah tamah bersama Ki Subali dan Ki Salmun ayah Neneng Salmah, Lindu Aji mempergunakan kesempatan itu untuk berpamit. “Sekarang semua tugas telah selesai dilakukan dan saya mohon pamit dari andika semua, untuk meninggalkan Dermayu.” “Mas Aji ...... !” Seru Sulastri sambil memandang ke arah Neneng Salmah, “Engkau hendak pergi? Ke mana?” “Kembali ke dusunku, ke rumah ibuku di dusun Gampingan dekat pantai Laut Kidul.” Terdengar isak tangis dan semua orang menengok. Neneng Salmah berlari keluar dari pintu samping yang menuju ke kebun. Melihat ini, Sulastri mengerutkan alisnya dan berkata kepada Aji. “Mas Aji ...... tidak kasihankah engkau kepadanya ...... !” Dengan pandang matanya Sulastri seolah menyuruh Aji untuk pergi mencari Neneng Salmah. Aji maklum bahwa bagaimanapun juga dia harus memberi penjelasan kepada Neneng Salmah agar gadis itu dapat memaklumi perasaannya bahwa mereka tidak dapat berjodoh. Memang dia sudah dapat menduga sejak dulu bahwa kenyataan yang hendak ----------------------- Page 1034----------------------- ----------------------- Page 1035----------------------- http://zheraf.net saling mencinta, bukan?” kata Aji dengan suara yang tenang namun tegas dan berwibawa. Neneng salmah mengangguk sambil memandang wajah Aji, sinar matanya penuh harapan. “nah, marilah kita melihat kenyataan. Aku percaya sepenuhnya bahwa engkau mencintaku dengan sungguh- sungguh. Akan tetapi engkau juga harus tahu bahwa aku amat suka dan kagum padamu, akan tetapi tidak mencintamu, neneng. Sebelum berjumpa denganmu, aku telah mencinta seorang wanita lain. Apakah engkau yang sebijaksana ini menghendaki agar aku mengkhianati cintaku kepada wanita itu?” Biarpun tanpa suara, air mata menetes-netes turun dari kedua mata Neneng salmah ke atas pipinya. Ia memang seorang gadis yang bijaksana dan ia mengerti bahwa cintanya bertepuk tangan sebelah. Ia tidak dapat menyalahkan Lindu Aji. Ia menguatkan hatinya dan berkata lirih dan parau. “Apakah ...... apakah ...... gadis itu ...... Sulastri ...... ?” Aji mengerutkan alisnya. Tidak perlu dia memperpanjang pembicaraan mengenai itu. “Sudahlah, tidak perlu kita membicarakan orang lain. Yang jelas aku hendak menanamkan keyakinan dalam hatimu bahwa kita tidak dapat berjodoh, Neneng. Kalau engkau suka, biarlah aku kau anggap sebagai seorang kakakmu yang selalu siap untuk melindungimu. Engkau adalah seorang adik bagiku, Neneng, dan aku sayang kamu sebagai seorang kakak menyayang adiknya.” Neneng Salmah menjerit kecil dan bangkit menubruk Aji. Pemuda itu merangkulnya dan neneng menangis di dada Aji, terisak-isak. Air matanya membasahi baju pemuda itu ----------------------- Page 1036----------------------- ----------------------- Page 1037----------------------- http://zheraf.net menyongsongnya dan melihat Neneng tersenyum gembira walaupun kedua matanya sembab, Sulastri cepat berbisik, “Bagaimana, Neng?” Neneng Salmah sudah tahu apa yang dimaksudkan Sulastri. “Sudah beres, Lastri. Akang Lindu Aji sekarang menjadi kakak angkatku dan aku berbahagia sekali!” Setelah berkata demikain, Neneng setengah berlari meninggalkan gadis itu yang berdiri tertegun. Ia melihat Aji melangkah datang. Agaknya pemuda itu hendak kembali ke dalam rumah. “Mas Aji ...... !” Lastri memanggil. Aji berhenti melangkah dan memutar tubuh menghadapi Sulastri. Sepasang alisnya berkerut dan dengan semua kekuatan batinnya dia menahan gejolak hatinya. “Mas Aji benarkah engkau hendak pergi? Bagaimana dengan Neneng?” “Bagaimana dengan dia? Mengapa? Ia kini menjadi adik angkatku, Lastri, dan kami berbahagia sekali. Aku memang hendak pulang ke tempat tinggal ibuku dan aku berpamit padamu.” “Akan tetapi, Mas Aji ...... engkau benar hendak pergi meninggalkan aku ......? “Ya, Lastri. aku akan pulang ke dusunku.” “Akan tetapi ...... bagaimana dengan aku ...... aku akan merasa kesepian dan kehilangan.” “Lastri, di sana ada Kakangmas Jatmika menunggumu. Dia adalah seorang ksatria yang hebat, seorang laki-laki jantan berjiwa pahlawan yang patut dihormati dan dia mencintaimu. Semoga engkau hidup berbahagia bersamanya, Lastri.” Setelah berkata demikian, bergegas Lindu Aji meninggalkannya menuju kembali ke rumah. ----------------------- Page 1038----------------------- ----------------------- Page 1039----------------------- http://zheraf.net Ketika berpapasan dengan Sulastri yang wajahnya tampak pucat, Jatmika cepat memanggil. “Nimas Sulastri ...... !” Sulastri berhenti dan memandang pemuda itu. “Kakang Jatmika, engkau hendak ke manakah?” “Aku sengaja menemuimu, Lastri. Sebetulnya, aku hendak mempergunakan kesempatan ini untuk ...... meminangmu kepada ayah ibumu. Akan tetapi aku ingin mendengar dulu pendapat dan persetujuanmu.” Sulastri mengerutkan alisnya dan ia menghela napas panjang beberapa kali, menatap wajah pemuda itu, lalu menundukkan mukanya dan menggeleng kepala perlahan. Jatmika khawatir sekali melihat sikap gadis itu. “Akan tetapi, nimas, aku cinta padamu. Engkau tahu benar bahwa aku amat mencintamu.” Sulastri mengangkat muka dan memandang pemuda itu dengan sinar mata layu. “Aku tahu, kakang. Aku amat suka dan kagum kepadamu. Akan tetapi tentang cinta ...... lama sebelum aku berkenalan denganmu, aku telah jatuh cinta kepada seorang pria dan aku tidak dapat memindahkan cintaku.” Wajah Jatmika menjadi pucat. “ ...... ahh ...... dia ...... Dimas Aji?” “Tidak perlu kita bicara tentang itu, kakang. Pendeknya, aku suka kepadamu akan tetapi aku tidak mencintamu seperti cintamu kepadaku.” Sulastri ingat akan keadaan Neneng Salmah dan disambungnya cepat. “Kita tidak mungkin berjodoh sebagai suami isteri, kakang, akan tetapi aku, akan merasa bersukur sekali kalau kita yang sebetulnya sudah menjadi saudara seperguruan ini lebih memperkuat tali pesaudaraan antara kita. Aku ingin kau anggap sebagai adikmu ----------------------- Page 1040----------------------- ----------------------- Page 1041----------------------- http://zheraf.net Kalau sudah begitu, kita akan mampu menerima segala apapun yang terjadi kepada diri kita, baik dipandang mata jasmani sebagai kesenangan ataupun kesusahan, manis atau pahit, dengan hati penuh rasa syukur kepada Gusti Allah, waspada bahwa semua itu sudah sesuai dengan rencana dan kehendakNya dan apapun yang terjadi merupakan berkahNya sehingga kita patut bersyukur. Dalam sakit atau sehat, rugi atau untung, susah atau senang, kita akan waspada dan dapat melihat bahwa semua itu membuktikan adanya Kekuasaan dan Keadilan Gusti Allah. Sampai sekian saja kisah ini, semoga ada manfaatnya bagi para pembaca. Kalau pembaca ingin mengetahui bagaimana nasib selanjutnya dari Lindu Aji, Sulastri, Jatmika, Neneng Salmah, Parmadi, Muryani, Sutejo, Retno Susilo dan tokoh lawan mereka yang berhasil lolos seperti Nyi Maya Dewi dan yang lain-lain, silahkan baca kisah ”Bagus Sajiwo” yang merupakan lanjutan kisah Alap-alap Laut Kidul ini. Sampai jumpa di lain cerita. T A M A T Solo, akhir Agustus 1990.